SEBUAH EKSPRESI TEATRIKAL DALAM PENDALANGAN
Oleh: Hafash Giring Angin*
Perkembangan teater tutur sekarang ini boleh dikatakan telah melewati proses sejarah panjang serta mengalami perkembangan dari masa ke masa. Teater tradisi yang bersumber dari sastra lisan bagi masyarakat Indonesia dipandang bukan sekedar ekspresi seni, melainkan sumber acuan kehidupan yang mengandung nilai- kultur budaya seperti pendidikan, filsafat, estetika, religiusitas social yang mempunyai fungsi sebagai sarana penyampaian ide-ide universal[1] baik yang bersifat profan material maupun transenden spiritual yang menggarisbawahi bahwa teater tutur sebagai sebuah ekspresi teatrikal dilakukan oleh satu orang untuk bercerita dan mendongeng serta menjadikan bagian aspek pelisanan.
Dalam laju kreativitasnya, teater tutur memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang, jauh sebelum kata seni muncul karena dalam prosesnnya, lahir dalam tradisi sastra lisan[2] – meminjam istilah Sapardi Djoko Damono – melisankan kembali – yang dituturkan melalui peragaan. Jadi apa pun yang dituturkan dan diperagakan dengan kepekaan sensibilitas seni menjadi bentuk ekspresi tuturan, misalnya dengan mengolah suara menjadi berbeda-beda sesuai watak tokohnya atau dengan gerak-gerik yang ekspresif sehingga terlihat sebagai peristiwa teatrikal yang mampu memberikan nilai-nilai edukasi dan hiburan kepada penonton.
Sebagai ekspresi folklore kerakyatan, teater tutur dalam kehidupan komunal banyak yang menyatu dengan kegiatan upacara tradisi yang tidak semata-mata sebagai pertunjukan tetapi merupakan ekspresi kebudayaan yang mencakup perilaku dan tatanan masyarakat dalam menghadapi gerak pembangunan. Banyak jenis-jenis teater tutur di Indonesia yang menunjukkan ekspresi budaya seperti “Kesenian Mengandung” yang berasal dari daerah Batak, menurut Putu Wijaya (2007: 27) memiliki aspek fungsional umumnya dilakukan pada saat kerabat meninggal dunia. Pepanco dari daerah Lampung adalah seni tutur dengan cerita yang berisi nasehat-nasehat. Begitu halnya masyarakat Betawi memiliki seni tutur “Shahibul Hikayat” yang bertolak dari legenda dan dongeng-dongeng. Ada pula “Kesenian Bakaba (berkabar)” dari Minangkabau merupakan seni mendongeng diiringi rehab dimainkan oleh pendongeng atau penyanyinya sendiri. Masih banyak dan varian teater tutur yang memiliki kesamaan dalam berbagai struktur serta bentuk penyajiannya.
Aspek-aspek struktural dalam seni pertunjukan bersifat niscaya dan memiliki pemaknaan yang terkait dengan fungsinya masing-masing. Brocket (1988:5) dalam buku “The Basic Element of Theatre” menyebutkan beberapa elemen pokok seni pertunjukan. Pertama, apa yang dipertunjukkan. Kedua, aspek pertunjukannya. Ketiga, aspek penonton. Pengertian pertama dimaksudkan bahwa lakon cerita tersebut dipertunjukkan dan disajikan. Pengertian kedua, pertunjukan terkait dengan proses penyelenggaraan. Pengertian ketiga, dikaitkan dengan partisipasi publik. Yudiardani juga mensinyalir gagasan serupa bahwa “peristiwa-peristiwa faktual dalam sejarah lisan dan narasi fiktif dalam tradisi lisan diolah kembali oleh seniman teater menjadi pertunjukan teater untuk ditonton. Di dalam pertunjukan teater, kehadiran penonton penting karena tanpa penonton tidak ada teater.” Keanekaragaman bentuk-bentuk structural sebagaimana yang dimaksud dua penulis di atas, merupakan ekspresi budaya yang dilaksanakan dalam rangka keperluan aktivitas social yang mencitrakan peristiwa teatrikal di dalamnya. Ada yang diceritakan dengan berdendang, ada yang disertai dengan music berupa seruling dan gendang di samping juga disertai gerak ekspresif yang selaras dengan konteks lingkungannya.
