RESENSI NOVEL
Judul : GET MARRIED
Penulis : Ninit Yunita
Penyunting : Tri Liliani Ulfa
Penata Latak : Yanto
Penulis Skrip : Musfar Yasin
Desain Sampul : Starvision
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : Pertama, 2007
Harga Buku : Rp 19.500,-
Tebal : iv + 150 hlm; 11,5 x 19 cm
ISBN : 979-780-172-1
SINOPSIS
Mae, Beni, Guntoro, dan Eman adalah empat sahabat. Lahir bareng, tumbuh besar sama-sama; senasib, sependeritaan, sepenanggungan. Hampir seluruh waktu mereka dihabiskan bersama, dengan formasi lengkap. Sampai pada suatu hari, kewajiban sejarah diturunkan pada Mae.
“Sebagai anak tunggal, kamu punya satu kewajiban sejarah terhadap keluarga.”
“Kewajiban sejarah? apa itu, Pak?”
“….”
“….”
“Kamu harus nikah.”
“HA?”
Namun, beberapa kali gagal dalam pencarian menantu, Ibunda Mae sakit keras. Mae pun memutuskan, untuk menyelamatkan sang ibu, salah satu dari sahabatnya harus menikahinya. Jika Tuhan selalu menciptakan segala sesuatu berpasangan, siapa yang akan jadi jodoh Mae?
Empat orang sahabat, Mae, Beni, Guntoro, dan Eman terlahir secara bersama di sebuah praktek Bidan Zainab. Mereka tumbuh bersama-sama, sekolah bersama, bermain bersama, di samping itu mereka juga memiliki nasib yang sama, sependeritaan, dan sepenanggungan. Penyebabnya juga sama, sama-sama gagal mewujudkan cita-cita. Hanya saja cita-cita yang mereka miliki tidak sama.
Waktu mereka masih kecil, Mae bermimpi jadi polwan hanya berhasil menyelesaikan sarjana sekretaris. Beni bermimpi untuk jadi petinju hanya selesai kursus singkat budidaya pisang. Guntoro bermimpi untuk menjadi pelaut besar yang ingin pergi berkelana jauh mengelilingi dunia seperti Ibnu Batuta namun ia hanya bisa menyelesaikan kursus komputer. Berbeda dengan Eman yang punya mimpi menjadi seorang dokter, tapi karena ia mengalami buta warna, maka ia bermimpi menjadi politisi, namun ia dipaksa ibunya menjadi seorang kyai lantaran ibunya sangat ngefans sama Aa Gym. Kegagalan mencapai cita-citanya masing-masing membuat mereka frustasi.
Kedua orangtua Mae terus mendesak Mae untuk mencari kerja, namun kekerasan hati Mae yang ingin jadi polwan membuatnya tidak menggubris desakan kedua orangtuanya. Hal ini membuat kedua orangtuanya bermaksud menikahkan Mae dan mencari jodoh untuk Mae.
Satu per satu laki-laki berdatangan untuk bertemu Mae, namun setelah keluar dari rumah Mae dengan isyarat yang diberikan Mae, yakni kalau ia menerima laki-laki itu, ia mengibarkan bendera berwarna hijau, namun jika sebaliknya Mae mengibarkaan bendera berwarna merah. Maka setiap laki-laki yang mendapat bendera merah dari Mae akan dikerjai oleh ketiga sahabatya sehingga tidak berani lagi untuk kembali.
Suatu hari Mae kedatangan tamu lagi dan ketiga sahabatnya sudah siap menanti perintah Mae di tempat yang telah disepakati, namun karena hampir tiga jam menunggu di sana membuat Beni dan Guntoro bosan dan meninggalkan Eman yang buta warna di situ dengan pesan apabila Mae mengibarkan bendera merah segera memberi tahu mereka.
Ternyata buta warna yang dialami Eman kali ini membuat masalah baru. Mae yang mengibarkan bendera hijau ternyata dianggap Eman sebagai bendera merah dan segera menemui kedua sahabatnya untuk member tahu kalau mereka harus membereskan orang yang bertamu ke rumah Mae. Namun tanpa di duga Mae malah senang dengan laki-laki yang bernama Rendy itu, namun apa mau dikata semua sudah terjadi dan laki-laki yang bernama Rendy tidak pernah kembali.
Melihat hal yang demikian, kedua orangtua Mae mengunjungi seorang dukun untuk menanyakan Mae. Malah dukun itu mengatakan bahwa Mae disukai makhluk halus.
Lama kelamaan, ibunda Mae jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit, ketika Mae menjenguknya, ibunda Mae selalu mengucapkan kata meninggal membuat Mae semakin takut hingga Mae memutuskan untuk menyampaikan maksudnya kepada sahabatnya kalau diantara sahabatnya harus ada yang menikah dengannya demi menyelamatkan ibunya.
Ketiga sahabatnya meminta waktu untuk berfikir dan member tahu orangtua mereka, namun satupun di antara orangtua mereka tidak ada yang setuju. Karena merasa bersalah, salah satu di antara mereka akhirnya memberanikan diri dan memaksa orangtuanya untuk melamar Mae. Secara spontan, ibunda Mae sembuh. Ketika acara lamaran berlangsung, Rendy yang sudah memantapkan niatnya untuk melamar Mae setelah mendapat lampu hijau dari orangtuanya, namun betapa kecewanya Rendy saat dia mendengar bahwa Mae yang dicintainya akan menikah dengan Beni dua minggu lagi.
Mendengar hal itu, rendy mengumpulkan teman di tempat tinggalnya untuk menyerang perkampungan tepat di hari pernikahan Mae dan Beni dengan dalih balas dendam Boby, bodyguard Rendy yang pernah digebuki masyarakat sekampung.
Pada saat ijab Kabul pernikahan Mae dan Beni berlangsung, seorang warga menyampaikan kalau kampong mereka diserang oleh orang perkampungan perkampungan elit. Mendengar hal itu, Mae dan Beni segera bangkit dan bergabung membela kampong mereka beserta semua laki-laki yang sedang menyaksikan pernikahan Mae dan Beni. Tanpa sengaja, mae memukul orang yang selama ini dirindukannya, Rendy. Mae segera meminta tawuran dihentikan dan mengajak Rendy ke rumahnya. Melihat kebahagiaan Mae ketika bertemu Rendy, Beni yang hampir menikah dengan Mae dengan berjiwa besar menyerahkan Mae kepada Rendy untuk menikahi Mae. Pernikahan mereka dilaksanakan bulan depan.
UNSUR INTRINSIK
Tema
Dalam novel adaptasi yang berjudul Get Married karangan Ninit Yunita ini mengetengahkan tema persahabatan. Persahabatan yang memiliki latar belakang yang sama. Lahir di hari yang sama, tumbuh besar bersama, senasib, sependeritaan, dan sepenanggungan.
Sebuah novel yang boleh dikatakan unik dengan empat tokoh yang sama, hampir tidak ada yang membedakan mereka. Sama-sama gagal meraih cita-cita meskipun cita-cita mereka berbeda-beda. Kegagalan yang membuat mereka sama-sama frustasi.
Mae gagal jadi polwan, Beni gagal jadi petinju, Guntoro gagal jadi pelaut, dan Eman gagal jadi dokter dan politisi.
Penokohan
Novel adaptasi yang berjudul Get Married tulisan Ninit Yunita tersebut memiliki penokohan sebagai berikut:
- Mae : Gadis tomboy yang gagal jadi polwan, memliki watak keras kepala,, setia kawan dan cerewet.
- Guntoro : Laki-laki yang gagal jadi seorang pelaut berwatak lugu dan setia kawan.
- Beni : laki-laki pengangguran yang gagal jadi seorang petinju berwatak humoris, suka mengejek, dan setia kawan.
