Puisi yang bermanfaat tidak hanya menceritakan tentang apa yang dirasakan penulisnya sendiri tapi juga menceritakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Agar sudut padang dari puisi itu semakin luas maknanya. Akan tetapi ini bukan suatu hal yang mudah, meskipun inilah justru yang dibutuhkan sekarang ini. Memberikan suatu cerita yang orang lain pun mengalami isi yang ada dalam puisi itu.
Jauh sebelum ini, mungkin saya pribadi terlalu berpatokan pada sesuatu yang sederhana, artinya meluapkan apa yang dirasakan diri dalam puisi tanpa berpikir apakah orang lain pun akan menikmati apa yang saya rasakan. Alih-alih mendapatkan respon justru ini seolah bunuh diri. Menceritakan keadaan kita setiap saat, sehingga orang tau bagaimana suasana kita pada saat ini yang sesuai dengan latar dalam tulisan puisi saya.
Tentu berpuisi adalalah proses, perjalanan menuju titik-titik yang harus dilewati. Bentuk kesadaran ini merupakan hasil dari proses panjang yang semakin hari terus mempelajari gaya puisi orang lain yang semakin banyak orang tunggu karyanya. Ternyata dibalik itu ada proses pemahaman tidak hanya berbicara tentang aku saja, tapi dibalik itu kita sebagai penulis harus berbicara juga tentang pembaca dan penikmat.
Sudut pandang ini akan menjadikan bekal yang utuh dalam menulis, dalam hal ini menulis puisi. Sebagai aku memang kita harus menceritakan atau menulis sekehendak kita, itu mungkin bagi penulis awal masih berlaku, akan tetapi ketika kita akan meningkatkan kualitas kita sebagai penulis harus pula memposisikan diri kita sebagai penulis menjadi seorang pembaca. Misalnya dengan pertanyaan sederhana sebelum menulis puisi “Apakah tulisan yang saya tulis ini akan bermanfaat bagi pembaca?”, “apakah ketika saya jadi pembaca saya akan senang memahaminya?”, selain itu juga bisa bertanya dengan berlandaskan pada manfaat atau hikmah “apa pesan dan hikmah yang saya dapatkan ketika saya membaca tulisan yang ada dihadapan saya ini?”, dan lain sebagainya berdasarkan sudut pandang pembaca.
Ketiga, ketika kita bicara mengenai puisi pasti akan berbicara mengenai keindahan bahasanya, tentunya tanpa melupakan makna dan pesannnya. Artinya pada tahap ketiga ini kita berbicara mengenai tujuan kita, siapa kira-kira yang ingin kita ajak diskusi atau diajak memahami tulisan kita. Sejatinya pusi menurut pandangan penulis awal seperti saya ketika itu, menganggap bahwa pusi adalah kata-kata yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata itu kurang tepat untuk sekarang.
Penikmat puisi memang tidak terlalu banyak, namun orang yang senang membaca itu sangat banyak. Inilah yang harus kita tuju sebenarnya, artinya menikmati puisi tak mesti kata-kata yang menjelimet tapi yang sederhana dengan ulasan kata-kata puitis, sehingga para pembaca dapat membedakan bahwa ini adalah puisi dan saya menikmati kata-katanya dan tau apa pesan didalamnya.
Dari ulasan diatas bukan untuk menggurui atau memberikan saran yang harus dilakukan tapi ini berbicara mengenai perjalanan atau proses yang saya dapatkan dari menulis puisi sampai saat ini. Sehingga ini sangat tercermin dalam puisi-puisi saya yang sangat jauh berbeda dari awal ketika saya mulai menyukai menulis puisi dengan sekarang yang lebih bicara mengenai realita yang ada dan nyata.
Namun disamping itu, satu hal yang kadang yang masih jadi permasalahan, puisi yang saya tulis bukan atas dasar hati. Seperti kebanyakan orang dalam menulis, mungkin saya belum sampai kesana, tapi inilah faktanya. Meskipun sekarang masih berbicara tentang realita perjalanan yang saya rasakan, tapi satu saat nanti saya ingin menulis seperti pa Sapardi, Acep Zamzam Noor, Windu Mandela dan beberapa penulis yang senantiasa menuliskan puisinya untuk mengajak orang mentafakuri diri sehingga mereka tidak jauh dari tuhannya.
Geger Suni Bandung 2013
Komentar
Tulis komentar baru