Seni mendongeng dalam seni bertutur memerankan berbagai macam karakter dalam cerita dengan menggunakan property multifungsi sebagai penunjang cerita. Sang penutur membawakan kisahnya sambil melantunkan syair dan mantra diiringi bunyi-bunyian, oral, gerak tubuh dan wajah yang ekspresif. Cerita yang dimainkan berisi pesan yang bersifat mendidik dan menghibur. Oleh karena itu, teater rakyat mempunyai ciri utama seni pertunjukan berdasarkan intuisi yang bersifat instingtif karena dilakukan dengan perantaraan orang lain untuk bercerita. Tradisi bercerita merupakan salah satu alat penyebaran komunikasi dan dipandang sebagai pengikat solidaritas masyarakat lokal dan penyalur integritas nasional masyarakat global. Dalam pemaknaan dan fungsi-fungsi seni pertunjukan dalam teater rakyat memiliki kaitan yang kuat hubungannya dengan fungsi kolektif dan solidaritas untuk menyambungkan dengan tradisi masa lampaunya. Di sinilah peranan teater tradisi mengungkap hubungan sosial interaktif melalui hubungan mutual relation yang saling bergantung satu sama lain untuk mencari kebersamaan sejagad dalam transformasi yang disesuaikan dengan situasi budayanya. Yudiardani (2006) membagi teater rakyat ke dalam lima golongan: Pertama, sebagai alat pendidikan anggota masyarakat cerita lisan tersebut. Kedua, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif. Ketiga, sebagai alat seseorang untuk menegur orang lain yang melakukan. Keempat, sebagai alat protes terhadap ketidakadilan. Kelima, sebagai kesempatan seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah. Pemaknaan bentuk, watak, dan karakter yang dengan makna spritualitasnya yang total dalam rangka memperjelas identitas dan kegunaannya bagi masyarakat.
MENCAIRKAN TRADISI KERAKYATAN DALAM DIMENSI RUANG DAN WAKTU
Mendudukkan teater tradisi sebagai teater yang sedang berproses, maka teater tradisi memiliki ruang pembebasan yang ada dan terjadi dalam dirinya sendiri, yaitu pembebasan melalui nilai-nilai kedaerahannya. Proses pembebasan tersebut dianggap Umar Kayam sebagai “pembebasan budaya-budaya daerah” dan Rendra menyebutnya dengan “mempertimbangkan tradisi”, sedangkan Emha Ainun Najib menyebutnya dengan “budaya tranding.” Proses ini akan menunjukkan sifat tradisi yang plastis dan dinamis. (Yudiaryani : 2006).
Sejalur dengan apa yang digagas Yudiardani di atas, penulis menilai bahwa perkembangan teater tradisi melahirkan banyak perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat. Kecendrungan tersebut diawali oleh mencairnya artikulasi pemikiran masyarakat yang terus berubah dalam gerak dinamika kebudayaan di dalamnya. Namun dalam gerak pertumbuhan teater tradisi yang mencair tersebut (baca: teater tutur), tidak diimbangi oleh instrumen penopang dan sikap antisipatif masyarakat pendukungnya dalam menyikapi gerak perubahan sehingga lambat laun tetater tutur terkepung dalam gerak perputaran krisis multidimensi.
Krisis yang paling fundamen berasal dari serapan nilai budaya luar yang tidak sesuai dengan karakteristik bangsa. Berbagai paradox pun muncul dalam lingkaran masyarakat. Di satu pihak dipasung ruang modernitas global dan pada sisi yang lain dipersempit ruang imajiner karena keterbatasan ruang lingkup kreativitasnya, sehingga para seniman pendukung di dalamnya kesulitan mengambil jarak dalam percaturan alam budayanya. Tentu, hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan teater tutur itu sendiri yang berimbas pada stagnasinya nilai-nilai budaya masyarakat di dalamnya yang menegasikan tanda tanya “teater tutur tidak pernah muncul sebagai teatrikal seni besar yang menampung banyak apreasiasi seni, tapi merupakan komponen budaya yang terus tergerus dalam ambang kematian. Persepsi semacam ini dilatarbelakangi oleh asumsi – meminjam istilah Suyanto : 39 – seni tradisi selalu diidentikkan dengan yang kuno, irrasional dan ketinggalan zaman – yang disebutkan – FX. Widaryanto – diakibatkan permasalahan situasi yang dalam tingkatan terterntu memiliki asosiasi terhadap sesuatu yang diam – karena perhatian publik, khususnya generasi sekarang cenderung dipayungi otoritas pemikiran yang berasal dari budaya barat yang berimbas pada menanggalnya nilai-nilai identitas budaya itu sendiri. Bahkan di kalangan mereka pun menganggap bahwa teater tutur hanya menjadi bagian ekspresi ritual lokal. Melihat kenyataan realitas yang ada memang demikian.
