Puisi F. Rahardi
Oleh : Afrizal Malna
Lomba Baca Puisi HB Jassin, yang baru-baru ini berlangsung di TIM dalam tingkat nasional, diikuti oleh banyak peserta, dan melibatkan juri dari Rendra sampai Emha Ainun Nadjib. Antusiasitas apakah yang sedang terjadi? Sebuah gejala publik, yang bisa dilihat juga pada demonstrasi penolakan SDSB, atau publik yang membludak menghadiri pengadilan kasus Marsinah.
Moralisme apakah yang sedang tumbuh di antara publik dan puisi, di tengah kekerasan yang diduga direproduksi oleh TV dan penekanan pada hak-hak buruh? Wacana kata yang pernah dikejutkan oleh megalomaniak dan paranoa politik, lalu jadi magifikasi industri lewat pembesaran media, seperti mau dikembalikan pada moral semantiknya.
Tetapi, siapa yang masih percaya pada kata? Dunia puisi, yang pernah melakukan otoritasi kata, menjaga tema-tema yang agung, merepresentasi manusia sebagai sang pembuat makna, tidak lagi mampu melakukan totalisasi. Puisi-puisi F. Rahardi, sejak Soempah WTS, telah merontokkan kepercayaan itu, pemeluk teguh dunia makna telah dilecehkan.
Rahardi tidak lagi merayakan kebesaran dan kesunyian manusia, tetapi merayakan sabun yang berulang tahun dan tergelincir ke dalam WC, babi, generasi kangkung, atau para koruptor.
Kepercayaan bahwa manusia harus mendapatkan penjelasan keberadaannya, bahwa hidup ini bukan sebuah rencana yang ngaco, melalui berbagai rekayasa pemaknaan, tidak bisa dibuktikan lagi pada puisi-puisi F. Rahardi. Oleh karena itu, sabun sang pembersih kotoran itu, dirayakan ulang tahunnya sebelum tergelincir ke dalam WC. Dunia puisi tidak perlu serius, karena ia juga tidak bisa membuat surga. Penyair bukan kategorisasi dari superioritas manusia di hadapan alam dan tujuan hidup. Dan pemikiran metafisikan bisa disejajarkan dengan sabun, yang menghabiskan dirinya sendiri untuk kekotoran dan kecantikan.
Kejutan sabun yang dilakukan F. Rahardi, menjadi sama dengan berlepasannya satu per satu dari berbagai kepercayaan yang pernah dianut : Manusia kehilangan pusat moralnya dalam menghadapi perubahan, tujuan hidup, dan akhir dari kehidupan. Dan, F. Rahardi melakukan pembusukan terhadap pusat kepercayaan itu, dengan cara-cara yang paling busuk : melecehkan juga mitos generasi pembaharu sebagai generasi kangkung. Pembusukan itu, dilakukannya dengan cara-cara yang paling busuk. Menyebut berbagai nama kota internasional, tanpa perlu pernah mengunjunginya.
Dalam kumpulan puisi Rahardi, Catatan Harian Seorang Koruptor, nama-nama kota itu, tidak lagi ada hubungannya dengan sosial budaya. Nama-nama itu tidak lebih sebagai ‘keterangan tempat’, yang bisa dicomot begitu saja dari peta atau buku-buku agenda. Globalisasi kota-kota internasional, di sini tidak lebih dilihat hanya sebagai gejala bahasa, yang memperkaya diksi-diksi tanpa pengertian. Diksi-diksi mati yang memperpanjang kematian kamus lewat akronimisasi, eufemisme, maupun pengacauan-pengacauan konotatif.
Itulah ‘realisme bisu’ yang hanya dikejutkan oleh kericuhan diksi, ketika kita tidak percaya lagi ada pusat yang bisa ditempati untuk melakukan pemaknaan : Peristiwa-peristiwa menjadi deformasi kenyataan melalui media massa, benda-benda mendekonstruksi wilayah-wilayah penetapan untuk refleksi, dan kata-kata terlalu membosankan untuk dijadikan puisi. Tingkat penjenuhan berlangsung terlalu tinggi tanpa revolusi.
