Selamat Memasuki Gerbang Surga: Kaldera Toba
(Catatan singkat: dalam sebuah petualangan wisata di destinasi Kaldera Toba)
Kepingan surga itu berwujud sebuah pulau. Segunduk pulau dengan julukan Pulo Samosir. Demikian sejarah menyebutnya. Tak hanya oleh atas dasar keindahan alamnya saja, tapi juga atas keanekaragaman karya seni budaya fundamental yang kerap menjadikan kehidupan sosial di pulau itu dijadikan objek studi yang kerap diteliti dan diperbincangkan di dalam negeri maupun dunia manca negara.
Sejak keberadaannya, berjuta orang tercatat telah silih berganti menjejakkan kaki disitu. Dengan berbagai ragam alasan ataupun keinginan tersendiri untuk mampir berkunjung. Dengan masing-masing kenangan tersendiri, masing-masing cerita, pun berbagai kisah pribadi selama menelusuri sekujur tanah di seputaran pulau indah itu. Sebuah pulau di atas pulau. Yang terendam molek di dekapan sebentang danau bernama Toba. Tao Toba dan Pulo Samosir yang adalah merupakan anggota tubuh Sumatera, keberadaannya telah tersohor hingga sepenjuru jagad raya.
Berwisata. Bertamasya. Atau sebutan lain alasan masing-masing insan untuk berkunjung tidaklah terlalu penting untuk dipersoalkan. Sebab yang pasti, bahwa keingintahuan seseorang pada sesuatu itu lebih cenderung bersumber dari sebuah kerinduan. Sebuah kerinduan dan rasa penasaran untuk bertemu dan bertatap muka langsung dengan hasrat yang teramat lama terpendam dalam imajinya.
“Selamat memasuki gerbang surga.” Selamat menjejakkan kaki di tanah beraroma sorga.
Gerbang masuk Tele sebagai salah satu gerbang dari beberapa pintu masuk menuju Pulau Samosir selalu dengan semangatnya menyambut siapa saja yang memutuskan untuk berkunjung lewat jalur darat. Barangkali demikian halnya sambutan alam yang kami rasakan saat itu. Dalam sebuah kunjungan rombongan wisata dari Kota Padang yang juga rindu untuk menjenguk tempat indah yang hingga kini masih terus dipergunjingkan banyak orang atas aura keindahan rahasia yang dimilikinya. Hanya oleh gugahan sebuah lagu : Come to Lake Toba yang berhasil memancing rasa keingintahuan setiap orang dari sepenjuru kota di negeri ini untuk datang.
Berbagai ungkapan kekagumanpun silih berganti bergumam dari mulut rekan-rekan yang sedari tadi mulai dirasuki kejenuhan selama hampir 5 jam lebih perjalanan. Telah lima jam penuh sepanjang perjalanan hanya disuguhi pemandangan yang monoton. Rumah hunian, aspal, lampu-lampu jalan serta hutan lebat yang gelap gulita.
Dari bandara Kuala Namu International Airport kami berangkat tengah malam dari Medan. Kepenatan dan rasa kantuk nyaris membuat tubuh lemas dan tak bergairah. Untung saja salah satu dari antara kami berenam tak kunjung kehabisan guyonan dan kelakar. Sehingga tulang rahang tidak sempat membeku.
Cuaca sangat dingin. Kabut tebal dan kaca mobil yang berembun menandakan bahwa cuaca diluar sana bisa dipastikan begitu menggigil. Jam tangan telah menunjukkan Pukul 05.30 WIB. Roda mobil putih yang kami tumpangi terasa sudah mulai enteng menggelinding di atas aspal. Pertanda kalau jalan mulai menurun.
“Tempat ini dinamakan Tele.” Sebutku mencoba menjelaskan rasa kekaguman rekan-rekanku yang sedari tadi masih bermalas-malasan.
“Tele yang bisa dimaknai dengan sebuah jalan panjang yang penuh tikungan-tikungan curam. Konon pembukaan jalan ini, pada zaman penjajahan Kolonial Belanda dikerjakan melalui sebuah rodi massal atau kerja paksa dengan melibatkan ratusan manusia yang didominasi oleh para orang dewasa yang ketika itu dipaksa/diculik untuk dipekerjakan mencongkkel batu di sekujur dinding jalan yang telah ada sekarang.” Tambahku seraya mencoba menjelaskan ala kadarnya sesuai cerita orang tua dikampungku yang pada masa itu juga katanya turut merasakan kerasnya kerja paksa.
Kelima rekanku yang baru kali ini pernah melihat langsung suasana likuan jalan Tele, terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Terlintas rasa penasaran di mimik mereka semakin memuncak.
“Hm.. Liku-likunya hampir mirip kelok Sembilan yang ada di kota kami.” Ungkap salah seorang rekan yang sedari tadi terlihat sudah mulai menyimak ke arah kanan kaca mobil.
