Dua seniman melakukan pementasan teater 'I La Galigo' di Benteng Rotterdam Makassar, Sulsel. (ANTARA/yusran)
La Galigo bersemayam di perpustaan Universitas Leiden, Belanda. 12 jilid naskah karya sastra kuno itu disimpan di sebuah ruangan bersuhu 18 derajat celcius.
Tak banyak yang tahu, La Galigo merupakan salah satu mahakarya sastra asli Indonesia. Manuskrip La Galigo diakui tiada tara. Menandingi kitab Mahabarata dan Ramayana dari India, serta sajak-sajak Homerus dari Yunani.
La Galigo, karya sastra kuno berbentuk epos yang ditulis pada abad ke-13. Naskah ini pertama kali ditemukan di sebuah rumah di Lamuru, Tellu Siattinge, Sulawesi Selatan. La Galigo ditulis dengan huruf Lontara dengan bahasa Bugis kuno. La Galigo adalah seorang lelaki Bugis yang lahir dari ibu beretnis Tionghoa, I We Cudai, dan ayah bernama Sawerigading. Dari naskah La Galigo, bisa diketahui kehidupan kebudayaan Bugis klasik yang menjunjung tinggi kearifan lokal.
Konon, La Galigo merupakan epos terpanjang di dunia, mencapai 300 ribu baris. Sinopsisnya saja setebal 2851 halaman folio, enam kali lebih tebal dari buku Harry Potter seri ketujuh: Harry Potter and the Deathly Hallows (2008), yang berjumlah 1008 halaman.
Tak berlebihan, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan naskah klasik La Galigo sebagai warisan dunia dan diberi anugerah Memory of The World (MOW), pada 2011. Dari situ, La Galigo makin diakui dunia.
Tetapi, karya sastra asli Indonesia itu justru disimpan di negeri orang. Apakah karya itu diacuhkan hasil bangsanya sendiri?
Terlepas dari itu, kesusastraan Indonesia terus berkembang, dari masa ke masa. Ragam karya sastra Indonesia menunjukkan ciri dari setiap periode. Tapi, karya sastra di era modern dinilai minus estetika. Sulit dibantah, karya-karya sastra Indonesia kini berkiblat ke barat. Jika kondisi ini terus berlanjut, lambat laun sastra Indonesia akan mati pelan-pelan.
“Mati pada titik nadir,” ucap Radhar Panca Dahana sastrawan muda Indonesia saat memulai perbincangan dengan Metrotvnews.com, di sebuah warung kopi, Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis 23 Februari 2017.
Begitu sinis Radhar memandang dunia sastra Indonesia masa kini. Bagi Radhar, karya sastra harus punya identitas. Bukan mengadopsi pemikiran-pemikran dari luar, terutama barat. “Sekarang kita jadi follower saja,” ucapnya.
Memang tak ada ukuran untuk menilai kualitas hasil karya sastra. Masalah artistika dan estetika, itu bersifat personal, tergantung preferensi, sangat subjektif. Apalagi, persoalan-persoalan yang muncul pada semua karya sastra di setiap masa berbeda-beda. Tapi, satu hal yang pasti, karya sastra harus mampu menangkap refleksi kondisi lingkungannya. “Sastra harus peduli dengan lingkungannya”, terang Radhar.
Pembabakan
Periodisasi sastra Indonesia terbagi menjadi dua, sastra klasik dan sastra modern. Sastra klasik atau sastra lama adalah karya sastra yang berkembang sebelum ada pengaruh dari luar, terutama pengaruh barat.
Sastra klasik diperkirakan lahir pada abad ke-10 hingga ke-19. Bentuk karya sastra klasik seperti pantun, syair, hikayat, legenda, mite, sage, parabel, dan fabel. Sementara itu, sastra modern berkembang mulai abad ke-20, setelah pengaruh barat mulai menancap kuat di Indonesia. Bentuk karya sastra modern seperti prosa, cerpen, novel, roman, puisi, dan drama.
Secara umum, kesusastraan modern terbagi menjadi empat; Angkatan Balai Pustaka (1908), Pujangga Baru (1933), angkatan '45 (1942-1955), genarasi kisah (1950- 1970), dan angaktan 1970—sekarang.
Menurut Radhar, perbedaan karya sastra klasik dan modern mulai menonjol di era Angkatan ’45. Ditandai dengan proses pembentukan bangsa dan negeri ini yang sudah mengharu-biru oleh perbedaan pandangan. Itu karena problematika politik dan perang ideologi.
Puncaknya, hiruk-pikuk politik di era 60-an betul-betul berimbas pada dunia sastra. Timbul polarisasi yang saling mempertentangkan pemikiran sastrawan. Akhirnya, sastrawan terbelah menjadi dua kelompok besar, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Manikebu (Manifes Kebudayaan).
