Gagasan:
Meski masih terus mengalami perkembangan serta belum ada definisi baku namun jika dirunut secara kebahasaan kata “terorisme” di antaranya merujuk pada terrere (bahasa latin) yang berarti menimbulkan rasa gemetar dan cemas. Dalam khasanah bahasa Inggris dikenal pula istilah to terrorize (menakuti-nakuti) yang diturunkan menjadi kata terrorist (pelaku teror), terrorism (membuat ketakutan atau membuat gentar), serta terror (ketakutan atau kecemasan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara singkat terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Dari pengertian sederhana tersebut tampak bahwa pada dasarnya aktivitas terorisme selalu terkait dengan unsur-unsur kekerasan (oleh pelaku) hingga menyebabkan ketakutan (bagi korban) dalam rangka mencapai tujuan (tertentu).
Menimbang sistem kehidupan bersama komunitas masyarakat, negara, bangsa, dan dunia, terorisme merupakan tindakan yang menyempal dari aturan. Sebab sejatinya setiap komunitas yang bergabung dalam tata kelola kehidupan bersama telah melewati proses memahami, menerima hingga menyepakati norma yang berlaku. Maka jika kemudian terjadi kekerasan yang mengatasnamakan komunitas tertentu, hal tersebut tidak langsung bisa menjadi indikasi bahwa tujuan komunitas tersebut tidak terwakili atau gagal tercapai. Sebab selain unsur-unsur di atas, terorisme juga sering diawali dengan klaim-klaim khusus yang acap bersifat subyektif (berlaku hanya bagi komunitas pelaku teror).
Belakangan problem paling krusial dari terorisme bukanlah soal tujuan (tertentu) itu. Bagi sebagian besar masyarakat, klaim (manipulatif) sepihak yang kerap meledak menjadi kekerasan membabi buta, faktanya sudah diamini sebagai tindakan tak beradab yang mengkhianati norma hidup bersama. Apalagi lewat jalan kelicikan dan kepengecutan terorisme kerap menyasar kepada benda, barang, dan tempat (fasilitas publik) yang tak terkait langsung dengan kepentingan mereka. Terbukti terorisme biasa bertindak setengah hati; tidak benar-benar berniat menghancurkan dan meluluhlantakkan benda, barang, dan tempat yang mereka targetkan. Terorisme hanya menjadikan semua itu sebatas untuk mengirim sinyal kepada pihak yang menghalangi cita-cita mereka. Demikian pula orang-orang yang menjadi korban (kebanyakan dari kalangan warga biasa) kerapkali tak ada hubungan atau tidak memiliki akses signifikan dengan pihak yang menjadi rival utama terorisme.
Kelicikan dan kepengecutan itu dilakukan lantaran terorisme tak pernah mampu menikam langsung jantung lawannya. Mereka tak pernah punya daya untuk menyerang inti kehidupan pihak utama yang disasarnya. Berhadap-hadapan muka dengan yang mereka anggap sebagai musuh sejatinya pun mereka gentar. Itulah kenapa terorisme butuh sasaran ‘antara’ yang empuk lantas menumbuk kelemahan si sasaran (fasilitas publik dan warga biasa) dengan cara menebar kecemasan dan ketakutan massal bersandar kepada kedigdayaan senjata, kekuatan fisik, dan keberanian semu sang pelaku.
Mencermati kondisi semacam itu penyair bersama warga masyarakat yang rentan menjadi sasaran ‘antara’ tidak boleh tinggal diam. Mereka harus mampu merubah posisi dari hanya pasrah sebagai obyek (alat pengirim pesan) terorisme, menjadi kekuatan yang berani bersikap, tegas menolak, serta lebih berdaya di hadapan terorisme. Di samping aktif melacak jejak klaim-klaim subyektf lantas mengkonternya dengan gagasan bernilai argumentatif dan berkekuatan analitis, penyair juga mesti kian gencar menyuarakan nilai-nilai unggul kemanusiaan dengan jujur serta tanpa kekerasan lewat ekspresi estetis yang senapas dengan kebudayaan dan peradaban jaman.
Jika terorisme adalah puncak dari aksi kekerasan, maka puisi harus menjadi dasar dari kelembutan dan akal budi yang tak memberi kesempatan kepada kekerasan itu lahir apalagi mendaki hingga ke puncak kehidupan tertinggi. Jika teroris adalah penebar kedengkian dan kebencian lewat rupa ketakutan dan kecemasan, maka penyair adalah penyebar cinta dan kasih sayang dengan wajah nurani yang hakiki.
Teknis:
1) Penerbitan Antologi Puisi “MEMO ANTI TERORISME!” bersifat independen, nirlaba, serta berdasar kemandirian individu yang menjunjung tinggi kebersamaan.
2) Penerbitan ini merupakan kelanjutan dari program penerbitan antologi puisi sebelumnya yang selama ini dilakukan oleh Komunitas Memo Penyair; merangkum dan mengakomodir puisi karya para penyair dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang, strata, etnis, usia, dan gaya penulisan.
3) Puisi merupakan karya asli, bertema “ANTI TERORISME” yang merupakan representasi atau tafsir dari gagasan di atas.
4) Untuk menjaga kesesuaian tematik dan kualitas puitik agar penerbitan ini proporsional sebagai buku sastra, akan dilakukan seleksi obyektif atas puisi yang masuk oleh Sosiawan Leak (Koordinator Memo Penyair).
5) Biaya percetakan/penerbitan akan didukung bersama-sama oleh para penyair yang karyanya lolos seleksi dan dimuat dalam antologi.
6) Selain mengirim karya, pada tahap selanjutnya (usai seleksi) penyair yang karyanya lolos dimohon mengirim iuran ongkos cetak/penerbitan minimal Rp 100.000.
7) Iuran tersebut akan dikembalikan kepada para penyair dalam wujud Buku Antologi Puisi “MEMO ANTI TERORISME!” yang jumlahnya sebanding dengan nominal iuran.
8) Seluruh proses mulai dari pengumpulan naskah, seleksi, administrasi, dan tahapan penerbitan akan diinformasikan secara transparan lewat Facebook MEMO PENYAIR, dan Facebook Sosiawan Leak.
9) Kesediaan berpartisipasi dan mengirim puisi ditunggu hingga tanggal 29 Pebruari 2016.
10) Pengumuman seleksi karya akan diinformasikan secara terbuka tanggal 15 Maret 2016.
11) Dipersilahkan mengirim lebih dari 1 puisi (disertai biodata 10 baris, foto diri, alamat detil, email, facebook, dan nomor hp) ke email: sosiawan.leak@yahoo.com atau inbox Facebook: Sosiawan Leak.
Sosiawan Leak
(Koordinator Penerbitan)
Penerbitan Antologi Puisi: MEMO ANTI TERORISME!
- 1720 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru