Hendrawan Nadesul
Kalau di negara maju masyarakat berkesenian hanya sekitar 10 persen dari populasi, berapa yang kita harapkan tumbuh di tengah masyarakat kita? Berapa porsi untuk seni sastra?
Karya sastra dianggap sebagai cermin masyarakat. Bagi kita karya sastra modern sesungguhnya mewakili segmen masyarakat yang mana? Apakah sastra kita hanya berpihak kepada kalangan yang tak mampu saja pada ketika porsi masyarakat melek huruf kita sudah lebih dari separo populasi. Bagi yang menerima novel pop sebagai karya sastra juga, karya Marga T, Mira W. atau Eddy D. Iskandar agaknya lebih mewakili strata menengah generasi muda kita. Lalu siapa yang mewakili kegelisahan para konglomerat, penguasa dan masyarakat elite kita kalau dulu kita mengenal ada sastra istana, misalnya.
Kesadaran kita bersastra membawa kita kepada perenungan untuk apa kita berkarya sastra? Adakah memadai saja kepuasan kita belaka setelah katarsis merasakan kegelisahan kita sendiri. Bisakah kerja bukan warisan naluri begini membuat kita bertahan menulis terus seperti kebutuhan makan, karena kehidupan bersastra perlu rangsangan yang agaknya harus dirancang bangun sejak kita kecil. Padahal tradisi apresiasi sastra kita harus diakui sangat miskin, sehingga kepedulian masyarakat elite kita terhadap dunia sastra wajar saja kalau terasa acuh. Majalah sastra Horison kita hidup-matinya terkesan tanpa dibela masyarakat, karena sastra belum dirasakan sebagai komoditi batin sebagaimana disadari oleh kebanyakan masyarakat maju. Tidak berlebihan jika perasaan kita tetap, bahwa dunia sastra kita masih dilecehkan.
Kebutuhan kita akan sastra memang harus dibentuk, dan bukan dilahirkan begitu saja. Untuk itu perlu rancang bangun. Politik kesenian kita perlu berubah. Kurikulum kesusastraan seyogyanya memadai dan digarap serius. Jika tidak kita akan terus menyaksikan kehidupan membaca anak didik kita berpihak kepada bacaan-bacaan yang kurang gizi batin dan menolak bacaan sastra karena tidak dikondisikan sejak kecil.
Sudah waktunya kita menggeser kecintaan anak didik dan masyarakat kita dari pola reading habit kepada learning habit yang di dalamnya terkandung unsur memasyarakatkan sastra juga. Sejalan dengan itu penanaman kesusastraan di sekolah mestinya bukan terasakan sebagai kewajiban melainkan kesenangan. Bagaimana ini bisa terjadi banyak ditentukan oleh sikap dan kiat para guru kesusastraan, karena terbukti, dari guru yang apresiator lahir peminat bahkan pencipta karya sastra pada anak-anak didiknya.
***
Keprihatinan kita terhadap kehidupan sastra kita menjadi lebih keras jika benar anggapan bahwa sastra kita semakin terasing di tengah-tengah masyarakatnya yang mewarisi peradaban.
Tapi keprihatinan semacam itu sepatutnya juga menjadi milik pemerintah agar masyarakat sastra kita tidak bertambah kerdil. Sastra juga mengemban fungsi sosial selain fungsi kultural bagi suatu bangsa. Apabila selama ini kita bisa prihatin terhadap kurangnya penanaman budi pekerti bagi anak didik kita, mengapa kita tidak sekaligus prihatin terhadap kehidupan kumaniora generasi terakbar dalam sejarah yang akan mewarisi peradaban luhur kita? Bukankah sastra juga mengasah citarasa seni yang tajam selain membentuk kehalusan perasaan sejati.
Sastra koran sebagai unsur pembela kehidupan sastra kita ketika Horison belum mempublik, perlu semakin memberikan kesempatan bagi sastrawan kita untuk lebih memasyarakatkan karya-karyanya. Dalam satu dasawarsa ini sastra koran semakin tergusur oleh kolom berita ekonomi, politik dan iklan yang dinilai lebih bisa dijual. Tanpa sikap idealisme pemilik perusahaan pers yang luhur terhadap kehidupan sastra, sastra koran semakin tersisih dan kehidupan sastra semakin teralienasikan.
Selain koran kita juga butuh penerbitan, karena hanya dengan cara demikian seorang penulis bisa tampil. Tapi konflik bisnis kebanyakan penerbitan kita memang masuk akal, karena pilihan menerbitkan buku sastra tetap menjadi pos yang merugi dibanding pilihan novel pop atau komik. Masuk akal pula sedikit sekali penerbit dari yang tak banyak menaruh kepeduliannya terhadap dunia kesusastraan, yang sudi dan rela subsidi silang untuk juga menerbitkan buku sastra, yang menjadi bagian dari tanggungjawab sosialnya bagi kehidupan sastra nasional. Penerbit Pustaka Jaya memelopori sikap begini. Tapi tanpa dibarengi oleh pemupukan apresiasi sastra di sekolah dan kurikulum kesusastraan tetap tidak kaya, daya ungkit memasyarakatkan sastra betapa kecil.
Kita masih beruntung karena memiliki orang seperti F. Rahardi, Eka Budianta dan Sori Siregar, untuk menyebut beberapa nama selain Korrie Layun Rampan yang tetap prihatin bagaimana terus-menerus bisa menampilkan karya sastra kita sendiri, potensi khasanah terpendam. Simak, umpamanya, kegiatan sastra di daerah-daerah yang tampil sederhana lewat buletin dan stensilan, yang mestinya mendapat dukungan penuh dari pihak Dewan Kesenian atau Kanwil Dikbud. Penerbit dengan orientasi begini, sebagaimana layaknya juga diterima Majalah Horison, sepatutnya mendapat perhatian lebih dari pihak pemerintah untuk ditopang.
