Oleh: Teguh Puja
Sebagai tulisan yang menjadi awal di tahun 2014, kali ini kita akan bersama-sama mengupas dua tema, yang pertama mengenai teknik benchmarking dan Hipogram yang ada dalam studi sastra.
Seperti biasa, dalam seri proses kreatif, kita akan selalu memulainya dengan beberapa pertanyaan sederhana. Pertama, pernahkah mendengar kata “benchmarking” sebelumnya? Pertanyaan kedua, pernahkah sekali waktu atau dalam beberapa kesempatan, kamu merasa ketika setelah membaca sebuah tulisan, baik itu cerpen atau novel, dan setelahnya kamu memutuskan untuk menulis cerita baru, kamu tetap merasa seakan menulis dengan gaya yang tidak jauh berbeda dari buku yang sebelumnya telah kamu baca? Hingga pada beberapa hal, kamu merasa terpengaruhi, salah satunya dalam bentuk seperti dari cara bertuturnya penulis tulisan yang kita baca itu sebelumnya.
Istilah mengenai benchmarking ini sebenarnya cukup populer di beberapa ilmu tertentu, namun dalam kaitannya dengan menulis, benchmarking ini sederhananya adalah saat kita mencoba “mencari atau menetapkan acuan/pembanding saat menulis”. Teknik benchmarking ini sebenarnya lazim dilakukan oleh penulis-penulis baru, yang mulai mengawali dunia menulis. Teknik benchmarking ini akan sangat bermanfaat saat dipraktikkan di awal belajar menulis, karena semenjak seseorang memutuskan untuk melakukan benchmarking, penulis itu selain akan mulai belajar bagaimana menulis yang benar dan juga “kuat” dari tulisan-tulisan yang sudah ada, ia juga akan mulai tertuntut untuk mengembangkan sepenuhnya bagaimana gaya khas menulisnya nanti. Mengenai benchmarking ini, M. Fauzhil Adhim, dalam bukunya “Dunia Kata”, menganjurkan agar melakukan teknik ini dengan syarat:
Jika kamu memilih cara benchmarking, carilah tulisan yang benar-benar hidup dan mengalir. Tulisan yang hidup merangsang pikiran menjadi lebih aktif. Tulisan yang hidup juga menggugah inspirasi dan memancing munculnya insight (“Aha! Ini ide bagus”).
Ada ‘benchmarking‘ yang murni (sengaja) dan ada yang tidak. Yang murni itu, seperti yang sebelumnya dijelaskan. Ia memang dengan sengaja kita lakukan. Karena kita mencari perbandingan atau mencari ide-ide baru yang mungkin bisa didapat dari bacaan-bacaan lain. Benchmarking murni ini sebenarnya bagus, karena saat kita memilih satu penulis untuk kita jadikan acuan menulis kita. Kita akan dengan fokus mempelajari cara menulisnya, bagaimana cara dia bertutur ketika memaparkan idenya, bagaimana cara dia membuat konfliknya menuju klimaks, dan bagaimana cara dia memberikan resolusi dalam tulisannya, dll. Meskipun seperti itu, satu yang harus dijadikan pondasi sejak awal: kita tidak melakukannya untuk semata-mata “meniru”-nya. Karena bagaimana pun, bila kita terlampau sering atau malah hanya terpaku pada benchmarking ini saja, itu akan menghilangkan kreativitas dan justru melemahkan imajinasi yang kita punya.
Selain itu, ada benchmarking yang tidak murni. Ketika kita membaca satu bacaan tertentu, dengan interaksi yang intens dengan buku-buku khusus dari satu pengarang tertentu. Pelan-pelan, secara tidak sadar, kita “tidak sengaja” akan terpengaruhi oleh gaya menulisnya.
Misal, jika saya kerap membaca cerita pendek buatan Edgar Allan Poe yang ditulisnya dengan gaya dark romanticism-nya itu. Setiap cerita pendeknya tentu akan saya perhatikan benar. Lalu karena sudah berulang-ulang membaca tulisan Poe. Pelan-pelan, gaya bertutur saya ketika menulis, kurang lebih akan terasa seperti Poe. Unintentionally happened. Gaya bercerita, plot yang biasanya ditulis, konflik yang dibuat dan diangkat. Seperti terbayang-bayang dalam pikiran kita ketika menulis. Hingga akhirnya, seakan-akan, we write as similar as what we read.
