Oleh: Teguh Puja
Ketika satu waktu, kita memutuskan untuk menulis sebuah cerita pendek, atau sketsa, dan juga novel. Akan sangat bermanfaat bila kita memulainya dengan menetapkan terlebih dahulu premis yang akan kita berikan kepada pembaca.
Pertanyaan yang kemudian muncul. Apakah itu premis? Seberapa penting premis itu dalam sebuah tulisan? Dan apakah iya dengan premis cerita atau tulisan yang kita buat bisa jadi lebih kuat?
Jawabannya akan kita ulas satu per satu. Apakah itu premis? Premis adalah ide sentral; ide pokok. Ketika kita menulis sesuatu, maka tulisan kita haruslah mengenai ‘sesuatu’. Sesuatu yang membuat penulis dan pembaca setidaknya bertanya: “apa yang akan terjadi bila…” Sesuatu yang menjadi pokok penting dalam cerita. Sesuatu yang membawa pembaca pada satu kesimpulan atau satu pemahaman yang kita inginkan mereka dapatkan.
Seberapa penting premis itu dalam sebuah tulisan? Seperti layaknya bangunan, setiap bangunan membutuhkan pondasi untuk menopang elemen-elemen lain di atasnya. Begitu juga dengan tulisan, premis adalah pondasinya. Dengan menetapkan ide sentralnya sejak awal, kita tidak akan kehilangan arah dan tujuan ketika menulis. Karena kita tetap bertahan dengan premis yang ingin kita hadirkan.
Lalu bila kemudian, ketika premis itu dituturkan dalam deskripsi dan narasi yang kita buat, meskipun mungkin ide sentral itu tidak langsung dipaparkan secara blak-blakan atau jelas di dalam tulisan, pembaca masih akan bisa menemukan keterkaitan ide yang kita bawakan.
Mari kita ambil beberapa contoh. Pernah membaca Harry Potter, karangan Joanne Kathleen Rowling? JK Rowling berhasil membuat perjalanan seorang Harry Potter sampai 7 seri. Apa premisnya? Kita bisa lihat, hampir di keseluruhan seri yang ditulis JK Rowling, itu merupakan cerita cara ‘bertahan hidup’-nya Harry Potter. Semenjak di seri awal, latar belakangnya Harry Potter sebagai seorang anak laki-laki yatim piatu yang pada usia sebelas tahun mengetahui bahwa ia adalah seorang penyihir, hidup dalam dunia biasa non-sihir, atau Muggle. Di dahinya, ada satu bekas luka, yang merupakan salah satu hal yang nantinya akan melindunginya dari serangan dan gangguan ketika ia mulai bertemu dengan musuhnya, Lord Voldemort, .
Inti cerita dalam novel-novel ini berpusat pada upaya Harry untuk mengalahkan penyihir hitam jahat bernama Lord Voldemort, yang berambisi untuk menjadi makhluk abadi, menaklukkan dunia sihir, menguasai orang-orang non-penyihir, dan membinasakan siapapun yang menghalangi jalannya, terutama Harry Potter.
Di setiap seri, dikisahkan bagaimana cara Harry Potter menjalani kehidupannya sembari ‘bertahan hidup’ dari semua rencana jahatnya Voldemort. Setiap seri tetap dengan premis utamanya itu. Perbedaan latar waktu dan latar tempat kisahnya berlangsung adalah bumbu-bumbu tulisannya; elemen lain, yang menjadi satu bersama sub tema-tema berbeda dalam seri yang ditulis JK Rowling, berkelindan dengan tema sentralnya. Ketika nantinya cerita mengenai Ron Weasley dan Hermione Granger bersama Harry Potter menyatu dengan sub tema-tema baru seperti persahabatan dan ikatan keluarga. Itu yang menambah menarik cerita yang kita baca.
Di buku lain, tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, akan kita temukan premis ceritanya, tentang cikal bakal sebuah bangsa bernama Indonesia. Proses cikal bakalnya itu Pramoedya tuturkan melalui karakter Minke beserta karakter-karakter lainnya dalam 4 seri. Setiap ceri tetap bercerita dengan mengambil pondasi premis tadi, perbedaan latar waktu dan tempat, itu yang membuat warna di tulisannya menjadi semakin kaya.
Mari kita lihat contoh lain, dengan film. Adakah di antara kalian pernah menonton Groundhound Dog, film lama, sekitar 1993. Apa premis dari film itu? Premisnya sederhana, dengan sebuah pengandaian yang ringkas. “Bagaimana bila kamu menjalani satu hari yang sama, yang tak pernah berganti, lagi dan lagi?”
