Oleh: M. Yoesoef, M.Hum.
Senin, 21 Oktober 2013 14:56 | |
Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40 naskah sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu Teater Koma. Satu hal yang menjadi ciri khas dari karya-karya Nano Riantiarno adalah menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan kelas sosial menengah bawah, kendati ada juga karyanya yang menampilkan kelas sosial atau penguasa. Tampilnya kalangan kelas sosial menengah bawah tersebut secara dominan pada sejumlah karyanya mengindikasikan keberpihakan pengarang terhadap nasib dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum marjinal tersebut. Karya Nano Riantiarno yang ditulis tahun 1970-an dan empat di antaranya meraih penghargaan sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (1972, 1973, 1974, dan 1975), tahun 1980-an ia menulis kurang lebih lima drama opera dan saduran dari penulis dunia seperti Bertolt Brecht, Friederich Durennmat, tahun 1990-an menyadur cerita rakyat Tionghoa “Sampek dan Engtay”, “Opera Sembelit”, dan tahun 2000-an ia lebih banyak membuat novel. Karya-karya dramanya itu menunjukkan sebuah perjalanan ideologi pengarang yang tidak dapat dipisahkan dari motivasinya untuk menyoroti permasalahan yang mengemuka pada masanya.
Kajian dalam makalah ini pada dasarnya menyoroti nilai-nilai ideologis pengarang yang tersirat maupun tersurat dari sejumlah karya tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah sosiologi sastra yang berkaitan dengan pengarang, teks, dan konteks sosial pada masa karya itu ditulis atau dipertunjukkan. Karya sastra merupakan dokumen sosial yang memuat pikiran, harapan, dan kritik pengarang (dan juga masyarakat secara kolektif) terhadap situasi zaman.
Dengan memahami karya-karya sastra drama yang ditulis Nano Riantiarno diperoleh sebuah pemahaman tentang persoalan orang-orang kecil yang bergumul dengan kehidupan metropolitan Jakarta. Karya-karya itu juga dapat dilihat sebagai indikator adanya berbagai masalah sosial-politik-budaya Indonesia pada masanya.
PENDAHULUAN
Dalam kurun waktu tahun 1970-an disebutkan oleh Jakob Sumardjo sebagai masa keemasan terater modern Indonesia. Sebutan yang dilansir oleh Jakob Sumardjo itu dilandaskan pada tumbuhnya grup-grup teater, yang sebagian besar dibidani oleh Dewan Kesenian Jakarta melalui kegiatan tahunan berupa Festival Teater Remaja Jakarta. Di samping itu, grup-grup teater seperti Bengkel Teater Yogya, Teater Populer, Teater Lembaga, Teater Mandiri, Teater Kecil, Teater Saja, Teater Koma, dan Studi Teater Bandung menjadi trend setter melalui karya-karya drama yang dipentaskannya. Masa keemasan itu juga didukung oleh tradisi penulisan sastra drama yang menunjukkan trend baru dibandingkan dengan tradisi penulisan sastra drama pada dekade-dekade sebelumnya. Goenawan Mohamad dalam sebuah artikelnya dalam buku Seks Sastra Kita (1980) mengungkapkan bahwa pada penciptaan karya Kapai-Kapai, Arifin C. Noer bersamaan dengan proses latihannya, sehingga naskah itu dinyatakan selesai sesaat menjelang pertunjukan. Bahkan, tidak jarang menjelang pertunjukan perubahan-perubahan pada naskah masih terus berlanjut. Apa yang dikemukakan Goenawan Mohamad itu salah satu keunikan yang terjadi pada masa tahun 1970-an. Dalam pada itu, Dewan Kesenian Jakarta menggiatkan penulisan sastra drama melalui Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara yang kemudian menelurkan sejumlah penulis baru sastra drama dan tidak kurang dari 50 naskah drama telah terseleksi melalui sayembara itu. Salah satu di antara penulis yang karya-karyanya terseleksi dan kemudian sejak tahun 1980-an hingga kini banyak menulis karya-karya bergaya opera dan mementaskan bersama grup teaternya adalah Nano Riantiarno.