Di arah depan, dihadapan kami, persis arah timur puncak pulau yang disebut Samosir, matahari pagi mulai bersemburat seolah turut menyambut kehadiran kami. Begitu menyilaukan. Menyingsing lembut menambahkan kesan tersendiri. Kabut-kabut tipis beterbangan di sekitar. Berbagai ukuran bebatuan gunung terletak dengan alami di sepanjang jalan. Bebatuan vulkanik kusam tampak telah berumur dan dilumuri lumut.
Kaca jendela mobilpun mulai bergerak diturunkan satu per satu, di kiri dan kanan. Pepohonan pinus tua menjulang di kiri kanan jalan. Bergerak seolah berkejaran. Supir terus mengemudi. Ia membawa mobil melaju membelah likuan Tele. Dengan kecepatan santai hingga setengah jam kemudian, kamipun sampai dan singgah di sebuah pelataran lereng Pusuk Buhit yang dinamai Aek Rangat (Hot Spring).
Pagi sudah terang. Sinarnya yang hangat menyapu bekas pijakan pertama kaki kami di tempat itu. Sebuah parkiran restaurant Hot spring yang masih tampak sepi dari pengunjung. Hanya ada tiga mobil yang parkir hampir bersamaan dengan kami.
Dari parkiran itu menghadap ke arah Timur, sebentang Danau Toba terpampang megah sejauh mata memandang. Biru, teduh dan sejuk. Begitu memanjakan mata dan seolah ia mengundang paksa agar kami lekas turun berlari-lari kecil di tepi riak pantainya yang berbuih putih.
Tapi, kami hanya seorang musafir. Yang tak memiliki lebih waktu. Cuma numpang lewat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Seorang laki-laki rekan kami yang biasa disapa Bang Zul Fahmi itu, dia permisi sebentar untuk menunaikan ibadah kepada Tuhannya. Hasim pun menyusulnya. Beranjak kearah seorang lelaki paroh baya yang barangkali adalah pemilik restaurant di Hot Spring itu. Zul Fahmi dan Hasim mencoba menanyakan dimana mereka boleh menjalankan ibadah Sholat di tempat itu. Dengan ramah sipemilik restauranpun membawa mereka berdua masuk menuju sebuah tempat.
“Betapa ramah dan layaknya si bapak itu memperlakukan mereka,” Benakku dalam rasa haru.
“Ikut?” Tanya Zulfahmi, ditujukan kepadaku.
“Nggak sholat,” jawabku memberi petunjuk bahwa aku dan tiga orang rekan lainnya tidak melakukan ibadah yang sama dengannya. Mereka berdua mengangguk. Kupikir, ia mengerti. Namun, setelah kusadari lagi barangkali ia akan mengubah sikapnya kepadaku. Menjaga jarak, atau semacamnya. Tapi ternyata aku salah. Sekembali dari sholat, mereka berdua terlihat lebih
segar seusai membasuh mukanya dengan air yang didoakan. Namun, laki-laki itu tetap seperti adanya. Sama sekali ia tak sekalipun membedakan caranya memperlakukan kami berempat rekannya yang beda agama sebagaimana dia memperlakukan saudaranya seiman Hasim. Akh! Seandainya semua kita bisa memperlakukan sesama manusia tanpa harus menyama-bedakan ibadah, kepercayaan, agama, atau apa pun itu.
Selama setengah jam, hangatnya air belerang telah berhasil mengurut rasa pegal di tubuh kami yang hampir semalaman bergumul dalam mobil. Pancuran air belerang di sebidang kolam renang yang dipenuhi air hangat itupun berhasil menciptakan perasaan lega. Segar dan meninggalkan kenangan kuat di sekujur tubuh kami. Sepanjang waktu selama berada dalam kolam, puncak Pusuk Buhit begitu jelas bisa dinikmati kemolekannya lewat pemandangan dari sana. Sisa bebatuan vulkanik besar dan putihnya tanah belerang disekujurnya turut melengkapi pemandangan suasana pagi itu. Kepuasan itupun berhasil kami kumpulkan sembari mandi menikmati air belerang. Namun sangat disayangkan, sebab saatnya kami harus kembali berkemas untuk melanjutkan kembali perjalanan.
“Selamat Datang di Tanah Batak. Selamat melampiaskan rindu di Gerbang Surga. Dan selamat menunaikan mimpi untuk menyapa Toba dan Pulau Samosir yang telah menanti di seberang sana.” Ungkap seorang pemuda setempat.
“Mungkinkah dia seorang pemandu wisata di Hot Spring Ini?” Gumamku.
“Perkenalkan namaku Ucok.” Tambahnya sembari menceritakan berbagai paket lokasi wisata lanjutan yang bisa ditempuh dari Hot Spring.