Mengapa itu bisa terjadi? Itu semua memungkinkan terjadi apabila kita memang terlalu intens membaca satu karya tertentu (dari penulis tertentu) dalam waktu yang berdekatan. Untuk menghindari itu, ada baiknya, kita memang sebisa mungkin tetap berusaha memperkaya bacaan yang kita pilih. Semakin banyak kita membaca, selain memberikan kita sudut pandang yang menarik di setiap tulisan yang kita baca. Kita juga menjadi terbiasa untuk menjadi lebih peka dengan gaya menulis dan tema yang diangkat oleh kita nantinya.
HIPOGRAM DAN KONFLIK
Di bagian kedua dari tulisan ini, kita akan masuk ke pertanyaan selanjutnya: Pernah mendengar kata Hipogram? Kalau belum, Hipogram ini adalah salah satu terminologi yang ada dalam studi sastra. Dipopulerkan dan juga dibahas secara mendalam di buku yang ditulis Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry. Namun sebelum masuk ke penjelasan. Mari kita berbincang mengenai beberapa hal lain terlebih dahulu.
Pernahkah membaca Romeo and Juliet karya William Shakespeare atau Majnun Layla yang dipopulerkan oleh Nizami Ganjavi, penyair persia, beserta satu tulisan yang terkenal, Tenggelamnya Kapal Van de Wijck dari Buya Hamka? Ketiga cerita ini akan kita gabungkan dalam pembahasan mengenai Hipogram di kesempatan kali ini.
Kembali ke pertanyaan mengenai apa itu Hipogram. Hipogram adalah unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dll) yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya).
Mari kita mulai dengan kontroversi mengenai kesamaan antara Romeo and Juliet dengan Majnun Layla. Apakah William Shakespeare memplagiasi Nizami? Apakah apa yang ada dalam tulisan Shakespeare adalah catutan dari kisah Majnun Layla yang sudah terlebih dahulu lahir? Majnun Layla ditulis dan dipopulerkan oleh Nizami di kurun waktu abad ke 12 dan Romeo and Juliet menjadi perbincangan pada abad 17. Terpisah kurang lebih 500 tahun. Menurut beberapa orang, ada kecenderungan bahwa Shakespeare mungkin saja mencatut cerita Majnun Layla dalam tulisannya itu. Hal ini berdasar garis besar cerita yang diangkat keduanya, cerita Romeo and Juliet dengan Majnun Layla ini memiliki persamaan, yaitu mengenai cerita cinta yang tak sampai dan berujung pada kematian. Namun meskipun begitu, ada beberapa perbedaan yang juga tidak kalah penting untuk kita bincangkan sekarang.
Pertama, Romeo and Juliet berlatarkan di Verona, Italia. Majnun Layla, yang bertokohkan Qais dan Laila berlatarkan di Jazirah Arab. Sehingga budaya yang diangkat masing-masing penulis dalam cerita pun pasti berbeda. Kedua, tempat pertama kali Romeo dan Juliet saling jatuh cinta. Mereka berdua saling bertemu di acara ulang tahun Juliet. Sedangkan Qais dan Laila bertemu dan jatuh cinta saat bertemu di Majlis Ilmu (sekolah). Ketiga, kedua orangtua Qais meninggal dunia. Sedangkan kedua orangtua Romeo tidak demikian. Keempat, untuk mencegah pernikahan yang tidak diinginkan, Juliet meminum racun mati suri selama 2 hari. Sedangkan Laila dalam ceritanya, dinikahkan oleh orangtuanya.
Kita boleh berasumsi bahwa mungkin cerita Romeo and Juliet ini terinspirasi oleh karya yang terlebih dahulu ada, tapi apa serta merta kita akan menyebutnya sebagai plagiasi? Itu yang menjadi isu penting yang harus kita pikirkan.
