Oleh: Zuarman Ahmad* (dalam Riau Pos, 3 Nov 2013)
ADA satu nama yang mengabadikan nama Ediruslan, yakni Kampus Akademi Kesenian Melayu Riau Ediruslan Pe Amanriza, di komplek Bandar Serai. Sekarang akademi itu naik statusnya menjadi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) yang beralih kelola dari Yayasan Pusaka Riau ke Yayasan Sagang. Apakah nama kampus itu masih memakai nama Ediruslan? Jawabnya adalah tidak. Kenapa? Karena gedung itu sudah rata dengan tanah.
Kenapa nama Ediruslan (alm) perlu disebutkan pada tulisan ini? Pertama, selain ia seorang novelis Indonesia asal Riau; beberapa novelnya memenangkan sayembara mengarang novel oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Taufik Ikram Jamil (secara kompetitif berlomba-lomba untuk menjadi pemenang), dan kemudian novel Tusiran Suseno (alrmarhum) mengikuti jejak kedua orang ini; ia juga seorang penggiat teater di Riau, pengarang cerita-pendek dan puisi; menjadi Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) dan anggota DPRD Riau.
Kedua, ketika menjadi anggota DPRD inilah (karena sedikit ‘berkuku’) pikirannya bersama-sama seniman-seniman ternama Riau lainnya menggagas untuk menjadikan kawasan purna MTQ menjadi pusat kebudayaan dan kesenian Melayu Riau, dan cita-cita luhur itu diamini oleh Saleh Djasit selaku Gubernur Riau pada waktu itu. Dan, kemudian berdirilah gedung kesenian yang sekarang bernama Anjung Seni Idrus Tintin yang berdiri ‘sombong’ di tengah-tengah kawasan Bandar Serai (dulu kependekan Seni Raja Ali Haji) adalah juga gagasan Ediruslan bersama-sama seniman dan budayawan Riau lainnya. Sayang, Edi tidak dapat melihat gedung yang digagasnya itu karena keburu meninggal-dunia. Dan, kalaupun ia masih hidup pasti sangat kecewa dengan ‘perlakuan’ gedung yang diberi nama Anjung Seni Idrus Tintin itu, yang seakan-akan nampak megah dari luar – rancak di lebuh.
Kenapa pulakah halnya dengan Anjung Seni Idrus Tintin itu? Sebelum membicarakan Anjung Seni Idrus Tintin ini, elok terlebih dahulu membincangkan komplek Bandar Serai. Kenapa? Karena, sekarang, beberapa gedung di komplek Bandar Serai ini sudah almarhum –hilang– punahranah, seperti gedung Bangsal Kiambang, Gedung Ediruslan Pe Amanriza Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), dan beberapa anjungan seperti anjungan Batam, anjungan Tanjungpinang, anjungan Kota Pekanbaru, dan Anjungan Bengkalis yang ketika itu masih memakai arsisektur mengacu ke bentuk Istana Siak. Dan karena ‘pemusnahan’nya itu tidak secara alamiah, maka patutlah ditangisi. Lain halnya kalau beberapa ikon kebudayaan dan sebagian laman tempat bermain seniman pada komplek Bandar Serai itu punah-ranah karena dimakan rayap atau termakan usia, tidaklah pantas untuk ditangisi. Peristiwa ini mungkin dapat dibidalkan seperti teori vandalism, yakni: Berharap kakap di laut, bilis di belangan dicampakkan. Berharap PON dapat membangkit marwah Riau, laman bermain kebudayaan diporakporandakan. Hasilnya? Kakap di laut tak dapat-dapat, bilis di belanga pun dihembat kucing, mmm… peeh.
Sekarang, saatnya membincangkan Anjung Seni Idrus Tintin. Apa pula pentingnya? Ada beberapa teori dan pilosofi yang menunjang pentingnya ‘’laman bermain seniman’’ ini. Sajak sajak Psappho (penyair Yunani lahir di pulau Lesbos, 570 SM) masih ada sampai sekarang meskipun bangunan-bangunan kuno Yunani sudah hancur, meskipun sebagian puisinya yang terkenal telah banyak yang hilang. Jacques Derrida dan Milan Kundera mengemukakan bahwa meskipun pengalaman akal merupakan pengalaman diri sendiri, tetapi sifatnya tetaplah relatif belaka. Karena itu kedua orang hebat ini menawarkan pemikiran-pemikiran baru sebagai ‘pengetahuan’ baru bagi dunia yang relatif itu. Seniman pencipta, sebenarnya berada dalam usaha di locus (tempat) yang disebutkan oleh Derrida dan Kundera itu. Seni yang dicipta bersama ‘pengetahuan’ baru itu sebagian besar dilahirkan di gedung seperti Anjung Seni Idrus Tintin itu. Karena itu juga gedung seperti itu dapat juga disebut sebagai ‘pusat’ kesenian yang hakiki.
