Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
SEBUAH ISTANA
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
TELUK
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya
MENYANDARKAN DIRI KE PILAR
Menyandarkan diri ke pilar
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu
Masih kuasa menjatuhkan bintang
Titik dimana aku harus berdiri
Ternyata pusat semesta
Bahkan tangga ke sorga akan tegak di tempat ini
Memang aku terlambat tahu
Hingga jasad terasa hanyalah kelopak duka
Tapi aku masih punya sisa gerak
Meski bergerak mungkin bernilai dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga
DARI KANDANG KE LADANG
Buat Anang Rahman
Sekitar kandang itu mekarlah kesegaran
Harapan di ujung jangkauan
Menyiduk-nyiduk gelagat danau
( Anak-anak lapar menjilat langit biru
Membatalkan sujudku semalam penuh
Siang itu cuaca tersiram susu
Mesjidku jadi megah
Tegak di delta sungai jiwaku
Di sini ‘kan kuucapkan sejuta bisik
Buat mengetuk semesta pintu )
Dari kandang itu ke ladang
Berguna sebuah titian
Di bawahnya jurang maha dalam
Tempat mencuci perasaan
PADANG HIJAU
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Maka tebaklah dalam lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai
Diamku membuat air laut tersibak
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Bersama Musa dan mereka yang beriman
Mencari sarang angin
Aku serasa terlambat tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah
Padang hijau berpusar telaga
Letaknya di jantung Bunda
ZIARAH
Terkenang Sultan Hasanudin
Ah debu namanya
Yang menyayikan daunan gugur
Gelisah ranting-ranting terasa
Pada siang di pekuburan
Dan gadis-gadis datang
Menjelma selendang ungu
Sementara di perbukitan
Menderu burung derkuku
Ah, debu juga namanya
Yang mengabarkan Ziarah itu
Siang jadi berarti
Dalam busukan kembang-kembang
Badik yang tidur akan bangun
Hanya menunggu Sangkakala
PERCAKAPAN DI SATU DESA
Nanti malam, apa jadi engkau ke rumah?
Isteriku membuat dodol biji mangga
Kita makan di halaman
Berdua kita pecaahkan
Besok lusa, tolonglah aku menyabit lalang
Buat pengganti atap gubukku
Ajaklah Sidun, aku senang padanya
Lantaran ketawanya yang menggelegar
Dapat mengganjal jiwaku yang sedang lapar
Nanti malam, apa jadi engkau ke rumah?
Di bawah bulan yang mulai sembuh dari gerhana
Sambil menunggu gerhana bulan
Bagaimana bisa kutebus
Sawah ladangku yang masih tergadai
KAFILAH NURANI I
Sesal dan lelah
Memang milik manusia
Menang dan kalah
Kita terima dengan senyum yang lega
Derap yang mengalir di dasar sungai purba
Sebut saja airmata arwah
Meminum jangan setetes
Sebab dahaga bisa juga menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai senyummu mawar
Dan matamu sinar yang pijar
Saat langit dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah saatnya
Kau hunus badik cahaya dari sarung sejarah
SARANG
Cahaya senja yang merah
Sampai juga ke dalam kamar
Menjagakan kelewang yang tidur
Dari mesjid terdengar zikirmu
Maka perang pun mulai
Bayang-bayang yang kabur pada dinding
Melarikan berita ke ombak gasing
Aku hanyalah kegelapan
Yang mendesah ke hutan-hutan
Oleh bercak-bercak darah
Dalam sarang
Yang kau buat dari kabut
Kelewang itu diam
Menikmati madu di hati danau
LOSARI TENGAH MALAM
Dengan Putera-puteri Arsal
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keramahan
Masih juga dipertahankan bulan
Untuk menangkap kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman memang telah bertukar
Yang dulu peluru
Sekarang pisang panggang, O, sejarah!