”Samosir memiliki berbagai lokasi destinasi wisata unik seperti Aek Sipitudai, wisata alam Batuhobon, Perkampungan si Raja Batak dan objek pendakian untuk menyaksikan matahari terbit puncak Pusuk Buhit di sianjurmulamula yang berada di sekitaran Gunung Pusukbuhit. Selain itu, di sekeliling Pulau Samosir ada juga wisata sejarah Batukursi, makam Raja Sidabutar, Pulo Malau dan Sigalegale di Simanindo. Kemudian Telaga Sidihoni, berupa danau di atas pulau yang terletak di wilayah Ronggurnihuta. selanjutnya ada Batu Guru sebuah batu besar yang muncul di tengah danau di Desa Pangaloan Nainggolan. Dan yang lebih unik yakni sebuah lokasi peninggalan Pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun bernama Hariara yang masih bisa ditemukan keberadaannya di daerah Onanrunggu. Sebagai tawaran rute kunjungan pertama, ada Pantai Pasir Putih Parbaba Salah satunya yang terdekat ditempuh yaitu tempat yang terpampang tepat di sebelah Utara Samosir sana.” Demikian Bung Ucok menjelaskan dengan penuh antusias sembari menunjukkan ke arah kanan gundukan Pulau Samosir yang terpampang di seberang. Di Dermaga Hot Spring terlihat dua buah Speed Boat berwarna merah dan biru terapung diatas danau masih tertambat di tiang pancang.
“Berapa lama Perjalanan?” Tanya kami ingin memperjelas waktu untuk memastikan jadwal tamasya kami berikutnya dapat terisi dengan baik.
“Hanya sekitar sepuluh menit kita sudah tiba.” Lanjutnya lalu mempersilahkan kami berenam masuk ke dalam dua Speed Boat yang telah kami bayar dengan harga nego. Empat orang per Boat termasuk pengemudi telah lengkap dengan rompi pelampung. Dan sepuluh menit kemudian kami memang telah mendarat di lokasi wisata Pantai Pasir Putih yang pada pagi itu telah mulai dipadati pengunjung.
Sebagaimana umumnya suasana pantai, para pengunjung telah banyak bercengkerama berendam di dalam danau yang terlihat sekilas pandang landai dan dangkal. Sebagian lainnya banyak yang duduk santai di sekujur tepian pasir. Ada yang asik berkejaran. Yang sibuk memainkan pasir basah, dan belasan sepeda air dan sampan-sampan berwarna-warni lalu-lalang, dan satu hal yang paling menarik atraksi-atraksi Banana Boat yang meraung-raung memanjakan para pecandu wisata pantai semakin menambah minat untuk mencoba langsung. Sungguh menantang dan fantastik.
Kami berenampun, tak mau ketinggalan. Bergegas menitip barang bawaan dan buru-buru mengenakan pakaian renang. Tanpa diperintah, masing-masing seperti telah terlatih bagaimana cara menikmati suasana pantai seperti ini. Sebagian besar berhamburan mengarah ke arah sebuah Banana Boat yang baru saja mendarat dan menurunkan para penunggangnya.
“Selamat Datang di Tanah Batak. Selamat melampiaskan rindu di Telaga Surga Pasir Putih. Selamat menunaikan mimpi untuk menyapa Danau Toba dan Pulau Samosir yang siap memanjakan anda. Nikmati sejuk cipratan pasir putih ini sepuasnya.” Ungkap seorang pemuda pengemudi Banana Boat sembari melajukan Speed Boat dan langsung menyeret kami yang masih belum juga pulih dari rasa penasaran.
Satu jam telah berlalu. Suara-suara histeris kami dan teriakan lantang telah tuntas menyatu dengan danau. Seketika saat banana yang kami tunggangi terbalik dan menceburkan tubuh kami dalam setiap tikungan tajam yang seolah sengaja dicipta. Demikian kami berkali-kali jatuh-naik. Tercebur dan tercebur lagi. Katanya, hal itu sudah merupakan kenangan tersendiri dibalik kisah seru ber-banana boat.
Pasir Putih memang lebih indah dari yang dibayangkan. Jauh lebih nyata dari tayangan gambar di televisi selama ini. Di bawah cuaca cantik dan bersahabat, tak terasa waktu harus menyudahi petualangan kami di Parbaba. Yang pasti, cerita tak lagi hanya sekedar cerita. Cerita telah berubah kisah. Kisah kemasyuran dan misteri kaldera Gunung Toba yang kini dinamai Danau Toba dan Pulau Samosir, satu per satu telah mulai dapat kami terjemahkan dan kami resapi. Mistis dan nyata.
Selamat memasuki Gerbang Surga, dan selamat menunaikan rindu pada sejuta kisah di dalamnya. Pada kisah sekeping surga yang kini dinobatkan menjadi sebuah predikat Kaldera Toba menuju Geo Park International. Horas. (wspd)
Komentar
Membaca karya amang binoto
Membaca karya amang binoto hutabalian tentang pulau samosir membuatku teringat akan tutur bahasa, adat, kebudayaannya masyarakat pulau samosir, keindahan pulau samosir sudahlah pasti dikagumi banyak insan, mereka yg pernah menginjakkan kaki d pulo samosir akn rindu kembali untuk mengunjunginya sama halnya seperti saya. . alur ceritanya jelas singkat dan padat tidak mengurangi unsur sebenarnya, salam sastra, salam samosir
Horasss
Tulis komentar baru