Maman S Mahayana
Dalam banyak buku yang membicarakan perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, nama Sitor Situmorang sering kali dikaitkan dengan prestasi kepenyairannya. Oleh karena itu, pembahasan terhadap antologi puisinya, jauh lebih banyak dibandingkan dengan pembahasan terhadap cerpen, drama atau esai-esainya. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya buku A. Teeuw, Tergantung pada Kata (1980: 32—40), Subagio Sastrowardojo, Sosok Pribadi dalam Sajak 1980: 56—141), Korrie Layun Rampan, Pembicaraan Puisi Indonesia (1980), disertasi Wing Kardjo (1981), dan sejumlah skripsi yang membahas buku antologi puisi Sitor Situmorang. Dalam buku yang lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, 1978: 242—254 dan Sastra Indonesia Modern II, 1989: 112—114) menempatkan Sitor Situmorang dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia. Jadi, pembicaraannya lebih komprehensif, meskipun tak terhindarkan ulasan mengenai puisi tetap lebih dominan.
Pembahasan mengenai cerpen-cerpen Sitor Situmorang –meskipun tidak terlalu mendalam—telah dilakukan J.U. Nasution (Sitor Situmorang sebagai Penjair dan Pengarang Tjerita Pendek, 1963) dan Ajip Rosidi yang berupa sebuah resensi ringkas (Tjerita Pendek Indonesia, 1968: 112—116). Padahal, sebagai cerpenis, Sitor punya kemampuan bercerita yang tak kalah indahnya. Bahkan, antologi cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) berhasil memperoleh penghargaan Hadiah Sastra BMKN untuk buku terbitan 1955—1956. Atas pertimbangan itulah, ulasan terhadap salah satu cerpen karya Sitor Situmorang yang berjudul “Ibu Pergi ke Surga” ini diharapkan dapat memberi perspektif lain atas kepengarangannya.
***
Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” adalah salah satu cerpen dari enam cerpen yang terhimpun dalam antologi Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” ini kemudian diterbitkan kembali dalam antologi Salju di Paris (Grasindo, 1994; 102 halaman) yang berisi 12 cerpen. Ke-12 cerpen itu berasal dari lima cerpen yang diambil dari antologi Pertempuran dan Salju di Paris, lima cerpen dari antologi Pangeran (1963) dan dua cerpen dari antologi Danau Toba (1981).
Bahwa dari 12 cerpen itu pilihannya jatuh pada cerpen “Ibu Pergi ke Surga” tidaklah berarti kualitas cerpen lainnya lebih rendah. Atau, tidak juga berarti cerpen “Ibu Pergi ke Surga” yang terbaik dalam antologi itu. Pilihan terhadap cerpen ini semata-mata didasarkan lantaran temanya yang pas untuk bahan pelajaran di sekolah. Di samping itu, ada dua pertimbangan yang berkaitan dengan isi ceritanya. Pertama, bahwa cerpen itu mengungkapkan sisi lain dari gambaran sebuah keluarga Batak. Kedua, berkaitan dengan sikap keimanan dan keberagamaan keluarga Batak penganut Kristen.
***
Cerpen “Ibu Pergi ke Surga” mengisahkan seorang anak yang terpaksa pulang kampung karena mendapat telegram bahwa ibunya sakit keras. Ternyata benar, ibunya sakit. Ia pun terpaksa pula tinggal beberapa hari. Saat di rumahnya akan diselenggarakan perayaan Natal, ibunya meninggal.
Cerpen ini secara tematis sesungguhnya tidaklah terlalu istimewa. Kejadian semacam itu juga sudah sangat lumrah. Seorang anak menengok ibunya yang sedang sakit, niscaya bukan pula peristiwa dahsyat. Tetapi justru di situlah sastra memainkan perannya. Bagaimana peristiwa yang bagi setiap orang merupakan hal yang sudah sangat biasa itu, justru menjadi peristiwa luar biasa ketika sastrawan mengolah dan memasukkan imajinasi dan kecendekiaannya. Bagaimana pula persoalan yang sesungguhnya merupakan masalah pribadi, orang per orang atau sangat individual sifatnya, menjadi masalah manusia dan kemanusiaan, menjadi masalah yang universal sifatnya. Kerinduan ibu kepada anak atau kecintaan anak kepada ibu, dalam cerpen itu, menggambarkan kerinduan dan kecintaan sebuah keluarga Batak yang diungkapkan secara sangat khas. Jadi, sangat mungkin perasaan cinta-rindu yang universal sifatnya itu, diungkapkan dengan cara yang berbeda dalam keluarga lain dengan kultur yang juga lain.
