Hans Hayon
Mahasiswa STFK Ledalero
Perbincangan mengenai keberadaan puisi di Indonesia pernah mempertemukan dua “legenda hidup” kesusastraan Indonesia, Sitor Situmorang dan Sutardji Calzoum Bachri, Sabtu (9/10) di Galeri Neka, Ubud, Bali. Sutardji mengatakan, puisi begitu hebat sampai negara ini pun terbentuk lewat puisi. “Sumpah Pemuda adalah puisi karena itu adalah imajinasi. Pada saai itu tidak ada Tanah Air Indonesia, tidak ada bangsa Indonesia, tidak ada bahasa Indonesia. Ini semuanya menunjukkan hebatnya kekuatan puisi”. Dengan demikian, puisi merupakan bentuk representatif dari kenyataan serentak yang membentuk dunia.
Dalam pertemuan Sastrawan Indonesia II yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tahun 1974, perupa sekaligus penyair, cerpenis dan novelis Danarto menggemparkan publik dengan puisinya yang berbentuk garis segi empat sebanyak sembilan buah. Demonstrasi tersebut menjelaskan bahwa yang menjadi titik persoalan sebuah puisi bukan lagi terletak pada makna, tetapi pada adanya keterbukaan terhadap dimensi-dimensi baru dalam penulisan sebuah puisi. Puisi demikian memiliki nilai transendental yakni merujuk pada dunia tertentu di balik suatu peristiwa konkret. Melampaui yang konkret sekaligus menyediakan kemungkinan bagi kenyataan lain menampakkan dirinya secara utuh dan komprehensif.
Puisi Konkret
Pada tahun 1978, Sutardji Calzoum Bachri menampilkan sebuah kanvas yang digantungi sekilo daging segar dan di bawahnya terdapat tulisan grafis yang berbunyi “Luka ha ha” (Basis, 2003: 45). Yang menarik adalah ketika Dami N. Toda berkomentar dengan nada simpatik bahwa demonstrasi tersebut merupakan kegiatan mempertanyakan kembali “norma-norma” yang telah terlanjur dikontrakkan ke dalam pemahaman (tentang) puisi, membebaskan kembali pengertian pokok dari hakikat “kreativitas” dalam seni yang senantiasa harus berjalan “di depan” dari semua konvensi (Ibid. 46). Ketika dunia dan segala kompleksitas percaturan sosial berjalan dalam sebuah kemapanan struktural yang sistematis, puisi konkret mutlak diperlukan guna menghindari terjadinya keterlemparan manusia dari cengkeraman sistem yang cenderung mengikat tetapi buta. Memang, puisi jenis ini jarang kita temukan dewasa ini mengingat keterbatasan kreativitas dan kemampuan tertentu yang harus dimiliki. Selain itu, ketiadaan mental dalam mempublikasi puisi jenis ini merupakan kekurangan yang cukup memprihatinkan dunia sastra saat ini. Menciptakan sebuah puisi konkret mengandaikan adanya keberanian yang luhur dan cinta yang ikhlas untuk melawan konvensional, kebiasaan, gaya hidup, dan struktur yang klise. Tindakan melawan berarti melihat hal-hal yang bersifat permukaan itu dengan tatapan yang cermat dan dalam sehingga kedalaman akan muncul dari kenyataan yang bersifat permukaan itu (Heidegger. Zein und Zeit, 1953: 29).
