A. Biografi
Eka Kurniawan lahir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 November 1975 yang kini sudah berusia sekitar 40 tahun lebih. Ia menganggap dirinya seorang penulis penuh-waktu. Dia nerasa tertarik menulis jenis dan tentang apa saja terutama yang berhubungan dengan fiksi, esai mengenai sastra, grafis, film, komik dan filsafat. Selain itu, dia juga rajin menulis di media massa, seperti Kompas, Media Indonesia, Majalah Tempo, Majalah Film F, Koran Tempo (bisa dilihat di ekdiarniawan.net). Latar belakang pendidikannya adalah mahasiswa lulusan Filsafat (dari Universitas Gadjah Mada) dan desain grafis (dari Visi Art & Graphic Design School), keduanya di Yogyakarta. Selain menulis, ia juga membuat komik. Kini tinggal di Jakarta bersama istrinya, penulis Ratih Kumala. Selain itu ia juga mempunyai beberapa proyek desain.
- B. Karya-karya
- Skripsinya diterbitkan dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Aksara Indonesia, 1999; diterbitkan kedua kali oleh Penerbit Jendela, 2002; dan diterbitkan ketiga kali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2006).
- Kumpulan Cerpen Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000)
- Cantik Itu Luka (terbit pertama kali oleh Penerbit Jendela, 2002; terbit kembali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2004; diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Ota dan diterbitkan oleh Shinpu-sha, 2006; dialihbahasakan oleh Annie Tucker, penerbit The Text Publishing Company 26 Agustus 2015)
- Lelaki Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004; dialihbahasakan oleh Labodalih Sembiring, penerbit Verso, 1 Oktober 2015).
- Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, terbit di awal tahun 2015
- kumpulan cerpennya yang berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.
- Tahun 2016 Eka Kurniwan berhasil menerbitkan novel ke empatnya yang berjudul O.
C. Pokok Tokoh
Nafsu menggerakkan manusia demi meraih kemodernan, kemajuan, dan kepuasan. Manusia bernafsu, maka manusia ada. Manusia bagai patung tak berguna jika nafsu tak tumbuh di jiwanya. Meski bukan yang utama, nafsu memang selalu ingin menyala di jiwa manusia.
Kumpulan Cerpen Corat-coret di Toilet (2000). Di toilet, kebebasan seperti tumbuh, berkembang, dan mekar. Di sana segala yang “jujur” dan murni bisa tampil tanpa malu-malu. Kita bisa membayangkan, dari toilet, imajinasi dan ide berjejalan minta diperhatikan. Maka ketika ada coretan di dinding toilet, itulah sesungguhnya kebenaran dari apa yang manusia rasakan. Ia mewakili kebebasan pikiran dan mewakili apa yang tengah terjadi, merekam kondisi mental dan psikologis si penulisnya. Coretan di dinding adalah pertanda zaman yang bergerak, menjadi resep membaca kondisi negara, bangsa, psikologi, dan mental masyarakat. Terlebih sebuah dinding toilet di sebuah universitas, tempat manusia terpelajar dipelihara. Eka Kurniawan menangkap sinyal ini dan merangkumnya dalam buku terbarunya Corat-coret di Dinding Toilet (GPU, 2014). Buku ini adalah antologi kritik, ironisme, paradoks, dan satir bermuatan politis-ideologis. Nafas kritik bercampur sinisme kepada penguasa tercium sejak cerpen pembuka. Cerpen berjudul Peter Pan, berkisah tentang aktifis mahasiswa yang menjual bukunya, menjual segalanya, demi mengurusi perjuangan menggulingkan sang diktatur. Meski akhirnya berhasil dilengserkan, kejahatannya tetap saja tak tersentuh. Cerpen bernada sinis, menyengat ingatan pembaca perihal kekuasaan Orde Baru. Akhir-akhir ini kita memang kerap menjumpai wajah mantan presiden tengah tersenyum sambil menyapa, menawarkan memori nostalgia bermuatan politis. ”Senyum yang terkutuk itu bahkan masih tercetak di uang kertas”. Ekspresi tokoh mahasiswa kepada presiden memang seringkali terkesan sarkastik, meski sebenarnya berisi kejujuran. Cerpen ini merekam kegelisahan dan kejengkelan para aktifis pasca-kejatuhan sang diktatur, yang masih saja “tersenyum”, bahkan hingga hari ini. Eka bagai melanjutkan wasiat Bung Besar untuk tidak sekalipun melupakan sejarah. Sejarah dijadikan ramuan cerita untuk mengingat, mengejek, dan menghibur pembaca. Sejarah Indonesia berisi peperangan dan konflik. Cerpen Hikayat Orang Gila mengantarkan imajinasi penuh haru tentang perang, yang bagaimanapun selalu mengorbankan orang tak berdosa, sekalipun itu orang gila. Tragedi di Timor Timur adalah satu contoh. Deskripsi kesemrawutan perang berkelindan dengan perjuangan seorang gila bersama rasa laparnya yang kian tak terobati. Pada akhir cerita, “tanpa makan berhari-hari dan kemudian demam, Si Orang Gila akhirnya mati di situ. Terkapar tak berdaya”. Pembaca bakal termenung haru, mengimajinasikan kematian Si Gila akibat lapar tak terkira. Melalui penggarapan sejarah, Eka menyajikan kisah beraroma nasionalisme, diselingi humor tragis-politis. Cerpen Bunga Kiriman dari Siapa mengingatkan pembaca pada roman pergerakan ala Mas Marco Kartodikromo. Cerpen ini berkisah tentang Kontrolir Henri, seorang Belanda yang secara tak terduga jatuh cinta pada gadis bumiputera penjual bunga. Percakapan demi percakapan memberi garis demarkasi yang jauh antara kolonial dan bumiputera. Melalui perspektif ala Mas Marco inilah, Eka melawan lewat sejumlah fakta tragis-ironis. Henri hendak menemui orang tua si gadis untuk melamar, namun kedua orang tua si gadis justru tengah berada di Digoel. “Kau sendiri yang kirim mereka ke sana,” tegas si gadis. Pukulan sempurna: merobohkan kesombongan kolonial tanpa angkat senjata. Eka menyajikan kisah berlatar sejarah demi menyadarkan betapa ulah penjajah adalah penyebab atas kesengsaraan bangsanya.
