Seorang petugas mengamati foto penyair WS Rendra yang menjadi koleksi Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Jakarta. (FOTO/Wahyu Putro A)
Kesan rindang langsung menyambut ketika membelokkan kemudi mobil ke arah kanan dari Jalan Cipayung Raya, Depok, Jawa Barat. Seakan sulit dipaham, mengapa pohon jenis jati, mahoni, eboni, bambu, turi, mangga, rambutan, bahkan jengkol bisa terawat rapi di tengah ketatnya persaingan pembangunan kota-kota penyangga Jakarta.
“Ini adalah rumah bagi semua,” ucap si tuan rumah, Ken Zuraida, kepada Metrotvnews.com saat menyambanginya, Rabu 22 Februari 2017.
Ken tampak sibuk di tengah-tengah puluhan mahasiswa yang mendatanginya untuk berdiskusi
di aula yang penuh dengan ornamen bambu itu. Lantaran besok ia berangkat ke luar negeri, maka ini adalah hari terakhir baginya menularkan pengetahuan seputar sastra. Mereka, para mahasiswa itu, ternyata telah menginap sedari dua hari sebelumnya.
“Intinya, sastra bisa menyucikan jiwa,” terdengar Ken menyampaikan kalimat penutup diskusi itu.
Bengkel Teater Rendra (BTR), begitu sebutan masyhur area seluas 3 hektare ini. Nama Rendra tentu tak asing, ia adalah sebutan karib sastrawan Willibrordus Surendra Broto (WS) Rendra. Ken, masih tekun menggerakkan warisan yang didirikan suaminya sejak 1985 tersebut hingga hari ini.
Sastra perlawanan
BTR sebagai gerakan, dimulai Rendra sejak 1967. Sepulang dari Amerika Serikat (AS), penyair berjuluk Si Burung Merak itu mendirikannya di Yogyakarta. Ketika pentas-pentas yang dilakoninya kerap mendapatkan tekanan lantaran banyak menyinggung penguasa Orde Baru, ia malah memboyong BTR hijrah ke Jakarta, kemudian bergeser ke Depok.
Nama Rendra tak bisa lepas dari istilah sastra perlawanan. Sajak-sajaknya dikenal garang memprotes ketimpangan sosial. Yang paling terkenal adalah “Sajak Sebatang Lisong” yang ia tulis pada 1977, atau “Aku Tulis Pamplet Ini” yang termaktub dalam kumpulan sajak Potret Pembangunan dalam Puisi yang terbit pada 1978.
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
“Dia (Rendra) memahami bahwa semua manusia harus hidup bersama dengan baik. Dengan menjalankan masing-masing fungsi,” terang Ken.
Yang menarik, kata Ken, Rendra tak pernah menyasar kritiknya kepada perseorangan alias oknum. Penyair yang lahir pada 7 November 1935 itu dinilai lebih berkepentingan kepada sistem. Persoalan yang ia tangkap dari realita, dijadikan senjata melalui karya sastra.
“Pada dasarnya Mas Willy (Sapaan akrab Rendra bagi Ken) mengatakan ‘Saya bisa bebas, jujur, dan indah dengan menulis.’ Ketika menulis puisi, dia bisa merasakan dengan total menjadi dirinya sendiri,” ucap Ken, mengenang.
Bersikap garang terhadap sesuatu yang dianggap ketidak-adilan, apalagi kepada penguasa, tegas menghadirkan risiko yang tidak sederhana dalam kehidupan Rendra. Ia kerap menerima intimidasi, pelarangan pentas, bahkan diganjar secara fisik dan psikologis.
Ken menceritakan, bukan bagi Rendra, tapi bagi keluarganya, hantaman paling berat dirasakan saat Rendra mesti mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Militer Jalan Guntur, Jakarta pada 1977.
“Tapi Mas Willy tidak pernah memutuskan untuk diam, atau menepi ke dunia sunyi. Jika diam, itu hanya belum menemukan inspirasi. Atau ketika pikirannya belum bisa merumuskan konteks yang terjadi. Itu bagian dari kejujurannya dalam berpuisi, tidak bisa diburu-buru, tidak bisa dinanti-nanti,” papar Ken.
Jauh sebelum Rendra, sudah ada banyak nama yang menjadikan sastra sebagai senjata dalam melakukan perlawanan. Mochtar Lubis misalnya, pengarang novel “Tak Ada Ujung Ini” pernah dibui pada 1959 lantaran perkara serupa. Apalagi nama Pramoedya Ananta Toer yang dijadikan pesakitan nyaris seumur hidupnya.
Semasa, atau boleh juga dibilang sesudah Rendra, melonjak pula seorang penyair bernama Wiji Thukul. Pengusung sastra perlawanan itu kerap kali berhadapan dengan senjata gara-gara melancarkan kritik terhadap penguasa Orba melalui puisi.