Di kurun waktu yang lain, kita mengenal Buya Hamka yang menulis Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck beratus-ratus tahun setelah karya Majnun Layla dan Romeo and Juliet itu ada. Buya Hamka terkenal sangat pintar dan juga bisa membaca karya-karya yang berbahasa arab. Bukan hal yang aneh bila di kemudian hari, Buya Hamka menulis dengan dasar apa yang sudah dia baca. Meski begitu, kita harus pertimbangkan bagaimana cara bertutur Hamka ketika dia menulis keseluruhan cerita dalam TKVDW ini. Bagaimana setting dan konflik diangkat, dll. Jelas, bila pun ada kesamaan, kesamaan itu tidak bisa serta merta kita sebut sebagai plagiasi yang menyengaja.
Mengapa “kesamaan konflik cerita” seperti yang kita singgung di ketiga tulisan ini ada? Apakah benar memang ini karena plagiasi atau justru bisa kita lihat dari sisi lain? Padahal ketiga-tiga karya itu ditulis dalam kurun waktu yang berbeda, oleh penulis yang berbeda, dengan latar belakang sosial budaya yang juga berlainan. Mengapa hal seperti ini memungkinkan terjadi? Ada satu yang harus kita pertimbangkan terlebih dahulu. Fenomena/konflik yang lahir dari kisah cinta seperti yang menjadi premis utama di ketiga tulisan itu, dimana pun–meski tidak terjadi di satu tempat yang sama, akan selalu saja ada. Yang jatuh cinta, tentu bukan orang di pulau Jawa saja, di belahan dunia lain pun sama. Ada yang juga sakit hati dan memutuskan “menyerah” dan “bunuh diri”, dan itu tidak hanya terjadi di satu tempat saja. Kemungkinan itu terjadi di tempat-tempat lainnya pun sangatlah besar.
Kenapa kemungkinan kesamaan itu muncul? Karena, sejatinya, kita berbagi satu nilai universal yang sama. Ketika kita jatuh cinta, kita berbahagia dan merasa bersyukur karenanya. Ketika kita sedih, ekspresi kita pun sama, kita menangis. Hal-hal seperti itu adalah hal-hal yang sangat lazim. Maka tidak aneh kalau ada kesamaan ide cerita atau kesamaan-kesamaan tertentu yang bisa kita temukan dalam konflik yang mungkin diangkat masing-masing penulis tadi. Kalau mereka “mengangkat” dasar yang sama, “CINTA”, itu karena pada masing-masing mereka, di tempat mereka tinggal, ada konflik kehidupan yang sama.
Manusia punya emosi yang berbicara dengan ‘bahasa’ yang sama. Banyak hal umum yang lumrah terjadi di mana saja. Saat itulah, terpengaruh oleh lingkungan atau pengalaman yang hampir sama, dua atau lebih penulis yang tidak pernah bertemu, tidak pernah membaca karya satu dan lainnya, bisa jadi menulis karya yang hampir mirip satu sama lain.
Hipogram ada empat jenis. Yang pertama, ekspansi, kedua konversi, ketiga modifikasi, dan yang terakhir ekserp.
- Ekspansi, yakni perluasan atau pengembangan hipogram. Dari sebuah cerita, kita sengaja menambahkan beberapa bagian di sana-sini, namun masih dengan ide dasar, setting dan tokoh yang sama.
- Konversi, yakni berupa pemutarbalikan hipogram. Konversi berarti benar-benar mengubah cerita seratus delapan puluh derajat. Tak lagi mempertahankan unsur asli cerita.
- Modifikasi, yakni manipulasi kata dan kalimat atau manipulasi tokoh dan plot cerita. Jadi ada bagian yang kita ubah sesuai dengan kemauan kita, namun tak mengubah keseluruhan cerita seperti dalam konversi tadi.
- Ekserp, yakni intisari dari hipogram. Kebalikan dari ekspansi, kita justru ‘meringkas’ cerita menjadi lebih singkat dari aslinya.
Hipogram bisa digunakan sebagai salah satu teknik dalam menulis juga. Dengan menggunakan beberapa jenis hipogram tadi, kita bisa memilih bagaimana kita ingin menulis ulang satu cerita yang sudah ada, hingga menjadi bentuk yang benar-benar baru.
Untuk contoh mengenai hipogram ini, saya pernah menemukan dalam kumcer dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Malam Wabah dan Pada Suatu Hari“. Di dalam kumcernya itu, Sapardi melakukan beberapa modifikasi dan bahkan konversi dalam cerita yang ditulisnya.