Nano Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini tidak kurang dari 40 naskah sastra drama yang telah dibuatnya dan dipentaskan oleh grup teater binaannya, yaitu Teater Koma. Satu hal yang menjadi ciri khas dari karya-karya Nano Riantiarno adalah menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan kelas sosial menengah bawah, kendati ada juga karyanya yang menampilkan kelas sosial atas atau penguasa. Tampilnya kalangan kelas sosial menengah bawah tersebut secara dominan pada sejumlah karyanya mengindikasikan keberpihakan pengarang terhadap nasib dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum marjinal tersebut. Karya Nano Riantiarno yang ditulis tahun 1970-an dan empat di antaranya meraih penghargaan sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (1972, 1973, 1974, dan 1975), tahun 1980-an ia menulis kurang lebih lima drama opera dan saduran dari penulis dunia seperti Bertolt Brecht, Friederich Durennmat, tahun 1990-an menyadur cerita rakyat Tionghoa “Sampek dan Engtay”, “Si Jin Kwie”, “Kenapa Leonardo”, dan tahun 2000-an ia lebih banyak membuat novel. Karya-karya dramanya itu menunjukkan sebuah perjalanan ideologi pengarang yang tidak dapat dipisahkan dari motivasinya untuk menyoroti permasalahan yang mengemuka pada masanya.
BEBERAPA KARYA POPULER NANO RIANTIARNO
Debut pertama Nano Riantiarno dalam penulisan sastra drama ditandai dengan karyanya “Rumah-rumah Kertas” (1972). Satu per satu karyanya lahir melalui Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta. Satu karyanya berjudul “Matahari Sore Bersinar Lembayung” (1972) mendapat penghargaan dalam sayembara itu, kemudian, tahun 1973 karyanya “Tali-Tali”, dan pada tahun 1974, yaitu “Malam Semakin Kelam” memperoleh hadiah pemenang harapan, tahun 1975 karyanya “Lingkaran Putih” dan “Maaf Maaf Maaf” Sejak itu, karya-karyanya tidak tampil melalui sayembara itu, tetapi ia memfokuskan pada pengembangan grupnya menjadi sebuah grup teater profesional dengan mementaskan karya-karyanya yang semakin memperlihatkan gaya dan kekhasan Nano Riantiarno, seperti pada “Opera Primadona” yang mengisahkan kehidupan anak wayang dalam kelompok sandiwara tahun 1920-an pada masa jayanya Opera Dardanella di Surabaya atau Miss Riboet’s Orion di Jakarta.
Era tahun 1980-an, Nano Riantiarno mulai menulis sastra drama dengan model serial yang menampilkan tokoh Julini dalam “Bom Waktu”, “Opera Kecoa” dan “Opera Julini”, dan trilogi republik (Republik Togog, Republik, Bagong, dan Republik Petruk). Pola demikian sudah dilakukan oleh Arifin C. Noer dengan serial Orkes Madun dengan tokoh Waska sebagai perekat antarkarya. Tokoh Julini mewakili tokoh kelas bawah yang marjinal dari segi seksual, marjinal dari segi sosial, dan marjinal dari segi kehidupan. Serial Julini inilah yang mengukuhkan Nano Riantiarno sebagai penulis sastra drama bergaya opera. Memang bukan karya opera sebagaimana lazimnya (cakapan-cakapan antartokoh sepenuhnya dinyanyikan dengan iringan music dan gerak). Karya-karya Nano ini masih mencampurkan antara cakapan, nyanyian, musik, dan gerak. Eksperimen pertunjukan yang dilakukan oleh Nano Riantiarno dalam serial Julini ini merupakan hasil studinya dengan karya-karya opera epik model Bertolt Brecht, yang ia eujudkan juga dalam karyanya “Opera Ikan Asin” yang merupakan saduran dari karya Bertolt Brecht “The Three Penny Opera”. Sukses dengan saduran itu, ia semakin intens dengan model opera epik itu dan lahirlah karya-karya seperti “Sandiwara Para Binatang” (George Orwell), “Sampek dan Eng Tay”(cerita klasik Tiongkok). Sejumlah karya penulis dunia lainnya ia pentaskan, antara lain “Kunjungan Nyonya Tua” (Friederich Durennmat), “Mengapa Leonardo”. Dalam hal menyikapi perkembangan sosial politik di tanah air dalam dekade ’80 dan ’90-an, ia menuangkan kritik dan tanggapannya melalui karya-karya antara lain “Semar Gugat”, “Suksesi”, “Konglomerat Burisrawa”, “Opera Sembelit”, dan “Wanita-wanita Parlemen”.