Pada masa lalu, teater tutur biasanya dilakukan oleh hampir setiap orang dan karya-karya yang dibawakan bersifat milik umum. Pelestarian folklore semacam ini kebanyakan terjadi melalui tradisi lisan yang memang muncul dan keinginan masyarakat lingkungan untuk diturunkan sebagai salah satu penyebaran sastra lisan sekaligus hiburan bagi masyarakat.
Bertolah dari semua realita yang ada, maka seniman tradisi di dalamnya seyogyanya menyikapi dengan berbagai gerak pertumbuhan tradisi yang mencair karena bagaimana pun antara tradisional dan modern[3] telah terjadi pembiasan kultural di masing-masing alirannya akibat proses pertukaran dan pembenturan antara global dan lokal dalam seluruh wilayah pengekspresiannya. Pemibiasan re-invensi semacam ini – menurut Yudiaryani istilah “daerah” dan “kota”, mencerminkan perubahan dan pergeseran wilayah geografis dari desa ke kota yang disebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota serta perubahan wilayah yang dulu desa menjadi kota secara administratif.
Dalam sejarah globalisasi, dua gejala ini bekerja secara serentak melampaui batas-batas wilayah dan geografis yang tidak terelakkan. Peristiwa dan segala bentuk perubahan dan keragaman hadir dalam ruang dan waktu yang masing-masing memiliki tujuan dan muaranya. Persoalan ini boleh dibilang senantiasa menjadi pergulatan terus-mnenerus manakala penetrasi dan serbuan budaya popular dari berbagai negara menunjukkan daya saingnya. Manifestasi gerak tantangan budaya tersebut bukan hanya masalah menyaring apa yang datang dari luar, tetapi barangkali lebih penting bagaimana seniman tradisi dengan arif membaca dan kemungkinan unsur-unsur lokal dari lingkungan sendiri dan mengungkapkannya ke dalam bentuk budaya yang membersitkan kekinian sebagai sebuah manifestasi pergerakan budaya yang niscaya; meliputi kesadaran komunitas kesadaran komunitas untuk memperebutkan relasi atas munculnya persilangan dan keberagaman di masing-masing ranah budaya yang mengindonesia. Yudiaryani mengatakan bahwa kata “Indonesia” tidak lagi berarti bukan lagi kota atau pun daerah, tetapi sebuah bentuk dan gaya baru yang unik dalam maknanya sendiri terhadap kepekaan yang disebut kepekaan Indonesia. Ia diharapkan mampu menyelesaikan masalah bahwa orang Indonesia kebanyakan bicultural, yaitu berbicara dalam kerangka budaya Indonesia dan daerah. Konteks Indonesia – meminjam istilah Benedict Anderson – komunitas-komunitas terbayang yang di dalamnya membayang suatu pergumulan, tarik-menarik dan ketegangan secara interteks nilai-nilai kedaerahan dan nilai keindonesiaan.[4]
Munculnya perputaran arus budaya dalam berbagai latar budaya seyogyanya dipacu menuju arus penyadaran akan pentingnya proses perubahan. Perubahan budaya semacam ini sangat terkait dengan masalah kesadaran akan pengetahuan berbagai suku bangsa di luar suku bangsa sendiri yang meretaskan tradisi dan modernitas dalam percaturan budaya global. Masalah kesadaran budaya, Edi Sedyawati (2006 : 330) mengelompokkan ke dalam empat bagian. Pertama, pengetahuan akan adanya berbagai kehidupan suku bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keunggulan-keunggulannya. Kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan suku-suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri dengan kesediaan saling kenal. Ketiga, pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya juga mengembangkan kebudayaan nasional maupun budaya asing yang dianggap dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Pernyataan Edi Sedyawati tentang kesadaran budaya merupakan evolusi kebudayaan untuk saling kenal – meminjam istilah Dieter Marck (142) – sebagai pendidikan sikap untuk membentuk manusia yang seimbang dan selaras dalam perkembangan fungsi jiwa dan pengembangan pribadi dengan memerhatikan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar. Pendapat ini menunjukkan sikap kultural agar perkembangan seni budaya memiliki fungsi dan tujuan untuk mengembangkan kepekaan berbudaya.