- Eman : Laki-laki pengangguran yang burta warna dan gagal menjadi seorang dokter dan politisi, humoris, lugu, suka menggoda, dan setia kawan.
- Rendy : Laki-laki kaya dan tampan dari permukiman elit, berwatak cerdas, tenang, penyayang, dan penyabar.
- Bu Mardi : Ibunda Mae, berwatak ambisius, cerewet dan bawel.
- Pak Mardi : Ayah Mae, berwatak ceplas-ceplos, cerewet, penyayang dan pemarah.
Alur
Novel adaptasi yang berjudul Get Married tulisan Ninit Yunita ini disajikan dalam alur maju. Dengan alur maju, novel adaptasi ini terasa segar bagi pembaca dan hadir dalam kondisi pemahaman yang cukup sederhana sehingga memudahkan pembaca untuk memahami seperti apa akhir cerita ini.
Meski alur maju ini tidak disajikan dalam bentuk kronologis yang sangat detail namun cerita ini masih mengacu pada prinsip menuju sebuah kahir yang tidak kaku dan jelas bagi pembaca kalau cerita ini tidak memuat hal-hal yang tidak bisa diterima oleh pembaca. Artinya ada kelogisan dari cerita ini sehingga menhilangkan tanggapan negative dari novel ini.
Latar
Novel adaptasi yang berjudul Get Married tulisan Ninit Yunita ini disajikan dengan latar di daerah Jakarta Timur, sebuah perkampungan dengan segala tata letak perkampungan kumuh yang tersebar diseluruh kota besar sebesar Jakarta. Namun, latar cerita ini sangat mendukung pada alur cerita. Ada hubungan yang konkrit antara latar dengan alur cerita sehingga membuat novel ini sangat spesifik dalam bentuk penyajian.
Sajian-sajian cerita dalam novel ini akan mengantar kita pada pemahaman yang sangat konkrit tentang perkampungan di tengah kota besar. Sudah barang tentu, perkampungan yang berada di tengah kota besar seperti Jakarta akan membuat tata letak kota menjadi sembrawut.
Kemudian latar waktu dalam novel ini disajikan secara singkat namun jika dikronologiskan hampir mencapai 21 tahun, yakni sejak keempat tokoh tersebut dilahirkan pada hari yang sama, kemudian sampai tokoh Mae menikah dengan tokoh Rendy.
Sudut Pandang
Dalam novel adaptasi ini, pengarang, Ninit Yunita menggunakan sudut pandang orang ketika. Penggunaan sudut pandang dapat terlihat dari penampilan tokoh yang digunakan oleh pengarang dengan menyebutkan nama tokoh satu per satu, bukan kata ganti.
Penggunaan sudut pandang orang ketiga tunggal ini dilakukan pengarang karena pengarang sendiri ingin memberikan wacana yang luas kepada pembaca dalam memahami novel ini, namun pemahaman tersebut bukanlah pemahaman yang ganda. Artinya, sudut pandang ini merupakan cerminan bagi pembaca bahwa pengarang ini bersifat demokratis terhadap para tokoh ceritanya.
Amanat
Melalui novel adaptasi yang berjudul Get Married ini, pengarang ingin menyampaikan sejumlah pelajaran berharga bagi pembaca, di mana pelajaran itu disampaikan secara implisit atau secara samar dan hal ini sangat dibutuhkan kejelian pembaca dalam memahaminya dan menarik kisah ini pada kehidupan pembaca. Adapun sejumlah pelajaran yang dapat kita petik dari novel ini adalah sebagai berikut:
- Setiap kita haruslah selalu mendengarkan nasehat orangtua, karena nasehatnya selalu membawa kita pada kebaikan dunia dan akhirat.
- Harga persahabatan adalah di atas segalanya, karena dengan bersahabatlah kita akan semakin kuat menjalani kehidupan yang sebenarnya penuh tantangan.
- Menjadi diri sendiri adalah lebih baik daripada kita memaksakan diri menjadi orang lain sementara kita malah tersiksa karenanya.
