Pencapaian Dan Plagiator Chairil Anwar
Oleh : Niken Swastikasari
Pada masa pemerintahan Jepang, segala sesuatu yang berbau Barat harus dimusnahkan. Dengan demikian, banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Hal ini berakibat pematangan jiwa dan pengalaman bagi bangsa Indonesia. Penderitaan yang hebat dan suasana perang dunia telah menempatkan Indonesia dengan keras menghadapi kenyataan hidup. Begitu pula kaum terpelajar.
Pada masa itu, pemuda yang berumur 20-30 tahun banyak bermunculan dalam arena sastra. Hal ini sudah dijelaskan bahwa dalam 10-15 tahun akan muncul generasi sastrawan yang baru. Para sastrawan yang muncul dalam angkatan baru ini adalah Chairil Anwar, Bakri Siregar, Balfas, Idrus, Usmar Ismail, Amir Hamzah, Anas Makruf, Amal Hamzah, Rivai Apin, dsb. Para sastrawan ini muncul dengan zamannya yang penuh krisis, keras, dan tantangan-tantangan, berbeda dengan angkatan sebelumnya yang relatif lebih tenang. Berbekal pengalaman itulah mereka menciptakan karya-karya yang segar dan berbeda dengan karya angkatan sebelumnya.
Pada tahun itu pula angkatan Pujangga Baru berhenti karena Jepang tidak menginginkan kebarat-baratan yang melekat pada angkatan itu. Balai Pustaka juga terhenti karena pendukungnya, Belanda, sudah tumbang. Angkatan baru inilah yang dikenal dengan angkatan 45. Seperti Pujangga Baru, angkatan 45 ini juga mengalami masa pertunasan. Masa pematangan angkatan ini terjadi selama zaman pendudukan Jepang, yakni antara 1942-1945 yang disebut “Sastra Zaman Jepang”.
Sastra Angkatan 45 adalah sastra angkatan kemerdekaan, tidak ada lagi hambatan-hambatan politik sepeerti yang dialami angkatan-angkatan sebelumnya. Penciptaan dapat dilakukan sebebas-bebasnya. Sajak-sajak Chairil Anwar, roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Achdiat Kartamihardja merupakan tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia.
Pendidikan yang didapat Angkatan 45 tidak seperti Pujangga Baru. Sekolah Angkatan 45 adalah gelanggang kehidupan dengan latar belakang masyarakat dan bangsanya yang sedang bergejolak untuk menentukan nasib hari depannya. Dalam zaman Jepang, bentuk sajak sudah tidak teratur lagi seperti soneta dan kwartrin pada Pujangga Baru. Bentuk sajak jauh lebih bebas, tidak terikat banyaknya baris dan persamaan bunyi. Yang menonjol dari karya-karya sastra pada zaman Jepang adalah banyaknya drama yang ditulis. Ada tiga penulis drama terkenal, yaitu El Hakim, Usmar Ismail, dan Idrus.
Angkatan ’45 menjadi periode sastra yang menarik untuk dibahas. Dalam angkatan ini, sastra Indonesia mengalami transformasi dari bentuk konvensi ketat menuju bentuk yang lebih bebas. Tokoh yang paling menonjol adalah Chairil Anwar. Dia adalah tokoh sentral dalam angkatan tersebut. Pencarian dan pencapaiannya memang tidak bisa dipungkiri sangat berpengaruh dalam sastra Indonesia modern. Setelah kematiannya barulah muncul tudingan Chairil sebagai plagiat. Menimbang kembali Chairil Anwar tentang apa yang sudah ia sumbangkan dan sisi negatif dari seorang Chairil Anwar akan menjadi bahasan dalam tulisan ini.