Pada masyarakat tradisi, kesenian hidup dalam komunitas yang solider, bahkan kesenian tersebut pada mulanya sebuah ritus kehidupan total dengan segala perilaku kesenangan dan kegemaran. Masalah ini penulis piker menjadi penanda (signifier) dan petanda (signified) sebagai sebuah penyampaian narasi yang hidup, manakala tuturan ini menjadi ajang pengucapan yang diinginkan tubuh dalam proses kreatif, karena bagaimana pun teater tradisi sebagai teater total bukanlah suatu ekspresi seni yang abadi. Teater tradisi aalah suatu organ budaya dinamis yang membutuhkan perhatian untuk hidup bagi strategi kebudayaan baru, terutama dengan cara yang lebih beragam bagi pengembangan bahasa ungkap sang penutur. Seni tradisi bukanlah benda mati, ia akan selalu berubah selaras dengan tahapan dan tata nilai masyarakatnya.
Merujuk pada terbukanya nilai-nilai lokalitas dalam percaturan budaya sebagaimana disinggung di atas, dengan demikian si penutur dituntut pandai menyesuaikan diri dengan perkembangan untuk memberi kemungkinan mengembangkan imajinasi pengucapan baru ke dalam ruang komunikasi yang lebih solider sebagai sebuah cermin mempersolek diri dalam pelukan masyarakat sebagai penontonnya. Berangkat dari pengamatan ini, pengembangan produk baru seni pertunjukan memerlukan penyelidikan kreativitas dan wacana pengucapan tradisi yang uptodate sesuai dengan zaman yang berkembang.
I Made Bandem (2000 : 30), mengatakan bahwa dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan identitas justru semakin besar. Inilah paradoks yang menggiring pada wacana baru, wacana tentang identitas budaya. Identitas yang dibangun melalui pergulatan dan ketegangan dalam menemukan pilihan komunitas.. pada satu sisi berusaha masuk dalam percaturan internasional yang menepis batas geografis, batas-batas etnis, batas-batas bangsa atau identitas budaya. Pada sisi lain justru muncul semangat untuk kembali pada etnisitas, lokalitas, mempertimbangkan batas geografis dan etnisitas kebangsaan atau mempertimbangkan warna budaya.
Pendapat I Made Bandem menjadi tengara baru, tatkala paradigma lokalitas tentang identitas budaya berusaha menyatukan keberagaman etnik ke dalam pendekatan identitas yang solider dengan segala cakupan wilayah ekspresinya sehingga teater tutur menjadi sangat menarik dituangkan dalam penciptaan seni baru dengan harapan bisa melakukan penggalian yang bersandar kepada kaidah ushul fiqh: al-Muhafadhoh ‘Ala Qadimis as-Shaleh Wa al-Akhdzu bil Jadidi al-Ashlah, dalam arti “menjaga tradisi lama yang baik dan mengakomodasi tradisi baru yang lebih baik” dalam upaya membangun kretivitas kultur budayanya. Bagaimana pun, proses globalisasi yang mendera hampir seluruh hunian masyarakat seni pertunjukan adalah proses pertukaran budaya yang bisa saling mengenal dan menghargai satu sama lain sehingga proses pengenalan diharapkan dapat mengambil bagian dalam gerak percaturan budaya yang lebih beragam. Lono Lastoro (2000) mengatakan bahwa pada era ketika waktu dan ruang menjadi barag mewah seperti saat global ini, kita harus berani menawarkan bentuk untuk memenangkan pertarungan control atas diri kita sendiri dalam lingkungan masyarakat urban dengan segala dampak dan perubahan-perubahannya.
