Oleh: DEN RASYIDI *
Di Indonesia nasib sastra miris dan nyaris mati, bahkan sastrawan sulit untuk dihormati. Padahal, jauh di Negeri Persia, sastrawan satu tingkat di bawah Ilahi, karya-karyanya satu tingkat di bawah Alquran.
SAMPAI detik ini sastra semakin tak berarti di dunia akademi Indonesia. Sastra seakan tak punya gaung dan taring yang tajam untuk unjuk gigi ke permukaan, seakan tak punya makna dan nilai sosial, alhasil sastra mudah disingkirkan. Betapa miris karya sastra hanya dibicarakan antar sastrawan dan bila masuk sistem pendidikan cuma dijadikan subtema, atau meminjam istilahnya Alex R. Nainggolan di Republika (20/10) sastra dijadikan sebagai ?pemanis? pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Tia Setiadi dalam acara pertemuan penyair dan bedah buku puisi Lumbung Perjumpaan karya Agus R. Sarjono yang bertempat di Taman Budaya Yogyakarta, mengatakan bahwa sastra seperti anak tiri atau bahkan anak haram dalam sistem pendidikan Indonesia. Sastra seperti filsafat yang sedikit peminatnya, padahal ilmu pengetahuan berkembang berkat filsafat dan sastra di abad yang silam.
Lepasnya pengetahuan dari hegemoni gereja pada abad pertengahan, tak dapat diingkari bahwa itu berkat filsafat dan sastra yang menjadikan manusia tidak lagi sebagai objek. Tapi sebagai subjek yang bebas untuk mencari kebenaran.
Saya mencoba untuk berpikir lebih ke dalam semacam refleksi dan introspeksi. Mungkinkah sastra tidak punya sumbangsih bagi Indonesia? Saya teringat beberapa dari sastrawan yang menjadi inspirator, motivator yang karya-karya mereka merupakan potret kesungguhan dan kejujuran dari masa yang dilalui; karya yang mereka tulis di tengah aliran darah dan air mata.
Puisi Chairil Anwar semisal Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi yang sering diteriakkan dengan lantang oleh Soekarno adalah salah satu alasan mengapa Soekarno bersemangat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tentu tidak hanya itu, Pram, H.B. Jasin, A. Teuw dan banyak yang lain, punya andil besar dalam memajukan kebudayaan Indonesia.
Namun, lambat laun tak ada apresiasi bagi mereka. Karya sastra memang fiksi, tapi tidak akan lepas dari kejujuran dan ketulusan dan ia lebih masuk akal dari realitas yang kita lihat.
Tapi, betapa pun karya sastra mempunyai seribu kebenaran tidak akan kelihatan pengaruhnya jika ruang geraknya ?terbatasi?. Sehingga peminatnya tak banyak dan peran dalam membangun kemapanan budaya pun tak pernah tampak. Untuk mencari penerbit yang mau menerbitkan karya sastra sekarang semakin sulit, karena karya sastra tidak seperti karya tips-tips, biografi tokoh partai, naskah-naskah proyek yang laku deras, sebab penerbit lebih mementingkan daya jual daripada pemberdayaan budaya. Mungkin ini harus jadi bahan renungan bersama, mengapa sastra minim pembaca dan sering ditolak di mana-mana?
Sependek pengalaman saya tak ada acara kebudayaan dan kesusastraan yang mewah dengan banyak dana, atau bahkan dapat honorium bagi peserta seperti yang sering terjadi pada acara-acara partai. Bahkan proposal suatu kegiatan baksos tidak akan dapat respons balik jika kegiatan itu atas nama sastra. Maka mau tidak mau aktivis sastra harus rela tidak makan. Ini memang sepele, tapi perlu dipikirkan dalam-dalam. Padahal, ada banyak komunitas-komunitas sastra yang bergerak langsung ke lapangan demi menyembuhkan luka yang diciptakan oleh pemerintah.
Beda kemudian bila acaranya ditangani oleh pihak pemerintah, yang orientasi di balik kegiatan tersebut hanya untuk menghabiskan dana akhir tahun dan berbau politik. Hal yang demikian sering terjadi di dunia birokrasi, dunia yang rentan dengan korupsi. Maka, mana yang lebih berjasa kepada negara, apakah kaum birokrasi yang cenderung menghambur-hamburkan anggaran negara dan sering korupsi, padahal utang negara belum teratasi. Atau budayawan dan sastrawan yang hanya menulis dan bergerak sepenuh hati demi harmoni rakyat atau paling tidak sebagai penenang hati yang dikorupsi?
Di Indonesia, nasib sastra miris dan nyaris mati, bahkan sastrawan sulit untuk dihormati. Padahal, jauh di Negeri Persia, sastrawan satu tingkat di bawah Ilahi, karya-karyanya satu tingkat di bawah Alquran. Afifah Ahmad dalam bukunya The Road To Persia mengatakan betapa seorang penyair, semisal Hafis, Attar, Rumi, dan Ibn Nafis, selalu dipuja. Setiap kelahiran-kematiannya tak henti diperingati oleh bangsa Persia sebagai bentuk penghormatan. Entahlah, di sini apakah sastrawan dan budayawan yang tak punya kiprah dalam harmonisasi sosial atau bangsa Indonesia yang tak mau buka mata sehingga sastra Indonesia dipandang sebelah mata. Nasib sastra telah diketahui, sekarang tinggal bagaimana menyikapi.
Barangkali salah satu langkah yang cukup baik bila ada banyak karya sastra yang diterjemahkan ke dalam beragam bahasa. Semisal karya Taufiq Ismail yang saat ini proses penerjemahan ke dalam banyak bahasa (Horison; 2013). Paling tidak dengan cara itu sastra bisa memperkenalkan diri ke negeri lain, meski seperti tak diakui di negeri sendiri. Semoga saya keliru!
*) Den Rasyidi, penggerak kajian filsafat di Lingkaran Metalogi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (dalam Lampung Post, 1 Des 2013)
Komentar
Tulis komentar baru