Di Bandara Cedar Rapids ia tenggelam dalam kebingungan. Ke mana? Jadi bekerja sebagai asisten manajer makanan siap saji restoran Roy Rogers di Des Moines atau membantu radio pendidikan di Dubuque? Mengapa tidak pulang saja ke Tanah Air dan mencoba mengadu nasib di sana?
Agel masih memiliki banyak waktu untuk mengambil keputusan karena tiket pesawat terbang belum dimilikinya. Namun, keputusan itu yang sukar diambil. Ia ingin pulang dengan alasan sederhana, home sick. Tetapi, sebagai permanent resident yang telah dua belas tahun di negeri ini, keinginannya untuk pulang hanya dengan alasan home sick adalah keinginan yang kekanak-kanakan, karena status sebagai permanent resident-nya bukanlah status yang diperoleh dengan mudah. Sayang, apabila status itu dilepas begitu saja.
Membujang selama tiga tahun setelah bercerai dengan istrinya, Shelley, yang membawa kedua anaknya, telah membuat Agel kehilangan arah yang dituju. Ia berhenti sebagai supervisor di toko pakaian JC Penney tempatnya bekerja selama lima tahun. Kemudian ia berkeliling ke beberapa kota untuk membuang kekecewaan yang terus melilitnya. Perceraian itu sangat berat baginya.
Akhirnya, ia kembali ke Iowa City tempatnya bermukim sebelum berkeliling ke beberapa kota itu. Hanya satu minggu ia betah di sana, kota kecil yang pernah menjadi tempat tinggalnya selama sepuluh tahun. Ia memutuskan pindah ke kota lain di negara bagian itu. Lalu, mengapa ia ke Bandara Cedar Rapids. Bukankah untuk pergi ke Des Moines atau Dubuque ia dapat menggunakan jalan darat? Lalu, benarkah masih tersedia lowongan di radio pendidikan di Dubuque atau posisi asisten manajer di Roy Rogers?
Agel tidak mengetahuinya dengan pasti. Ini yang membuatnya didera rasa bingung di Bandara Cedar Rapids. Akhirnya, keputusan itu diambilnya setelah dua jam terombang-ambing. Ia harus pulang ke Jakarta.
”Sebenarnya aku terkejut sekali mendengar kau bercerai dengan Shelley setelah enam tahun menikah,” Mangasa menyadarkan Agel dari lamunannya. Mangasa memang menyesal karena dialah yang memperkenalkan Agel dengan Shelley, teman kuliahnya. Ketika hubungan kedua makhluk Tuhan tersebut semakin erat, Mangasa juga mendorong mereka untuk mengabadikan hubungan erat itu dalam ikatan perkawinan.
Ketika Mangasa kembali ke Tanah Air, Agel masih harus kuliah satu tahun lagi untuk menyelesaikan pendidikannya. Satu tahun setelah pendidikannya selesai, pada saat Agel menikahi Shelley, Mangasa tidak berada di dekat mereka.
”Tak ada yang perlu disesali, Mangasa,” ujar Agel tenang dengan suara datar.
Hawa sejuk menusuk mereka yang duduk di atas tumpukan papan di depan Stasiun Sasaksaat itu. Ratusan orang di sekitar mereka dengan tenang menunggu kedatangan bus yang akan mengangkut mereka ke stasiun berikutnya. Karena deretan gerbong kereta api dari Jakarta anjlok antara Sasaksaat dan stasiun berikutnya, kereta api yang baru mereka tumpangi tidak dapat melanjutkan perjalanan dan akan kembali ke Bandung.
Untuk mengangkut penumpang yang menunggu di Stasiun Sasaksaat menuju stasiun berikutnya, perusahaan kereta api menyediakan beberapa bus. Itulah yang mereka tunggu. Tiga puluh menit telah berlalu dan bus yang ditunggu belum juga muncul.
”Aku juga sangat menyesal memintamu pulang, karena pulang itu sendiri tidak ada manfaatnya bagimu. Semula aku mengharapkan kau dapat memuaskan rasa rindumu akan kampung halaman di samping melupakan perceraian yang tidak pernah kau inginkan itu.”
Agel menarik napas. Suara Mangasa terdengar aneh di telinganya. Suara itu seakan datang dari jauh, dari suatu tempat yang tidak dikenalnya. Lalu, mengapa kata-kata Mangasa itu didengarnya di Sasaksaat, sebuah kota atau desa kecil yang terletak antara Bandung dan Jakarta. Mengapa ia menyatakan penyesalannya di Sasaksaat, bukan di Jakarta atau Bandung? Lalu mengapa Mangasa mengatakan begitu, setelah satu bulan Agel berada di kampung halaman, bukan ketika mereka pertama kali bertemu setelah beberapa tahun berpisah?