UNSUR EKSTRINSIK
Latar Belakang Pengarang
Ninit Yuita adalah seorang istri bawel, yang menikah dengan seorang suami yang disebutnya gila, dengan nama Adhitya Mulya, namun di sisi lain ia menyebut suaminya sebagai rumah terindahnya. Putranya bernama Aldebaran Rahman Aditya yang disebutnya sebagai buah hati belahan jantung. Dia menyayangi keluarganya. Saat ini pengarang bermukim di Singapura. Memiliki situs pribadi dengan nama www.istribawel.com.
Keadaan Sosial Daerah
Novel adaptasi yang berjudul Get Married yang berlatar di Jakarta Timur ini, tepatnya di sebuah perkampungan yang bisa dibayangkan bagaimana sebuah perkampungan untuk kota sebesar Jakarta.
Keadaan perkampungan ini, meskipun terletak di daerah perkotaan, namun yang namanya kampong masih tetap memiliki tata letak sesuai dengan tata letak perkampungan pada umumnya. Jejeran rumah yang tentunya tidak teratur, rapat, dan sumpek. Keadaan masyarakat perkampungan yang homogeny tentu saja menjadi khas perkampungan tersebut.
Tata letak social kemasyarakatannya masih menganut budaya yang kental, namun perkampungan zaman sekarang agaknya nilai-nilai budaya yang layaknya terus dipertahankan tentunya sudah tergeser dengan arus modernisasi yang terjadi di setiap sendi kehidupan. Memang hal ini tidak dapat dipungkiri, modernisasi juga telah melanda daerah perkampungan yang tidak saja terletak di sekitar kota sebesar Jakarta. Bahkan sampai ke pelosok pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian pun telah tersentuh modernisasi. Sehingga kekentalan budaya, tata krama, dan lain sebagainya telah pula ikut tergeser.
Seni Budaya
Dalam novel ini, seni budaya tidaklah begitu ditonjolkan karena mengingat cerita dalam novel ini yang telah mengacu kepada modernisasi kehidupan seperti yang kita bicarakan di atas. Jika pengarang masih mendeskripsikan tentang seni budaya dalam novel ini, sangatlah kedengaran bertentangan dengan tujuan utama dari novel ini tadi. Kita sangat tahu betul, sebuah daerah memiliki seni kebudayaan masing-masing, namun bukanlah ini proporsi penceritaannya. Hal ini terjadi, karena pengarang terlalu focus menentukan sikap dalam menyampaikan cerita, sehingga tidak memberikan ruang gerak untuk seni budaya mencampurinya.
Padahal jika pengarang menyisipkan dalam dialog para tokoh tentang kesenian dan budaya tempat mereka tinggal sebenarnya tidaklah menjadi hal yang besar dalam menyampaikan novel ini, karena dengan menyisipkan hal-hal tentang seni kebudayaan suatu tempat, berarti pengarang lebih membantu pembaca untuk menentukan ke arah mana pembaca mengarahkan khayalannya di saat membaca buku ini. Namun hal ini tidak begitu diperhatikan pengarang, sehingga novel ini hanya cocok untuk dinikmati sebagai penghibur semata, tidak ada ilmu yang didapatkan dengan membaca novel ini selain member tahu kepada pembaca bahwa kehidupan perkampungan di tengah kota sebesar Jakarta, ya seperti itulah adanya.
Sosial Politik
Sama halnya dengan seni budaya daerah, sosial politik juga tidak pernah disinggung pengarang dalam novel ini, kerena mungkin ketertarikan pengarang dalam membaurkan hal tersebut ke dalam novel sangatlah negatif. Padahal, jika saja pengerang mencampurkan hal ini tentu akan sedikit lebih menarik, karena dengan demikian, secara tidak langsung sebenarnya pengarang telah menambah jumlah nilai konsumen yang akan membaca novel ini, karena kehidupan masyarakat selalu berkaitan ke sana. Di mana kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat, penderitaan rakyat, tentunya bersumber dari bagaimana politik itu dimainkan oleh para politisi suatu negeri, karena para politisi itu sangat erat dengan sejumlah program yang tentunya akan bersinggungan dengan kehidupan masyarakat.
