Janji Plasenta
Cerpen: Binoto H BalianPAGI itu adalah kali kedua seorang lelaki tua kembali memapah langkah menuju ke arah bukit kecil di samping gubuknya dengan tentengan putih berlumuran darah di tangannya setelah empat tahun yang lalu juga melakukan hal yang sama.
Berjalan dengan langkah gemetaran dengan sisa-sisa tenaganya menelusuri perbukitan yang agak menanjak, berusaha dan bergegas mencapai ke puncak itu. Dengan cangkul di tangan kanan dan bungkusan putih berlumur merah basah di tangan kiri, langkahnya berhenti sejenak.
Tepat di hadapannya berdiri tegak rimbunnya pohon beringin yang kelihatannya sudah sangat tua umurnya karena batangnya hampir dibaluti lumut-lumut yang menjalar hijau dan akar-akar gantung yang menancapi tanah. Sambil mengais-ngais tebaran dedaunan kering di sekitar beringin, lelaki tua itu mulai menggali sebuah lobang. Di dalam lobang yang tidak begitu besar dan hanya tiga cangkul dalamnya itulah dia kemudian meletakkan tentengan berlumur darah tadi lalu menguburnya dengan timbunan tanah galian serta mengeraskan tanahnya hingga betul-betul rapat dan tak akan ada kemungkinan lagi ada anjing yang bisa mencium dan mengoreknya.
Sehabis meratakan tanah kembali, si lelaki tua itu kemudian meluruskan tulang punggungnya dan menatap ke arah rindangnya dahan ranting pohon beringin tua di hadapannya. Tangannya seperti menengadah menyembah.
‘’Wahai roh para leluhurku, terimalah kehadiran anak keduaku di muka bumi ini dan tolong juga dia agar terhindar dari mara bahaya sekitarnya. Berikan juga rasa sedarah diantara kedua anakku agar tetap mengingat tempat ini sebagai simbol keramat persatuan silsilah, tradisi, sejarah keluarga’’. Dipalingkannya lagi wajahnya menatap segundukan tanah yang telah menyerupai kuburan kecil itu sambil berjongkok, kemudian memesankan sesuatu;
‘’Sebenarnya kamu dilahirkan berdua tapi hidupmu hanya sementara, karena kau harus berkorban untuk kehidupan anakku dan kau rela dipotong pisah dari pusarnya agar simbol kemanusiaan sempurna diterimanya. Aku selalu berharap senantiasa kau akan mengawal hari-hari anakku kelak dan mengingatkannya tentang kebaikan, kedamaian dan bakti pada leluhur’’. Sejenak dia menghela nafasnya, lalu bergegas kembali menuruni bukit kecil itu di bawah tebaran sinar mentari pagi yang mulai cerah menjelang siang sambil mengusap tetesan-tetesan keringat di dahi dengan punggung tangannya dan masih tersisa noda darah dan air ketuban.
Sesampainya di halaman gubuknya, tangisan mungil seorang bayi seperti menyumbat kedatangannya. Sebuah tangisan suci bagai menangisi persinggahannya di duna fana yang penuh kekerasan ini. Pilu, menyeruak dengan mata masih tersekat rapat juga seperti meraba-raba di dada ibunya mencari cairan kehidupan yang bisa menyejukkan kembali perasaannya dan mengantarkannya mendewasa menghadapi masa-masa penjelajahannya di dunia nanti. ***
Hari, bulan dan tahun berganti ternyata telah mengubah sebagian warna kehidupan di dusun yang masih terpencil tersebut. Sementara pohon beringin tua itu nampak semakin tua dan satu-satu dahannya sudah mulai meranggas. Kelihatan orangtua yang berkepala putih bersama dua orang anaknya menyusuri kembali bukit perjanjian untuk menjenguk perkuburan massal tali pusar dan ari-ari keluarga mereka.
‘’Ditempat inilah nenek moyang kita pernah menorehkan sebuah janji dan sumpah untuk selalu mengabdikan kerukunan hidup bagi keturunan mereka serta agar melestarikan tradisi keluarga seperti apa yang telah bapak lakukan terhadap kedua ari-ari kalian ketika lahir, maka ingat dan resapkanlah kata-kata terakhirku ini di lubuk perekammu. Hendaklah damai yang selalu membentang diantaramu dan kebaikan serta budi luhur mengikat nafasmu dalam merayapi sisik bumi ini’’.
Seusai mengucapkan pesan pamungkas yang menjadi penghalang keberangkatannya menghadap Sang Abadi, nafasnya pun serasa hempas lega meninggalkan raganya. Kini jiwanya sudah menyatu kembali dengan kekuatan petuah pohon tua itu. Yunus dan Mizbah adiknya kemudian mengebumikan jasad bapaknya di tempat itu, sesuai dnegan pesan terakhir bapaknya untuk ditempatkan bersebelahan dengan pusara ibunya yang setahun lalu meninggal akibat wabah penyakit malaria menyerang dusun mereka.
Dan bukan hanya ibu-bapak mereka tapi juga seluruh penduduk dusun telah musnah ditelan bencana tersebut dan terkecuali mereka berdua telah selamat. Berkat demi berkat berantailah yang mungkin menyelamatkannya yang menjadi generasi penerus raja Kelana moyangnya yang konon sangat terkenal dengan kebijakannya dahulu. Untuk mencari sumber kehidupan baru, sekaligus menyambung tali generasi mereka berdua akhirnya beranjak dari kampung yang tak ada perempuan sebagai persinggahan tunas kehidupan baru itu lagi, dan pergi berkelana menuju ke sebuah kota yang lumayan jauh. Hampir satu hari lamanya perjalanan untuk menempuhnya dengan jalan kaki.
