Sudah lama Irham tak menerima kiriman oleh-oleh. Rendang Ikan Pawas Bertelur. Gurih dan sedapnya seolah sudah terasa di ujung lidah. Apa Mak sedang susah? Hingga tak mampu lagi beli Ikan Pawas Bertelur dan bumbu-bumbu masaknya? Tak mungkin! Kiriman wesel dari anak-anak Mak, rasanya tak kurang-kurang. Lebih dari cukup. Jangankan Rendang Ikan Pawas Bertelur, bikin Rendang Hati Sapi pun Mak tentu mampu. Tapi, kenapa Mak tak berkirim oleh-oleh lagi? Mak sedang sakit? Kenapa pula tak ada yang berkabar? “Bukan kau saja, saya juga sudah lama tak dikirimi Krupuk Cincang,” keluh Ijal, kakak sulung Irham yang tinggal di Cibinong.
Sejak kecil, mereka memang punya selera berbeda-beda. Kepala boleh sama-sama hitam, tapi tabi’at lidah tak serupa. Mak hafal makanan kesukaan masing-masing mereka, anak-anak kesayangannya. Ijal suka Krupuk Cincang.
Dulu, hampir tiap pekan ia minta dibuatkan makanan itu. Pernah Ijal mengancam tidak mau ke surau bila Mak belum penuhi permintaannya. Jangan dibayangkan cemilan kampung itu dapat diperoleh di Jakarta. Meski ada satu dua toko yang menjual, tapi tak serenyah bikinan Mak. Entah bumbu apa yang dipakai Mak, hingga bunyi Krupuk Cincang itu berderuk-deruk dalam mulut Ijal. Tapi kini, Mak tak berkirim oleh-oleh lagi. Ketek, kakak laki-laki Irham yang satu lagi (tinggalnya di Ciputat) juga mengeluh. Katanya sudah kepingin sekali makan Lemang Tapai. Memang mudah dicari di Jakarta. Tapi baginya, tak ada Lemang Tapai yang mampu tandingi buatan Mak.
“Payah! Ndak ada kiriman Lemang Tapai lagi,” ketusnya suatu kali, saat bertamu ke rumah Irham.
“Bukan uwan saja, semua sudah tak dapat,” balas Irham.
“Basa bagaimana? Masih sering dikirimi Goreng Belut?”
“Ndak ada. Ndak ada lagi oleh-oleh!”
“Apa kalian ndak kirim uang lagi buat Mak? Mak sedang susah barangkali?”
Tanya-tanya nyinyir mereka terjawab setelah mendengar pengakuan si bungsu, Alida. Adik perempuan mereka satu-satunya. Ternyata, ia masih sering dapat oleh-oleh. Bahkan lebih sering dari biasanya. Berarti Mak masih rajin mengirim oleh-oleh. Cuma saja, datangnya bukan lagi ke rumah keluarga mereka; Ijal, Ketek, Basa dan Irham. Oleh-oleh hanya dikirim Mak ke alamat rumah kontrakan Alida, di daerah Pasar Minggu. Anehnya, kiriman Mak bukan Sambalado Tanak kesukaan Alida, tapi Dendeng Lambok, khusus buat menantu Mak. Suami Alida.
“Kenapa kau saja yang dapat oleh-oleh, Alida?”
“Bukan saya wan!”
“Iya, suamimu itu. Mestinya kami juga dikirimi bukan?”
Irham coba menghitung-hitung berapa lama Mak tak mengirim oleh-oleh. Ternyata, persis sejak Alida menikah. Sejak Mak punya menantu baru; Yung. Suami Alida. Ya, sejak itu Mak tak pernah lagi bikin Rendang Ikan Pawas Bertelur, Krupuk Cincang, Lemang Tapai dan Goreng Belut. Mak hanya kirim Dendeng Lambok buat Yung. Menantu kesayangannya.