SEBUAH IMAJI KEBERMAKNAAN SEBUAH KONTEKS KEBERAGAMAN
Penelusuran imaji teatrikal dalam konteks keberagaman dan kebermaknaan merujuk pada masalah-masalah khusus yang diakibatkan oleh pergerakan budaya komplek kerakyatan. Latar belakang dari setting kekaryaan menggabungkan unsur-unsur tradisi dan modern yang memberi ekspresi dan nafas terhadap faktor yang saling berkaitan dengan perubahan kebudayaan. Konteks keberagaman dalam idiom-idiom pengucapan semacam ini mengambil bentuk adaptasi dari unsur-unsur budaya Indonesia dan meramunya dalam konteks keberagaman yang khas dan menjadi milik kita sendiri. Titik berangkat pengucapan narasi penuturan ini bertolak dari sebuah kegelisahan bahwa bentuk-bentuk penuturan yang diilustrasikan oleh penulis di atas adalah bentuk teater tradisi yang mempunyai kaidah ilustrasi kerakyatan, karena teater tradisi tidak bisa melepaskan pada konteks dasarnya sebagai sastra lisan dari seorang penutur dan diceritakan kepada orang lain dengan cara yang sama dan menetap. Tamstil-tamstil (contoh-contoh) penuturan semacam ini menurut penulis masih menunjukkan kreasi yang bergerak dan berdiam dalam satuan garis linier hitam di atas putih. Padahal kalau melihat esensi dari bentuk pengucapan seorang penutur tidaklah cukup luas hanya berbekal pada penguasaan cerita, tapi yang paling mendasar adalah bagaimana penuturan semacam ini berkembang ke dalam kretivitas seni yang mencerminkan inovasi dan reaktualisasi nilai-nilai kebermaknaan. Dalam teater tutur ada makna yang seyogyanya dijelajahi struktur dan bentuknya, sehingga dimungkinkan berkembang dan terbukanya berbagai kemungkinan medium estetik dan pemaknaan yang baru.
Salah satu yang menjadi titik terang arus balik pengucapan baru teater tutut dalam ekspresi teatrikal adalah genre[5] pendalangan. Sebagai salah satu disiplin ilmu, pendalangan dipandang sebagai medium pakeliran – yang menurut Titin Masturoh (2005 : 25) – mengandung unsur lakon dan unsur garap antara lain: bahasa, suara, rupam dan gerak – di mana kesemuanya dalam proses senambung dan terolah dalam – bahasa menjadi tutur, suara menjadi karawitan, rupa menjadi boneka dan gerak menjadi sabet. Penggunaan istilah pendalangan atau pakeliran dengan pengucapan barunya tidak lagi menjadi bahasa tuturan yang hanya diceritakan dan dinyanyikan sebagaimana teater-teater tutur sebelumnya, namun si penutur sendiri sudah menjadi dalang sekaligus wayang yang memeragakan semua elemen-elemen estetik dan artifisial ke dalam medium pemanggungan dengan berbagai pendekatan pertunjukannya.
Pendalangan dalam konteks pengucapan baru menurut penulis adalah sebuah disiplin ilmu seni dalang yang merupakan simbol pengucapan tertentu yang kaya akan sistemik penuturan dialog, teknik survival dalam membangun gairah peragaan atau dengan langgam macapatan. Khususnya ketika si penutur mengolah tuturan dengan berbagai macam asas watak-watak tokoh karakter yang diciptakan berikut penjalinan struktur plot dan pengolahan latar. Aspek penjalinan plot dan pengolahan latar pada klimaksnya sebagai suatu rentetan peristiwa yang disusun supaya ada kesinambungan dari detik pengenalan sampai ke detik akhir penceritaan – sesuatu yang tidak mudah karena seni pendalangan membutuhkan keterampilan mengorganisir suara, memainkan irama, mengajak memahami suasana dan menjadi roh bagi pelaku-pelaku manusianya. R.Soetrisno (Surakarta, 1980 : 7) mengatakan bahwa ada beberapan hal yang perlu dikuasai dalam ilmu pendalangan:
Pertama, Armadi Basa, artinya dalang harus mendalami bahasa terutama yang dipakai dalam pakeliran. Kedua, Awicarita, artinya dalang harus pandai dan lancar dalam bercerita atau mengucapkan bahasa. Ketiga, Parama Kawi, artinya, dalang harus mengerti bahasa kawi, karena banyak nama, istilah, dan kata dalam pakeliran memakai bahasa kawi. Keempat, Paramasastra, artinya dalang harus mengenal banyak karya sastra, khususnya yang mengandung cerita wayang. Selain itu mengetahui tata bahasa dari macam bahasa yang dipakai dalam pakeliran. Uraian di atas membuka kemungkinan estetik dan pemaknaan baru, penulis mengkaji beberapa hal yang sifatnya inheren yaitu bagaimana seorang penutur menjadi dalang dalam aspek batas antara dunia panggung dan penonton. Konsep pengucapan adalah eksperementasi bahwa seorang dalang dituntut menggerakkan seluruh imaji penceritaan dengan dunia simbolik dan rekaannya dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan di atas panggung yang dimaksudkan agar si penutur terpacu untuk menemukan cara-cara baru dalam pertunjukannya; sebuah cara yang dianggap dapat merebut hati segmen seni pertunjukan tertentu secara luas, dan ini merupakan metode untuk memasuki peluang dunia yang berbeda dengan dunia tradisionalnya dan akan berhadapan dengan simetris dalam wilayah lingkungan urban kekinian dengan latar belakang produk budaya yang kosmopolitan. Latar belakang kosmopolitan secara pragmatis memproduksi dan merepresentasikan tata kehidupan lokal ke tata kehidupan global untuk hidup berdampingan serta menyesuaikan diri dengan cair atas tatanan berbeda dengan habit tradisi lingkungannya.