Pada akhirnya humor satir berbau politis mencapai puncaknya pada Corat-coret di Toilet. Gubahan cerita pendek dengan serangkaian satir, humor cerdas, hingga ungkapan politis-ideologis seolah mewakili pilihan sikap si pengarang. Penggarapan tema reformasi 1998 jadi isu sensitif. Pergulatan pelbagai pikiran mahasiswa tampil di dinding toilet, mengejawantahkan ironisme demokrasi. Dinding toilet jadi buku harian milik bersama, semua berhak menulis dan berkata jujur. Maman S. Mahayana menganggap cerpen ini cerdas “mengangkat hal kecil yang remeh-temeh menjadi problem kemanusiaan.” Bernada pesimis-sarkastik Eka menulis:”Dia tak percaya bapak-bapak anggota dewan, dia lebih percaya pada dinding toilet”. Coretan di dinding menjelaskan ketidakpercayaan mahasiswa kepada para anggota dewan. Nah! Keseluruhan cerita dalam buku ini memiliki satu nyawa: perlawanan. Perlawanan itu menyasar tema-tema kediktaturan, tradisi, penjajahan, kesewenang-wenangan, dan kekerasan, yang mengacu pada satu pusat: kemanusiaan. Cerpen yang keseluruhannya ditulis pada periode 1999-2000 ini tak sekadar kisah, namun semacam jejak sejarah. Jejak semangat reformasi, sekaligus gairah mempertanyakan ulang keberhasilan reformasi, mengalir deras dalam beberapa cerpen Eka. Cerpen yang lahir di saat penulis masih berusia 20-an, usia ketika idealisme dan jiwa perlawanan mencapai titik didihnya. Apalagi beberapa cerpen mengambil penokohan mahasiswa, ikon penting gerakan reformasi. Tokoh mahasiswa memang kerap identik dengan aktifitas pergerakan, reformasi, dan intelektualisme. Lebih dari itu, kumpulan cerpen ini mengingatkan pembaca di negeri ini, tentang sejarah yang tidak boleh disepelekan. Juga tentang penguasa yang mesti terus diingatkan, meski lewat sekadar “corat-coret di dinding toilet”.
Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015), juga berisi tentang narasi-narasi kecil yang membawa saya pada narasi yang lebih besar. Dalam Gincu Ini Merah, Sayang, misalnya, Eka mengkritik pandangan patriarkis masyarakat kita melalui kisah seorang ibu rumah tangga yang ditangkap oleh petugas saat ia sedang mencari suaminya di kelab malam. Dalam Gerimis yang Sederhana, Eka membungkus trauma (-Pasca Tragedi ’98) yang dimiliki oleh seorang perempuan Cina-Indonesia ke dalam cerita yang, seperti juga judulnya, sederhana, tentang pertemuan pertama (-Pasca Tragedi ’98) perempuan itu dengan pemuda Indonesia di sebuah kafe di Amerika. Pengantar Tidur Panjang (saya menduga inspirasi karya ini datang dari karya Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam) mengangkat tema kematian tanpa harus bikin pembacanya menangis darah.
Cerpen tersebut menyingkap pandangan kita mengenai mitos yang seringkali kita terima begitu saja. Di cerita Gerimis yang Sederhana misalnya, “Ya, ya, dia tahu. Dia juga pernah kenal seorang lelaki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap bertemu perempuan baru,” kata Mei sambil menahan tawanya. Terlepas dari pertemuan Efendi dan Mei yang entah untuk berkenalan atau mencari pacar. Terlepas dari Efendi masih beristri atau menduda, memang itulah yang dildiakan lelaki yang telah menikah ketika bertemu perempuan baru. Namun kali ini sepertinya Efendi sedang sial.
Lanjut ke cerpen Gincu Ini Merah, Sayang Betapa sering masalah komunikasi menyebabkan keretakan dalam hubungan rumah tangga. Salah sangka dan salah penafsiran seringkali menjadi bumerang bagi suami istri. Betapa pentingnya keterbukaan antara pasangan suami istri, karena jika ada rasa saling tak percaya, tinggal menunggu waktu salah paham itu menjadi perusak hubungan. Marni dan Rohmat Nurjaman, dua pasangan yang lucu, menurut saya. Rohmat Nurjaman yang tak suka istrinya mengenakan gincu. Namun bagi Marni, perempuan yang dinikahi Rohmat setelah kencan mereka di kelab malam, gincu itu hanya untuk suaminya.
Rohmat sering kali tidak suka gincu di bibir Marni, itu mengingatkannya pada masa-masa Marni masih jadi pelayan di kelab malam. Namun ia tak sanggup mengatakan itu pada istrinya, tdiat istrinya terluka. Bagi Marni sendiri, gincu itu hanya untuk suaminya. Marni mulai curiga pada suaminya yang berubah pada tahun ketiga pernikahannya. Kecurigaan tersebut berbuntut pada hal yang kemudian mereka sesali. Sebagai pembaca, kita hanya menyikapinya dengan tertawa. Jika kita dapat menjelaskan pada Rohmat Nurjaman dan Marni, tentulah hal konyol tersebut tak akan terjadi.
Eka Kurniawan seringkali menggunakan Foreshadowing atau ‘peramalan’ dalam cerita-ceritanya. Sebut saja cerpen yang berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Cerita dimulai dari Maya yang menceritakan kisahnya pada Sayuri, lalu kembali ke awal cerita berasal.
Teknik Foreshadowing sebetulnya sangat dihindari penulis, sebab ia membocorkan ending pada pembacanya alias spoiler. Untuk apa membaca cerita yang sudah diketahui akhirnya? Di situlah kehebatan Eka, saudara-saudara. Ia memutar kembali jalan cerita, kembali ke awal. Membuat pembaca tetap membaca dari awal hingga akhir cerita, paragraf demi paragraf. Meski pembaca telah mengetahui akhir ceritanya.
Ah iya jangan lupakan Cerita Batu. Tentang bagaimana Eka menghidupkan seonggok batu, literally batu, dan menyimpankan dendam padanya. Dendam sebuah batu, “Seperti semua batu di dunia, ia pendendam yang tabah.” Batu yang membalaskan dendam seorang perempuan yang dibunuh oleh suaminya dengan cara ditenggelamkan di sungai. Bukan hanya dendam perempuan tersebut, tapi juga dendam batu itu. Ia tak ingin disalahkan karena menjadi pemberat saat wanita tersebut tenggelam. Surealis istilahnya, Eka berhasil membuat menarik benda-benda sekelas batu.
Beberapa cerita Eka bahkan membuat tokoh utamanya menjilat air liurnya sendiri. Sebut saja cerita Jangan Kencing di Sini, siapa kira Sasha pada akhirnya membiarkan orang-orang kencing di depan tokonya tiap malam. Dan ia menemukan sensasi lain menahan kencing, yang ia sebut orgasme, hingga ia memiliki masalah dengan saluran kencing. Padahal awalnya ia sangat benci dengan tingkah orang-orang yang suka kencing sembarangan. “Saat itulah terpikir olehnya, barangkali tanda ‘Jangan Kencing di Sini!’ itu memang tak berguna sama sekali. Barangkali, kencing di sembarang tempat merupakan kenikmatan seseorang, yang tak sepatutnya ia halangi.”