Angkatan ’45 akan selalu identik dengan Chairil Anwar. Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli 1922. Sajak-sajaknya sudah kita kenal sejak sekolah menengah. Dia memulai mempublikasikan sajak-sajaknya pada tahun 1942 hingga tahun 1949. Selama itu pula ia sudah menghasilkan 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan (Jassin, 1968). Sajak-sajaknya melampaui usianya. Dia akhirnya hidup seribu tahun melalui sajak-sajaknya seperti yang ia tulis dalam sajak “Aku”.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Chairil Anwar menjadi sosok yang sentral dalam dunia sastra Indonesia modern. Ia dianggap sebagai sosok pembaharu dalam dunia sastra Indonesia modern. Di satu sisi, setelah kemunculan Lekra, nama Chairil Anwar seakan-akan ingin disingkirkan karena pandangan hidup Chairil Anwar dan beberapa sajaknya dianggap sebagai plagiat. Lalu apa yang menarik dari Chairil Anwar untuk ditimbang? Chairil Anwar adalah seorang yang tidak luput dari kesalahan menurut ukuran manusia biasa, tetapi juga mempunyai keistimewaan sebagai penyair dan membawa puisi asing ke dalam puisi Indonesia. Akan tetapi, setelah kematiannya muncul sebuah kontroversi yang berhubungan dengan penemuan-penemuan plagiat dalam karyanya.
Chairil Anwar memang menjadi sosok yang kontroversial. Ia mulai tekun menghasilkan karya sejak balatentara Jepang mulai menguasai Indonesia. Sejak itu pula bahasa Belanda digantikan oleh bahasa Indonesia. Pada masa Jepang, bahasa Indonesia menjadi bahasa komunikasi karena bahasa Belanda dilarang oleh Jepang. Hal tersebut menguatkan posisi bahasa Indonesia sendiri. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menjadi sosok yang sentral karena sering dipakai. Hal ini berbeda dengan masa Pujangga Baru. Pada masa Pujangga Baru, bahasa Indonesia baru lahir dan tentunya masih belum berkembang.
Karya-karya angkatan ’45 dan Chairil Anwar pada khususnya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa sastra yang cukup dewasa dan matang. Dalam sajak-sajaknya pengaruh bahasa asing memang ada namun Chairil dapat memanifestasikan ke dalam bahasa Indonesia yang bersifat Indonesia, bukan melayu lagi. Chairil membukakan jalan bagi pemakaian bahasa tersebut yang sampai sekarang masih dipakai oleh penyair-penyair baru setelahnya. Itulah Chairil Anwar, penyair revolusioner Indoensia, pelopor apa yang disebut kemudian angkatan 45.
Sejak kemunculannya pada tahun 1942, melalui sajak “Nisan”, H.B Jassin menganggap bahwa masa Pujangga Baru telah berakhir. Pada masa Pujangga Baru, konvensi dalam sajak berbentuk kuatrin dan bergaya seperti pantun dan syair melayu. Setiap lariknya terdiri dari empat kata jika ada pembaruan dalam karya Pujangga Baru mungkin hanya dalam segi bentuk seperti bentuk sonata yang sering dipakai oleh M. Yamin. Akan tetapi, bentuk pantun tradisional tetap dipertahankan. Ada yang menarik ketika sajak ”Nisan” Chairil Anwar menjadi simbol berakhirnya Pujangga Baru. Sajak “Nisan” Chairil Anwar masih berbentuk Kuatrin dengan rima yang teratur namun dalam hal isi Chairil menawarkan hal yang baru dalam sajaknya tersebut.
Di sisi lain yang membuat Chairil lebih menonjol dari teman seangkatannya adalah imajinasinya terhadap manusia Indonesia modern. Chairil memang sangat mengagumi modernitas yang berkembang di Barat. Sajak-sajaknya sangat terpengaruh oleh sajak-sajak Barat, pengaruh itu pula yang mempengaruhi pandangan tentang manusia Indonesia modern.