Kubiarkan diriku hanyut
Ke laut lain tempat bintang-bintang berlayar
Kami ingin bercakap sampai parau
Bukan karena risau
Pada sang waktu yang bagaikan lautan tenang
Kami harus menyalakan gelombang
HUTAN
Lagumu gemuruh
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng
Di hutan-hutan sangsiku
Angin yang runtuh dari pohon-pohon
Menjelma permadani di lembah timur
Kuhitung tahun-tahun
Yang berjalan menghancurkan mega dan mega
Dan hujan yang menyerbu dari perut gua
Mengekalkan diamku di ketiak batu
Gemuruh itu ternyata miliku juga
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba
Dalam begini engkau sebagai seorang pertapa
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu
Tombak pun jadi tersenyum di dalam batu
DIALOG BUKIT KEMBOJA
Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pandangannya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu
“Aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh
pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu
“Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
“Anakku mati di medan laga, dahulu
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Jadi di lembah membias rasa syukur
Pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur
“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
“Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur orang terdekat, saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
“Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”
Sore berangkat ke dalam remang
Ke kelepak kelelawar
“Hormatku padamu, nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”
“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”
Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu
1995
ZIKIR
alif, alif, alif
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan terang
hingga aku berkesiur
pada angin kecil akdir-mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,
hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!
alifmu yang satu
tegak di mana-mana
1983
MADURA AKULAH DARAHMU
di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
SUNGAI KECIL
sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwakerta atau hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-
daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di manakah
negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita kutembangkan buat kekasihku.
1980
PERJALANAN LAUT
dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang besok akan
meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam
kelopak.
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati
uutih milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-
ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka
cantik yang berisikan bom waktu.
ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal
meniru teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpancang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut.
1978
MADURA AKULAH DARAHMU
di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
SUNGAI KECIL
sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwakerta atau hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-
daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di manakah
negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita kutembangkan buat kekasihku.
1980
PERJALANAN LAUT
dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang besok akan
meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam
kelopak.
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati
uutih milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-
ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka
cantik yang berisikan bom waktu.
ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal
meniru teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpancang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut.
1978
IBU
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutihkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudra
sempit lauitan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku
1966
TEMBANG DAHAGA
airmata langit yang menetes perlahan
menghindar dari mulut bunga
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu
hingga tertulis prasasti
sejak kapan dimulai gelisah
lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga
sedang cuaca tak pemah dusta ?
bunga meludah dan terus meludah
sampai langit sempurna merahnya
bulan terlentang kematian warna
tak kuat lagi memukul dahaga
ia menolak tetek cucunya
KUPERAM SUKMAKU
kuperam sukmaku di ketiak karang
kusemai benihmu dalam lambai dan salam
cambuk ombak melecut hari.
lahirlah sapi yang menanduk kebosanan
kutemukan keloneng benang
dalam sunyiku
menganga liang : ombak panas
arusmu terbakar di lautan jingga
kujilat nanah di luka korban
kauletakkan krakatau ke dalam diriku
Ialu kubuat peta bumi yang baru
dengan pisaumu
PUISI-PUISI DARMAN MOENIR
KUHADANG MATAHARI
kuhadang matahari
karena hari seperti ini juga
lihatlah bayang-bayang kita yang kian paniang
seperti menghapus jejak yang tak ada kita tinggalkan
kuhadang matahari karena tidakjuga berkabar
seperti kau dahulu ada bertanya, “kata siapa ?”
dan bila matahari telah bertanya pula seperti itu
ke mana mata kita pandangkan lagi
sementara hari larut, senja pun susut
SELAMAT TINGGAL PANTAI PADANG
(Intuisi buat : Darhana Bakar)
selamat tinggal pantai Padang
setelah kuhitung pasirmu
duka dalam bayang
diriku
selamat tinggal pantai Padang
kupergi dalam mengayuh
segala cerita kita tuang
kasih !
bibirmu yang hampir tenggelam
langitmu yang muram. Kelam
tapi kau selalu tak diam
salam !
Sungguh hebat zawawi imron
Sungguh hebat zawawi imron dlam mengarang puisi
kagum zawawi
hebat hebat. jadi kagum pak zawawi
Tk bisa d ragukan lagi
Tk bisa d ragukan lagi kelebihan.a dlm bidang mngarang
saya sangat dan sangat ingin
saya sangat dan sangat ingin meniba dari anda kiai zawawi
Tulis komentar baru