Novel Cantik Itu Luka (2002) karya Eka Kurniawan bercerita mengenai keluarga besar Ted Stamler, seorang Belanda yang malang-melintang bekerja sebagai pejabat di akhir masa kolonial Belanda di Halimunda. Tempat itu adalah sebuah kota yang dilukiskan pengarang sebagai tempat menarik, penuh mitos dan begitu penting di ujung masa kolonial. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Dewi Ayu, anak Aneu Stamler atau cucu Ted Stamler. Dewi Ayu adalah anak perkawinan luar nikah dari dua bersaudara lain ibu. Namun kedua orang tua Dewi Ayu, Henri Stamler dan Anue Stamler meninggalkan Dewi Ayu begitu saja di depan pintu rumahnya dan mereka pergi angkat kaki ke negeri Belanda.
Di zaman Jepang sebagian besar penduduk ditangkap oleh Jepang, terutama yang dianggap pro Belanda, termasuk Dewi Ayu. Ia diasingkan ke sebuah pulau kecil yang seram dan terpencil. Pulau ini, Bloedenkamp, adalah sebuah tempat yang mengerikan dan menjijikkan. Selain dikenal angker, di sana juga tak ada makanan disediakan . Karena itu para tawanan umumnya memakan apa yang ada di sekitar mereka termasuk cacing, ular ataupun tikus. Kekejaman dan kehausan seksual Jepang di Bloedenkamp telah memanggil nurani Dewi Ayu untuk memberikan dirinya kepada seorang tentara Jepang untuk disetubuhi.
Dewi Ayu sendiri, sebagaimana kenyataan di ujung Pemerintahan Kolonial Belanda, berada dalam kesulitan sosial dan ekonomi. Setelah mengalami kegetiran bersama penduduk di Bloedenkamp, Dewi Ayu bersama gadis-gadis lainnya dibawa diam-diam oleh Jepang ke tempat pelacuran Mama Kalong di Halimunda. Mereka dipaksa menjadi pelacur. Mama Kalong adalah germo yang paling terkenal dan profesional di sana. Namun pada masa berikutnya rumah pelacuran Mama Kalong menjadi terkenal dan identik dengan Dewi Ayu, ia menjadi selebriti di kota tersebut. Ketenarannya menyamai nama-nama penguasa di kota tersebut. Bahkan Halimunda sendiri menjadi identik dengan kecantikan pelacur Dewi Ayu. Dewi Ayu melahirkan empat anak yang tidak dikehendakinya, tiga di antaranya sangat cantik dan diminati banyak lelaki di kota Halimunda. Ketiga putrinya yang cantik itu adalah Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Kecantikan tiga putri itu juga menjadi malapetaka bagi keluarganya sendiri. Karena itu, saat ia hamil pada keempat kalinya, ia berdoa agar anaknya dialahirkan buruk rupa. Sebab kecantikan akan membawa mereka ke dalam petaka. Anaknya yang keempat ini benar lahir dengan menjijikkan namun punya keajaiban, ia diberi nama Cantik.
Alamanda dikawini paksa oleh seorang komandan tentara, Shodanco, setelah diperkosa. Perkawinan itu sungguh tidak dengan rasa cinta, melainkan kebencian yang begitu bergelora. Karena itu 5 tahun perkawinan mereka tak melahirkan anak sebab Alamanda selalu memakai celana besi dan azimat. Dari perkawinan mereka melahirkan anak Nuraini. Adinda menikah dengan Kamerad Kliwon, seorang pemuda genteng, tokoh politik dan terkenal di kota itu. Kamerad Kliwon adalah mantan pacar sejati Alamanda. Perkawinan mereka melahirkan anak Krisan. Maya Dewi menikah dengan seorang tokoh preman dan penguasa terminal, namanya Maman Gendeng. Mereka menikah saat Maya Dewi berumur dua belas tahun tetapi baru disetubuhi saat umur 17 tahun. Kemudian mereka dikaruniai anak, Rengganis Si Cantik.
Si Cantik, anak Dewi Ayu keempat, si bungsu buruk rupa, hidup bersama pembantu yang bisu, Rosina. Ia bercinta-buta dengan Krisan setelah kematian Rengganis Si Cantik. Cantik dan Krisan melahirkan seorang anak yang meninggal sebelum diberi nama. Sebelumnya Krisan juga bercinta buta dengan anak tantenya, Rengganis Si Cantik. Rengganis Si Cantik melahirkan juga seorang anak tak bernama, kemudian diserahkan pada ajak-ajak liar. Krisan membunuh Rengganis Si Cantik di tengah laut untuk menutupi perbuatan zinanya itu. Kinkin adalah anak penggali kuburan yang bisa berhubungan dengan roh orang mati dengan permainan jelangkung. Ia satu kelas dengan Rengganis Si Cantik. Walaupun penampilannya kumal dan pendiam namun diam-diam ia mencintai Rengganis Si Cantik. Ketika Rengganis Si Cantik diketahui hamil dengan isu bahwa seekor anjing telah memperkosanya, ia sangat kecewa.
Kinkin tetap tak percaya bahwa Anjing telah memperkosa Rengganis Si Cantik. Namun ia mau menjadi bapak anak yang dikandung Rengganis tetapi tidak kesampaian. Setelah kematian Rengganis Si Cantik, Kinkin selalu mencari siapa pembunuh orang yang dicintainya itu. Roh Rengganis pun tidak mau mengatakan pembunuh dirinya, sebab ia sangat mencintai orang yang membunuhnya. Akhirnya, lewat susah-payah ia menemukan juga pembunuh Rengganis dari roh yang tidak dikenal. Pembunuhnya adalah Krisan, sepupunya, sekaligus kekasih yang sangat dicintai Rengganis. Setelah itu Kinkin mencari Krisan, dan membunuhnya di rumah Cantik si buruk rupa.
Paragraf pembuka novel ini sungguh menakjubkan, kalimatnya lancar dan puitik. Ada jalinan keindahan logika yang teratur. Pengarang memulai cerita dengan sesuatu yang menyentak, membuat pembaca tertarik. Kalimat-kalimat awal membawa pembaca mulai bertanya-tanya tentang peristiwa apa yang akan terjadi berikutnya. Novel yang terkesan mendekonstruksi dunia sosial-budaya dan pikiran ini sengaja diantarkan oleh pengarang dengan kekacauan suasana pada awal cerita. Kebangkitan Dewi Ayu, seorang pelacur terkenal di Halimunda, membuat orang kampung heboh; orang-orang dan benda-benda tunggang-langgang ketdiatan dan takjub. Dewi Ayu meninggal 21 tahun lalu, setelah 12 hari klelahiran Cantik si buruk rupa. Dewi Ayu sendiri mati dengan keanehan; ia sendiri tahu jam kematiannya, sehingga ia memandikan badannya sendiri serta mengkafani dengan kain putih.