Setahu Irham, sejak menikah dengan Alida, belum sepeser pun Yung kirim uang buat Mak. Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari lelaki yang tak jelas pekerjaannya itu? Sejak awal, Irham tidak setuju Alida menikah dengan Yung. Ia sudah carikan jodoh buat Alida. Firman, namanya. Sarjana teknik. Kini, bekerja di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai. Bakal senang hidup Alida bila menikah dengan laki-laki pilihan Irham itu. Ijal juga sudah pilihkan Andra, putera tunggal pemilik perusahaan garmen di Jakarta. Ketek dan Basa memang tak pilihkan siapa-siapa. Alida boleh saja menikah dengan lelaki idamannya. Tapi dengan catatan; tidak dengan Yung.
Mereka tak mungkin merelakan Alida dipersunting Yung. Lelaki yang sudah pernah beristri. Sementara Alida masih gadis. Lagi pula, (kabarnya) perkawinan Yung yang pertama bubar karena ulah menggelapkan dana investasi di perusahaan yang dikelolanya. Yung sedang terlibat masalah besar. Perusahaannya bangkrut. Semua asetnya disita. Ia lari dari masalah. Mereka curiga, jangan-jangan Yung sedang dikejar-kejar banyak orang. Setidaknya, dikejar para penagih utang. Ah, jangan-jangan Yung berniat nikahi Alida hanya untuk berlindung, selamatkan diri. Ia terlilit utang. Bukan tak mungkin, kelak mereka juga yang turun tangan selesaikan masalah Yung. Tapi, entah ilmu apa yang dipakai Yung. Mak langsung saja menerima lamarannya. Tanpa pertimbangkan baik buruknya lebih dulu. Mak tak peduli pada keberatan kakak-kakak Alida.
“Ndak apa-apa, kalau kalian tak setuju. Mak tetap akan nikahkan Alida dengan Yung,” begitu tekad Mak waktu itu.
“Pikir dulu masak-masak, baru ambil keputusan! Mak belum kenal siapa Yung itu.”
“Sejak dari nenek moyangnya Mak tahu silsilah dia. Dia dari keluarga baik-baik. Kalian yang belum kenal Yung.”
“Sudahlah! Tanpa kalian, pernikahan Alida tetap akan berlangsung. Mereka berjodoh, jangan kalian halangi!”
Bila sudah begitu, mereka tak bisa membantah. Suka tak suka, mesti hormati keputusan Mak. Meski berat hati, Ijal, Ketek, Basa dan Irham tetap harus pulang dan bantu penyelenggaraan pesta perkawinan Alida dan Yung. Mereka pun menyumbang sesuai kemampuan masing-masing.
Sudahlah! Tak usah kita menganggap Mak pilih kasih! Mak memang sering berkirim oleh-oleh buat Yung. Dendeng Lambok, masakan kesukaan menantunya itu. Barangkali, bukan karena Mak tak ingat lagi makanan kesukaan kita. Adik ipar kita itu baru saja memulai hidup di Jakarta. Pekerjaannya masih serabutan. Luntang-lantung. Belum ada penghasilan tetap. Masih susah. Mungkin jarang ia makan enak-enak seperti kita. Jadi, tak usahlah kita dengki!
“Ah, Mak terlalu memanjakan menantu.”
“Uang Mak bisa habis karena selalu kirim oleh-oleh buat Yung.”
“Makin dimanja, makin malas dia!”
Dulu, Yung memang anak baik-baik. Sekolahnya di pesantren. Sering ia memberi pengajian di mesjid kampung. Mak, salah satu jamaah yang suka dengan gayanya berceramah. Menyentuh sekali kata-katanya, begitu puji Mak. Tak jarang, jamaah ibu-ibu yang mendengar wiridannya menangis sesenggukan. Yung amat lihai bersilat lidah. Merangkai kalimat-kalimat jitu menggugah perasaan jamaah. Sejak itu, Mak ingin mengambil Yung jadi menantu. Kelak, setelah sekolahnya tamat. Tapi, harapan Mak tak kesampaian. Sebab, Yung merantau ke Jawa. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Inilah yang Mak belum tahu. Selama di Jawa, Yung bukan lagi mubaligh hebat seperti di kampung dulu. Ia sudah tanggalkan jubah ustadznya. Mungkin, Yung sudah lupa cara menyentuh perasaan jamaah, hingga menangis terisak-isak seperti Mak. Konon, Mak pernah datang ke rumah orang tua Yung. Melamar lelaki itu untuk Alida. Tentunya nanti setelah kuliahnya rampung. Tapi, setelah saatnya tiba, Yung tak pulang. Kabarnya, Yung menikah dengan gadis lain di Jawa. Mak juga dengar kabar buruk itu. Tapi, Mak tak kecewa.