Pertanyaannya ringkas dan provokatif. Satu ide cerita yang tentunya ‘layak’ dan ‘menantang’ kita untuk tetap menontonnya sampai akhir.
Ada beberapa cara untuk menentukan premis yang menarik untuk tulisan yang kita buat. Apa saja? Pertama premisnya harus kita buat ringkas dan cukup provokatif. Yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kecil muncul. “Bagaimana jika.. Bagaimana jika..”
.
Amanat
Lebih jauh dari itu, apakah premis sama dengan amanat? Dengan ‘value‘ atau nilai yang ingin diberikan kepada pembaca setelah semua tulisan itu selesai dibaca dan dinikmati. Bisa jadi, ya. Bisa jadi, tidak. Amanat adalah salah satu unsur intrinsik dalam sebuah tulisan, yang seringkali memang sengaja kita desain sebegitu rupa sebagai pesan/nasihat yang kita berikan sebagai pengarang kepada pembaca. Meski begitu, tidak semua amanat, bisa kita sebut sebagai premis/ide sentral/benang merah dari tulisan yang kita buat; karena bisa jadi itu hanya sub elemen dari premis yang kita buat.
Namun, dari beberapa tulisan sketsa yang saya pernah buat, amanat biasanya saya jadikan juga sebagai premis di tulisannya.
Ide-ide mengenai tulisan itu biasanya muncul dari pengandaian kecil seperti yang sudah kita singgung sebelumnya. “Bagaimana jika..” adalah hal pertama yang saya tanyakan kepada diri saya sendiri. Dan ketika akhirnya tulisan itu selesai, itulah interpretasi saya atas pengandaian kecil yang saya ajukan sebelumnya.
Di dalam tulisan ‘Mencium Kotoran‘, saya berandai-andai dengan satu pertanyaan sederhana, “Bagaimana jika saya mencium bau kotoran saya sendiri?” Apa yang saya dapatkan dari aktivitas seperti itu? Apakah ada pelajaran yang bisa saya dapatkan?”
Lalu kemudian jari jemari bermain dengan lincah di atas keyboard, dengan premis tadi, saya coba tuliskan apa yang saya pikirkan. Dan akhirnya selesailah tulisan itu mengenai sebuah bentuk muhasabah, ‘introspeksi diri’ untuk kesalahan-kesalahan yang sudah pernah kita lakukan.
“Pernah kau cium bau kotoranmu sendiri?” Aku mengulang pertanyaanku.
“Pernahkah aku mencium atau membaui kotoranku sendiri? Tanpa aku sengajakan itu, sepertinya tanpa sadar kita mencium baunya setiap kita buang air besar, kan? Apakah aku merasa jijik? Kupikir, rasanya biasa saja. Mungkin benar katamu. Aku sudah lumrah dan terbiasa dengan bau kotoranku sendiri. Sampai akhirnya, aku jadi tak ambil pusing lagi dengan baunya. Mengapa memangnya?”
Aku meluruskan posisi dudukku, tepat di hadapannya. “Mungkin seperti itu juga, ya, kita seringkali memperlakukan setiap kesalahan yang kita punya selama ini.”
“Maksudmu apa?”
“Sepertinya, tanpa sadar. Pelan-pelan, seiring berjalannya waktu, kita menjadi terbiasa, dan kemudian lupa dan akhirnya lumrah dengan bau kotoran kita sendiri. Padahal kita tahu, kotoran kita pasti baunya tak sedap. Sepertinya, seperti itu juga kita memperlakukan kesalahan-kesalahan yang kita punya. Saking terlalu sering kita berbuat jahat dan bermaksiat, kita jadi terbiasa, kemudian lupa dan akhirnya melumrahkan kesalahan kita sendiri.”
Temanku terdiam. Mulutnya tertutup, namun jari-jari tangannya seperti tak mau berhenti membuat suara di atas meja.
“Namun aneh, kala kita mencium bau kotoran orang lain. Hidung kita sepertinya sangat sensitif. Mudah sekali kita bersumpah serapah mengatakan apa saja untuk mengomentari kotoran orang lain. Mungkin itu juga yang akhirnya membuat lebih banyak dari kita mudah memprasangkai orang lain dan menjadi mudah mempermasalahkan orang lain. Sementara diri sendiri tampak kesulitan untuk melakukan muhasabah untuk menilai kesalahan yang telah kita kerjakan.”
Kedua bibir temanku terkatup. Tampaknya ia terkejut dengan semua pembicaraan yang diterimanya tiba-tiba. Aku menghentikan perbincanganku. Kemudian melangkah pergi meninggalkannya. Semoga saja ada sesuatu yang didapatkannya. | Mencium Kotoran
Begitu juga dengan tulisan berjudul ‘Zarah’. Pertanyaannya sederhana, “Bagaimana bila kini kita tengah berada di tengah perjalanan menuju hari peradilan?”