SIKAP KEPENGARANGAN NANO RIANTIARNO
Menyimak sejumlah karya Nano Riantiarno tersebut, hal yang menarik untuk ditelaah adalah sikap di balik pemilihan karya-karya penulis dunia dan penciptaan karya-karyanya itu yang disuguhkan kepada masyarakat untuk diapresiasi melalui pertunjukan Teater Koma. Intuisi seorang pemerhati, yang juga pernah menjadi wartawan media massa, tertuang dalam karya-karyanya itu. Setidaknya, dari kaca mata studi sosiologi sastra, sikap pengarang mewakili pula pandangan dunia masyarakat atau kelas sosial sang pengarang itu. Dalam hal itu, tidak tertutup pula adanya unsur-unsur ideologis yang berafiliasi pada pandangan partai politik, ideologi masyarakat perkotaan, ideologi berlandaskan keagamaan, ketradisionalan, dan paham-paham kritis kaum pascamodernisme yang berpikir global.
Nano Riantiarno, sebagai penulis sastra drama sekaligus sutradara, menunjukkan pandangan dunia yang dapat dikatakan multidimensional. Dimensi pertama yang terlihat dari sejumlah karya-karyanya adalah dimensi keindonesiaan (lokal), yang sarat dengan kekayaan budaya tradisional, dipakai sebagai media untuk menampilkan gagasan-gagasannya. Idiom-idiom wayang yang sudah lekat dengan pengetahuan kolektif masyarakat Indonesia dipakai sebagai pengait (hook) yang efektif untuk melontarkan sikap-sikap kritisnya tentang konstelasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik di Indonesia. Dalam “Semar Gugat”, misalnya, Nano Riantiarno menampilkan betapa Semar sebagai tokoh penting dalam dunia pewayangan harus kehilangan makna karena terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Secara ekonomi, nama tokoh itu dipakai untuk merek dagang, seperti Batik Semar, atau salah satu nama kuliner khas Jawa, yaitu ‘semar mendem’. Secara politik, tokoh itu dipakai untuk legitimasi kekuasaan, sehingga muncul sebuah lakon wayang carangan ‘Semar Mbabar Jati Diri’. Dalam konteks drama karya Nano, tokoh Semar menuntut jati dirinya yang “tercemar” oleh kooptasi tersebut. Semar adalah Ismaya adalah lambang kesuburan, keprihatinan, sang pamong yang adil, bijaksana, dan rendah hati. Tokoh-tokoh pewayangan adalah ladang subur bagi Nano Riantiarno. Ia menjadi sumber penciptaan yang tak pernah kering, karena pribadi dan lambang-lambang di balik para tokoh itu sudah mapan. Burisrawa, misalnya adalah tokoh yang penuh angkara untuk berada di posisi kekuasaan. Karakter tokoh ini dipandang cocok untuk menjadi tokoh sentral dalam drama “Konglomerat Burisrawa”. Burisrawa sendiri dalam pewayangan merepresentasikan karakter kasar dan suka tertawa. Ia tergila-gila kepada Dewi Wara Sembadra. Di tangan Nano Riantiarno, tokoh ini menjelma sebagai konglomerat yang serakah, terobsesi dengan kekayaan, dan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan termasuk menyogok para pejabat. Jelas dari situ Nano Riantiarno melalui drama ini sedang menyoroti perilaku bisnis para konglomerat yang memiliki megabisnis. Dunia pewayangan yang kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang tinggi menjadi berdaya kembali melalui karya-karya Nano Riantiarno. Dari hal itu, generasi muda metropolitan yang notabene kurang akrab lagi dengan idiom-idio tradisional semacam wayang, seolah diperkenalkan kembali kepada tokoh-tokoh pewayangan itu, kendati tidak secara utuh. Misalnya, siapa tokoh-tokoh punakawan itu dan bagaimana sifat-sifat mereka masing-masing. Punakawan bukan saja Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng, tetapi diperkenalkan pula siapa Togog, Bilung, Limbuk, dan Cangik.
