Kota kami terletak di dataran tinggi di lereng Gunung Singgalang. Karena itu, hujan dan kabut di sana seolah-olah turun sesukanya. Kadang-kadang pagi, siang, petang atau malam hari. Adakalanya juga dari pagi sampai malam, ataupun sebaliknya-bahkan ketika kemarau mungkin sedang meretak-retakkan tanah di kotamu.
Tetapi, karena sejak muncrat ke dunia sudah bergaul dengan cuaca serupa itu, warga kota tak mengumpat ketika kabut mendadak turun dari bukit dan gunung, atau hujan tiba-tiba menderap laksana suara kaki belasan ekor kuda. Paling-paling orang hanya bergumam, seperti menghadapi anak yang nakal: “Ha, sudah turun pula si kaki seribu!” Lalu mereka kembangkan payung, melenggang tenang-tenang di atas trotoar sambil bersiul, bercakap-cakap, atau makan kacang goreng.
Betul. Berbagai pemandangan ganjil-lucu yang tidak bersua di tempat lain bisa kau temukan di kota kami kalau Anda suatu ketika berkunjung ke sana. Meski cuaca cerah, orang-orang di jalan-jalan kau lihat membawa payung atau mempertongkatnya, mirip dengan warga kota-kota besar Eropa pada masa lalu. Dengan tongkat-payung itu pula mereka saling melambai dan menyapa. “Hoi, apa kabar! Baik? Singgahlah dulu!”
Tetapi, jangan pula payung, sedang jas pun (yang dikukuhkan sebagai pakaian resmi sebab konon menimbulkan kesan “lain” bagi yang memakai juga yang melihat), bukan suatu yang istimewa di kota kami. Di mana-mana kau bisa saksikan kaum pria memakai jas. Tidak kecuali para kusir bendi dan tukang kacang goreng yang duduk mencangkung di pojok-pojok jalan dalam kabut, di belakang lampu semprong mereka yang temaram.
Dan, kalau kau tinggal lebih lama di kota kami, akan ahli pula kau menerka usia perkawinan seseorang hanya dengan melihat jas yang dia pakai. Karena, walau kerap membungkus tubuh mereka dengan jas, tapi jarang sekali pria kota kami membuat jas dua kali dalam hidupnya. Kecuali, ya, kecuali lelaki-lelaki gatal atau yang punya istri lagi. Itu pula sebabnya anak- anak muda kota kami lebih suka pakai jaket daripada jas, betapapun elok bahan dan potongan jas itu-untuk menghindarkan salah tafsir.
Hal lain yang bakal membuatmu terheran-heran adalah tukang kacang goreng. Ya, di kota kami hampir tak dikenal orang istilah pedagang, meski aktivitas seseorang berjualan, berniaga. Tukang kerupuk tak selalu berarti orang yang membuat kerupuk, tetapi juga penjual kerupuk. Begitupun tukang sate, tukang serabi, tukang serbat, tukang rokok, tukang emas, dan seterusnya. Tidak jelas mengapa demikian. Aku juga tidak bermaksud membahasnya. Biarlah masalah ini bagian ahli bahasa, juga sosiolog. Aku hanya ingin bercerita tentang mereka, tukang kacang goreng dan penggemar makanan ringan itu.
Sekalipun kota kecil, tukang kacang goreng amat banyak di kota kami, seakan-akan sebagian besar orang terpanggil lahir karena bakat itu. Mereka dapat ditemukan di mana-mana sejak pukul lima petang hingga tengah malam, beberapa waktu setelah bubar bioskop. Mereka mangkal di emper-emper toko, tikungan-tikungan jalan, muka perkantoran-perkantoran, depan asrama tentara dan polisi, di muka rumah sakit, juga di depan gerbang-gerbang jalan menuju surau dan masjid.
Tukang-tukang kacang goreng itu pakai jas, duduk berkelumun sarung atau melekat ke karung goni kacang goreng mereka yang hangat. Lampu-lampu semprong mereka dari jauh mirip bintang-bintang di langit, kedap kedip di balik tirai kabut dan gerimis. Empat atau lima orang di antaranya juga mangkal di muka dua bioskop yang ada di kota kami. Berjajar agak berjauh-jauhan di bawah papan reklame film, tidak saling tertawa layaknya pasangan suami istri dilanda perang dingin.
