Oleh: ASEP SAMBODJA
Saya mengenal nama Basuki Resobowo dari puisi Chairil Anwar yang berjudul “Sorga”. Puisi ini berkisah tentang keinginan aku-lirik untuk masuk surga, sebagaimana nenek-moyangnya menginginkan surga, karena menurut Masyumi dan Muhammadiyah, di surga itu ada sungai susu dan penuh bidadari. Namun, sang aku-lirik merasa ragu: apakah benar di surga ada bidadari? Dan, kalaupun ada, apakah “suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?”
Saya tidak tahu latar belakang penciptaan puisi itu. Begitu juga kaitannya puisi dengan pelukis Basuki Resobowo. Namun, setelah membaca Bercermin di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat karya Basuki Resobowo (2005), barulah saya tahu latar belakang penciptaan puisi “Sorga”. Sebelum menjelaskan latar belakang itu, ada perlunya kita membaca puisi Chairil Anwar ini secara utuh.
Sorga
buat Basuki Resobowo
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?
Malang, 25 Februari 1947
Pada 1947, Basuki Resobowo mengadakan pameran lukisan di Jakarta. Basuki merasa bangga karena dia adalah pelukis pertama Indonesia yang memamerkan lukisan perempuan telanjang. Kebetulan Chairil Anwar mengunjungi pameran lukisan itu. Kemudian ketika Chairil Anwar dating ke Yogyakarta, ia menemui Basuki Resobowo dan berkata, “Bas, aku berhenti berdiri ada 10 menit di muka lukisan telanjang.”
Lalu Basuki Resobowo menceritakan bagaimana hubungannya dengan model itu. Chairil langsung memeluk Basuki dan berteriak, “Hebat kau Bas, semua yang kau ceritakan ada dalam lukisan itu.”
Dalam buku esai yang bergaya sastra ini Basuki Resobowo memang berbicara tentang banyak hal, termasuk model perempuan telanjang dalam lukisannya. Itu adalah kisah nyata. Perempuan itu adalah salah satu dari mbok-mbok bakul sayur dari desa yang berjualan di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Mbok-mbok bakul itu, termasuk Irah, sering beristirahat di sanggar pelukis Yogya di Alun-alun Lor. Irah ini berbeda dengan mbok-mbok bakul lainnya. Ia terlihat lebih genit. Hingga suatu malam, Basuki Resobowo menidurinya dan ia pasrah lega lila seperti Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag. Ketika Basuki Resobowo memintanya untuk menjadi model telanjang dalam lukisannya, Irah menjawab, Ah, malu ditonton.”
Setelah dibujuk bahwa ia akan mendapat uang khusus untuk digambar telanjang, akhirnya ia mau menjadi model telanjang pelukis Basuki Resobowo. Saat Irah menjawab, “Iya boleh, saya mau.” Seketika itu pula Basuki Resobowo langsung mencium bibirnya.
Basuki menulis: “Keesokan hari Irah dilukis telanjang di ruang dalam, tempat buat tidur. Di sini lebih aman karena bisa ditutup rapat, sehingga tidak ada orang yang bisa mengintip. Cahaya diambil dari atas dengan menggeser beberapa atap genteng.
Irah berdiri bulat di muka kita. Rasa malu masih ada, oleh karena itu berdirinya tidak tegap dan melongoskan mukanya ke kanan sambil memandang ke bawah tanpa arah tujuan. Untuk menghilangkan kekikukan dipilih sikap yang enak dan bebas. Dia berdiri bersandar pada satu kaki, sedang satu kakinya dilepas dari jejak berdiri. Kedua lengannya bebas terkulai melekat di badan menurut garis gemulai dari tubuh wanita dengan pinggang yang tertarik sedikit ke atas karena tersanggah oleh kaki yang menjadi sandaran berdiri.
Dari sudut penglihatan, adegannya mengingatkan adegan wanita dari relief-relief di Candi Borobudur. Sikap berdiri bersandar atas satu kaki dengan muka miring dan pandangan jauh tunduk ke bawah, adalah pola adegan ketimuran, bukan pola Yunani yang menjadi standar seni Barat. Ketika dalam melukis sampai waktunya harus dengan cermat mengamat-amati tubuh model, perasaan saya tercengang oleh kulit dari wajah Irah yang penuh dengan rautan yang memperjelas rintihan hidup. Buah dada yang menggantung lelah, perut kembung yang melongsor ke bawah karena kehabisan urat-urat daya tahan, menjadi kesaksian getir hidup. Hanya kerlingan mata Irah yang masih mengajak kita mengubur rasa haru dan lari dalam ramah semalam.” (Resobowo, 2005).
Ah, Basuki Resobowo bisa saja! Peristiwa itu sudah lama berlangsung, saat Basuki Resobowo masih berusia muda. Dan ia menulis esai-esainya itu saat usianya 73 tahun. Betapa Basuki Resobowo masih mengingatnya dengan detail. Gara-gara lukisan perempuan telanjang itulah Basuki Resobowo dihadiahi puisi oleh Chairil Anwar. Puisi yang berjudul “Sorga”.
Cerita tentang lukisan perempuan telanjang—yang sekarang sudah hilang—itu hanyalah sebagian peristiwa yang diingat oleh Basuki Resobowo, yang mengakhiri masa tuanya di Amsterdam, Belanda. Ia menulis buku Bercermin di Muka Kaca ini karena ia mendapat surat dari istrinya yang menyebutkan bahwa sahabatnya, S. Soedjojono mengatakan “Melukis dan politik adalah dua hal yang berlainan. Kalau mau melukis di mana saja bisa, tidak usah dikatakan kalau tidak berada di Indonesia sukar melukis.”
Basuki Resobowo yang masih konsisten dengan sikap kesenimanannya menolak pendapat Soedjojono itu. Baginya, berkesenian tidak bisa dipisahkan dari politik, karena seni tidak boleh lepas dari alam kehidupan di masyarakat. “Tanpa komitmen sosial tidak akan lahir seni lukis Indonesia modern dalam arti meninggalkan yang kolot (konservatif dan formalistis) serta melangkah ke pandangan baru yang sesuai dengan jiwa kehidupan yang menghendaki kebebasan dan kemartabatan manusia.” (Resobowo, 2005).
Masa tua Basuki Resobowo adalah hari-hari terakhir seorang bohemian yang hidup “menggelandang”. Ia bisa menerima dan membiarkan istri dan anaknya hidup “berjarak” dengannya, karena keluarga yang berhubungan dengan seniman Lekra atau PKI akan mengalami kesulitan hidup di Zaman Soeharto (1966-1998). Basuki bahkan tidak dikehendaki pulang ke Indonesia oleh istrinya, meskipun ia sangat ingin menginjakkan kakinya di Indonesia.
Ia meninggal di negeri asing dalam usia 82 tahun. Meminjam kata-kata Chalik Hamid, kematian seorang eksil atau emigran politik tidak ada yang menangisi.
Citayam, 2 Oktober 2009
Komentar
Tulis komentar baru