Konflik
Ketika politik marasuk ke dunia sastra, maka konflik kepentingan yang muncul. Sastrawan terpecah dua sektarian, kanan dan kiri, demokrasi dan komunis, benar dan salah. Konflik itu terus berlarut hingga diwariskan ke generasi selanjutnya.
Pada Mei 1964, Manikebu dibubarkan oleh Pemerintah Soekarno. Manikebu dianggap kerap melakukan sindirian-sindiran dan anti pemerintahan. Lekra juga bernasib sama. Seiring tumbangnya ideologi komunis di Indonesia, terjadi peralihan penguasa politik. Lekra akhirnya dinyatakan organisasi terlarang sesuai TAP MPRS No. XXV/MPRS/ tahun 1966, tentang Pelarangan Komunisme, Leninisme, dan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta organisasi massanya.
Tapi, Radhar punya pandangan lain dalam menyikapai konflik Lekra dan Manikebu. “Itu romantika saja,” ucap dia sembari tersenyum tipis.
Menurut dia, sastra itu imajiner. Jangan menerjemahkan sastra dengan acuan kebenaran. Tidak ada kebenaran dalam dunia sastra. “Semua orang punya versi kebenaran sendiri-sendiri. Kebenaran kita sekarang adalah kebenaran preferensial, suka-suka kita, seperti memilih ikan gurame atau ikan mas,” tutur dia.
Karena itu, tidak ada karya sastra yang menggerakkan politik atau menggerakkan publik untuk berubah. Radhar tidak percaya, karya-karya Pramoedya Ananta Toer bisa menggerakkan massa untuk tujuan tertentu.
“Tidak ada itu, saya sudah uji. Sebut siapa sastrawan yang bisa menciptakan perubahan? Karena pada dasarnya tidak bisa,” tegas Radhar.
Sastra berbeda dengan ideologi, politik, dan sains. Satu karya sastra bisa menghasilkan ribuan tafsir. “Sedangkan ideologi, seribu kepala satu tafsir. Sains begitu juga, sejuta orang berfikir, satu tambah satu harus sama dengan dua. Tapi, sastra bebas, itu demokrasi yang sesungguhnya,” papar Presiden Federasi Teater Indonesia ini.
Oleh karena itu, ia menilai peristiwa penahanan sastrawan WS Rendra pada 1977 merupakan bukti betapa pemerintah saat itu tidak paham semangat demokrasi dan kebebasan berpendapat masyarakat. Ketika itu, Rendra sang penyair yang dijuluki "Si Burung Merak" itu ditahan di rumah tahanan militer, Jakarta, lantaran penguasa rezim Orde Baru gerah pada syair-syairnya yang mengkritik pemerintah. Puisi Rendra dianggap mampu memicu gerakan masyarakat untuk memberontak.
“Padahal, Rendra bisa menggerakkan apa? Semut saja tidak bisa dia gerakkan,” kata Radhar.
Sejurus, istri penyair almarhum WS Rendra, Ken Zuraida juga tidak menyepakati polarisasi kanan-kiri. Manikebu versus Lekra. Bahkan, Mas Willy, sapaan akrab Rendra, tidak menyepakati pembabakan angkatan sastra.
“Kata Mas Willy, sastra ya sastra. Karya yang baik akan begitu kuat hingga bisa melintasi zaman,” kata Ken mengutip perkataan Rendra, saat ditemui Metrotvnews.com di Bengkel Teater Rendra (BTR), Cipayung, Depok, Jawa Barat, Rabu, 22 Februari 2017.
Ken menyebut Chairil Anwar. Kata dia, puisi Chairil hingga hari ini masih tetap hidup. Bahkan terus menginspirasi yang lain. Begitulah seharusnya sebuah karya sastra. Dia sepakat Chairil disebut penyair jenius. Karya Chairil mampu menyegarkan bahasa Indonesia. “Karya Chairil tidak memiliki sekat dan berbeda di zamannya, sehingga masih bisa dinikmati hingga hari ini.” Imbuh dia.
Ken mengungkapkan, mendiang suaminya bisa merasa bebas, jujur, dan indah dengan menulis. Ketika Rendra menulis puisi, dia bisa dengan total menjadi dirinya. “Dia juga bilang, seseorang harus bisa bersikap kontekstual dan universal. Dan itu, kata dia, hanya bisa didapat ketika menulis puisi,” cerita Ken.
Buat Rendra, apapun sebutannya, apapun orang melabelinya, dia hanya menjalankan kewajarannya sebagai insan. Dia menemukan kewajarannya sebagai penyair. Rendra menjadi sensitif terhadap segala yang terkait dengan kepentingan orang banyak, ketidak-adilan, kemanusiaan, etika pantas dan tak pantas. Semua itu dia sampaikan dengan cara yang lembut, melalui puisi.
“Rendra juga percaya asas hidup bersama. Itu makanya, Rendra tidak terima ketika dituduh Manikebu. Padahal asas itu bukannya lebih pantas dituduh Lekra,” pungkas Ken sambil terkekeh-kekeh.
Komentar
Tulis komentar baru