‘Pusat’ kesenian seharusnya bertolak dari tawaran Derrida dan Kundera tentang pemikiran ‘pengetahuan’ baru itu, jika tidak penciptaan kesenian itu menjadi biasa-biasa saja, refetitif (pengulangan), tidak menjadi pemikiran ‘pengetahuan’ yang baru. ‘Pusat’ kesenian tidak hanya sekadar banyaknya jumlah kesenian (kuantitas), atau ramainya penampilan (event) kesenian yang diadakan maupun diraikan, akan tetapi akan menjadi tempat mata dan telinga senantiasa menuju (focus) dan sebagai bujanggi zamannya, sebagaimana halnya kabah ‘semacam’ pusat religious umat Islam, walaupun ‘hati’ secara makrifat merupakan ‘pusat’ religious yang hakiki, namun dunia kesenian adalah dunia nyata, dan bukan dunia fiktif, walaupun dasar pikiran untuk menciptakannya dimulai dari konsep ‘dunia’ fiktif imajinatif.
Pekanbaru, Riau, yang ‘diimpikan’ atau dihajati (?) sebagai ‘pusat’ kesenian Melayu di Asia Tenggara, jika dihitung dari penampilan atau pera’ian atau banyaknya seni yang diciptakan, sudahkah menjadi ‘pusat’ kesenian? Harus ada penelitian atau catatan yang menyatakan tentang hal itu, dan penelitian atau catatan pada kesenian yang berada di luar Pekanbaru, Riau, sehingga ada data yang nyata (pasti dan jelas) yang kemudian menjadi suatu kesimpulan. Jika tidak, beberapa penciptaan kesenian saja ‘seperti’ yang ditawarkan Derrida dan Kundera itu lahir, akan menjadi ‘pusat’ kesenian (tempat mata terus tertuju) yang sesungguhnya, yakni pemikiran-pemikiran ‘pengetahuan’ baru, yang kemungkinan besar ‘sekali lagi’ akan lahir di gedung seperti Anjung Seni Idrus Tintin.
Sekarang apa masalahnya? Pertama, Anjung Seni Idrus Tintin itu belum selesai pekerjaannya, terutama tidak adanya AC (Air conditioning). Sebagai ilustrasi, paling kurang ada dua gedung kesenian di Indonesia tempat seni puncak ditampilkan, yaitu Gedung Kesenian Jakarta TIM dan Sasono Langen Budoyo Taman Mini Indonesia Indah ( TMII Jakarta). Seniman yang sudah pernah ‘nampil’ di kedua gedung ini akan tahu bahwa, ketika GR dan pertunjukkan akan terasa sejuk dan nyaman, dan seyogianyalah Anjung Seni Idrus Tintin yang sekaliber dengan kedua gedung itu fasilitasnya sama (selesai pengerjaannya). Sekarang, usahkan AC itu dipikirkan akan ada (entah oleh siapalah), sound system di dalam Anjung Seni Idrus Tintin itu mulai rusak, dan kalau ditanyakan kepada semua penampil yang pernah mengadakan pertunjukkan di dalam gedung itu taklah pernah merasa puas — merutuk.
Masalah yang kedua, semenjak dibangunnya Anjung Seni Idrus Tintin itu, tidak pernah dibentuk Badan Pengelola (BP). Ada usul seorang sahabat seniman pegawai negeri, bahwa pihak pemerintah (mungkin ditunjuk seseorang untuk berkantor berserta beberapa orang stafnya di Anjung Seni Idrus Tintin) dan seorang ketua Badan Pengelola dari pihak seniman, yang juga beberapa staf bidang musik, teater, tari, sastra, lukis, untuk bersama-sama mengelola gedung ini. Tugas seseorang kepala beserta stafnya dari pihak pemerintah adalah untuk memfasilitasi (hardware), dan tugas ketua pengelola dan staf dari pihak seniman sebagai pengisi seni (software), sehingga dalam satu tahun sudah ada kalender pertunjukkan seni ‘bermutu’ yang akan tampil di Anjung Seni Idrus Tintin itu; sebagaimana pepatah ‘’Bersatu kita teguh, berserai kita runtuh’’.
Pada segala itu, sebagai renungan, Milan Kundera mengingatkan kita pada ‘tanda-tanda’ dan ‘pencarian’ bagi penciptaan kesenian: ‘’Qui se cherchent agrave; travers la memoire des vieux signes’’. Yaitu, ‘’Siapa yang mencari lebih jauh; akan menempuh ingatan-ingatan tentang tanda-tanda kuno.’’ Karena itu, marilah kita berpikir (paling kurang memikirkan) untuk mencari lebih jauh, jika tidak, kita akan menunggu kehancuran hardware dan software Anjung Seni Idrus Tintin itu, lamat, lamat-lamat. Oleh itu, wahai Ediruslan, maafkanlah, karena ketidak-berdayaan ini.
*) Zuarman Ahmad, Seniman Pemangku Negeri (SPN) Zuarman Ahmad, adalah musisi, arranger music, composer, dirigent, dosen musik STSR, penerima Anugerah Sagang 2009, dan sejumlah anugerah seni lainnya
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/11/anjung-seni-idrus-tintin-nasibmu-kini.html
Komentar
Tulis komentar baru