Televisi merupakan representasi yang paling dekat dari ‘realisme bisu’ itu, sebagai ‘realisme yang tidak tersentuh’. Realisme yang berada di sekitar kita, tetapi kita tidak berada di dalam realisme itu sendiri. Kita menyaksikannya hanya melalui konvensi penglihatan, tetapi tubuh dan diri kita diasingkan darinya. Tubuh penonton disiksa dalam personifikasi yang paling mustahil, untuk menjadi tubuh-tubuh orang Barat. Dan, kekacauan personifikasi itu kian menjadi-jadi, ketika orang-orang asing itu, dengan tubuhnya yang asing, tetapi mengucapkan bahasa Indonesia dalam beberapa film serial TV yang bahasanya sudah diganti.
Lalu, sabun memang sudah harus dirayakan, babi, kangkung, dan seluruh tema-tema busuk lainnya berada dalam puisi-puisi Rahardi. Dan, ternyata Rahardi juga tidak sedang memperlihatkan kemarahan sinisme atau semacam anarkisme yang panik dan gusar. Ia santai, seperti santainya ia ketika membacakan puisi-puisinya. “Ini hanyalah sebuah permainan,” katanya dalam sebuah kredonya. Tetapi, permainan itu, adalah permainan yang direproduksi dari dunia kepercayaan yang telah rontok, yang tidak berada lagi dalam jaringan pemaknaan.
Dunia teks telah terfragmentasi sedemikian rupa di sekitar kita. Oleh karena itu, kepercayaan pada dasarnya jaringan makna yang harus dijaga, dihuni, dan diisi; sama juga dengan sebuah permainan ngotot dari para sang pemeluk teguh dunia nilai. Setiap hal dalam dunia seperti itu, hanyalah pecahan-pecahan persuasi yang tidak punya ayah-ibu, seperti sabun yang ditinggalkan oleh keharumannya sendiri.
Dalam pembacaan puisinya di bengkel Rendra, awal November lalu, Migrasi Para Kampret, pembusukan F. Rahardi itu, menjadi pembusukan yang sebenarnya terhadap puisi-puisinya sendiri. Pada satu sisi, ia melakukan fabelisasi terhadap kenyataan sosial politik, dan pada sisi yang lain ia memperlihatkan bahwa puisi memang tidak penting lagi. Puisi-puisinya menjadi narasi yang cerewet, yang menghilangkan kecanggihan penyair di dalamnya dalam merekonstruksi dunia rekaan. Migrasi Para Kampret adalah masyarakat yang terlalu banyak bicara plitat-plitut, munafik, dan omong kosong.
Puisi tidak punya kewajiban untuk menjadi agung dan selektif dalam fabelisasi seperti itu. Kamret adalah kita, yang tidak punya kosa kata kultural, dan selamanya hidup dari kegelapan. Kampret membuat orang kehilangan kepercayaan pada puisi. Lalu, para pembaca puisi, mencari kekuatan pada retorika, pada performance. Mereka hanya tahu : pembacaan, puisi berarti mengangkat sebuah dunia publik yang sedang menatap mereka, yang diberi kepercayaan untuk mewakili suara publik lewat mikroponisasi puisi. Disitulah kampret-kampret beterbangan, memperlihatkan kehidupan mereka yang gelap.
Acara pembacaan puisi di Bengkel Rendra itu, juga memperlihatkan antusiasitas publik yang besar. Dan, begkel ini, diam-diam telah menjadi basis baru untuk akomodasi wilayah publik yang memiliki minat pada puisi, tidak perduli dengan jarak yang jauh.
Dalam pembacaan puisi itu, puisi-puisi F. Rahardi, seperti sebuah pemberitahuan pada mereka, bahwa puisi tidak lagi memperhitungkan posisi publik dari wilayah yang eksklusif. Publik boleh hidup tanpa pegangan sama sekali, kecuali dirinya yang heran atau telah dikecewakan. Puisi di sini seperti mau membangun korespondensi tanpa pegangan signifikan. Mereka memeriksa kata demi kata, seperti memeriksa apa-apa yang telah hilang sekitar kita. Tetapi, juga dengan cara seperti inilah, mereka bisa kembali kepada penyair-penyair lama, untuk kembali percaya pada kata, pada suasana. Walaupun dengan begitu, mereka harus meninggalkan F. Rahardi malam itu juga. (Afrizal Malna, seorang penyair dan anggota Forum Sepatu Biru).
Komentar
Tulis komentar baru