Dalam sajak “Aku”, Chairil memanifestasikan imajinasi manusia Indonesia modern ke dalam subjek ‘Aku’. Subjek ‘Aku’ menjadi manusia yang bebas berkehendak. ‘Aku’ juga menjadi manusia yang menyadari bahwa pengalaman subjektifnya akan memberi warna tersendiri pada keberadaan. Subjek ‘Aku’ menjadi manusia yang individualis yang tidak mau dirayu oleh banyak orang. Pengalaman tentang keterasingan membawa subjek ‘Aku’ pada pengalaman yang lebih spiritual. ‘Aku’ menjadi sebuah eksistensi. ‘Aku’ bukan lagi menjadi bagian dari sistem yang diatur. Subjek ‘Aku’ menjadi manusia yang ada dan berkehendak atas dirinya sendiri.
Sajak “Aku” ditulis pada tahun 1943, masa peralihan dari pemerintahan Hindia Belanda ke balatentara Jepang. Saat itu, ia masih berumur 20 tahun. Sajak tersebut menjadi tolakan Chairil dalam menjadi manusia Indonesia Modern seutuhnya. Sajak yang penuh vitalitas dan semangat yang membara pada masa tersebut. Dalam vitalitasnya, juga terdapat keraguan. Keraguan merupakan bentuk dari perhitungan tentang kehidupan. Perhitungan-perhitungan tentang dirinya dalam mengahadapi masa-masa pada tahun tersebut, masa yang begitu bergejolak cepat.
Perhitungan juga Chairil lakukan dalam hal spiritualnya terhadap sang pencipta. Ia sadar dalam keterbatasannya, ia tetap mengenal pencipta. Kesadaran inilah merupakan kesadaran subjek ‘Aku’. Ia berpikir tentang keberadaan penciptanya kemudian ia sadar bahwa ia tetap saja tidak bisa berpaling dari penciptanya. Kesadaran tersebut juga merupakan hasil perenungan spiritual yang pada akhirnya ia menemukan jalannya sendiri bukan dari pemberian orang lain. Dalam sajak “Doa”, Chairil menampilkan subjek “Aku” yang sadar dan melakukan perhitungan atas dirinya sendiri kepada penciptanya.
Dalam gejolak sebagai manusia modern, ia masih menampilkan perhitungannya tentang ihwal sang pencipta. Dalam pengembaraannya pula—pengembaraan pemikirannya—ia kembali bertemu dengan sang pencipta. Ia tetap sadar bahwa dalam kondisi yang hilang bentuk dan remuk pun ia masih tak bisa berpaling. Kesadaran tersebut juga merupakan kehendak dalam subjek ‘Aku’ dalam menentukan pilihan bukan berdasarkan kehendak orang lain. Perhitungan lain yang dilakukan oleh Chairil adalah perhitungan tentang ihwal kematian. Ia sadar betul bahwa kematian merupakan akhir dari eksistensinya. Ini merupakan proses kematangan dari diri seroang Chairil Anwar.
… Pada halaman 5 sajak: Cemara Menderai Sampai Jauh. Semuanya ditulis dengan tulisan tangan yang bagus, tidak ada coretan-coretan seperti biasanya.... (H.B. Jassin. 1968). Kutipan tersebut membuktikan bahwa Chairil Anwar mencapai titik kematangan dalam mencipta sajak. Perhitungannya akhirnya menemui titik pencapaian dalam hal esensial dari kehidupan. Ia menyerah pada kehidupan bukan merupakan sikap pasrah melainkan ia telah melakukan perhitungan-perhitungan yang mengantarkan pada titik tersebut. Dalam sajak “Cemara Menderai sampai Jauh”, Chairil tetap menampilkan subjek ‘Aku’ yang melakukan perhitungan yang mencapainya pada puncak eksistensi sebagai subjek ‘Aku’.
Pada titik ini, Chairil menjadi lebih matang. Ia tetap melakukan perhitungan. Perhitungan-perhitungan yang ia lakukan kini lebih matang yang mengantarkannya pada titik ‘menyerah’. Ia sadar bahwa kematian adalah titik yang tak bisa terelakkan dalam kehidupan.