Berselang beberapa tahun, Yung pulang. Sudah duda. Meski belum punya anak. Orangtuanya datang menemui Mak, hendak menyambung cerita lama. Melamar Alida. Bila telapak tangan kurang lebar, dengan niru saya tampung niat baik itu, jawab Mak. Gayung bersambut, hingga akhirnya Yung menjadi menantu kesayangan Mak. Dan, selalu saja dikirimi oleh-oleh.
“Gara-gara menantu Mak itu, kita tak pernah dapat oleh-oleh lagi.”
“Mak lebih sayang pada menantu daripada anak-anaknya sendiri.”
“Apa yang sudah diberikan Yung pada Mak? Sementara kita tiap bulan kasih jatah buat Mak.”
>diaC<
Percuma saja Suarni dan Said menyekolahkan mereka tinggi-tinggi. Setelah semuanya jadi orang, bukan makin dekat, malah makin jauh dari kampung. Jauh dari orangtua. Itulah susahnya punya anak laki-laki. Bila sudah besar, mereka akan tinggal di rumah orang. Di rumah anak-bini. Sibuk mengurus keluarga sendiri-sendiri. Wesel kiriman Ijal, Ketek, Basa dan Irham (yang sudah terbang-hambur dari kampung) memang selalu datang tiap bulan. Tapi sebenarnya, Suarni dan Said tak butuh uang. Untuk apa? Tanpa kiriman wesel pun, mereka tidak akan kekurangan. Hasil sawah dan ladang sudah cukup menghidupi mereka berdua.
Di usia yang tersisa, Suarni dan Said ingin berkumpul kembali dengan anak-anak. Merasakan kehangatan di tengah-tengah mereka. Seperti dulu, saat mereka masih di kampung. Keduanya tak henti-henti berharap. Mudah-mudahan, ada di antara anak-anak yang mengajak tinggal di Jakarta, menghabiskan hari tua di sana. Aih, betapa menyenangkan bila Suarni masih dapat membuatkan makanan kesukaan Ijal, Ketek, Basa atau Irham. Tapi, setelah sekian lama menunggu dan berharap, ajakan itu tak kunjung tiba. Kalaupun sekali waktu Suarni dan Said datang berkunjung, itu hanya sekedar menjenguk cucu-cucu, sepekan dua pekan. Setelah itu, kembali pulang ke kampung. Tidak untuk tinggal berlama-lama, sebagaimana keinginan mereka.
Harapan Suarni dan Said kini beralih pada Alida. Anak perempuan semata wayang, yang juga memilih hidup di Jakarta sejak menikah dengan Yung.
“Pandai-pandailah mengambil hati menantu! Sering-seringlah berkirim oleh-oleh!” saran Said pada Suarni.
“Oleh-oleh?”
“Ya, agar lidah menantu baru kita terbiasa dengan masakanmu!”
Mungkin, itu sebabnya Suarni selalu memasak Dendeng Lambok, lalu dikirimkannya buat Yung. Berkali-kali Suarni dilarang anak-anaknya; Ijal, Ketek, Basa, Irham. Jangan terlalu memanjakan menantu! Jangan pilih kasih! Suarni tak peduli. Makin dilarang, makin gencar saja ia berkirim oleh-oleh. Tak bakal berhenti Suarni berkirim Dendeng Lambok buat Yung. Agar lidah menantunya itu terbiasa dengan masakannya. Hingga, suatu waktu (entah kapan) Yung berkenan mengajaknya tinggal, berkumpul-bersama di Jakarta. Di sanalah, Suarni dan Said bakal habiskan umur yang tersisa. Semoga!
