Oleh: MUHAMMAD SUBHAN
Sejarah sastra Indonesia memasuki alaf baru seiring pemerintah menetapkan tanggal 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia (HSI). Maklumat Hari Sastra (MHS) telah diproklamirkan sejumlah sastrawan, dipelopori Taufiq Ismail (bersama istri, Ati Ismail), Darman Moenir, Harris Effendi Thahar, Raudha Thaib, Rusli Marzuki Saria, Helvi Tiana Rosa, dan beberapa nama lainnya. Dihadiri puluhan sastrawan dari berbagai daerah di Tanah Air, MHS dipusatkan kegiatannya di SMA Negeri 2 Bukittinggi, Ahad 24 Maret 2013. Wakil Menteri Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti datang mewakili pemerintah. Dengan begitu, resmilah Indonesia memiliki “Hari Raya Sastra” yang akan dirayakan setiap tahun.
Penetapan HSI pada tanggal 3 Juli merujuk pada hari lahir sastrawan besar Abdoel Muis. Sastrawan yang lahir pada 3 Juli 1883 di Bukittinggi itu, adalah penulis novel Salah Asuhan (1928) dan Pertemuan Jodoh (1933). Di samping itu, Abdoel Muis juga merupakan Pahlawan Kemerdekaan pertama, yang dianugerahkan Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959.
Secara politis, penetapan HSI yang merujuk pada hari lahir Abdoel Muis, tentu menguntungkan Sumatera Barat. Dengan begitu, nama Abdoel Muis menambah deretan panjang daftar tokoh-tokoh dari Minangkabau yang nama dan kiprahnya harum di pentas Nasional. Tetapi masalah belum selesai, sebab penetapan HSI yang dinilai “sepihak” dengan mengacu pada hari lahir Abdoel Muis sehingga memunculkan perlawanan menentang HSI dari sejumlah sastrawan. Penolakan itu datang dari Solo. Sejumlah sastrawan yang menamakan diri mereka Sastrawan Independen Boemipoetra—digagas Saut Situmorang—menyatakan terang-terang menolak HSI versi Taufiq Ismail dkk., lalu mereka mendeklarasikan Hari Sastra Indonesia pada tanggal 6 Februari. Rujukannya mengacu pada tanggal lahir sastrawan besar Indonesia lainnya, Pramoedya Ananta Toer. Pram, menurut mereka, lebih dikenal dari Abdoel Muis, dan karya-karyanya sendiri dianggap fenomenal dan anti kolonialisme, serta berkali-kali diunggulkan sebagai kandidat peraih nobel—walau selalu gagal meraih nobel.
Ada juga yang mengusulkan, bila merujuk kepada nama tokoh, maka nama sastrawan Jawa, Mas Marco Kartodikromo, layak dijadikan simbol penetapan HSI. Alasannya, sastra daerah ikut memberikan andil perkembangan sastra nasional. Resia Kraton disebut sebagai novel berbahasa Jawa pertama karya Marco yang terbit pada tahun 1914 dan cukup memberikan pengaruh, terutama di Jawa. Dia juga menulis cerpen dan puisi berbahasa Jawa. Marco Kartodikromo wafat pada tanggal 18 Maret 1935, tetapi tidak diketahui kapan hari lahirnya.
Di daerah-daerah lain, semisal Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua, muncul pula protes yang sama kenapa tidak nama sastrawan mereka yang dijadikan rujukan penetapan HSI, kenapa harus dari Sumatera Barat? Polemik pun menjadi panjang, menguras waktu, pikiran dan tenaga. Maka, penetapan HSI menjadi argumen politik—dan bagi kita di Sumatera Barat, sekali lagi, HSI sangat menguntungkan secara politik.
Sesudah HSI Mau Apa Lagi?
Ditetapkannya HSI pada tanggal 3 Juli oleh pemerintah, maka dengan begitu “legalitas” HSI sudah sah—kalau dikatakan tak boleh lagi diganggu gugat. Lalu, sesudah HSI kita mau apa lagi? Sudah cukupkah berpuas dengan penetapan “Hari Raya Sastra” itu? Apakah pengaruh HSI bagi produktivitas menulis karya sastra, terutama di kalangan generasi muda, di Sumatera Barat khususnya? Ini tentu akan menjadi ‘pekerjaan rumah’ (PR) bagi pemerintah, terutama bagi para sastrawan penggagas HSI.