Tentu saja perhitungan-perhitungan subjek ‘Aku’ dalam beberapa sajak-sajak Chairil Anwar merupakan imajinasinya terhadap manusia Indonesia modern. Subjek ‘Aku’ benar-benar menjadi subjek ‘Aku’ yang ada, subjek eksistensial. Hal ini merupakan upaya yang coba dilakukan oleh Chairil Anwar untuk melakukan pencerahan setidaknya dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Dalam masa kepenyairan Chairil yang singkat, tujuh tahun, Chairil selalu melakukan pencarian-pencarian terhadap gaya persajakannya. Hal ini dapat dilihat dalam pembahasan tiga sajak sebelumnya. Chairil mulai mencari dan hidup di antara tegangan masa Pujangga Baru. Chairil terpengaruh oleh beberapa luar negeri. Ini juga merupakan bagian dari sosok pencarian Chairil Anwar.
Sebenarnya apa yang ingin ia cari dan ia capai? Pencarian Chairil didasarkan pada kegelisahannya dalam dunia kesusastraan Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Pada pendudukan Jepang, kesusastraan menjadi barang pesanan untuk propaganda Jepang. Chairil menjadi salah satu penyair yang menolak dan menghina rekan-rekannya yang mendukung program balatentara Jepang dalam hal kesenian (Rosidi, 1991). Selain itu, Chairil dan rekan-rekannya juga mencoba melakukan perubahan konvensi puisi di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari sajak-sajak Chairil Anwar. Dalam sajak “Aku”, bentuk tidak lagi menjadi bagian terpenting dalam penulisan sajak-sajaknya. Ia lebih mementingkan isi maka puisi-puisi Chairil Anwar sering disebut sebagai puisi bebas.
Pencapaian yang telah dilakukan Chairil adalah ia telah meletakkan tonggak dalam sastra Indonesia. Ia membuktikan bahwa bahasa Indonesia mampu dan cukup dewasa untuk digunakan dalam bahasa sastra. Ini sangat penting karena setelah masa Chairil Anwar, perkembangan sastra Indonesia banyak yang mengacu Chairil Anwar dalam penulisan sajak-sajak. Pencapaian yang lain adalah sajak-sajak Chairil Anwar banyak memberikan gagasan tentang manusia Indonesia modern. Manusia Indonesia modern tersebut terdapat dalam sajak “Aku”. Sajak “Aku” menggambarkan bagaimana ‘Aku’ sebagai subjek yang berkehendak atas nasibnya sendiri. Hal yang lebih penting dalam kepenyairan Chairil Anwar adalah sajak-sajaknya jika dicermati secara teliti, Chairil ternyata memperhatikan bentuk juga. Hal ini diungkapkan oleh Ajip Rosidi dalam bukunya “Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia”. Ajib Rosidi menyatakan bahwa kalau kita teliti secara cermat akan terbukti bahwa unsure-unsur “bentuk” justru mendapatkan perhatian yang lebih tinggi bahkan tinggi sekali. Hal ini menunjukkan bahwa Chairil dari pencarian dan pencapaiannya ia telah menguasai konvensi bentuk. Pencapaian tersebut didapatnya setelah melakukan pencarian. Ini dapat dilihat dalam sajak “Cemara Menderai sampai Jauh”. Rima dan baitnya sangat rapi, selain itu bentuknya juga kuatrin.
Setelah kematiannya, perdebatan mengenai plagiat dalam sajak-sajak Chairil Anwar mencuat. Chairil dengan ideologinya sangat berjasa membaharui sajak indonesia sesudah perang sehingga menjadi berbeda dengan karya-karya sebelum perang. Hal tersebutlah yang kemudian membuatnya menjadi seorang pelopor perubahan. Chairil menulis sajak secara produktif mulai dari tahun 1942-1949.