Ah, di mana pun ia boleh mengungkapkan penyesalannya itu. Bahkan, sebenarnya ia tidak perlu mengemukakan penyesalannya, hanya karena dia yang memperkenalkanku dengan Shelley. Agel menggumamkan itu kepada dirinya sendiri. Karena itu pula Agel tidak ingin jika Mangasa terus dibebani dengan perasaan berdosa yang sebenarnya bukan miliknya itu. Itulah sebabnya Agel mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Setelah Obama menang di kaukus Iowa, apakah kau pikir jalannya akan mulus menuju Gedung Putih?” Agel bertanya kepada Mangasa.
”Wah, aku tidak tahu. Berita surat kabar tentang pemilu presiden Amerika itu jarang aku baca. Kita harus melihat dulu apakah Obama akan terus memperoleh nilai baik di negara-negara bagian lain.”
”Aku tidak yakin ia dapat begitu saja masuk ke Gedung Putih. Ia berkulit hitam. Masalah warna kulit ini tidak dapat disepelekan karena ini salah satu faktor penentu.”
”Masih belum berubah pendapatmu tentang warna kulit ini, Agel?”
”Belum. Semakin lama aku di sana semakin kuat keyakinanku akan hal itu. Obama akhirnya akan menjadi pecundang. Orang kulit hitam jangan berharap terlalu banyak dalam pemilu kali ini.”
”Kau yakin?”
”Tiga ratus persen.”
Pembicaraan tentang pemilu presiden Amerika berhenti setelah kalimat itu. Mangasa mengembalikan Agel ke benua berempat musim itu.
”Seandainya kau harus memilih, ke mana pilihan kau jatuhkan. Menjadi asisten manajer di Roy Rogers atau menjadi pengantar acara di radio pendidikan di Dubuque?”
”Keputusan tentang itu yang sangat sukar kuambil. Mungkin aku memilih Roy Rogers, mungkin radio pendidikan atau mungkin pula tidak kedua-duanya.”
Setelah itu Agel memberi isyarat agar Mangasa jangan bertanya dulu karena telepon selulernya berdering. Ia mengambil telepon seluler itu dari saku celananya, melangkah menjauhi Mangasa dan memulai pembicaraan dengan seseorang di ujung sana. Pembicaraan berlangsung serius lebih kurang sepuluh menit. Setelah selesai bertelepon, Agel tidak langsung kembali ke tempatnya semula, walaupun Mangasa masih tetap berada di sana.
Agel lebih dulu berjalan pelan-pelan di antara para penumpang yang sedang menunggu bus, sambil sesekali memandang ke arah perbukitan di sekitar mereka. Ketika Agel menghampiri Mangasa, wajahnya kelihatan cerah. Bersamaan dengan itu, lima buah bus datang beriringan. Semua penumpang kereta api naik ke atas bus dengan tenang, tidak berebutan, karena kelima bus tersebut dapat menampung semua penumpang tanpa harus duduk berdesakan.
Mangasa membaca e-mail tersebut dengan tenang. ”Dalam penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Cedar Rapids, aku benar-benar tidak dapat tidur sepicing pun. Aku ingin segera tiba di Dubuque dan memeluk kedua anakku, setelah tiga tahun tidak pernah bertemu dengan mereka. Selama ini kontakku dengan Shelley terputus dan aku tidak tahu di mana mereka. Tetapi, setelah Shelley meneleponku di Sasaksaat itu, barulah aku tahu di mana mereka.”
Mangasa tidak percaya pada yang tertulis di depan matanya. Ia mengulangi kalimat terakhir yang baru dibacanya. Tidak salah lagi, Agel menyebut Sasaksaat. ”Memang aku keterlaluan. Seharusnya aku bercerita kepadamu bahwa yang meneleponku di Sasaksaat itu adalah Shelley, bekas istriku. Begitu ia tiba di Jakarta, ia segera menghubungi adikku dan menanyakan nomor telepon selulerku, kemudian mengontakku just to say hello. Ia juga ingin bertemu denganku di Jakarta.”