Kelapa Dua, 2006 Untuk Mak Was…
CERPEN KOMPAS 2006 “JANTUNG HATI” KARYA DANARTO
Anak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis, Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, “Ini Metropolis, Bung!” Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimana mungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan. Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan. Barangkali ke Jakarta Pusat.
Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Mereka saling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Atau kabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelum segalanya terlambat.
“Ibu! Ibu!” teriak anak laki-laki itu menyebut ibunya. “Ibu! Ibu! Jangan menari lagi!” ia meminta ibunya untuk tidak menari lagi. O, jadi rupanya ibunya seorang penari. Tapi di mana ibunya? Mengapa ia berteriak-teriak? Apa ibunya mendengar teriakannya? Mengapa ia melarang ibunya menari lagi? Memangnya kenapa kalau ibunya tetap menari? Anak 10 tahun ini boleh jadi anak yang aneh. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menanyainya kenapa ia berlari, barangkali orang-orang itu bisa menolongnya jika ia butuh pertolongan namun anak itu acuh tak acuh dan terus berlari. “Ada apa, Nak? Ada apa, Nak? Ngapain lo lari terus? He, lo, dikejar setan, lo?!”
Semrawut kota semakin bising. Suasana mendesing bunyi gasing. Kepala berputar kerna pusing. Di jalan-jalan Jakarta tak ada tempat untuk kencing. Dihardik satpam jadi emping, bagai Jacky Chan melenting. Semua pertanyaan lompat bajing, mencari kekal pada dinding. Lonceng kota berdentang dua kali, mengucap salam pada metromini. Lamat-lamat ditelan mall yang bernyanyi. Seolah metropol miliknya sendiri. Hitam kayak pantat kuali. Legam persis malam mati. Lari! Lari! Tekuk dan telan kota, atau kota ditekuk dan ditelan orang lain. Jangan ketinggalan. Jangan pernah mau mengalah. Jangan pernah kalah. Tempeleng orang lain sebelum ditempeleng orang lain. Jakarta sudah lama bilang ogah. Tidak seramah abah dan babah semasa zaman misai jepaprah.
“Ibu jangan menari lagi!” teriaknya sepanjang jalan raya itu.
Orang-orang yang berpapasan mendesah. “Ini anak apa maunya?!” Orang-orang melengos. Seperti bandit yang dibiarkan lolos. Matahari membantu tapi butuh ongkos. Ada saja yang kejeblos di pasir boblos. Di sekolah anak tak pernah bolos. Ia ingin lolos dari angka-angka tidak polos. Seluruh hamba wet, seluruh penghuni hotel prodeo adu jotos. Saling gertak narkoba oplos. Anak itu melompat pagar tanaman. Supaya jarak lari menjadi aman. Cepat ketemu ibu dirundung sawan. Jangan-jangan sedang menari bersama awan.
Anak ini cerdik bagai jengkerik. Mau dicaplok katak, ia mendelik. Sotangnya tajam bagai taring kirik. Tak peduli pada aspal jalan yang panas, telapak kaki tanpa alas. Tak kenal batas. Aduh, anak itu tahan menceker. Kemana sandal jepitnya tadi di emper. Berlari chitah menerkam kijang tercecer. Di ladang luber. Padang darah berember-ember. Aduh, Eyang, otak cucu belum juga encer. Mencari hidup layak seperti pesan bapak. Walau di lapak, mabuk tetap tegak. KTP diinjak-injak, kadaluwarsa dari sepihak. O, aparat James Bond terbahak. Berlari terus, Anakku. Berlari terus, Anakku. Jangan menoleh ke belakang. Hanya lumpur panas dan kalajengking di bawah keset. Jangan terpeleset. Hidup bisa dicicil angket. Muntahkan segala pikiran kotormu. Jeritkan segala raung serigalamu.
Ibunya sedang menari di atas jembatan layang. Seonggok jalan layang ke Universitas Indonesia gemilang. Di bawah jalan layang, bertengger gubuk derita malang. Tiga kali kena gusur, termasuk jalur hijau jalang. O, orang yang matanya nyalang. O, Henry Muhammad, agung bagai baja, menghirup angin surga. Pesanlah nisan sekarang, supaya hati tak garang; begitu pemerintah kasih wejangan. Pasrah tanpa curang. Tak pula timpang. Tiba-tiba kesandung maut dari seberang. Tak mati-mati. Tak mati-mati. Apa mau dikata. Nasib orang, Tuhan yang pegang. Lalu kena sabetan keris yang ditempa padepokan Ganggang. Ia musnah. Jasadnya lenyap ditelan udara. Bukan ratu, bukan raja, bukan pula keris patih. Ia keris empu, cucunya cucunya cucunya cucu Empu Gandring.
Ia diangkat Allah ke firdaus ketujuh. Perahu malaikat burung puyuh. Tak ada tempat yang jauh. Dalam sehari 50.000 tahun mengayuh. O, Tuhan kendali manusia. O, Tuhan sayang manusia. O, Tuhan tempeleng manusia. Tinggallah putri bersama anak semata wayang. Kedua orang bertahan di bawah jembatan layang, tanah asli ayah bayang. Penari agung bikin keder pemda, putri jelita berbanding Sembadra. Si anak ksatria utara, badai derita kota. Ia anak mama. Baik budi, berbakti, dan pertapa sejati. Ksatria Utara tak mau berkelahi. Ia terlalu sakti. Ia hindar bertengkar kerna pintar. Namanya bikin gentar.
Setiap mahasiswa melaju mobilnya ke universitas, mencium bau wangi. Wangi jembatan layang. Itu udara pagi. Itu udara wengi. Lalu berpijar cahaya api. Nyawa yang berbakti. Ibu Pertiwi mengerti. Udara, api, tanah, air, zat, hitungan akurat. Mengambang taat. Mengalir angkasa pesat. Segala tempat. Butiran menjelma hujan. Tumbuh harapan. Dipuja petani. Kemana tanahku. Kemana tanahku. Dengarkan mahasiswa sedang berjuang. Menggaris lurus menerka keadilan. Tanah di bawah jambatan layang UI diberi julukan “O Henry Rudini”, kenangan manis buat Mendagri dan Henry yang tertindas. Namun tak beringas. Ia ksatria tuntas. Berbanding Pandawa pantas. Seluruh menteri melankolis menatap Henry. Alasan Henry minta ganti rugi mahal kerna tiga kali dibohongi. Tiga kali tanah dibeli di berbagai tempat jeli selalu kena jalur hijau pasti.
“Ibu! Ibu!” teriak anak lelaki itu dari bawah jembatan layang UI menatap ibunya yang sedang menari di atas pagar jembatan layang. Di dalam kendaraan-kendaraan pribadi di sela lalu-lintas yang selalu padat itu, para mahasiswa melongok-longok lewat jendela mobilnya. Mereka saling bertanya.
“Ibu jangan menari!” sambung anak itu. “Dua puluh tiga ekor ikan paus menyeret gunung es. Datang dari kutub utara, mereka sudah sampai Pulau Seribu.”
Namun Valeria Daniel dari antv di atas helikopter melaporkan pandangan mata: “Jakarta tenggelam dilanda banjir bandang. Berpuluh ikan paus mengunyah gunung es yang mereka seret dari kutub utara. Laut meluap. Mobil-mobil tinggal atapnya yang muncul. Bagai papan-papan selancar, puluhan, ratusan mobil mengambang. Jakarta musnah!”
Keadaan darurat nasional gubernur umumkan. Pasukan antihuru-hara diterjunkan. Di seluruh kawasan. Di pojok-pojok Jakarta rawan. Tanggulangi penjarahan dan perampokan. Korban banjir antara yang hidup dengan yang mati, mengambang dan tenggelam maupun berenang di dataran luas yang dalam. Para relawan penolong bertindak. Dibutuhkan perahu karet mendadak. Dalam jumlah besar membengkak.
Helikopter menyigi rendah. Tenaga-tenaga penolong susah. Saking banyaknya korban entah. Daerah Khusus Ibukota payah. Banyak individualis jengah. Dengan sangat meminta para politisi dan wartawan tidak memolitisir musibah “Jakarta Meratap” dengan “pemerintah ditolak alam”.
