REPUBLIKA.CO.ID, Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang cinta dengan keindahan. Ini sama seperti sifat Allah yang indah dan mencintai keindahan. Tentu keindahan dalam berbagai bentuk dan manifestasinya. Termasuk, keindahan dalam bertutur kata.
Keindahan berucap dan bertutur kata tersebut, antara lain, dimiliki oleh para pujangga, sastrawan, atau apa pun namanya. Mereka diberikan anugerah oleh Allah kemampuan dan keahlian untuk merangkai kata-kata menjadi indah dan berisi. Kandungan makna yang dalam pada bait puisi, syair, atau karya sastra lainnya begitu mengena di benak para pembaca dan penikmatnya. Dan, itu melampaui dimensi waktu.
Para pujangga dan sastrawan itu telah mengekalkan namanya lewat karya-karya yang dihasilkan. Meskipun mereka telah wafat berpuluh-puluh tahun lalu, karyanya masih bisa kita nikmati saat ini. Namanya pun akan tetap abadi. Sebut saja, misalnya Raja Ali Haji, lewat “Gurindam Dua Belas”. Karya yang diciptakan pada 23 Rajab 1263 Hijriyah atau 1847 Masehi tersebut sampai kini masih dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Coba kita simak gurindam pasal pertama karya pujangga kelahiran Pulau Penyengat Riau tersebut. “Barang siapa tiada memegang agama/ sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama/ Barang siapa mengenal yang empat/ maka ia itulah orang ma’rifat/ Barang siapa mengenal Allah/ suruh dan tegahnya tiada ia menyalah/ Barang siapa mengenal diri/ maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari/ Barang siapa mengenal dunia/ tahulah ia barang yang terpedaya/ Barang siapa mengenal akhirat/ tahulah ia dunia mudarat”.
Pada gurindam pasal kedua, makna yang dikandung juga sangat mendalam. “Barang siapa mengenal yang tersebut/ tahulah ia makna takut/ Barang siapa meninggalkan sembahyang/ seperti rumah tiada bertiang/ Barang siapa meninggalkan puasa/ tidaklah mendapat dua temasya/ Barang siapa meninggalkan zakat/ tiadalah hartanya beroleh berkat/ Barang siapa meninggalkan haji/ tiadalah ia menyempurnakan janji.
Raja Ali Haji adalah salah satu dari sekian sastrawan dan pujangga yang dimiliki Indonesia. Masih banyak pujangga lain yang karya-karyanya begitu abadi dan dikenang hingga kini. Lewat goresan penanya, mereka telah menebar kebaikan dan dakwah kepada umat. Mereka tak ubahnya seperti dai, ulama, atau penceramah yang menyampaikan nilai-nilai agama lewat pidato dan ceramah-ceramah. Hanya saja medium yang digunakan beda, yaitu karya sastra.
Karya yang semacam ini sering disebut sebagai sastra Islam atau Islami. Sampai sekarang memang belum ada definisi baku tentang sastra Islam. Pun, dengan istilah Islam dan Islami yang melekat pada karya sastra tersebut.
Menurut pengamat sastra Liaw Yock Fang, beragam permasalahan mengenai makna sastra Islam. Belum jelas makna sastra Islam itu, apakah sastra yang mendukung nilai Islam ataukah sastra yang mengacu pada Alquran dan hadis. Ataukah, sastra yang mengungkapkan ketauhidan. Namun, Liaw memaknai sastra Islam secara sederhana, yakni sastra mengenai Muslimin dan segala amal saleh. Ia mengutip pendapat Roolvinck yang membagi sastra Islam menjadi lima jenis, yakni cerita Alquran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Rasulullah, cerita pahlawan Muslim, dan sastra kitab.
Sedangkan Helvy Tiana Rosa, pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), menegaskan perbedaan antara sastra Islam dan Islami. Baginya, sastra Islam itu luas maknanya dan jangan disempitkan. Ketika membawa kebaikan universal, itu sudah bernuansa Islam. Tapi, jangan salah membedakan antara sastra Islam dan Islami. Sastra Islami merupakan yang bersifat Islam. Seperti, Kahlil gibran. Dia orang Kristen dari Lebanon, tapi puisinya bersifat Islami. Maka, karya-karyanya bisa disebut sastra Islami.
Tapi, kalau sastra Islam, menurutnya, ini yang harus dikawal, perlu wawasan keislaman untuk menulisnya. Kalau sekadar Islami, sifat-sifat Islami itu universal. Misalnya, menepati janji, tepat waktu, ramah kepada orang lain, juga ajaran Islam. Namun, terlepas dari perbedaan definisi dan istilah, yang jelas sastra merupakan medium dakwah yang cukup efektif. Jika dimanfaatkan, karya sastra bisa membawa pencerahan dan jalan hidayah bagi banyak orang.
Dan, yang menggembirakan, kegairahan anak-anak muda dan para penulis pemula saat ini untuk menekuni dakwah lewat sastra ternyata sangat besar. Indikatornya adalah munculnya banyak karya sastra, baik puisi, cerita pendek (cerpen), dan novel yang lahir dalam beberapa tahun terakhir.
Beberapa di antaranya cukup fenomenal. Salah satunya adalah sosok Habiburrahman El-Shirazy. Penulis muda Indonesia lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, itu berhasil meraih penghargaan terbaik di tingkat Asia Tenggara untuk sederet karyanya. Antara lain, Ayat-Ayat Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih (KCB) 1 dan 2, Dalam Mihrab Cinta (DMC), Bumi Cinta, dan Cinta Suci Zahrana (CSZ). Karya tersebut dibaca luas tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Komentar
Tulis komentar baru