Agel akhirnya memang bertemu dengan bekas istrinya itu. Shelley yang bekerja di sebuah Savings and Loan Association di Dubuque kebetulan bertugas dua bulan di Jakarta. Ia meninggalkan Michael dan Ciko di Dubuque bersama nenek dan kakek mereka. Semula Shelley berupaya menelepon Agel sebelum meninggalkan Dubuque. Kontak tidak terjadi karena Agel telah mengubah nomor telepon selulernya. Bahkan, Shelley sebenarnya tidak tahu bahwa Agel sedang berada di Jakarta.
Pertemuan di Jakarta itu berlangsung seperti pertemuan dua teman lama. Shelley menanyakan kabar Agel, begitu pula sebaliknya. Shelley bercerita tentang anak-anak mereka yang telah berusia 6 dan 5 tahun. Kedua anak itu bandel, lucu, dan sehat. Mendengar itu Agel mengemukakan hasratnya untuk bertemu dengan Michael dan Ciko.
”Kapan kau pulang?” tanya Shelley
”Minggu depan,” sahut Agel.
Shelley memberikan alamat kedua orangtuanya di Dubuque dan ia berjanji akan menelepon kedua orangtuanya tentang rencana kedatangan Agel itu. Semua ini dikisahkan Agel dalam surat elektroniknya kepada Mangasa.
”Betapa menyenangkan, Mangasa. Setelah tiga tahun kehilangan kontak akhirnya aku menemukan kembali Shelley dan kedua anakkku. Michael yang ketika kutinggalkan berusia 3 tahun dan Ciko 2 tahun segera memelukku ketika bekas ibu mertuaku menjelaskan siapa aku. Kedua bekas mertuaku juga menyambutku dengan hangat sekali. Shelley benar, kedua anakku sejak lama menanyakan keberadaanku dan sejak lama pula Shelley berusaha mencari alamatku.”
Sampai pada kalimat tersebut Mangasa tersenyum. Ia turut berbahagia mendengar kisah yang dirangkum Agel dalam kalimat- kalimatnya itu.
”Semula, dengan isyarat yang diberikan Shelley ini, aku berharap kami akan bersatu kembali untuk untuk menempuh kehidupan yang baru. Tetapi harapanku itu sirna ketika kedua bekas mertuaku mengatakan, Shelley akan menikah dengan Burt Tennison, orang paling kaya di Dubuque yang juga pemilik stasiun radio pendidikan yang dulu membuka lowongan untukku. Aku bahagia bertemu dengan kedua anakku dan kedua bekas mertuaku, tetapi aku sangat kecewa dengan kabar yang mereka sampaikan.”
Mangasa berhenti membaca surat itu. Ia juga kecewa dan bersimpati kepada Agel. Apalagi ia tahu, perceraian Agel dan Shelley terjadi karena dipicu oleh hal yang sangat sepele. Agel ingin memberikan nama Mangasa, namaku, kepada anaknya yang pertama yang kini bernama Michael itu. Shelley merasa tersindir dan prasangka muncul. Ia merasa Agel mencurigai hubungannya denganku sebagai hubungan yang lebih jauh daripada sekadar hubungan biasa sesama teman kuliah.
Agel berusaha meyakinkan Shelley bahwa ia sama sekali tidak mencurigai hubungan kami, apalagi aku adalah sahabatnya tempatnya berutang nyawa. Ia berkali-kali menjelaskan kepada Shelley bahwa aku telah menyelamatkan nyawanya ketika ia terbawa arus di Sungai Asahan di Sumatera, ketika sebagai pelajar SMA kami melakukan ekspedisi ke sana.
Agel memberikan nama Mangasa kepada anaknya semata-mata karena persahabatan kami yang tulus. Namun, Shelley tidak dapat menerima penjelasan itu dan perceraian akhirnya tak terelakkan. Karena itu Mangasa tidak dapat memahami mengapa ketika Shelley di Jakarta ia menelepon Agel dan ingin sekali bertemu dengan bekas suaminya itu. Mungkin, akhirnya ia sadar dan merasa menyesal.
”Mangasa, aku benar-benar telah memutuskan tidak akan bermukim di Dubuque. Aku akan pulang ke kampung halaman. Tapi bukan ke Jakarta atau Bandung. Mungkin ke sebuah kota atau desa kecil seperti Sasaksaat. Aku tidak tahu mengapa aku mengambil keputusan seperti itu.”
Kalimat-kalimat dalam surat elektronik tersebut berakhir di sana.
Jakarta, 30 Januari 2008
Tulis komentar baru