Tentu ada hubungan erat antara tukang kacang goreng yang sangat banyak itu dan iklim kota kami yang dingin, serta kegemaran orang memakan kacang goreng. Tetapi, apakah itu yang menyebabkan warga kota kami subur-subur, perlu penelitian. Lagi pula, meski lazim satu keluarga punya anak sembilan, sepuluh atau selusin, kota kami tidak pernah sesak karenanya. Anak-anak muda segera berangkat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau bekerja di kota lain dan wesel-wesel mereka berlayangan di awal-awal bulan memenuhi kantor pos. Pada hari raya dan libur-libur panjang, pengirim-pengirim wesel yang rajin itu-yang sebagian di antaranya tumbuh berkat uang kacang goreng-berlayangan ke kampung halaman menjumpai orangtua dan sanak keluarga. Saat-saat itulah mereka tak lepas-lepas dari kacang goreng, tidak ubahnya kekasih-kekasih yang melampiaskan rindu dendam setelah lama berpisah.
Alhasil, tukang kacang goreng tetap banyak di kota kami dan orang tak merasa rendah jadi tukang kacang goreng. Malah bangga. Dalam KTP mereka pun tercantum: pekerjaan, tukang kacang goreng. Dan, penggemar kacang goreng tidak pernah pula berkurang. Bahkan, sesudah lama merantau pun kegemaran itu rupanya tidak hilang. Juga, meski sejumlah anak muda mengalami pengalaman pahit akibat kacang goreng. Bertengkar, bahkan divonis putus oleh si gadis karena kulit ari kacang goreng ikut menyelusup ketika bibir-bibir bertemu pada malam Minggu. Namun, selera menyantap kacang goreng tak kunjung patah. Anak-anak muda itu seolah punya prinsip: pacaran boleh putus, makan kacang goreng jalan terus.
“Habis, memang lain kacang goreng kota kita ini,” komentar para suami saat makan kacang goreng di malam-malam dingin bergerimis. “Ini, lihatlah!” lanjutnya melempar sebuah kacang goreng ke atas meja. Gemuk, panjang, sebesar jempol. “Di tempat lain kecil-kecil kurus kulihat!”
“Memang,” sahut ibu-ibu di kota kami dengan sigap. “Tetapi, tetap belum ada yang sanggup mengalahkan kacang goreng Mak Sanin!”
“Ah, kalau itu, jangan dikata lagi, tiada bandingan!”
“Ya, Mak Sanin adalah maestro kacang goreng!” jawab si istri bersemangat. “Ibarat penyair, dia itu Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Ibarat pelukis, dia Affandi. Ibarat pencipta lagu dialah Gesang atau Ismail Marzuki. Ibarat… .
“… perempuan ia adalah engkau seorang!” potong sang suami buru-buru dan si istri pun diam sambil tersenyum-senyum. Menyelusup manja ke pelukan suami.
Mak Sanin satu dari sekian banyak tukang kacang goreng di kota kami. Tokoh ini sangat populer bahkan hingga kini, khususnya di kalangan kaum ibu. Selain karena kualitas kacang gorengnya memang di atas rata-rata, perempuan kota kami menyukai lelaki itu karena dia tidak pernah pakai jas baru. Sudah barang tentu jasnya pun telah lapuk, sebab dipakai setiap malam selama bertahun-tahun, dan warnanya hampir tidak jelas lagi. Tetapi, istrinya pandai dan rajin menyisik sehingga tak kentara benar tambal- tambalan pada jas yang dipakai Mak Sanin.
Agak berbeda dengan orang dewasa, terutama ibu dan kakak-kakak perempuan kami, kami anak- anak justru takut pada Mak Sanin. Mungkin karena tubuhnya tinggi besar, mata rada sipit, dan selalu merah menyala. Kumisnya pun lebat melintang. Juga karena dia “berisi”, punya ilmu. Suatu kali kawan kami si Katan menghajar anaknya hingga babak belur. Anak itu lari pulang menggerung-gerung dan telinga si Katan pun disentil Mak Sanin. Berhari-hari daun telinga kawan kami itu gembung-bengkak kemerah-merahan. Orang juga mengatakan Mak Sanin tidak lagi bermain silat dengan manusia melainkan dengan harimau, tanda ilmunya tinggi. Kedua makhluk itu konon melakukannya malam-malam di pinggir kota usai Mak Sanin berjualan.
Mak Sanin adalah satu-satunya tukang kacang goreng yang tidak berpaut di pangkalan saat berjualan. Jam dagangnya juga berbeda dengan tukang kacang goreng yang lain. Biasanya, dia keluar sesudah magrib atau isya dan akan berakhir kira-kira pukul tiga dini hari atau saat beduk subuh mulai berkumandang di seantero kota dari masjid dan surau.