Dimensi kedua adalah dimensi mendunia (global), yaitu ditunjukkan melalui karya-karya khazanah sastra dunia yang disadurnya ke dalam situasi dan suasana keindonesiaan (lokal). Perkawinan dua dimensi itu tak urung melahirkan sebuah wacana baru dalam kehidupan teater modern Indonesia dan tradisi penulisan sastra drama di Indonesia. Kendati perkawinan itu bukan sebuah kebaruan sama sekali dalam tradisi seni pertunjukan di Indonesia. Transformasi cerita-cerita epos Mahabarata dan Ramayana dari tradisi dan ajaran keagamaan Hindu ke tradisi dan ajaran Islam (dan kejawen) merupakan salah contoh akulturasi melalui kesenian yang justru memperkaya khazanah budaya masyarakat Indonesia. Demikian pula pada karya adaptasi yang diciptakan Nano Riantiarno, seperti “Sampek dan Eng Tay” yang tragis sekaligus romantik dan “Sie Jin Kwie” yang menampilkan sosok pahlawan. Keduanya merupakan khazanah cerita rakyat Tiongkok. Drama epik Bertolt Brecht, the Threepenny Opera disadur menjadi Opera Ikan Asin yang bermain di Batavia tahun 1925. Kisah kongkalikong antara penjahat dengan polisi yang saling menguntungkan menjadi salah satu permasalahan dalam drama ini. Selain itu, dikisahkan pula bagaimana penjahat itu mampu mempengaruhi pihak penguasa sehingga ia bebas dari jerat hukuman mati. Bahkan menjadi wakil rakyat yang terhormat pada masa itu (Volksraad). Konsep drama epik Brecht dengan efek alienasinya tidak menjadi penting lagi di tangan Nano Riantiarno. Penonton tidak diarahkan untuk berjarak dan bersikap kritis terhadap realitas panggung (sesuai dengan konsep drama epik Brecht), tetapi penonton disuguhi sebuah tontonan kocak dan menghibur. Tontonan yang kocak dan menghibur itulah salah satu ciri keberhasilan Nano Riantiarno dari setiap karya dan pertunjukannya. Dalam hal itulah, karya-karya Nano Riantiarno menjadi sebuah wacana yang mengingatkan kembali bahwa akulturasi lokal-global yang mampu memberikan pencerahan dan membuka kreativitas yang sangat luas.
Dalam hal sikap kepengarangan Nano Riantiarno sebagaimana direpresentasikan melalui karya-karyanya tersebut dapat ditemukan 1) sikap peduli kepada masyarakat kelas bawah; 2) mengadopsi konsep tontonan yang humoris dan menghibur; 3) kritis terhadap fenomena sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berkembang di masyarakat; 4) pemanfaatan potensi khazanah budaya global dan lokal yang dimanfaatkan untuk mengusung gagasan-gagasannya dalam setiap karyanya.
NILAI-NILAI IDEOLOGIS PADA SASTRA DRAMA KARYA NANO RIANTIARNO
Konseptualisasi sikap kepengarangan Nano Riantiarno sebagai telah dikemukakan di atas merupakan pencerminan nilai-nilai ideologis yang dianutnya. Dalam hal itu, sikap tersebut menjadi landasan sekaligus nilai-nilai yang menunjukkan satu pendekatan ideologis Nano Riantiarno, yaitu ia memandang bahwa masyarakat memerlukan seorang “pahlawan” yang mampu menyampaikan dan merepresentasikan sikap dan pikiran-pikirannya terkait dengan berbagai isu sosial dan politik. Lakon “Republik Petruk”, “Republik Bagong”, dan Republik Togog”, misalnya, adalah tiga karya Nano Riantiarno yang tidak lain merupakan representasi wong cilik yang berkesempatan menjadi pemimpin/penguasa. Kisah-kisah itu sendiri diambil dari cerita wayang “Petruk Jadi Raja” yang bergelar Prabu Petruk Belgeduwelbeh Tongtongsot. Kisah itu sendiri adalah tentang pemimpin dadakan yang sesungguhnya tidak memiliki kapasitas dan kualitas sebagai seorang pemimpin, tetapi tindakannya ternyata melampaui kepatutan dan kekuasaan seorang pemimpin. Ia menjadi sangat otoriter, menghalalkan segala cara, dan memanfaatkan kedudukannya untuk kepuasan dan kepentingan diri sendiri yang lazim kita sebut sebagai 'aji mumpung'. Kejelian Nano Riantiarno menggarap kekayaan cerita wayang dan karakater tokoh wayang dalam karya-karyanya itu dapat diasosiasikan sebagai sikap keprihatinan dan kegeramannya terhadap perilaku oknum pemerintah dan pebisnis di Indonesia. Hasilnya adalah masyarakat yang muak dan kecewa, tetapi tidak memiliki cukup sarana untuk meluapkan dan menyalurkan opini dan persepsinya karena fasilitas untuk itu terkooptasi oleh kepentingan oknum-oknum tersebut. Pahlawan-pahlawan itu berasal dari kalangan rakyat, orang kecil, yang diharapkan dapat mengerti aspirasi, kebutuhan, dan pola pikir rakyat. Akan tetapi, pahlawan itu ternyata menjadi makhluk asing yang tidak dikenal oleh masyarakatnya sendiri. Mereka bukan 'satria piningit' atau 'ratu adil' yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sudah lama didambakan. Pemilihan tokoh-tokoh pewayangan tersebut di dalam karya-karya Nano Riantiarno memposisikan keberpihakannya pada moral-moral luhur yang diwujudkan melalui cerita-cerita dan karakter wayang.