Sebagaimana telah ditulis dengan “menunggang-langgangkan” cara berpikir pembaca, mengedepankan dekonstruksi bentuk dan ide. Lembaran pertama dari buku tersebut sesungguhnya lembaran kehidupan baru, cerita hari ini. Kemudian, halaman 3-10 adalah episode terakhir dari kehidupan Dewi Ayu. Namun lompatan dari “kini” dan masa “lampau” tidak begitu susah bagi pengarang, ia hadir bagai angin menelusup ke jeruji-jeruji besi, atau mengibas ke dalam pakaian dalam kita. Tak terasa, menyegarkan, sehingga pembaca menginginkan bersamanya lebih lama. Pembaca tergoda untuk menelusuri kisahnya. Pengarang tampaknya meniru model penulisan sejarah kritis, mulai dari akibat (masa kini) terus mencari ke sebab dengan menerangkan struktur-struktur sosial-budaya yang ada di dalamnya. Novel ini berada dalam bingkai diakronik, atau prosesual sejarah. Unsur waktu dalam novel ini bergerak dari zaman akhir kolonial, zaman Jepang, pergolakan politik tahun 1960-an dan sesudahnya. Dewi Ayu sendiri adalah keturunan “nyai” zaman kolonial. Putri-putrinya walaupun tidak menjadi pelacur tetapi mengalami tragedi-tragedi seksual dan keperempuanan. Keturunan Dewi Ayu, sebagaimana Dewi Ayu tidak mengalami cinta sebagaimana dikehendaki, cinta mereka penuh hambatan, tantangan dan siksaan. Tragedi cinta itulah yang diolah oleh pengarang, dengan memberinya latar sosio-politik dan kultural yang kuat.
Pengarang tampaknya begitu menguasai alur sejarah Indonesia dari alkhir zaman kolonial sampai pasca tahun 1960-an. Secara baik novel ini bisa memberikan suasana perubahan sejarah politik dari Kolonial Belanda ke Kolonial Jepang, Indonesia merdeka sampai suasana mencekam tahun 1960-an. Pengarang begitu lincah memasuki roh sejarah, suasana pergantian antar rezim itu begitu mengena. Penamaan yang sering didengar zaman Jepang seperti Kempetai, Hinomaru, karaben, senapan steyer, dan istilah struktur dalam ketentaraan Jepang terungkap dalam novel ini secara tepat. Suasana tahun 1960-an terasa menggeliat dengan uraian pengarang tentang gerombolan rakyat bawah seperti nelayan. Unik dan kelayakan novel ini sungguh bukan karena keberanian pengarang untuk menelanjangi tokoh-tokohnya secara seksual atau dengan mengemukakan seksualitas. Hal yang lebih menarik adalah, boleh dikatakan keseluruhan tokoh memainkan peran yang spesifik dan punya karakter yang kuat. Keberhasilan dan nafas panjang seperti dalam novel ini tentu jarang diraih oleh pengarang-pengarang Indonesia kontemporer, apa lagi generasi setelah 1980-an.
Adapun sisi feminitas yang diangkat penulisnya (Ini juga salah satu yang membuat saya salut, penulis pria yang tokoh novelnya seorang wanita) yang ingin memperlihatkan bahwa perempuan selalu menjadi korban dalam setiap zaman, bahkan dari mulai zaman perang. Novel ini juga sebagai suatu kritik bahwa di zaman modern ini, hak-hak perempuan seringkali terabaikan. Novel ini seakan menjadi kritik pada patokan cantik di Indonesia yaitu tinggi, putih, langsing seperti artis-artis kebanyakan. Padahal di satu sisi kecantikan dapat menghadirkan luka seperti yang dialami tokoh dalam novel ini.
Dengan novelnya yang pertama, Cantik Itu Luka (2002), Eka Kurniawan menimbulkan kontroversi yang cukup seru. Mungkin penerbitan ulang novel tersebut oleh Gramedia dapat dipahami sebagai tanda bahwa novel yang banyak dikritik itu akhirnya bisa diterima. Pada waktu yang sama, Gramedia juga menerbitkan novel Eka yang kedua, Lelaki Harimau (2004).
Lelaki Harimau (2004), jauh berbeda dari Cantik Itu Luka. Kalau Cantik Itu Luka biasa disebut novel realis-magis, Lelaki Harimau tak dapat dikategorikan demikian. Meskipun dalam Lelaki Harimau ada unsur “magis”, yaitu adanya makhluk berupa harimau jadi-jadian dalam tubuh Margio, sang tokoh utama, novel ini menggunakan gaya realis, mungkin bahkan dapat disebut novel psikologis. Kekuatan novel ini terletak terutama pada kekayaan dan ketepatan deskripsi pengalaman, pikiran, dan perasaan para tokoh utama yang membuat tingkah ldia mereka menjadi meyakinkan secara psikologis. Kalau novel pertamanya dianggap aneh dan “tak bermakna” oleh Maman S Mahayana, antara lain karena alur cerita dan keldiaan tokoh-tokohnya “tidak masuk akal”, dengan terbitnya Lelaki Harimau terbukti secara gamblang bahwa Eka bukannya tidak mampu mengarang dengan alur yang realis dan masuk akal secara psikologis. Hanya, dalam Cantik Itu Luka memang bukan gaya penulisan ini yang menjadi pilihannya.
Dalam novel Lelaki Harimau pun seksualitas cukup berperan, tetapi jauh berbeda dari novel-novel lainnya. Hubungan seks yang diceritakan adalah seks yang penuh kekerasan antara kedua orang tua si tokoh utama, Komar dan Nuraeni, dan hubungan perselingkuhan Nuraeni dengan Anwar Sadat. Dengan realistis Eka menceritakan bagaimana Nuraeni, perempuan setengah tua yang terus-menerus menerima perldiaan kasar dari suaminya, untuk pertama kali merasakan kenikmatan seksual dalam perselingkuhan tersebut. Meskipun bagi masyarakat kampung tempat cerita berlangsung perselingkuhan semacam itu merupakan “dosa” atau “skandal”, Eka berhasil menceritakannya sedemikian rupa hingga pembaca dapat merasakannya sebagai sesuatu yang sudah wajar terjadi. Persetubuhan mereka dilukiskan dengan sangat rinci, tetapi sama sekali tidak menimbulkan kesan “mesum” atau “norak”.
Novel Lelaki Harimau menceritakan kisah tragis sebuah keluarga yang tidak bahagia: pasangan Komar dan Nuraeni tidak pernah diar, Komar mengasari istri dan anaknya, anak-anak membenci ayahnya. Nuraeni akhirnya berselingkuh dengan majikannya, Anwar Sadat. Margio, anak Komar dan Nuraeni, membunuh Anwar Sadat saat dia mengetahui bahwa laki-laki hidung belang tersebut tidak mencintai ibunya. Jelas terjadi banyak kejahatan dan kekejaman dalam novel ini. Tetapi, pembaca akan sulit menentukan siapa di antara para tokoh yang sesungguhnya bersalah: Komar yang berbuat kasar, Margio yang membunuh, atau Nuraeni dan Anwar Sadat yang berselingkuh.