Begitu keluar rumah di pangkal malam itu orang tidak akan menemukannya di tempat ramai seperti di muka bioskop atau kawasan pasar. Dengan jas itu-itu juga, dan sarung dililit ikat pinggang lebar, dia susuri jalan-jalan kota dengan karung goni berisi kacang goreng di atas kepala. Seolah ringan saja karung goni itu baginya. Tenang- tenang saja dia melangkah, mendatangi calon pembeli. Dialah penemu sistem jemput bola dalam berdagang kacang goreng di kota kami.
Makin malam, kian gencar pula Mak Sanin mengembara menyusuri pelosok-pelosok kota. Juga ke Lubuak Mato Kuciang, Cubadak Bungkuak, Bancah Laweh, dan Bak Aie yang merupakan pinggiran- pinggiran kota kami. Suara serta bunyi tangkelek atau bakiaknya berirama memecah udara: “Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…! Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…!”
Pada larut malam yang dingin berkabut itu Mak Sanin benar-benar menjelma jadi pelayan tunggal sekaligus penjaga kota kami. Pencuri-pencuri mengurungkan niat mereka yang buruk mendengar suaranya. Orang-orang terbangun, ingin makan kacang goreng. Pasangan-pasangan yang tengah bertengkar terhenti. “Hah, itu Mak Sanin!” ujar si suami. “Beli dulu kacang gorengnya.” Anak-anak muda yang sedang begadang menyongsong kedatangannya dengan girang: “Tiga liter, Mak Sanin!” Dan, sewaktu pesanan mereka ditakar tangan mereka menyelusup ke karung goni, meraup kacang goreng bukan hanya sekali. Tetapi, itu biasa. Semua pembeli melakukannya dan semua tukang kacang goreng membiarkan saja.
Dan, pengantin-pengantin baru, yang memang tak tidur-tidur di tengah malam buta itu, berpandangan dan saling tersenyum mendengar suara Mak Sanin mendekati. Bergegas mereka benahi diri, tegak menanti di ambang pintu. Rambut nyonya muda yang hitam subur tergerai hingga pinggang, harum bercampur peluh, berkibar-kibar ditiup angin malam.
“Mak Sanin!”
“Hoooi!” Tukang kacang goreng itu menghampir ke makhluk elok itu. Dengan jas yang itu-itu juga.
“Seliter saja ah, Mak Sanin.”
“Yo! Eh, cukup seliter?”
“Hi-hi-hi. Cukuplah. Hanya berdua.” Dan, tangan-tangan mungil itu menyusup pula ke karung-goni yang hangat. Kemudian, sambil bercengkrama serta menikmati kacang goreng berdua-dua di larut malam itu, pasangan-pasangan itu menyimak suara Mak Sanin dan bunyi tangkelek-nya yang menjauh. Semakin jauh, lalu sayup-sayup diantarkan angin malam melalui kisi- kisi jendela.
Tetapi, pada suatu malam, ketika ramai-ramai di tahun ’66, cuma sebagian warga kota yang mendengar suara dan bunyi tangkelek itu. Warga yang lain tidak. Besoknya, seluruh warga kota tidak mendengarnya. Padahal, sudah mereka tunggu-tunggu. Dan besoknya lagi, kota kami gempar tak alang kepalang. “Masya Allah,” kata ayah bagai orang kedinginan. “Padahal, tahu benar aku, mata si Sanin itu merah hanya karena menukar siang dengan malam!”
Tukang kacang goreng itu ditemukan orang tergeletak di tepi kali. Ada sebelas bekas bacokan merobek jas tua dan tubuhnya. Tujuh lubang peluru. Karung goninya entah di mana. Tetapi, justru setelah ia tak ada lagi namanya terus jadi buah tutur warga kota kami, bahkan hingga kini. Orang-orang akan mencela tukang kacang goreng bila kacangnya tidak enak atau dia bertingkah. “Huh, tak serupa Mak Sanin!” ujar mereka.
Karena itu, Anda pun akan terheran-heran menemukan banyak tukang kacang goreng di kota kami yang berkata kepadamu: “Ha, kacang enak ini! Tak sembarangan kuali dan pasir buat merendangnya. Belilah. Cobalah. Tidak bakal menyesal. Delapan tahun saya belajar merendang kacang pada Mak Sanin!” Anda melongo heran karena Anda toh tidak kenal siapa Mak Sanin. Dan, mungkin juga tidak mau tahu.
Jakarta, Desember 2004
Tulis komentar baru