Suatu waktu di masjid Nurul Huda kota Bogor, waktu sudah menunjukan jumat petang di minggu kedua bulan puasa. Tak ada kegiatan yang kentara karena masjid Nurul Huda ini merupakan mesjid kecil di pinggiran kota Bogor. Hiruk pikuk kegiatanya tentu kalah jauh dengan, katakanlah, mesjid Raya Bogor. Tapi dibalik ketidak kentaraan kegiatan di masjid Nurul Huda, ada sosok pak Aji, seorang pria berbadan renta namun bersemangat membara yang ada di belakang masjid dan mengemasi makanan-makanan kecil bernama takjil.
Kebetulan jumat ini semua pekerjaanku di bengkel telah selesai dan aku bisa pulang lebih awal. Biasanya pekerjaan di bengkel menahanku untuk pulang sebelum berbuka puasa. Tapi hari ini tidak. Pekerjaanku selesai tepat pukul 5 sore dan aku bisa menicum ubin mesjid Nurul Huda lebih cepat. Di pelataran mesjid ini dulu masa kecilku kuhabiskan. Dalam setiap detak kehidupanku, mesjid Nurul Huda menjadi saksi bagaimana aku tumbuh dewasa. Maka jangan heran kalau aku begitu merindukan bersujud di lantai mesjid Nurul Huda yang dingin ini.
Waktu belum genap maghrib, aku sudah sampai di masjid dan menemukan sosok pak Aji masih membereskan kotak-kotak kecil berisi takjil. Sedari kecil, aku sudah sering melihat beliau melakukan itu, tapi baru kali ini aku menyapa dan ingin membantunya. Kusampaikan salam padanya dan segera membantunya membungkusi takjil.
Takjil-takjil ini akan diberikan secara gratis kepada para jamaah yang datang ke mesjid untuk salat maghrib. Sesuai dengan arti harfiahnya, yaitu penyegeraan, takjil merupakan makanan pembuka puasa. Biasanya berupa cemilan manis seperti bolu, dodol, atau kurma, mengikuti sunnah rasul.
Aku yang waktu itu masih morat-marit bekerja sampingan demi uang jajan tambahan, tak bisa sepenuhnya memahami kenapa takjil-takjil ini bisa diberikan dengan gratis. Apalagi, sepenglihatanku mayoritas penerima takjil ini adalah orang-orang berada, yang notabene bisa membeli sekotak takjil itu dengan mudah. Sudah bertahun-tahun aku solat berjamaah dibawah naungan mesjid ini, tapi rahasia takjil gratis ini masih belum bisa kusingkap. Agaknya aku sengaja membiarkanya menjadi rahasia, untuk kelak kutanyakan kepada orang yang tepat, dan kali ini aku menemukanya. Ya, beliau adalah pak Aji.
“aya hadits nu eusina mun aya nu ngabere dahar urang puasa, ngke nu mere dahar dibere pahala ku gusti Alloh”, jawab pak Aji dalam bahasa Sunda.
Kalau diterjemahkan, menjadi “ada hadist yang isinya kalau ada yang memberi makan orang yang berpuasa, maka Allah akan memberikan pahala pada orang yang memberikan makan itu”.
Ketika kubantah kalau orang yang diberi makan itu orang-orang berada, pak Aji hanya tersenyum dan berkata kalau semuanya akan kembali ke niat. Aku hanya mengangguk kecil dan terus membantunya hingga tak terasa sudah waktunya adzan maghrib. Sementara pak Aji menjadi muadzin mengumandangkan adzan, aku merapikan kotak-kotak takjil tersebut dan memberikanya pada setiap jemaah yang berdatangan. Pengalaman sederhana namun sarat makna.
Sekarang aku berada jauh dari Bogor, tapi ucapan-ucapan bersahaja pak Aji masih terngiang di telingaku. Aku merindukan saat-saat membantu pak Aji membungkus dan membagikan takjil pada jamaah. Aku merindukan saat-saat aku kecil berlarian tanpa dosa di pelataran masjid. Semua kejadian yang kualami di mesjid Nurul Huda itu begitu membekas di memori. Kala aku membagikan kotak-kotak takjil di bawah naungan masjid itu merupakan saat dimana aku belajar salah satu cabang ilmu penting kehidupan – keikhlasan.
Komentar
Tulis komentar baru