Sementara, di sisi lain, Komar berusaha membahagiakan istrinya, tetapi Nuraeni sepertinya sudah memutuskan untuk menolak setiap usaha semacam itu. Sikap kasarnya makin menjadi-jadi karena keputusasaannya dalam usaha memenangkan hati istrinya tersebut. Sedangkan Nuraeni pun tak dapat sepenuhnya disalahkan, dia sangat menderita karena kekasaran Komar, wajarlah dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat diperldiakan dengan mesra oleh Anwar Sadat. Keadaan Margio pun dapat dipahami: bagaimana anak yang selalu membela ibunya itu tak akan mengamuk saat mendengar ibunya diremehkan laki- laki yang membuatnya demikian bahagia? Di samping itu, menurut pengdiaan Margio bukan dia yang melakukan pembunuhan itu, tetapi harimau warisan dari kakeknya yang ada dalam dirinya.
Lebih jauh lagi, segala kehancuran perkawinan Komar dan Nuraeni itu ternyata berawal dari sebuah kesalahpahaman sepele pada saat mereka masih pacaran, yaitu Komar tidak menepati janjinya untuk mengirimi Nuraeni surat hingga Nuraeni merasa tidak diperhatikan dan tidak dicintainya. Padahal, Komar bukan melupakan janjinya, hanya dia tak tahu apa yang mesti ditulisnya. Semua tokoh yang terlibat dalam cerita tragis tersebut dilukiskan penuh simpati, perbuatan dan perasaan mereka dapat dipahami. Berbeda dari banyak novel Indonesia yang lain, di sini tak ada tokoh yang jahat ataupun keadaan buruk tertentu yang dapat diidentifikasikan sebagai asal-usul segala bencana. Tampaknya semuanya terjadi begitu saja, disebabkan bukan oleh persoalan-persoalan besar, seperti kemiskinan, kekurangan cinta, dan lain sebagainya, tetapi malah oleh hal yang begitu sepele: seandainya Komar muda menulis surat-surat cinta penuh omong kosong seperti para pemuda lain, kisah Komar dan Nuraeni pasti akan menjadi sangat berbeda.
Meskipun dapat dikategorikan sebagai novel psikologis, toh keldiaan para tokoh Lelaki Harimau tidak dapat sepenuhnya dipahami atau dijelaskan secara ilmu psikologi. Terutama tokoh Margio yang tetap penuh misteri. Margio memang mempunyai alasan untuk membenci Anwar Sadat, tetapi hal itu tidak dapat dengan sepenuhnya menjelaskan mengapa dia sampai melakukan pembunuhan yang luar biasa kejam dan mengerikan, yaitu menggigit leher Anwar Sadat sampai putus. Juga, mengapa anak muda yang selalu berhasil menahan nafsu membunuh ayahnya sendiri yang sangat dibencinya tiba-tiba tidak dapat mengontrol diri lagi pada saat berhadapan dengan Anwar Sadat.
Di sini, mitos yang memberi judul pada novel ini mengambil peranan: Margio merasa dikuasai oleh harimau jadi-jadian dalam tubuhnya yang membuatnya mampu dan tega membunuh dengan cara yang luar biasa tersebut. Seperti yang dikatakan Eka sendiri pada acara peluncuran novelnya di Universitas Negeri Yogyakarta pada tanggal 16 Juli 2004 lalu, hal itu dapat dipahami sebagai metafor ataupun sebagai kejadian yang mungkin saja terjadi secara nyata. Artinya, bahwa ada harimau dalam diri tokoh Lelaki Harimau dapat dibaca sebagai ungkapan metaforis betapa ada unsur buas dan tak terduga dalam diri setiap manusia, atau dapat juga dibaca sebagai kejadian supranatural. Dengan cara itu, meskipun novel ini menitikberatkan perkembangan psikologis para tokoh, psikologi sekaligus diragukan sebagai cara yang tepat dan memadai untuk memahami manusia. Dalam hal ini, tetap saja ada unsur-unsur yang tak terpahami, entah berasal dari kedalaman batin manusia yang tak terselami atau dari kekuatan-kekuatan supranatural yang keberadaannya tidak didiai oleh psikologi sebagai ilmu Barat.
Deskripsi perkembangan psikologis para tokoh Lelaki Harimau membuat kita menyadari betapa nilai-nilai moral yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari ternyata terlalu sederhana, tak memadai untuk menilai kehidupan manusia yang penuh liku-liku. Misalnya, bagaimana mungkin perselingkuhan Nuraeni akan kita nilai sebagai “dosa” atau kesalahan, padahal mungkin kemesraan dalam perselingkuhan itulah satu-satunya kebahagiaan yang dialami perempuan malang itu dalam hidupnya? Plot yang menunjukkan rumitnya hubungan manusia semacam inilah, menurut saya, merupakan pendobrakan nilai-nilai moral yang sesungguhnya. Karena dapat membuat pembaca mempertanyakan nilai-nilai yang ada dan membuatnya sadar betapa hidup ini tak sehitam-putih yang dibayangkan.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) bukanlah novel biasa. Setelah dibuka dengan rangkaian kalimat mengundang yang langsung menohok permasalahan inti, kita akan mengikuti kisah laki-laki impoten yang disampaikan secara blak-blakan. Segala perkara mengenai burung dan memek akan disampaikan apa adanya. Kata-kata seperti ngaceng, pelber (baru nempel langsung nyembur), dan lonte akan disampaikan dengan enteng dan tanpa basa-basi. Demikian pula adegan-adegan seks yang bermunculan memanaskan plot. Vulgar memang, sudah jelas dan tidak bisa disangkal, tapi jujur dan apa adanya. Mungkin, kevulgaran memang tidak bisa dilepaskan dari lingkup pergaulan para tokoh utama novel, karenanya apa yang dibeberkan dalam novel ini bisa dibilang lumrah.
Bagi sementara pembaca, mungkin akan menganggap gaya berkisah Eka Kurniawan hal yang biasa. Cukup menikmati dan dan tertawa sepuasnya. Tapi mungkin, bagi pembaca tertentu, agak sulit untuk menerima, bahkan merasa jijik. Hal yang lumrah, selumrah kevulgaran novel ini. Ketika membaca adegan Ajo Kawir sedang berak dan tainya ke mana-mana. Kosakata vulgar, problematika burung yang tidak bisa berkicau, dan kebrutalan yang menyertainya, dimunculkan Eka Kurniawan dalam plot maju-mundur yang bergerak agresif. Perpindahan adegan yang rapat dengan gampang bisa dipahami, memberikan kesan kita sedang mengikuti sebuah film dengan kejutan yang diungkapkan di sana-sini. Penggunaan kalimat-kalimat pendek tapi efektif memperkuat kesan ini. Eka Kurniawan memang tidak mengggunakan kalimat-kalimat panjang seperti dalam Cantik Itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau (2004).