“Itu klenik!” seru jubir pemerintah dalam menanggapi pernyataan bahwa pemerintah dimusuhi alam.
Selama ini pemda DKI meyakini bahwa penari jembatan layang UI itu kong kali kong dengan ikan-ikan paus yang segede-gede kapal destroyer dari kutub utara. Berkali-kali banjir besar melanda Jakarta, berkali-kali penari itu diburu, namun dia selalu lenyap tak berbekas. Nah, sikap ini kentara sekali, ternyata pemerintah sendiri sangat doyan klenik. Sebagai ahli waris Henry atas sepetak tanah di bawah jembatan layang UI, dia terus menuntut ganti rugi yang layak. Andai dulu pemda di zaman Orba tidak pelit dan mau membayar ganti rugi satu miliar rupiah, tentu jumlah itu saat ini, di milenium ketiga, tak ada artinya. Tapi itulah jalan hidup. Pemerintah yang dulu, sampai kini tentu semakin dirundung dosa yang kelewat-lewat.
Jakarta tenggelam. Kota gelap gulita. Di siang hari jadi kota mati. Perampokan bersimaharajalela. Supermarket, mall-mall, toko-toko, pasar, ATM, restoran, bank-bank, kantor-kantor, departemen keuangan, perumahan mewah, pegadaian, dan seluruh tempat yang menyimpan duit atau pangan, menjadi sasaran penjahat maupun orang baik-baik. Banjir rasanya semakin meninggi. Korban tak dapat dihitung. Bagai monumen, gunung es yang bercokol di utara Pulau Seribu itu dikitari puluhan ekor ikan paus yang berloncatan ke udara ganti-berganti. Mereka dengan gigih menabrak-nabrakkan tubuhnya ke arah gunung es itu yang agaknya untuk secepatnya mencairkannya guna memandikan Jakarta. Satu pasukan khusus diterjunkan dari helikopter di atas jembatan layang UI dan di Pulau Seribu untuk menangkap sang penari dan membunuh ikan-ikan paus itu. Namun penari cantik dan ikan-ikan paus itu tidak peduli. Dia dan ikan-ikan paus itu terus menari. Dan alam sangat membantunya. Angin kencang menyapu pasukan khusus berikut helikopternya sehingga mau tak mau mereka harus menjauh dari penari dan ikan-ikan paus itu.
Gelombang menggempur Tanjung Priok, Gunung Sahari, Senen, Cikini, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Blok M, Cilandak, Cinere, Parung, dan melahap terus ke selatan. Kali Deres berteriak-teriak meminta tolong. Kampung Rambutan memahami musibah itu. Mall-mall dipenuhi para pengungsi. Orang-orang kaya mengungsi ke hotel-hotel. Hotel Sari Pasifik di Jalan Thamrin yang dibangun dengan pondasi yang tinggi, paling laris karena agaknya dibangun untuk mengantisipasi banjir bandang itu. Tapi segala jenis hotel penuh. Keluarga terpisah dengan keluarga lainnya. Sanak terpental dari sanak. Ibu dari anak. Suami dari istri. Paman dari keponakan. Kakek dari nenek. Cucu dari buyut. Canggah dari wareng. Kekasih dari asmara. Benci dari cinta. Cemburu dari buta. Melek dari kantuk. Bola dari Piala Dunia.
“Ibu stop menari! Ibu stop menari!” teriak anak itu terus-menerus dari bawah jembatan layang itu.
Sang penari tidak menstop tariannya. Beberapa orang mahasiswa memarkir kendaraannya di jembatan layang itu untuk melihat penari itu tetap gemulai dengan gerakannya. Sejumlah sniper membidik penari dan ikan-ikan paus itu dari kejauhan. Namun alam tetap membela penari dan ikan-ikan paus itu. Para sniper itu dibuat kelilipan matanya sehingga membatalkan bidikannya. Hari balas dendam telah terjadi. Anak itu terus melanjutkan teriakannya. Ibu itu terus melanjutkan tariannya.
Tangerang, 20 Mei 2006
Tulis komentar baru