Struktur penceritaannya sendiri disajikan dalam bentuk kilas balik. “Ibu akhirnya meninggal setelah mengidap penyakit dada satu tahun saja.” Inilah kalimat pembuka cerpen itu yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi mengenai keadaan orang tua si aku yang miskin, tinggal di kampung, tak ada obat, tak ada perawatan. Kondisi itu bagi si Ibu yang sakit dada, niscaya merupakan penderitaan yang melelahkan. Maka, ketika si ibu meninggal, tokoh aku pun berujar: Syukurlah! dalam hati. Terlalu penderitaan si tua ini. Pernyataan itu –bagi suku bangsa lain—tentu saja tidak etis, tak tahu berterima kasih. Bagaimana kematian ibu, justru disyukuri. Ada dua hal yang dapat kita tafsirkan dari sana: Pertama, si anak tidak mau ibunya terus-menerus menderita. Kedua, si anak cenderung bersikap realistik-rasional.
Dalam keluarga Batak, sosok ibu adalah segala-galanya. Paling tidak, ia sosok yang harus dihormati—disegani—bahkan ditakuti. Oleh karena itu, dalam kebanyakan keluarga Batak, anak akan sangat patuh pada orang tua –dan terutama ibu. Seorang Batak yang dikenal sebagai “Raja Tega” yang tidak mengenal takut kepada siapa pun, ia tetap akan patuh-menurut hanya kepada ibu, dan kemudian ayah. Jadi, agak aneh jika si tokoh aku malah mensyukuri kematian ibunya.
Di situlah justru kepiawaian Sitor Situmorang dalam menyelimuti karakter tokoh aku. Pernyataan syukur, justru menunjukkan kecintaan si anak kepada ibunya. Si anak tak mau ibunya menderita berkepanjangan. Oleh sebab itu, hanya kematian yang dapat membebaskan si ibu dari penderitaan yang melelahkan. Terlalu penderitaan si tua ini mengungkapkan beratnya beban derita yang harus ditanggung si ibu. Dan ia sendiri merasa tak sanggup membebaskan penderitaan ibunya. Mengingat kondisi dirinya serta keadaan ibunya itu, tidak dapat lain, ia mesti berpikir realistik-rasional. Suatu sikap yang terkesan lugas dan terus terang.
Kecintaan si anak kepada ibunya, tampak pula ketika ia mengetahui ibunya sudah meninggal. Perhatikanlah kutipan berikut:
“Ia tertidur” pikirku, lalu aku mendekatinya. Kuperhatikan wajahnya dengan mata
dan pipinya yang cekung-cekung. Lalu dadanya.
Seperti dada ayam, pikirku. Tiba-tiba kusadar dadanya tak bergerak. Kuraba keningnya, lalu kubuka kelopak matanya. Ibu telah mati! Perasaan syukur yang ganjil tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkonganku.
Pernyataan “Perasaan syukur yang ganjil tak memberi kesempatan pada haru yang menyumbat kerongkonganku” mengungkapkan, betapa sesungguhnya si tokoh aku diterjang perasaan yang kontradiksi. Di satu pihak, ia bersyukur karena ibunya terbebas dari penderitaan, dan di pihak lain, ia berduka karena harus berpisah untuk selamanya dengan orang yang dicintainya itu. Dan Sitor cukup menyatakannya dengan: “perasaan syukur yang ganjil … dan haru yang menyumbat….” Sebuah cara pengungkapan yang sederhana, namun bermakna sangat mendalam. Sebuah pernyataan yang cerdas, sangat puitis dan memancarkan kekayaan citraan atas perasaan haru-pedih, dan entah apa lagi.
Dengan bentuk kilas balik, pengarang juga mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan betapa sesungguhnya si anak sangat peduli dan begitu memperhatikan orang tuanya. Dengan begitu, kilas balik itu berfungsi untuk memperkuat, bagaimana sebenarnya hubungan anak—ibu—ayah dalam keluarga Batak.
Ketika si tokoh aku mendapat telegram pertama, ia datang menjenguk. Ibunya sembuh yang diperkatakan oleh tetangganya: “Lihat. Kau akan sehat kembali. Kau hanya rindu melihat anakmu!” Jadi, sangat mungkin pula sakitnya si ibu lantaran tak kuasa menanggung rindu kepada anak. Bagi si anak, kerinduan itu seperti kekenesan. Dengan meninggalkan pekerjaan dan ongkos yang besar, agaknya terlalu mahal jika sekadar untuk melepaskan rindu. Oleh karena itu, menjadi sangat wajar ketika datang telegram kedua, si anak cukup dengan mengirimkan baju panas untuk ibunya dan jas untuk ayahnya. Tetapi ketika datang lagi telegram ketiga, si anak merasa mempunyai kewajiban untuk datang –meskipun tidak bersama anak-istrinya.
Bahwa kedatangan si anak bagi ibunya, tentu saja memberi kebahagiaan tersendiri. Tetapi bagi ayahnya, kebahagiaan itu tidak lengkap lantaran si anak tak membawa anak sulung laki-lakinya. Kembali, ada peristiwa kultural dalam pertanyaan ayahnya itu: “Hanya kau sendiri?” Ayahnya tak bertanya tentang keberadaan anak keduanya –adik si tokoh aku. Bagi keluarga Batak, anak sulung laki-laki tidak hanya dianggap sebagai penerus marga, tetapi juga kebanggaan. Jadi, pertanyaan “Hanya kau sendiri?” bermakna: “Ke mana cucu sulungku?” Si ayah tak perlu pula bertanya mengapa istrinya tidak ikut atau bagaimana pula kabarnya tentang anak keduanya. Dengan pertanyaan “Hanya kau sendiri?” sesungguhnya tersimpan persoalan kultural di sana.