Dalam genre penuturan ke genre pendalangan yang diungkapkan oleh penulis dalam latar di atas akan memasuki sebuah lingkup era baru dengan bentuk-bentuk pakem baru pula sehingga menjadi tatanan yang bersimbiosis dengan tatanan seni-seni pertunjukan lain. Salah satu syarat genre pendalangan, seorang penutur seyogyanya memahami dan menjadi ilmu-ilmu pewayangan menjadi titik tolak berangkat dalam menemukan ekspresi teateral atau teatrikal, dalam hal ini Umar Kayam (2002 : 279) membagi pada dua tipe dalang. Pertama, memahami dunia sebagai anarki dan memasukinya dengan mengandalkan model keberanian. Kedua, dalang yang memahami dunia sebagai sebuah tatanan baru yang menjadi bagian darinya. Sekelumit tarikan model pada dua tahapan model yang ditawarkan Umar Kayam secara periodik dan hirarkis akan terlihat pertentangan antara pakem dan inovasi – di mana paradoks yang muncul di dalamnya selalu mengemukan dan menjadi perbincangan publik luas – mengenai kelebihan dan kekurangannya.
Menampung dari semua gejolak pertentangan d atas, seorang, penutur dalam genre pendalangan membutuhkan beberapa perangkat otoritas yang dapat memberikan legitimasi perubahan ke dalam ruang tersebut dengan bukti-bukti pemahaman estetik yang gemilang. Seorang penutur dalam pemahaman budaya adalah seorang abdi seni yang dengan kecakapannya seyogyanya melayani penonton dan dapat menjalankan peran tradisionalnya dengan sempurna. Umar kayam (2000 : 4) dalam hal ini memberikan ulasan bagaimana penutur membaca, menonton, dan memahami wayang kulit dalam keberadaannya seperti sekarang yang berarti setidaknya ada dua hal pemaparan. Pertama, membaca dan memahami sejarah wayang itu sendiri, mencoba menangkap jejak sejarah yang terekam di dalamnya, mencoba mengerti bagaimana kiat dan strategi yang digunakan untuk tetap bertahan hidup dalam berbagai bentuk pergolakan dan perubahan. Kedua, membaca, menonton, dan memahami sejarah manusia Jawa dalam rentang sejarah panjang dengan berbagai kiat dan survivalnya. Menginduk pada pemikiran Umar Kayam, penulis mencoba melihat wacana baru yang bersifat bebas ekperementasinya bagaimana seorang penutur dapat bermain leluasa dengan dunia simbolik dan dunia rekaan dalam aspek-aspek penceritaan dan segala struktur komunikasi yang kompleks. Penelaahan kompleksitas penuturan membutuhkan kajian kritis tentang ilmu-ilmu filsafat dan aspek sosio-psikologis dalam perpustakaan di sekeliling kehidupan penutur.
Aspek penceritaan misalnya, membuat struktur naratif yang disusun dalam bentuk komunikasi yang sederhana dan kompleks. Si penutur membutuhkan fleksibiltas gerak pikiran dengan instrumen-instrumen peraga sebagai pendukungnya. Aspek penceritaan yang menyita perhatian penulis adalah cerita legenda Ramayana dan Mahabarata yang menampilkan tokoh-tokoh perwatakan dalam garap agedan yang dipertemukan dan dibenturkan.