Kebiasaan Eka menggunakan karakter dengan nama-nama yang unik dan sering merupakan julukan ditunjukkan juga di sini. Ajo Kawir, Si Tokek, Iwan Angsa (ayah Si Tokek), Iteung, Jelita, Mono Ompong, Si Kumbang, Si Macan (mantan penjahat), Paman Gembul (yang meminta Ajo Kawir untuk membunuh Si Macan), Rona Merah, Agus Klobot, Budi Baik (sesama petarung yang mencintai Iteung), Si Janda Muda, Perokok Kretek, dan Pemilik Luka adalah nama-nama yang imajinatif. Setiap nama menjadi tidak terlupakan karena punya peran masing-masing. Setiap nama dipertimbangkan dengan baik kemunculannya,dan khususnya nama-nama yang tidak berperan utama, memberikan kontribusi pada tindakan, pemikiran, dan transformasi dalam hidup para karakter utama.
Judul novel yang panjang dengan mudah akan melekat di lidah dan ingatan. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sesungguhnya melukiskan problematika yang dialami Ajo Kawir sebagai laki-laki impoten yang menginginkan kemaluannya bisa ereksi lagi (dan digunakan juga, tentu saja). Itulah sebabnya, sampul novel yang dirancang Eka Kurniawan sendiri, termasuk ilustrasinya, sebenarnya termaktub pada truk Ajo Kawir. Gambar seekor burung yang sedang tertidur pulas, nyaris seperti burung mati, dan di atasnya ada tulisan "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas".
D. Proses Kreatif dan Karakteristik Kepenulisan
Dapat dipastikan bahwa Eka kurniawan membaca lebih banyak karya luar, karena pilihannya memang jauh lebih banyak. Ketersediaan karya asing lebih melimpah. Dia sebenarnya, terutama sekarang, lebih banyak membaca untuk bersenang-senang saja, untuk mencari hal-hal baru. Membaca itu seperti menjelajah, bukan sekadar bahwa sebuah karya akan membawa kita ke tempat lain atau membuat kita bertemu dengan karakter berbeda. Tapi, sering kali ada pengalaman dari membaca karya tertentu, pengarang tertentu, yang berada di luar apa yang kita secara pribadi asumsikan sendiri.
Pada titik-titik tertentu, sebenarnya, yang namanya sastra kadang-kadang ada mainstream-nya. Misalnya, sastra dunia pada 1970-an, generasi setelah Perang Dunia II, kita umumnya membayangkan sastra seperti karya-karya Ernest Hemingway. Lalu, setelah itu, muncul generasi pasca-kolonial. Sebetulnya, bukan hanya di sastra, di bidang lain pun seperti itu. Kadang muncul arus utama, ada sesuatu yang boom, lalu kita menemukan suplai karya yang nyaris sama. Kita tiba-tiba ingin keluar menjelajah dan mencari hal-hal lain. Kita ingin menghibur diri sendiri dengan sesuatu yang lain. Kita ingin lari ke karya-karya klasik. Atau, misalnya, tiba-tiba kita ingin membaca penulis yang dipuji-puji orang, tapi karya-karyanya tidak dibaca orang.
Hal semacam itu juga berlaku di sini. Ketika dia membaca karya-karya Indonesia, dia merasa ada nama-nama tertentu yang terlalu mainstream. Kuntowijoyo dan Mangunwijaya, misalnya. Kadang-kadang dia merasa terlalu banyak pengekor yang mencoba menduplikasi mereka. Tentu saja, bukan salah kedua penulis tersebut. Kondisi semacam itu membuatku tiba-tiba ingin membaca penulis lain semacam Riyono Pratikto. Atau, belum lama ini, misalnya, dia membaca lagi kumpulan cerpen Asrul Sani yang cuma satu buku itu; Dari Suatu Masa, dari Suatu Tempat.
Dia sering tiba-tiba seperti itu. Ingin melepaskan diri dan mencoba mencari yang kira-kira menarik dan lebih menyenangkan untuk dibaca. Ketika pergi jalan-jalan ke Singapura, misalnya, semua orang tampaknya ingin ke Orchard Road. Tiba-tiba kita ingin mengunjungi tempat-tempat yang orang lain tidak peduli. Kita ingin punya pengalaman pribadi yang berbeda. Sehingga kita pergi ke tempat lain dan merasa cuma kita dan tempat tersebut yang terhubungkan sementara ini. Kurang lebih seperti itu dia melakukan penjelajahanku membaca sekarang. Jadi, sebetulnya, dia tidak terlalu membedakan antara karya Indonesia dan karya luar. Hanya saja, mungkin, karya Indonesia pilihannya memang jauh lebih terbatas.
Dia memang merasa ada intensi yang berbeda. Dia pernah mengalami masa-masa yang lumayan sulit. Waktu itu, dia membaca karena dia merasa sebagai penulis. Dia sudah melewati masa-masa tersebut sejak beberapa tahun lalu. Dia merasa sangat terganggu. Waktu itu, dia kehilangan kenikmatan membaca yang dia alami waktu remaja, atau masa-masa awal menjadi penulis, yang pada tingkat tertentu masih polos.
Ketika dia mencoba menjadi penulis, dia memikirkan dirinya sebagai penulis seperti apa. dia datang dari sebuah negara yang orang di luar sana bahkan tidak tahu bahasanya dengan sejarah yang orang tidak terlalu peduli. Kita terhubung dengan sejarah dunia, tetapi hubungannya tidak dekat. Kita dijajah waktu itu oleh sebuah negara kecil. Kita pernah diduduki oleh Jepang, tapi Jepang menduduki banyak tempat lain.
Sebagai penulis, dia ingin mencoba menggambar ulang tentang Indonesia dan dia bertanya bagaimana caranya. Hal itu membuatnya belajar dari karya-karya orang lain yang dia rasa merepresentasikan wilayah, generasi, dan sosial tertentu. Misalnya, ketika itu dia membaca hampir semua karya Gabriel Garcia Marquez dan Mo Yan. dia merasa Marquez bukan hanya mewakili Colombia, tapi juga seluruh Amerika Latin. Pada masa itu, dia membaca hampir semua penulis besar Amerika Latin dengan cara pandang seperti itu; bagaimana mereka menggambar ulang Amerika Latin dalam karya-karya mereka. Atau, bagaimana Mo Yan menggambar ulang Cina. Dia rasa generasi mereka yang lahir tahun 1920-an atau 1930-an memang seperti itu; generasi pasca-kolonial. Dia membaca Milan Kundera, bagaimana dia merepresentasikan — meskipun mungkin tidak betul — Ceko.
