Michel Foucault
Michel Foucault terlahir Paul-Michel Foucault (15 Oktober 1926 – 25 Juni 1984), merupakan ahli sejarah gagasan dan filsuf Prancis. Dia menduduki kursi bergengsi di Collège de France dengan mengajar matakuliah “Sejarah Sistem Pemikiran”. Dia juga mengajar di Universitas Buffalo dan Universitas California di Berkeley.
Foucault terkenal dengan kajian kritisnya terhadap institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran, ilmu humaniora, dan sistem lembaga pemasyarakatan, di samping karyanya di bidang sejarah yang berkaitan dengan seksualitas manusia. Tulisannya yang berkenaan dengan kuasa, pengetahuan, dan wacana jauh memiliki pengaruh yang luas. Pada tahun 1960-an, Foucault sering dikaitkan dengan aliran strukturalisme, suatu gerakan yang ia sendiri jauh daripadanya. Foucault juga menolak postrukturalis dan postmodernis, sebuah label yang menempel padanya di kemudian hari. Ia lebih suka mengklasifikasikan pemikirannya sebagai sebuah sejarah pemikiran modern yang berakar pada Kant. Karya-karya Foucault secara khusus terpengaruh oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche. Tulisannya tentang “genealogi” pengetahuan dapat dilacak asal-usulnya pada tulisan Nietzsche tentang “genealogi moralitas”. Pada wawancara terakhir, ia secara tegas mengklaim: ”Saya pengikut Nietzsche. Foucoult terdaftar sebagai cendekiawan bidang kemanusiaan yang paling sering dikutip di tahun 2007 versi ISI Web of Science.
Dalam berhubungan dengan “penulis” sebagai fungsi wacana, kita harus memperhatikan karakteristik dari sebuah wacana yang mendukung pemakaian istilah ini dan menentukan perbedaan antara pengertian ini dengan wacana yang lain. Apabila kita batasi pernyataan kita hanya pada hubungan antara buku atau teks dengan penulisnya, kita dapat menandai empat ciri yang berlainan.
Pertama, bahwa buku-buku atau teks tersebut merupakan objek yang mendapatkan objek kepantasan (objects of appropriation), yaitu sejenis bentuk tertentu yang kodifikasi hukumnya selesai beberapa tahun sebelumnya. Kiranya perlu diperhatikan bahwa status buku sebagai sebuah properti berada pada posisi kedua terhadap hukum pidana yang mengawasi kepantasan buku tersebut. Pidato dan buku mengacu pada penulis yang nyata berbeda dengan tokoh-tokoh agama yang bersifat mitos, hanya bila penulisnya menjadi subjek hukum dan selama wacana yang dimilikinya dianggap bersifat transgressif (melewati batas-batas pemahaman awam). Baik pada kebudayaan Barat, maupun kebudayaan lain, wacana bukanlah sekadar benda, atau produk atau kepemilikan, tetapi sebuah tindakan yang berlokasi di antara dua kutub, sakral dan profan, antara taat dan melanggar hukum, antara halal dan haram. Wacana adalah sebuah mimik yang dituntut dengan risiko sebelum wacana tersebut menjadi sebuah kepemilikan yang terperangkap dalam lingkaran nilai kepemilikan. Akan tetapi, di lain pihak, ketika sebuah sistem kepemilikan dan aturan hak cipta yang ketat diterapkan (yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19), maka transgresif property (hak milik yang mengungguli pemikiran awam tersebut) menjadi bagian intrinsik dari tindakan menulis dan menjadi memiliki kekuatan penuh di dalam sastra. Dalam hal ini, seolah-olah penulis diterima menjadi bagian dari sebuah aturan sosial kepemilikan yang mengatur kebudayaan kita, yang mengimbangi kedudukan barunya dengan merevisi bidang wacana dua kutub dalam sebuah tindakan transgresi yang sistematis dan dengan merestorasi bahaya menulis, yang di sisi lain, memberinya anugerah hak kepemilikan.