Dalam garapan adegan tokoh-tokoh perwatakan, unsur penceritaan dicoba dicairkan dalam beberapa tangga penyutradaraan. Titin Mastiroh (2005 : 31) memaparkan deskripsi bentuk sajian ini ke dalam beberapa analisa seperti berikut, ada kaitan antara adegan satu dan lainnya, tokoh satu dengan tokoh lainnya serta peristiwa-peristiwa lakon tersebut. Adegan pembuka berkaitan erat dengan adegan kedua. Adegan kedua merupakan akibat dari adegan pertama yaitu persoalan yang dihadapi tokoh dalam adegan kedua. Adegan ketiga merupakan tindak lanjut adegan kedua. Adegan keempat dan adegan kelima merupakan penentu. Adegan keenam merupakan akibat dari kelima. Bentuk garap agedan dengan tersebut mempunyai jalinan erat menurut sebab akibat.
Apa yang dimaksud dengan Titin Masturoh dalam garap adegan menunjukkan bahwa pengucapan baru dalam garap adegan menunjukkan bahwa teater tutur merefleksikan hukum-hukum Pascal dalam keseimbangan sebab akibat dramaturgis yang berlaku dalam struktur seni pertunjukan modern. Seni pertunjukan dalam struktur politik Platonik semacam ini pada dasarnya memiliki kesimbungan yang saling terkait dalam berbagai segmen plot pemaparannya.
Penutur dalam berbagai bentuk pengucapan yang ditampilkan ulasan fragmentaris, mengangkat segi-segi penting genre pendalangan dalam gaya penceritaan seperti gaya dan teknik penceritaan dan gaya bertembang dengan teknik pengolahan tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan. Eksplorasi pengucapan merupakan bentuk eksperementasi di mana dalang pada awalnya berdasarkan tradisi turun temurun secara lisan. Jagad teateral, di samping pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki misalnya tentang cerita, gending, suluk, dan teknik pergelaran juga ada sekian banyak pengetahuan gaib yang terlibat di dalamnya yaitu kreativitas. Masalah kreativitas menjadi momok sekaligus landasan pokok primer seorang penutur dalam mengintegrasikan suatu format penuturan seni penuturan yang lebih bersifat bebas dalam menyodorkan eksperementasi teateral yang dimaksudkan agar seni tutur dalam tradisi pendalangan berkembang melalui suatu variasi pendekatan yang tidak terlalu terikat pada cara penyampaian bentuknya yang baku. Dalam arti, memberi penilaian apresiasi terhadap proses perluasan retorika baru seperti memperluas kosa kata bunyi, kesan-kesan dramatik, penguasaan instrument musik pada tubuh, penggabungan suara dengan notasi musikal atau pun pencitraan visual yang lebih komunikatif dalam gerak interpersonal dengan penonton.
Pengucapan dengan eksperemtasi teateral merupakan penggabungan berbagai elemen seperti suluk, mantera, dan struktur folklore yang diambil dalam referensi aktvitas budaya dalam upacara, performance art dan konsep seni tradisi wayang wong yang merupakan campuran antara wayang dan sandiwara mengacu pada cara bercerita penutur dalam pola dan pakem untuk merekonstruksi segala anasir-anasir pertunjukan di dalamnya. Seorang penutur dalam genre pendalangan diuji tentang sejauhmana kemampuan dalam membaca aspek-aspek pendalangan terhadap berbagai peristiwa, karakter, tanda, dan simbol-simbol dalam seni pengucapan, seperti penggunaan topeng dan menghidupkan tubuh sehingga dapat berbicara dengan tingkat repetesi yang lebih bermakna di mana dibutuhkan kemampuan kreatif dan keberanian pikiran yang kritis, bagaimana menyiasati agar bentuk struktural dalam seni pertunjukan mempunyai ungkapan makna dan genre baru selaras dengan struktur naratif yang disampaikan.