Di dalam buku “Malam Wabah dan Pada Suatu Hari“, Sapardi mencoba “mendekonstruksi” cerita mengenai “Rama Shinta”, “Kancil” dan juga “Malin Kundang”. Bila sebelumnya kita mengenal dan mengetahui cerita Malin Kundang sebagai seorang anak durhaka yang dikutuk oleh Ibunya hingga menjadi batu, dalam tulisannya di kumpulan cerpennya ini, Sapardi “mengubah/melakukan modifikasi” di akhir ceritanya. Dalam ceritanya yang baru itu, Sapardi tetap menggunakan premis yang sama seperti di cerita versi pertamanya, namun setelah sampai di tahap Malin sadar dan ingin menunjukkan penyesalannya kepada Ibunya itu, Malin Kundang tidak jua mendapati keberadaan Ibunya, meskipun di seluruh desa tempatnya tinggal dulu setiap wanita tua sudah disapanya dan didatanginya. Hingga akhir cerita, Malin Kundang tidak juga mendapatkan ampunan dari Ibunya.
Dalam tulisannya tentang Kancil, Sapardi juga melakukan “modifikasi” seperti yang dilakukannya di cerita Malin Kundang, namun pada cerita “Kancil” ini, Sapardi mengubah sudut pandang pencerita/narrator-nya. Jika di dongeng/fabel yang kita tahu tentang Kancil sebelumnya itu, kita dapati Kancil adalah seorang penipu ulung yang selalu bisa terbebas dari jerat siapa pun yang ingin menangkapnya; dalam cerita Sapardi yang satu ini, Kancil justru menjadi tidak berdaya, karena ternyata “sang narrator” sudah memberitahu setiap tipu daya Kancil itu terlebih dahulu kepada Singa, Buaya dan Monyet yang pernah ditipunya di cerita-cerita versi awal yang kita pernah dengar/baca.
Sementara mengenai ekspansi/perluasan cerita itu, kita bisa lihat dari contoh Sulaiman/Solomon, yang diangkat oleh Jonathan Straud dalam prequel untuk trilogi Bartimaeus-nya. Cerita yang awalnya pendek, bisa dikembangkan sedemikian rupa hingga beratus-ratus halaman, tanpa mengurangi inti dari cerita yang sudah sebelumnya ada. Penambahan deskripsi yang memukau, dan juga penguatan masing-masing karakter, itu salah satu bentuk dari ekspansi.
Sedangkan ekserp adalah kebalikannya. Misalnya, kita bisa membuat cerita pendek dari kisah yang ada dalam Mahabrata dan Ramayana. Kita tahu bahwa Mahabrata dan Ramayana adalah buku epos atau wiracarita sastra Hindu klasik, tapi jika kita bisa meringkas salah satu bagiannya menjadi lebih pendek, itu kita sebut sebagai ekserp.
Keempat jenis hipogram di atas bisa kita aplikasikan dalam menulis. Pengetahuan yang mendasar mengenai cerita-cerita yang terdahulu, versi pertama, juga haruslah kita ketahui terlebih dahulu. Agar ketika kita menulis versi baru dari tulisan yang sudah ada itu, kita tetap berpijak dari apa yang memang ada.
Pada akhirnya, dalam semesta kepengarangan, cerita-cerita baru, dengan gaya bertutur yang baru, dan kreativitas yang masing-masing penulis punya, akan membuat cerita-cerita lama itu tetap menjadi langgeng dengan sendirinya. Namun, bagaimana pun, saat kita memposisikan diri sebagai pembaca, tentu hal-hal baru yang selalu ingin kita dapatkan setiap kali membaca. Maka, tugas kita saat berperan sebagai penulis, adalah tetap menampilkan dan berusaha sebaik-baiknya menawarkan tulisan terbaik kita.
Sebagai penutup, saya tampilkan satu kutipan yang luar biasa dari Sylvia Plath. “And by the way, everything in life is writable about if you have the outgoing guts to do it, and the imagination to improvise. The worst enemy to creativity is self-doubt.”
Mari tentukan apa yang akan kita lakukan ke depannya. Dan mari tetap menulis dan menginspirasi sesama dengan karya yang kita cipta.
Sumber: http://wholesketch.wordpress.com
Tulis komentar baru