Pada masa itu, dia banyak membaca dengan tujuan seperti itu. Merasa mereka terpisah-pisah, berkarya di tempat-tempat berbeda, tapi mereka generasi pasca-kolonial yang sama-sama sedang menggambar ulang wilayah geografi dan sosial mereka.
Waktu dia menulis Cantik Itu Luka, saat menulis Lelaki Harimau, dan masa-masa setelahnya. Dia tersiksa dengan kondisi semacam itu mungkin hingga menjelang 2010. Sebetulnya, memang tentu saja harus ada pilihan. Dia menulis jurnal itu setelah memutuskan untuk menjadi pembaca saja, bukan seorang penulis yang membaca. Dia ingin bersenang-senang sebagai pembaca dan salah satu ekspresiku adalah dengan rutin menulis jurnal. Dia punya kesadaran untuk melakukannya kira-kira sejak 2012.
Ingin membaca karya-karya dari penulis yang paling tidak satu generasi di atasnya. dia ingin tahu dunia seperti apa yang ingin mereka gambar dalam karya-karya generasi yang lebih baru ini. Karena, itu tadi, dia merasa terlalu banyak membaca generasi pasca-kolonial. Bahkan, kita lebih kenal pengarang jadul, tetapi kurang mengenal pengarang yang lebih baru.
Dia kemudian melemparkan dirinya jauh ke belakang. Dia ingin membaca karya-karya klasik, di mana segala sesuatu berawal. Dia ingin membaca karya-karya yang lahir dari abad ke-19 ke belakang. Dia membaca lagi William Shakespeare, Miguel de Cervantes, Leo Tolstoy, dan Fyodor Dostoyevsky. Dia membaca Herman Melville. Dia bahkan membaca ulang Homer. Dia membaca penulis Prancis, pelopor stream of consciousness, Édouard Dujardin. Dia merasa, sekarang ini, kita melakukan banyak hal tapi tidak sadar bahwa ada asal-usulnya. Dia merasa perlu menjelajahi asal-usul hal-hal yang dia lakukan saat ini, yang kadang bahkan tanpa sadar dilakukannya. Dan, ternyata, itu penjelajahan yang menyenangkan. Lalu, saat ini, dia sedang membaca dengan frame klasik-moderen, kira-kira sebelum Perang Dunia. Dia membaca ulang, misalnya, Knut Hamsun. Ini periode generasi yang lahir kira-kira akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Dia membaca lagi Ernest Hemingway dan William Faulkner.
Sebetulnya, tahun ini, dia ingin membaca tiga pengarang Jerman. Dia menargetkan hal tersebut karena dia tahu sulit membaca karya-karya Jerman. Dia ingin membaca novel Hermann Broch, The Sleepwalkers. Dia tahu novel dan nama itu karena Milan Kundera sering menyebut dan memujinya. Dia ingin membaca lebih detail karya-karya dari generasi itu. Kalau punya waktu lebih luang, dia juga ingin sekali menamatkan In Search of Lost Time, karya Marcel Proust. Mereka memang generasi yang senang menulis novel yang sangat tebal, panjang, kadang berseri, dan novel ide. Kurasa mungkin terpengaruh oleh revolusi industri, gagasan sedang tumbuh, atau barangkali kondisi ekonomi sedang membaik, dan belum terjadi perang. Karena setelah perang meletus, novel-novel seperti itu tidak lagi ditulis.
Cara dia mencari bacaan memang seperti itu selama ini. Membaca dan membeli buku sebetulnya seperti membeli kucing dalam karung. Asumsinya, kita membaca dari rekomendasi orang-orang yang kita percaya. Dan, orang-orang yang kita percaya itu tentu saja adalah orang-orang yang kita suka karyanya. Dia suka Milan Kundera. Dia ingin tahu sebetulnya dia menyuruh kita membaca siapa. Dia merekomendasikan karya-karya siapa. Dia suka membaca esai-esai para sastrawan kadang untuk tujuan seperti itu. Ada empat buku esai Milan Kundera; The Curtain, The Art of Novel, Testaments Betrayed, dan Encounter. Dia baru membaca tiga di antaranya. Dari buku-buku itu dia menemukan banyak nama pengarang yang kemudian dia baca. Dulu, dia membaca William Faulkner, karena Marquez membaca Faulkner. Kalau Marquez tidak membaca Faulkner, mungkin dia juga tidak mengenalnya. Pada masa itu, kita mungkin hanya mengenal penulis Amerika seperti Ernest Hemingway dan John Steinbeck, karena cuma itu yang bisa kita temukan terjemahan karya-karyanya. Sementara Faulkner, meskipun datang dari generasi yang sama, hampir tidak pernah disebutkan.
Lima penulis yang bisa membuka banyak? Kurasa itu agak tricky, dalam arti tidak semua penulis suka mengatakan dengan terbuka apa yang ia baca. Tapi, tentu saja, Milan Kundera bisa jadi salah satu gerbang yang bagus dan mengasyikkan. Ia sangat terbuka. Ia menulis banyak esai. Kita lebih mudah menulusuri bacaannya. Meskipun, referensinya lebih banyak berkutat di Eropa. Ia memang menyebut beberapa penulis Asia, tapi kurasa sangat mudah ditebak. Para penulis Asia yang ia sebutkan pasti juga sudah kita kenal, berbeda dengan penulis-penulis Eropa yang ia sarankan. Kadang-kadang ia menyebut nama pengarang dari zaman entah kapan. Ia menyebut penulis yang sangat asing, misalnya, Bohumil Hrabal. Dia rasa, kalau Kundera tidak menyebut namanya, karya-karya Hrabal tidak banyak diterjemahkan ke bahasa lain. Bahkan mungkin diterjemahkan pun tidak akan banyak dibaca orang.Salman Rushdie juga cukup terbuka menyebutkan nama-nama pengarang lain yang ia baca. Tapi, dia rasa metodenya tidak melulu harus seperti itu. Kadang-kadang kita bisa mengetahui seorang penulis membaca siapa-siapa saja secara tidak langsung. Dia kadang menemukan penulis lewat karya-karya kritik atau biografi pengarang tertentu.
Dia sering membayangkan dirinya seperti dulu waktu remaja, ketika dia sangat senang membaca buku. Dia melakukannya sebenarnya bisa dibilang sebagai bentuk eskapisme. Dia ingin lari ke sebuah dunia yang dia tidak tahu sebelumnya dan masuk begitu saja. Membaca buku adalah satu-satunya petualangan di mana kita cukup duduk dan tiba-tiba kita sudah berada di tempat lain. Dia membayangkan bisa membaca siapa pun, bahkan ketika membaca karya James Joyce, Ulysses, seperti adiknya membaca buku-buku yang ia suka. Tanpa pretensi sastra. Adiknya bukan pembaca sastra, tapi ia bisa duduk berlama-lama membaca Harry Potter. Ia larut saja dan bahagia. Ia tidak punya tujuan apa-apa selain karena senang membaca.