Kemasyarakatan
Dalam novel adaptasi ini, peran serta masyarakat perkampungan tersebut telah memberi gambaran kepada kita semua bahwa kehomogenan masyarakat perkampungan akan memberi dampak terhadap perkampungan itu sendiri. Tidak banyak pandangan tentang kemasyarakatan yang dibeberkan pengarang dalam novel ini. Keterbatasan pembeberan ini sebenarnya akan mempersempit keinginan masyarakat untuk membaca novel ini sehingga novel ini menjadi tidak relevan dalam pasar bacaan Indonesia, apalagi minat baca di kalangan masyarakat Indonesia itu relatif tidak ada. Apalagi, novel ini telah pernah difilmkan ke layar lebar dan sampai saat ini masih tayang di televisi dalam bentuk The Movie.
Pandangan Hidup
Dalam novel adaptasi ini, pengarang melalui para tokohnya menyampaikan pandangan hidupnya kepada pembaca seperti dua paragraf di bawah ini:
Setiap manusia pasti pernah bermimpi. Mimpi indah pasti membuat orang terus tersenyum ketika mengingatnya saat terjaga. Mimpi indah bisa membuat hari seseorang bergairah. Penuh semangat. Kesuksesan seseorang bahkan bisa berawal dari sebuah mimpi.
Mimpi buruk, selalu ingin cepat dilupakan oleh siapapun. Bisa membuat hari kelabu. Membuat jiwa seseorang terbebani. (hal.12)
Pandangan hidup pengarang di atas tentang mimpi dan cita-cita, hal ini bisa dijadikan pembaca sebagai motivasi untuk mengejar mimpinya pula. Sebuah mimpi harus diwujudkan dan inilah yang dijadikan pemicu untuk mewujudkannya.
KOMENTAR
Novel adaptasi dari film yang berjudul sama yang ditulis sesuai dengan skenario yang ditulis oleh Musfar Yasin ini mengetengahkan persahabatan empat orang manusia, dimana keempat orang yang bersahabat dalam latar belakang yang sama. Hal ini cukup unik dan mungkin inilah yang menjadi penarik dan nilai tambah dalam novel ini.
Namun walaupun demikian uniknya, ditengah masyarakat Indonesia yang minat bacanya jauh di bawah rata-rata, novel ini sebenarnya tidak begitu diminati oleh masyarakat karena novel ini telah difilmkan ke layar lebar dan telah ditayangkan dalam bentuk The Movie. Tentu saja hal ini membuat masyarakat tidak tertarik dengan novel ini.
Dari segi bahasa, novel ini cukup memasyarakat, karena pemilihan kata dan pemakaian bahasa yang digunakan oleh penulis sangatlah dekat dengan kehidupan masyarakat. Tidak ada istilah-istilah asing di sini, istilah daerah yang digunakanpun telah banyak dikenal oleh masyarakat luas yang sifatnya umum.
Dari segi tampilan buku, cover novel ini memang cukup menarik dan sesuai dengan judul, namun tampilan isi agaknya kurang menarik dan membingungkan pembaca karena adanya bagian-bagian yang terkadang tidak sesuai dengan cerita sebelumnya, tidak sesuai dengan cerita selanjutnya atau bahkan tidak sesuai dengan ceritanya sendiri.
Novel adaptasi ini agaknya cocok dibaca oleh anak usia sekolah lanjutan atas hingga usia di atasnya, karena bacaan ini lebih mengarah kepada hal-hal yang dibutuhkan oleh seseorang dalam mempersiapkan pernikahan. Orangtua juga cocok membaca novel ini karena novel ini memberikan pengajaran-pengajaran kepada orangtua tentang menentukan pasangan hidup anaknya.
Komentar
Tulis komentar baru