“Terkait perjuangan bapak (Wiji Thukul) melawan rezim, kenangan yang paling terekam adalah ketika rumah kami digerebek polisi, juga ketika melihat mata bapak diperban setelah unjuk rasa,” kata putri sulung Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani kepada Metrotvnews.com, Kamis 23 Februari 2017.
Fitri menceritakan, tak hanya fisik Widji yang menjadi sasaran. Karya-karya penyair kelahiran 26 Agustus 1963 itu juga dilarang beredar.
“Banyak buku-buku bapak dan karya anak-anak Sanggar Suka Banjir disita aparat. Ibu saya juga ditanyai bermacam-macam pertanyaan yang diulang-ulang. Salah satu mata bapak buta permanen karena dipopor senapan tentara,” kata dia.
Baik Rendra maupun Wiji, dua-duanya menjadi semacam simbol perlawanan sastra terhadap keadaan sosial politik era Orde Baru. Rendra sudah berpulang pada 6 Agustus 2009, sementara Wiji masih tak diketahui rimbanya pasca adanya dugaan penculikan paksa terhadap puluhan aktivis pada 1998.
Menggugah kesadaran
Sastrawan Indonesia, Radhar Panca Dahana mengakui bahwa keberadaan Rendra dan Wiji memberikan banyak pengaruh pada perkembangan kesusasteraan di Indonesia. Singkatnya, kata dia, kehadiran keduanya membuat sastra Indonesia menjadi terhormat.
“Sekarang? Mungkin yang nyaring banyak, tapi kualitas rendah. Akhirnya guyon saja, buat tertawaan," ujar Radhar kepada Metrotvnews.com di Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis 23 Februari 2017.
Menurutnya, sastra memerlukan posisi tawar agar kesusasteraan bisa memiliki posisi strategis dalam kehidupan berbangsa, bahkan sampai ke tingkat individual.
Karya yang didaku sebagai bagian dari sastra hari ini, kata Radhar, boleh dikata produktifitasnya surplus. Banyak orang menulis, membuat sajak, dan lain-lain. Teknologi memberikan ruang untuk itu. Tapi bicara kualitas, hancur. Meski ada, paling hanya satu atau dua. Begitu kata Radhar.
"Dia (sastra) kehilangan posisi. Fungsinya makin hancur. Tidak ada wibawa," ucap Radhar.
Sastra memang seharusnya tetap bersikap seperti itu, sambung Ken Zuraida seolah mengamini Radhar. Tapi, kata dia, sastra memang memiliki tawaran tersendiri.
“Barangkali, sastra hari ini memang kebutuhannya seperti itu,” ujar Ken.
Dalam arti, kata Ken, definisi perlawanan itu juga penting menimbang skala prioritas. Ini tidak cuma terjadi dalam dunia sastra. Kesan bergesernya syair-syair kritik musisi Iwan Fals kepada soal-soal lingkungan misalnya, menyajikan makna perlawanan sebagai sebagai respon atas ketidak-etisan dalam bentuk apapun, bukan semata-mata rezim otoriter.
“Mungkin, Iwan memahami bahwa lingkungan lebih menjadi penentu kebaikan nasib manusia di masa depan,” kata dia.
Populer tidak populer, lanjut Ken, lantas tidak menjadi soal. “Yang penting jangan mencontek,” kata dia.
Ken memahami perlawanan hari ini lebih kepada diri sendiri. Merawat kejujuran, mengasah kepekaan, tak membiarkan ketidak-adilan dalam bentuk apapun menjadi tanggung jawab penting penggiat sastra hingga kapan pun.
“Atas prinsip-prinsip itu, maka sikap perlawanan Rendra masa itu muncul dalam bentuk melawan sesuatu yang terkesan menindas, kebetulan dilakukan sistem penguasa otoriter,” kata dia.
Begitu juga Fitri, ia berpendapat memang tidak ada yang bisa disalahkan dari karya sastra siapapun. Sebuah karya, kata dia, terlahir dari proses kehidupan, pengalaman, dan kondisi psikologis penulisnya. “Tapi, menjadi seniman, penulis dan penyair adalah sebuah kehormatan yang diberikan waktu untuk mengabadikannya. Akan sangat percuma dan kurang mendidik rasanya apabila sebuah eksistensi hanya dipergunakan untuk melahirkan karya-karya yang tidak mampu menggugah kesadaran serta tidak menginspirasi untuk berbuat yang semestinya,” papar dia.
Menurut Fitri, yang penting manusia harus tetap beriktikad mewariskan karya yang berguna untuk kelangsungan hidup generasi sesudahnya “Bukan malah merusaknya,” kata dia.
Singkatnya, sastra mesti segera dikembalikan sebagai senjata perlawanan sekaligus penerang keadaan. Sastra hari ini dituntut memunculkan peran di tengah maraknya ancaman persatuan, akutnya sebaran kebencian, serta terancamnya sikap tenggang rasa dan toleransi di Indonesia.
Komentar
Tulis komentar baru