Menurut H.B.Jassin, dikatakan bahwa orisinalitas dalam jiwa Chairil terhadap suatu karya seni sangatlah kuat dan sudah menjiwa dalam diri chairil sehingga dalam puisi terjemahannya pun tarikan jiwanya sangat terasa. Chairil selalu berusaha memasukkan “dirinya” dalam saduran dan terjemahannya, memasukkan selera dan pilihannya sendiri yang cocok dengan kepribadiannya. Hal ini disebabkan karena chairil memilki pengetahuan yang luas, bacaan yang luas, pendidikannya yang baik, pemikiran serta perasaannya yang tajam (Jassin, 1968).
Chairil Anwar sangat terpengaruh oleh Marsman dan Slauerhoff, namun pengaruh tersebut tidak digunakannya untuk menyatakan pikiran yang sama, melainkan untuk menyatakan pikiran yang bertentangan dengan sumber pengambilannya. Ada suatu pengolahan pengaruh asing yang dilakukan olehnya. Dia ingin membuat sesuatu yang berbeda dengan yang aslinya, namun hal tersebut lebih menjadi seperti plagiat. seperti karyanya yang berjudul ‘Krawang-Bekasi’ yang diduga merupakan plagiat dari karya Archibald MacLeis yang berjudul ‘The Young Dead Soldier’.
Krawang-Bekasi |
The Young Dead Soldier
|
Kedua sajak tersebut pernah dimuat dalam majalah Siasat Th. VIII No. 351, 28 Februari 1954 (Jassin, 1968). Kedua sajak tersebut memang mempunyai beberapa kesamaan. Kesamaan tersebut adalah kesamaan bentuk, kesamaan suasana, dan urutan pemikirannya. Akan tetapi jika kita meneliti secara cermat sajak ada beberapa perbedaan. Dalam sajak “The Young Dead Soldier” referen tentang tentara muda memang tidak ada, ini bisa disimpulkan bahwa sajak tersebut lebih universal karena bisa ditafsirkan sebagai tentara Jepang, Eropa, dan lain-lain. Sedangkan sajak “Karawang – Bekasi” referennya jelas orang Indonesia karena adanya pengetahuan tentang Indonesia. Hal ini menjadi pembeda dari kedua sajak tersebut.
Dari karya-karya yang plagiat tersebut akhirnya timbul suatu pertanyaan apakah sebabnya Chairil sampai melakukan plagiat? apakah plagiat merupakan hobinya? ataukah dia menganggap orang Indonesia cukup bodoh untuk tidak akan pernah menemukan plagiatnya? Plagiatnya yang menggemparkan adalah “Datang Dara Hilang Dara” yaitu terjemahan dari sajak Hsu Chih-Mo, beberapa sebelum ia meninggal. Hal ini disebabkan karena pengobatan penyakitnya yang membutuhkan banyak biaya (Jassin, 1968).
Dua sisi Chairil menjadi sangat unik. Di satu sisi ia adalah sosok sentral dalam perkembangan sastra Indonesia. Pencarian dan pencapaiannya memang tidak bisa dipungkiri bahwa ia sangat berjasa dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa sastra yang lebih matang. Ia juga meletakkan dasar-dasar manusia modern Indonesia.
Di sisi lain, sajak Chairil beberapa merupakan jiplakan sajak orang lain. Dua sisi yang berbeda ini memang menjadi dasar pertimbangan untuk memposisikan Chairil Anwar. Chairil Anwar memang manusia biasa yang menyerahkan hidupnya hanya untuk sastra dan dia pasti mempunyai kesalahan sebagai manusia. Hal yang terbijak adalah memaafkan kesalahan Chairil Anwar dan memposisikan Chairil sesuai dengan jasa-jasanya. Tak ada gading yang tak retak tentunya begitu pula dengan Chairil Anwar.
Komentar
Tulis komentar baru