Kedua, “fungsi penulis” di dalam wacana tidaklah universal atau ajeg terus-menerus. Bahkan dalam peradaban kita, teks dengan tipe yang sama tidak selalu membutuhkan penulis, ada saatnya ketika teks-teks yang kini kita sebut “sastra” (cerita, dongeng rakyat, epik, dan tragedi) diterima dan disebarluaskan begitu saja tanpa dibebani pertanyaan siapa penulisnya. Anonimitasnya tidak diacuhkan lagi mengingat usianya telah menunjukkan otentisitasnya. Namun demikian, teks yang kini kita sebut “ilmiah” (yang berkaitan dengan kosmologi dan sorga, kesehatan, ilmu alam atau geografi) hanya dianggap betul pada masa Pertengahan apabila nama dari penulisnya tertera. Pernyataan seperti “Hippocrates mengatakan …“ atau “Pliny meriwayatkan bahwa …” bukanlah sekadar rumus dari sebuah pernyataan yang didasarkan pada otoritas, melainkan juga menandai sebuah wacana yang memiliki bukti. Pada abad ke-17 dan ke-18, sebuah konsep baru berkembang ketika teks diterima karena isinya sendiri dan diposisikan dalam suatu sistem yang anonim, akan tetapi koheren terhadap kebenaran dan metode verifikasi. Keotentikan wacana tidak lagi memerlukan referensi terhadap individu yang telah memproduksinya, di sini peran penulis lenyap sebagai sebuah acuan kebenaran , dan hanya sekadar menjadi nama penemu saja. Penulis sekadar untuk menandai teori atau proposisi spesifik saja, atau sekadar efek asing, sebuah properti, sebuah tubuh, sebuah kelompok elemen, atau sebuah sindrom yang patologis.
Akan tetapi, pada saat yang sama, wacana “sastra” dapat diterima apabila nama penulisnya dicantumkan, setiap teks puisi atau fiksi berkewajiban untuk mencantumkan penulis, tanggal, tempat dan lingkungan penulisannya. Makna dan nilai yang menempel pada teks tergantung pada informasi ini. Kalau kebetulan teks itu tersaji secara anonim, maka akan ada upaya mati-matian untuk melokasikan penulisnya. Anonimitas sastra hanya menimbulkan daya tarik sebagai teka-teki yang harus dipecahkan seperti halnya, karya sastra di masa sekarang dianggap sebagai perwujudan kedaulatan penulisnya. (Tidak diragukan lagi, pernyataan ini terlalu kategoris. Kini, kritik lebih menekankan pada teks daripada pada individu penciptanya, kajian genre, atau analisis yang mencoba mengungkap motif tekstual dan variasi norma dari penulisnya. Apalagi, sebagaimana dalam matematika yang mendudukkan penulisnya hanya sebagai acuan kecil dari sebuah teori tertentu atau kelompok proposisi tertentu, referensi terhadap seorang penulis dalam biologi atau kedokteran, atau tanggal dari penelitiannya hanyalah menduduki fungsi tertentu saja. Referensi terakhir ini, lebih berfungsi untuk menguji “reliabilitas” dari bukti-bukti yang ada, mengingat bukti-bukti tersebut terkait dengan penilaian terhadap teknik dan materi percobaan yang tersedia pada saat tertentu dan di laboratorium tertentu).
Ketiga yang berkaitan dengan fungsi penulis adalah bahwa penulis tidak terbentuk secara spontan melalui atribusi sederhana dari sebuah wacana terhadap sebuah individu. Ia terbentuk dari sebuah tindakan rumit yang tujuannya adalah untuk mengkonstruksi sebuah entitas rasional yang kita sebut sebagai penulis. Dengan demikian, konstruksi ini menyangkut sebuah dimensi ”realistik” yang kita sebut sebagai ”kedalaman” individu atau sebuah ”daya kreatif”, tujuannya atau inspirasi aslinya menjelmakan diri dalam tulisan. Meskipun demikian, aspek-aspek individu ini, yang kita sebut sebagai seorang penulis (atau individu yang kita angkat sebagai penulis) merupakan sebuah proyeksi, yang bersifat psikologis, yang berkaitan dengan cara kita menghadapi teks di dalam perbandingan yang kita buat, di dalam cara kita menganalisis teks itu. Di samping itu, semua tindakan ini beragam menurut periode dan bentuk wacana yang dikaji. Seorang ” filsuf” atau ”penyair” tidaklah terkonstruksi dengan cara yang sama, dan demikian pula novelis abad ke-18 tentulah berlainan dengan novelis abad modern. (Penerjemah: Teguh Iman Subarkah, Pengajar Fakultas Sastra Universitas Pakuan, Bogor).
* Michel Foucault, “What is an Author?” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Donald F. Bouchard dan Sherry Simon, Language, Counter-Memory, Practice. Ed. Donald F. Bouchard. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1977, hlm. 124—127.
Komentar
Tulis komentar baru