***
Hal yang juga menarik yang digambarkan dalam cerpen itu berkaitan dengan masalah keimanan dan keberagamaan. Tokoh aku yang tak lagi begitu dekat dengan kepercayaannya, harus berhadapan dengan para penganut agama yang taat. Ketika jemaat akan merayakan hari Natal di rumahnya, si aku sesungguhnya keberatan –tak setuju. Tetapi ia juga harus menjaga perasaan jemaat, pendeta, dan terutama ibunya. Satu sikap toleran yang semata-mata didasarkan oleh keinginan untuk menjaga hubungan baik. Bahkan, ketika ia tahu ibunya sudah meninggal, ia tidak punya keberanian untuk menyampaikannya, sebab tentu saja akan berakibat gagalnya perayaan itu.
Demikian juga ketika pendeta memintanya untuk membaca Injil. “Tuan hendaknya membaca Injil di malam hari Natal nanti! Ibu tentu gembira sekali kalau Tuan melakukan hal ini” Meskipun awalnya ia menolak, ia juga mempertimbangkan sesuatu atas nama ibunya. “Aku tak suka tapi aku diam. Pendeta rupanya menganggapnya tanda setuju.” Di sini pun, tampak si tokoh aku punya tenggang rasa, toleransi. Ia tak hendak mengecewakan pendeta, dan terlebih lagi ada keinginan untuk menyenangkan ibunya.
Toleransi yang sama juga diperlihatkan ayahnya. Sang Bapak yang tak dapat meninggalkan kepercayaan tahayul, masih menikmati tempatnya yang istimewa di gereja, duduk dekat pendeta, meskipun ia mengikuti khotbah dalam keadaan terkantuk-kantuk.
Di pihak lain, pendeta juga tampak begitu toleran ketika ia mengetahui si tokoh aku tak ke gereja. Ia tak menyuruh si tokoh aku ke gereja, tetapi cukup dengan menyampaikannya lewat pertanyaan: “Mengapa Tuan tak ke gereja ketika kemari beberapa bulan yang lalu? Tuan lebih seminggu di sini ketika itu, bukan?” Demikian pula ketika pendeta itu datang sehari menjelang keberangkatannya. “Ya, saya tahu Tuan juga percaya, walaupun orang terpelajar tidak lagi suka datang ke gereja. Saya selalu yakin, Tuan berpegang pada Kristus,” kata pendeta seperti pada dirinya sendiri. Terkesan, nasihat pendeta itu lebih sekadar mengingatkan. Satu sikap yang juga memperlihatkan bentuk toleransi.
Jika ditarik sebuah garis tegas, maka ada tiga pihak yang mewakili sikap keimanan dan keberagamaan. Sang ibu dan pendeta berada dalam wilayah penganut agama yang taat, si Bapak mewakili penganut agama yang tidak dapat meninggalkan kepercayaan tahayulnya, dan si tokoh aku yang mulai meninggalkan bentuk ritual meskipun ia masih percaya pada Tuhan dan agama yang dianutnya. Ketiga tokoh yang mewakili sikap keimanan dan keberagamaan itu, ternyata dapat hidup damai, jika masing-masing menjaga dan memelihara toleransi ketika ia hidup dalam sebuah komunitas sosial. Permintaan si Bapak kepada si tokoh aku agar kelak ia dikubur di pojok pekarangan rumahnya dan agar kuburan ibunya juga dipindahkan ke situ, mempertegas kembali kepercayaan leluhur si Bapak yang tidak dapat dibuang begitu saja.
Bahwa di akhir cerita si tokoh aku digambarkan membakar pohon natal yang sudah kering, peristiwa itu sebagai simbol penegasan kembali sikap tokoh aku yang mulai meninggalkan bentuk luar asesori agama.
***
Demikianlah, cerpen “Ibu Pergi ke Surga” yang tampak seperti menceritakan peristiwa yang sederhana itu, sebenarnya mengungkapkan banyak hal tentang kultur dan agama. Dan Sitor Situmorang begitu cerdas memotretnya. Jadi, meskipun cerpen itu bercerita tentang sebuah keluarga Batak penganut agama Kristen, masalah yang ditampilkannya sesungguhnya merupakan masalah universal. Ia dapat pula berlaku di mana pun dan dalam kultur dan agama apa pun. Dan perbedaan sikap keimanan dan keberagamaan itu, tak bakal menjadi masalah besar –apalagi sampai menimbulkan konflik berdarah—jika masing-masing pihak menjaga dan memelihara toleransi: mengusung tenggang rasa dan saling menghormat. Hanya dengan cara itu, para penganut agama akan hidup damai. Dan Sitor telah membuat potret yang menawan mengenai masalah itu lewat cerpen “Ibu Pergi ke Surga”. Nah, barangkali saja begitu!
Komentar
Tulis komentar baru