Salah satu faktor penentu dalam proses kekaryaan adalah seorang penutur. Ia berfungsi sebagai subyek katalisator yang membekali diri secara psikologis dengan kontrol pengendalian, fleksibilitas pikiran dan perbuatan melalui medium kata yang bersandar pada suatu gaya tradisional masing-masing; dalam arti bagaimana struktur merefleksikan dan mewakili seni pertunjukan sebagai sebuah genre pengucapan dalang dengan segala perwatakan di atas pentas sehingga memiliki sajian berbeda dengan teater-teater tutur sebelumnya. Di sini peran penutur dalam genre pendalangan menjadi penting dalam menyampaikan eksperementasi seni pengucapan baru yang tidak saja mengacu pada keindahan semata-mata tapi tekanannya pada orientasi makna dan nilai. Soeparjo (1986) sebagaimana yang direduksi oleh Umar Kayam dalam memberikan tekanan pada dalang agar menyesuaikan diri dengan keadaan baru dalam rangka menjalankan fungsinya yang baru, yaitu sebagai motivator pembangunan yang terungkap dalam kutipan berikut:
Kalau pada hari ini saya berbicara tentang bagaimana memberi makna yang lebih besar bagi peranan dalam beserta wayangnya sebagai motivator pembangunan yang menunjukkan bahwa secara historis, sosiologis, dan kultural, media wayang harus tetap dapat mengambil bagian yang aktif dalam proses pembangunan. Wayang tidak dapat kita biarkan sekedar sebagai tontonan seni tradisional yang mengasikkan. Juga, kita rela memelihara wayang sekedar sebagai pelarian dari kekecewaan terhadap kondisi kehidupan yang dialami seseorang. Membiarkan media wayang untuk disudutkan pada posisi seperti itu akan sama buruknya dengan membiarkan sesuatu media yang demikian berharga dan potensial bagi pembangunan bangsa kita.
Oleh karena itu, kata kunci yang mengiringi upaya kita untuk mendudukkan media wayang sebagai motivator pembangunan adalah penyesuaian. Penyesuaian seperti yang telah saya kemukakan tadi, untuk semakin mendekatkan aspirasi-aspirasi pembangunan dengan cerita yang dipergelarkan. Penyesuaian antara pesan-pesan yang disampaikan dengan kondisi lingkungan masyarakat yang dihadapi. Penyesuaian antara lakon-lakon yang ditampilkan dengan tuntunan dan tantangan pembangunan yang terus berkembang.
Bentuk ekspresi seni, apa pun jenis dan identitasnya dibutuhkan semacam pengemasan yang menyebabkan kesenian tersebut bisa survive dan berkembang, karena bagaimana pun, identitas sebuah seni pada akhirnya dibangun di atas rel-rel kreativitas khas bumi Indonesia yang mencitrakan keseragaman, keberagaman, dan kebermaknaan. Dalam tajuk “Menghidupi Peran Teater Tutur:
Sebuah Ekspresi Teatrikal Dalam Pendalangan” yang saya tulis kali ini hanya mengajak orang-orang mencintai dan menghidupi kreativitas yang bertolak pada semangat tradisi yang meng-indonesia. Kreativitas dan semangat inovasi tidak akan lahir kalau tidak ada kesadaran membuka diri terhadap berbagai gerak kemungkinan jati diri.
DAFTAR BACAAN
Achamd, Kasim, A, Mengenal Teater Tradisional di Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian, 1997.
Anderson, Benefdict, Imagined Communities, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, dan Insits, 2001.
Bandem, I Made & Sal Murgiyanto, Teater Daerah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Budaya Kanisius, 1995.
Djamaluddin, Irwan, Mengisi Roh ke dalam Jasad, Upaya Memaknai Pesan Ayat-ayat Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji sebagai Ideologi untuk Menggugat Zaman, Yogyakarta: Penerbit Navila, 2008.
Djelantik, M.A.A, Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: MSPI, 1998.
Hadi, Soemandiyo, Sosiologi Tari, Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2005.
Hardjana, Suka, Musik Kontemporer Dulu dan Kini, Jakarta: Kerjasama MSPI dengan The Ford Foundation, 2003.
Hawkins, Alma, M, Bergerak Menutur Kata Hati, Lakon STIS Surakarta, Jakarta, TIM, MSPI, 2003.
Mack, Dieter, Pendidikan Musik: Antara Harapan dan Realitas, Bandung: MSPI dan IKIP Bandung, 1996.
Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Sedyawati, Edi, Pertumbuhan Seni pertujukan, Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Supanggah, R, Etnomusikologi, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
Wibowo, Fred, Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.
Widaryanto, FX, Menuju Representasi Dunia Dalam, Bandung: Kelir, 2006.
Wijaya, Putu, Teater Buku Pelajaran Seni Budaya, Edisi Uji Coba PSN 2007.
Yudiardini, Makalah Workshop Festival Tradisi, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, 6-7 September 2006.
*Penulis adalah Kreator di Panggung Budaya Nusantara Bogor. Alumnus Seni Urban dan Industri Budaya pada Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.
Komentar
Tulis komentar baru