Dia ingin seperti itu, karena dulu dia seperti itu. Dia membaca cerita silat dan memasuki petualangan-petualangan di dalamnya. Dia tiba-tiba bisa berada di negeri China, lalu tiba-tiba ada di Kerajaan Majapahit. Dia berkenalan dengan karakter-karakter yang bisa membawdia bertualang. Dia kira, istilah eskapisme itu bisa mewakili.
Dia mendapatkan bacaan hampir dengan segala cara. Yang paling mudah, tentu saja, dengan membeli. Dia biasanya beli online dari luar negeri. Kalau tidak beli baru, dia beli buku bekas. Di www.abebooks.com, misalnya. Dia biasanya memperoleh buku-buku yang susah dicari di situ. Dia juga suka jalan-jalan ke toko buku. Kalau dia melihat buku yang kusuka dan kebetulan pegang uang, dia beli. Meskipun, kadang-kadang dia merasa buku-buku di sini masih terlalu mahal. Tapi, dia sering membeli jika dia merasa punya sedikit uang dan menganggap bukunya bagus.
Dia juga masih punya kebiasaan setiap kali pergi ke mana pun dan menemukan toko buku bekas, dia pasti masuk. Setidaknya ada satu buku yang pasti kubawa keluar. Seperti di London, kemarin, dia masuk ke satu toko buku bekas. Dia bertemu buku yang sebenarnya gampang sekali dicari dan bisa ditemukan di mana-mana. Dia sudah pernah membacanya, sudah lama sekali, tapi tidak memiliki bukunya. Tiba-tiba dia merasa ingin memilikinya, meskipun bekas tapi kondisinya masih bagus dan harganya murah. Novel Franz Kafka, The Castle. Dia bayar dan ambil, karena di rumah juga belum ada buku itu. Seperti itu, dia sering memperoleh buku di toko buku bekas.
Dia juga sering dapat hadiah dari teman. Dia kadang-kadang kepikiran jika punya teman yang kutahu suka buku tertentu dan menemukannya, dia beli untuknya. Selain itu, dia kadang melakukannya dengan sedikit ilegal. Dia men-download, tertutama buku-buku yang sebetulnya tidak terlalu kusuka, tapi cukup penasaran mau baca. Dia cari di Internet, ku-download, dan kubaca. Kadang-kadang, dia baru baca setengah dan dia suka, ujung-ujungnya, dia cari bukunya.
Di luar itu, setiap punya kesempatan, dia membaca. Lima atau enam halaman. Justru dia biasanya tidak membaca buku ketika sedang dengan sengaja ingin jalan-jalan. Dia ingin jalan-jalan saja. Karena, dia merasa buku justru jadi gangguan. Membaca membuatku tidak bisa melihat apa-apa yang lain.
Tidak ada yang terlalu spesifik. Dia rasa orang lain juga melakukannya. Misalnya, dia suka menciumi buku. Dia juga suka mencoret-coret buku, meskipun orang lain menganggap itu kebiasaan buruk karena merusak buku. Tapi, dia tidak tahu, dia suka saja melakukannya. Dia suka membuat catatan di buku yang ia baca.
Mungkin karena malas saja. Bahkan ketika dia masih mahasiswa, dia tidak pernah jadi anggota perpustakaan. Kalau dia mau membaca satu buku, dia memilih membacanya di perpustakaan. Dia tidak pernah membawa pulang. Jika terpaksa harus bawa pulang karena tugas, misalnya, dia pinjam kartu perpustakaan teman. Tetapi, lebih sering dia datang ke perpustakaan, ambil buku, duduk, dan baca di situ. Sehabis itu, misalnya buku yang kubaca belum selesai, dia ingat saja halaman berapa terakhir dan besok datang lagi untuk melanjutkannya.
Dia rasa, karena dia malas saja. Dia malas mengurus kartu dan hal-hal lain semacam itu. Tapi, di sisi lain, hal itu membuat dia punya kebiasaan untuk datang ke perpustakaan, duduk dua atau tiga jam membaca, karena dia tidak punya kesempatan lain untuk membaca selain di situ. Untungnya, waktu dia kuliah, novel-novel yang ia baca itu jarang dibaca orang lain. Jadi, kalau dia kembali mau baca, novel itu masih ada.
Dia merasa tidak obsesif terhadap penulis tertentu lagi. Kadang-kadang sekarang begitu selesai membaca satu buku, dia ambil buku lain apa saja lalu membacanya. Di rak bukunya masih banyak buku belum dibacanya. Dia ambil saja secara acak lalu baca sampai tamat lalu simpan dan ambil yang lain lagi dan seterusnya.
Pernah juga ada orang yang bertanya tentang penulis perempuan. Dia rasa, secara tidak sadar, kita masuk ke konstalasi sastra dunia di mana penulis perempuan memang representasinya tidak terakomodir. Sedikit. Apalagi dalam dunia sastra mainstream, misalnya, kita bisa melihat statistik jumlah perempuan yang meraih penghargaan Hadiah Nobel Sastra juga sangat sedikit. Meskipun ini bisa diperdebatkan, juga dia rasa ketika menemukan penulis perempuan, cara mereka menulis tetap agak maskulin. Beberapa yang dia suka, dia rasa menulis dengan sangat maskulin. Misalnya, Toni Morrison yang banyak sekali mempengaruhi tulisannya. Atau, sebutlah, Virginia Woolf. Tapi, dia rasa sastra dunia memang sangat maskulin. Meskipun, apa dan yang mana itu maskulin juga bisa diperdebatkan.
Supaya dia tidak lupa, sebagaimana fungsi awal kenapa manusia menulis. Ketika selesai membaca dan ada yang terpercik di pikirannya, misalnya komentar atau apa pun, dia menuliskannya. baginya itu cara terbaik supaya dia ingat. Hal-hal yang dituliskan jauh lebih bisa dia ingat dibanding dengan yang tidak dituliskan.
Hampir seperti itu. Meskipun, kadang-kadang ada kasus tertentu. Ada buku yang begitu selesai dibaca, dia tidak tergerak sama sekali untuk menuliskan apa pun dan melewatkan saja. Tapi, kadang pula ada buku yang sudah lama selesai dia baca, tiba-tiba karena sesuatu membuatnya menuliskan catatan atau komentar atau apa saja. Misalnya, dia membaca esai orang lain tentang panduan membaca pengarang tertentu, lalu dia berpikir untuk menuliskan esai serupa. Maka, dia tulislah esai tentang panduan membaca Hamsun yang dalam tingkat tertentu dia baca hampir semua karyanya.
Komentar
Tulis komentar baru