Di sisi lain, Nano Riantiarno melalui karya dramanya menunjukkan sikap yang berafiliasi pada ideologi kesenian populer yang adiktif. Pengemasan pertunjukan hibrid dari sejumlah unsur seni ditambah dengan kemasan humor-humor dalam bentuk sentilan merupakan “politik oposisi” sederhana dan upaya pembongkaran terus-menerus atas ideologi-ideologi dominan yang tengah bekerja. Karya-karya Nano Riantiarno adalah sebuah fiksi populer, sebagaimana fiksi-fiksi populer lainnya (novel), sebagai ruang spesifik yang mengarahkan pembaca/penonton untuk melakukan distraksi (pengalihan) dari kenyataan sekaligus mengalami kontradiktif terhadap kenyataan itu sendiri. Pada trilogi opera Julini, pembaca/penonton disuguhi tokoh banci (Julini) yang berarti pada karya itu ada isu tentang seksis yang secara ideologis mempertajam kategori gender menjadi tiga, yaitu pria, wanita, dan banci (wadam). Pribadi-pribadi banci itu dalam realitasnya, di satu sisi menimbulkan persoalan sosial dan di sisi lain—sebagai manusia, pribadi—mereka mempunyai hak untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus dipandang sebagai orang yang memiliki kelainan kepribadian. Hal itu sejalan dengan maraknya persoalan kaum homoseksual di mancanegara yang menuntut pengakuan kesamaan hak, bahkan dalam perkawinan.
Karya-karya Nano Riantiarno sejak tahun 1970-an hingga 2000-an dapat dikatakan sebuah rangkuman ideologis yang menonjol pada waktu itu, yaitu kemiskinan; ketidakberdaayaan secara social, politik, budaya; kekuasaan dan praktik main kuasa; modernitas dalam hal gaya hidup, pandangan kritis tentang gender dan feminisme.
KESIMPULAN
Kreativitas Nano Riantiarno sebagai seorang penulis drama, sutradara, dan pemimpin grup Teater Koma sejak tahun 1970 hingga kini menunjukkan pencapaian prestasi yang sulit ditandingi oleh penulis dan sutradara lain di Indonesia. Produktivitasnya bersastra dan berteater menempatkan ia sebagai seniman yang berdedikasi tinggi. Karya-karyanya memiliki multidimensi dalam hal pertunjukan, permasalahan yang diangkat (tematik), dan kepeduliannya kepada gejala-gejala sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Di samping itu, dalam hal manajemen pertunjukan, Nano Riantiarno membawa grupnya ke arah grup teater profesional dengan jumlah hari dan penonton yang senantiasa bertambah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Elam, Keir. 1980. The Semiotics of Theatre and Drama. New York: Methuen & Co. Ltd.
Esslin, Martin. 1976. An Anatomy of Drama. New York: Hill and Wang.
Riantiarno, Nano. 2004. Opera Kecoa. Yogyakarta: Matahari.
--------------------- 2005. Maaf, Maaf, Maaf: Politik Cinta Dasamuka. Jakarta: Gramedia.
--------------------- 1995. Semar Gugat. Yogyakarta: Bentang.
--------------------- 1998. Opera Sembelit. Jakarta: Balai Pustaka.
--------------------- 1999. Opera Ikan Asin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Storey, John. 1996. Cultural Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods. Athens: The University of Georgia Press.
Sumber:
Komentar
Tulis komentar baru