Produktivitas menulis sastra (puisi dan prosa) memang tidak mempunyai pengaruh apa-apa dengan adanya HSI. Tanpa HSI menulis sastra juga dapat dilakukan. Dengan begitu, HSI hanya sebatas “perayaan” saja sebagaimana umat Islam merayakan Idul Fitri dan Idul Adha setiap tahunnya, atau merayakan Natal bagi umat Kristiani. Tetapi, dengan adanya HSI, harapan kita, pelajaran sastra di kelas tidak lagi menjadi pelajaran “nomor dua” dan gairah menulis karya sastra bertambah tumbuh “berurat-berakar” di kalangan generasi muda.
Lantaran “perayaan” itu, maka selayaknya, setiap peringatan HSI, pemerintah bersama pegiat-pegiat seni khususnya sastrawan secara nasional dan daerah, merayakan HSI dengan berbagai kegiatan-kegiatan sastra. Di hari itu, syiar sastra harus benar-benar semarak. Saya mengusulkan, pada momen HSI, pemerintah RI setiap tahunnya memberikan Award Sastra semacam “Nobel” atau “Magsaysay” versi Indonesia yang menjadi anugerah tertinggi dan diberikan untuk karya sastra terbaik, baik puisi dan prosa yang ditulis sastrawan-sastrawan terbaik di negeri ini. Selama ini, rujukan hadiah sastra seolah hanya berkiblat pada lomba-lomba, khususnya Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Penulis yang berhasil memenangkan Sayembara DKJ, dianggap sebagai penulis hebat, penulis bermutu—yang lain “kurang hebat” karena tidak menang, tidak mengirim naskah, atau naskahnya luput dari mata penilaian juri. Kalau itu ukurannya, standar penetapan karya “sastra bermutu” menjadi ambigu, rancu dan subjektif.
Dan, pada perayaan HSI pula, Menteri Pendidikan mewakili pemerintah yang telah mensahkan HSI, harus “mewajibkan” guru-guru bahasa dan sastra Indonesia menulis karya sastra; menulis bersungguh-sungguh! Pengamatan saya di berbagai sekolah, banyak guru bahasa dan sastra Indonesia tidak bisa menulis puisi, tak pandai menulis cerpen, tak punya karya (novel) berbentuk buku. Bagaimana mereka akan memberikan contoh kepada siswa untuk menulis karya sastra yang baik? Peribahasa, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, masih berlaku bukan?
Begitu pun, di “hari agung” HSI itu, secara nasional, digelar berbagai kegiatan sastra di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pemerintah juga harus memfasilitasi para sastrawan masuk ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan karya mereka dan memotivasi siswa dan mahasiswa menulis. Pelajaran menulis menjadi penting walau nanti para siswa dan mahasiswa itu berprofesi sebagai apa pun. Jika mereka menjadi dokter, maka dokter yang menulis. Menjadi polisi dan tentara, adalah polisi dan tentara yang menulis. Jika menjadi birokrat atau pejabat, adalah birokrat dan pejabat yang menulis. Ya, menulis apa saja sesuai bidang dan keilmuan yang dimiliki. Jika seluruh orang di Indonesia dengan segala macam profesinya menulis (syukur-syukur ada yang menulis karya sastra—pen) maka akan sangat hebat negeri Indonesia ini. Peradaban baru akan lahir. Kelak akan mengalahkan—setidaknya sejajar—dengan peradaban-peradaban bangsa lainnya di dunia.
Kita tidak berharap, momen HSI diisi seperti Festival Siti Nurbaya tahun ini yang telah selesai beberapa waktu lalu, yang tidak menyinggung sastra sama sekali meski nama “Siti Nurbaya” diadobsi dari novel karangan Marah Rusli. Festival Siti Nurbaya hanya melombakan tari piring, sandal tampuruang, baju kuruang basiba, lagu gamad, randai, nyanyi minang, kuliner, dan lomba foto. Sastra, semisal lomba cipta/baca puisi, cipta cerpen, baca fragmen novel/drama, menjadi “anak tiri” yang tidak diikutsertakan. Kalau sudah begitu, apa yang dapat kita banggakan dengan membawa-bawa nama “Siti Nurbaya”?
Maka, atas nama pribadi, saya mengucapkan “Selamat Merayakan Hari Raya Sastra Indonesia Tahun 2013”. Mari kita “bersastra-sastra” dengan gembira.
*) Pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Menulis novel, esai, cerpen dan puisi. Domisili di Kediri dan Padangpanjang.
DITERBITKAN DI:
KORAN HARIAN SINGGALANG EDISI MINGGU, 30 JUNI 2013, HALAMAN ESTETIKA
Tulis komentar baru