Kehidupan sastra kita masih butuh mesenas. Jika pihak konglomerat bisa dipikat oleh citarasa sastra lewat pembacaan puisi musiman atau acara semacam itu, pintu itu sudah dibuka oleh Ibu Pertiwi Bob Hasan yang selama ini banyak mensponsori kegiatan sastra. Sastra masuk kantor atau masuk departemen sekarang bukan mustahil lagi. Gagasan Penerbit Puspa Swara meluncurkan buku antologi puisi Catatan Gunung Sahari, yang menampilkan seluruh karyawannya yang mau dan merasa bisa berpuisi, perlu ditradisikan pada semua kantor. Kita sering merasa kehilangan banyak saluran untuk bisa dengan longgar mengkatarsiskan segala bentuk kegelisahan batin. Menulis puisi tanpa pretensi untuk menjadi penyair memang bisa menjadi kran yang budiman.
Kita masih bisa melihat terbitnya buku-buku sastra di tengah-tengah gencarnya buku komik dan komputer dari penerbit-penerbit yang merasa ikut bertanggungjawab terhadap kehidupan sastra bangsanya. Kita harus bersyukur masih memiliki pihak-pihak yang memelihara dan menumbuhkan pusaka sastra kita. Karena kalau kita sebentar saja menyimak kegairahan sedikit kelompok anak-anak muda dari beberapa kota terhadap sastra, sesungguhnya harus dilihat bahwa merekalah asset bagi kehidupan sastra kita yang tetap lestari, tapi terabaikan.
Kegiatan sastra yang sporadis di beberapa kota selalu kalah gaungnya oleh apresiasi anak muda kita terhadap musik, misalnya, walaupun selalu harus dilihat tetap lebih bermanfaat ketimbang tidak ada. Pembacaan puisi di sekolah, di kantor, di departemen belakangan ini harus menggugah semua pihak bahwa kehidupan bersastra kita memang belum padam, yang perlu senantiasa dipupuk, karena merupakan bagian dari memasyarakatkan sastra juga, saya kira.
Untuk membina publik sastra inilah barangkali gagasan turba para sastrawan maupun kritikus sastra ke sekolah-sekolah perlu disambut. Mereka yang kita harapkan mampu menjembatani keterasingan untuk tidak menyebut “mercu suar” kesusastraan kita, sehingga kita tak perlu mendegradasi nilai-nilai kesusastraan dalam karya sastra siapa pun agar bisa pop untuk bisa diterima semua kalangan. Kita cuma ingin mengutip konsep memasyarakatkan sastra dengan hasil seperti yang dipikat musik dangdut tanpa mendangdutkan karya sastra.
Kita juga ingin agar karya sasta dirasakan sebagai hiburan bagi banyak orang, sekalipun konotasi menghibur di sini tidak identik dengan hiburan pasar yang hiruk pikuk. Kita perlu Mak Comblang yang mampu menjodohkan karya sastra kita yang membanjir dengan publik. Musikalisasi puisi, baca puisi dan puisi masuk kartu ucapan selamat, umpamanya, punya potensi untuk itu.
Peran guru kesusastraan harus didukung politik kesenian kita yang melihat pengajaran sastra cuma sebagai pelengkap di pinggir bahasa. Jika sastra di sekolah saja sudah terkucil dan nomer dua, bagaimana kita bisa mengharapkan masyarakat sastra kita tidak terus-menerus kerdil. Dari masyarakat sekolah, sejak TK mula, pengajaran dan kecintaan terhadap sastra, sudah harus dirancang bangun. Tradisi apresiasi sastra kita kebanyakan baru dimulai sewaktu remaja dan berakhir sesudah masuk perguruan tinggi. Panjangnya kecintaan terhadap sastra hanya tumbuh dari guru yang sungguh apresiator. Sebut saja S.N. Ratmana dan Piek Ardijanto untuk Tegal, Deddy Roamer PS untuk Bogor yang bisa menjelmakan karya sastra terkesan seenak musik.
***
Kita melihat masyarakat sastra kita ibarat bola salju yang tetap kecil karena kurang menggelinding. Kalau kita sadar bahwa masyarakat sastra adalah kita sendiri, para penyedia kolom kebudayaan di koran dan majalah, para penerbit buku sasta para mesenas sastra, mengapa tidak memulai peran itu sekarang. Dewan Kesenian sebagai salah satu unsur masyarakat sastra hanya bisa kita himbau agar bola salju masyarakat sastra yang sudah terbentuk akan semakin menggelinding dan bertambah besar, antara lain dengan memberikan perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sastra di pusat-pusat sastra, terhadap apresiator sastra, dan kesempatan lebih luas bagi sastrawan untuk hadir dan tampil.
Kita sebagai pencipta karya sastra, apa yang bisa kita lakukan selain mencipta? Karena kita juga kebanyakan merangkap sebagai wartawan, penerbit, mungkin kritikus, dan wakil dari dewan kesenian atau menduduki jabatan di pemerintahan, ada sisi yang bisa disisihkan untuk membantu agar bola salju masyarakat sastra kita tidak tetap kerdil.
Untuk apa kita menulis? Kita menulis apa? Ya, kita menulis kegelisahan kita sendiri. Selama kita bisa jujur pada kegelisahan kita sendiri, itulah universalitas realita milik kita dan milik semua orang yang berada bersama kita. Merekalah yang akan mengunyah dan menelan karya kita berkali-kali tanpa jemu dan merasa nikmat. ***
Komentar
Tulis komentar baru