Di dalam ‘Zarah’, saya mencoba menulis premis dengan menuturkan skenario kecil yang ‘mungkin’ saja terjadi bila ada sebuah perbincangan kecil dari dua orang yang tengah berada di dalam ‘kereta’, menuju tempat peradilannya di hari akhir. Dan alasan mengapa ‘Zarah’ menjadi judul tulisan dan benang merah dari apa yang tengah diperbincangkan tokoh dalam ceritanya.
“Kita belum akan segera mencapai surga, kan? Karena ada hukuman yang tengah harus kita bayar tak lama lagi.”
Aku tak tahu harus menjawabnya dengan apa. Pun ketakutan dan kekhawatiranku sesungguhnya tak jauh berbeda dengannya. Di tengah perjalanan menuju pintu-pintu peradilan dariNya, kami tahu ini tidak akan menjadi mudah. Pun bila kemudian kami ingat lagi apa yang telah kami lakukan. Maka hanya penyesalan saja yang lebih banyak kami rasakan.
Di sepanjang perjalanan di alam barzah, beriring-iringan dengan kereta-kereta yang tengah mengantarkan kami ke hadapNya. Yang teringat hanyalah janji-janji yang sudah terlalu banyak teringkari. Janji untuk tetap beribadah dan menjadi hamba terbaiknya ternyata tak pernah bisa bertahan lebih lama. Segera setelah kefanaan dunia menjadi satu hal yang melenakan mata dan jiwa. Mulai tergugurkan semua janji yang pernah disimpan baik-baik dalam dada.
“Kau sudah siap dengan penghakiman dariNya?” Ia tiba-tiba bertanya.
Pandangan matanya tertuju kepadaku. Perlahan, meskipun terlihat penuh keragu-raguan. Ia berusaha bangkit dengan sisa-sisa keberaniannya menuju pintu yang berada tak jauh dari tempat duduknya, dan kemudian membuka satu per satu pegangan daun pintu di hadapannya. Ia melihat, dengan begitu jelas, semesta dunia di luar yang menyungkup ruang persidangan akan peradilan Tuhan atas kesalahan-kesalahannya. Mulutnya terkunci rapat. Ia tak lagi sanggup menutup matanya kembali sebab pikirannya terus menerawang, bertanya-tanya, tanpa tahu atas dasar apa.
“Kau sudah siap dengan penghakiman dariNya?” Aku berbalik bertanya kepadanya.
“Tak ada pilihan lain. Mungkin ini memang sudah waktunya. Hari peradilan untuk kita semua.”
Aku menggangguk, mengiyakan ucapannya. Dan kemudian berusaha untuk berdoa, meskipun aku tahu itu telah sangat terlambat kulakukan. Berharap ada sesuatu, meskipun kecil dan sebesar zarah, yang mampu menyelamatkan dari api yang menyala-nyala di ujung sidang peradilan yang akan segera kami hadapi. | Zarah
Kembali lagi ke perbincangan kita sebelumnya, premis menjadi sangat penting dalam sebuah cerita. Karena atas dasar ‘premis’ itulah, cerita yang kita punya dibangun. Tentunya akan sangat disayangkan sekali apabila kita menulis sesuatu, lalu kemudian kita tidak menyertakan ‘premis’ atau ‘ide sentral’ apa pun di dalam tulisannya. Maka tulisannya hanya akan menjadi tulisan biasa saja, dan mungkin tidak akan meninggalkan kesan apa pun di pembaca kita.
Semakin matang kita mempersiapkan premis/ide sentral/ide pokok untuk cerita yang kita punya, semakin baik juga hasilnya ketika semua itu sudah selesai dan menjadi sebuah tulisan. Semakin matang juga proses kreatif menulis kita, semakin kita tahu apa ‘tujuan’ kita ketika menulis. Motivasi menulis dan maksud yang kita inginkan ketika tulisan-tulisan kita selesai dibuat tentunya akan berbeda dibanding saat kita memulai menulis di awal, saat belum mengetahui itu.
Lalu, bagaimana caramu menentukan premis untuk setiap tulisanmu? Dan bagaimana kamu mendesain setiap proses kreatif menulismu? Semoga ketika kita mulai lebih rutin lagi menulis dan mengetahui ‘tujuan’ yang kita miliki ketika menulis, semakin matang dan bernas juga karya yang kita hasilkan. Selamat menulis dan berbagi inspirasi.
Tulis komentar baru