Kita sedang hidup dalam sebuah zaman yang senantiasa menghargai keharmonisan mungkin kaget jika Seno Gumira Ajidarma berani berkomentar bahwa “Harmonis itu tidak baik” (Agus Noor,2006: 251). Alasannya adalah karena untuk menjadi harmonis mustahil tiada kelompok yang ideologinya tidak tertindas. Untuk menjadi harmonis, pasti ada kepentingan minoritas yang dipangkas. Harmonis berarti pelenyapan, diskriminasi, dan pemaksaan hak-hak. Bahkan dalam novelnya, George Orwel (1984) mengatakan bahwa masa depan adalah hidup di mana cinta ditertibkan dan benci dikoordinasikan. Bila kita mendalami pernyataan ini, mungkin kita sampai pada kesimpulan yang sama. Pada tataran ini, puisi konkret menjadi kancah penetral keadaan karena yang ditampilkan dalam puisi konkret merupakan abstaksi dan demonstrasi kenyataan sosial. Joseph Brodsky benar ketika ia menulis bahwa puisi adalah pujian-pujian kepada hidup ‘yang datang dari kerongkongan yang tercekik’- dan karena itu lebih fasih ketimbang bel canto manapun. Untuk itu, latihan-latihan rohani demi peningkatan kualitas kepekaan, penguasaan bahasa dan pengetahuan umum, serta bimbingan kepengarangan merupakan jalan utama bagi lahirnya puisi seperti ini.
Puisi Transendental
Puisi transendental merupakan jenis puisi yang tidak mendasarkan dirinya pada persoalan praktis, mempertanyakan makna kata-kata, dan berkutat pada tema semantik bahasa. Puisi transendental membangun dunianya sendiri dan bergelut dalam dunia itu menuju pemenuhan maknanya sendiri. Melalui makna itu, manusia diajak untuk saling berkomunikasi satu sama lain tanpa menggunakan bahasa. Dalam puisi transendental, bahasa tidak lagi menjadi satu-satunya hal terpenting karena bahasa cenderung terikat dalam wilayah kategorial dan tercemar kultur partikular tertentu melainkan melampaui semuanya itu. Menciptakan sebuah puisi transendental, seorang pengarang hendaknya keluar dari wilayah subjektif, tempat ia menulis. Hal ini dimaksudkan agar ia terhindar dari proses elitisme puisi yang membuat puisinya hanya sanggup dipahami oleh komunitas tertentu sekaligus terbatas dipemahami oleh kelompok yang lain. “Matinya subyek” seperti ini sangat diperlukan agar puisi tidak sepenuhnya terikat pada wilayah kepengarangan seseorang tetapi hidup dan membangun dunianya sendiri dalam diri pembaca. Puisi transendental tidak hanya mengajak kita untuk mencermati kenyataan tetapi berusaha menciptakan kemungkinan munculnya realitas baru yang lebih kreatif, inovatif, dan menyentuh keprihatinan sosial.
Bukan hal baru jika hampir semua surat kabar nasional selalu menyediakan rubrik sastra yang umumnya terbit rutin setiap hari Minggu. Yang menjadi keprihatinan publik saat ini yakni adanya anggapan bahwa puisi kini telah kehilangan “sengat”nya. Hal ini diperparah lagi dengan semakin menghilangnya minat orang utnuk membaca puisi. Bagi sebagian orang, membaca puisi dianggap sebagai pemborosan waktu bahkan memusingkan kepala karena perlu ditafsir terlebih dahulu. Kenyataan seperti ini memang ada dan yang lebih mengejutkan lagi yakni sikap itu justru dilestarikan. Jika dicermati secara mendalam, dapat kita temukan bahwa alasan mendasar dari semuanya ini adalah lemahnya minat membaca. Karena itu peranan pendidik dan lembaga pendidikan guna membentuk komunitas pencinta, penafsir, dan pencipta puisi di sekolah sangat urgen. Dengan demikian, ramalan kebanyakan orang tentang teralienasinya status puisi dari dunia sastra dapat dihindari secara lebih dini.
Komentar
Seperti anah panah
Puisi adalah anak panah yang meluncur dari busur imajinasi di tangan sang penyair....anak panah itu dibidikkan ke suatu sasaran baik itu berupa orang, kelompok, penguasa, pacar, lawan politik, realitas kehidupan sehari-hari, atau lin gkungan.....puisi itu memiliki mata, bergerak mencari sasarannya sendiri....siapa yang tertembus hatinya maka dia lah yang menikmatinya!
Beni Guntarman
Puisi: Isyarat dari Hati yang Tercekik
Betul sekali,,, ketika menulis, saya temukan aneka manusia berdarah ditikam oleh anak panah itu. Entahlah, itu darah kita ataukah darah kata-kata
Tulis komentar baru