Dalam perjalanan mereka menyusuri kampung perbukitan yang terpencil itu dan ketika menyusuri liku-likunya jalan tikus, wajah mereka berdua masih dirundung kesedihan yang mendalam juga dibungkus rasa lelah yang menghadang di setiap langkah. Dengan bermodalkan tekad dan harapan yang masih tersisa serta perut mereka yang berbekalkan dua buah pepaya ditambah beberapa potong ubi rebus sebagai sumber tenaga mereka, akhirnya bisa merasa lega setelah menatap kota di lereng bukit tak jauh lagi jaraknya. Matahari sudah hampir dimakan gua kegelapan di ufuk barat dan lembayung senja seperti menyambut langkah pertama mereka hadir di kota itu.
Yunus yang saat itu sudah berumur 17 tahun tampak terus menggandeng tangan adiknya dan terus memberi semangat untuk dapat bertahan hingga mereka dapat menemukan tempat persinggahan sementara untuk mengisi perut. Karena sudah terlalu letih Mizbah tak sanggup lagi menyeret langkah dan memilih untuk beristirahat di sebuah emperan bangunan yang berkubah. Sementara Yunus mencari sebuah rumah yang mau menampung mereka sementara, kini mereka berpisah. ***
Ketika bundaran cahaya langit menitip bayangan gelap di bumi, orang-orang sudah jarang ada di luar rumah mereka. Hanya ada beberapa bangunan yang terlihat masih dikunjungi orang, tempat itu mulai ramai didatangi pria-pria berpeci dan wanita-wanita berkerudung. Suara azan berkumandang dari menara Masjid di kota itu.
Ustad Mizbah yang saat itu sudah berumur 30 tahun memulai ceramah di hadapan umatnya tentang arti pentingnya persatuan, cinta dan kedamaian. ‘’Ketahuilah umatku, bahwa sesungguhnya Allah itu hanya ada satu yaitu yang menciptakan alam dan manusia hanya lewat titah. Maka setiap manusia diwajibkan untuk saling rukun dan mencintai satu sama lain tanpa harus pandang bulu, ras, suku dan agama. Karena agama pada hakikatnya adalah hanya kebaikan saja dan bukan benci.’’ Dengan ditutup Assalamaualaikum, ibadah mereka pun kemudian bubar dan ustad Mizbah kembali ke rumahnya. Seusai berganti pakaian malam itu, ustad menghampiri istrinya yang saat itu sedang hamil tua berumur delapan bulan.
‘’Ma, aku berniat cuti bulan depan agar bisa mudik ke kampung halaman orangtua saya dan besar harapanku agar anak pertama kita lahir di sana nantinya dan menanam ari-arinya di tanah leluhur sesuai pesan kakeknya dulu’’. Sambil mengecup kening istrinya lalu menyuguhkan vitamin dan segelas air putih. Siti Aisyah hanya mengangguk dan selalu menuruti suaminya. ***
Selepas berpamitan dengan KH Umar ayah angkatnya yang dulu mengasuhnya dan sekarang sedang menanti ajal akibat usianya yang sudah sangat lanjut itu, ustad Mizbah akhirnya berangkat menuju kampung halamannya di perbukitan seberang yang sekarang telah berubah menjadi perkampungan modern. Namun tempat itu masih jelas terbubuh di ingatannya walaupun sudah hampir 16 tahun ditinggalkannya dulu. Dan selama itu jugalah ia telah berpisah dengan abangnya Yunus.
Mobil sedan hitam yang mereka naiki menepi di sebuah pekarangan rumah semi permanen yang di sampingnya berdiri sebuah gereja baru tepat di atas tanah orangtua mereka dulu. Dengan penuh pertanyaan di hatinya dia melangkah menuju pintu rumah itu. Beberapa langkah sebelum tiba di depan pintu, tiba-tiba daun pintu telah dibuka seseorang. Nampak laki-laki setengah baya berdiri disana. Ustad Mizbah terpaku setengah tidak percaya melihat orang itu yang ternyata pemilik rumah tersebut. Wajah itu seperti telah mengembalikan kenangan masa kecilnya dulu sewaktu masih ada di dusun itu.
‘’Bang..! Abang Yunus, khan?’’ parau suara ustad seraya bergegas merangkul abangnya yang juga masih ragu karena wajah yang ada di hadapannya kurang dikenalinya. ‘’Aku ini adikmu Bang, Mizbah, enam belas tahun lalu kita telah berpisah di kota itu’’. Kenangnya untuk mengingatkan Yunus yang rupanya sudah menjadi pendeta di tempat itu setelah dulu dia juga telah diasuh oleh suatu yayasan Kristen di kota yang sama.
‘’Mizbah…,adikku?" Mulutnya bergerak spontan seraya menyambut pelukan adiknya yang juga telah lama dicarinya itu. Akhirnya pendeta Yunus mempersilahkan keluarga adiknya masuk ke rumah sembari kembali melepaskan rindu dengan mengingat kenangan-kenangan masa kecil mereka serta semua pesan orangtua mereka dulu.
Sementara dalam rumah sekarang telah berada lima orang manusia yaitu pendeta Yunus beserta istrinya yang sedang mengandung anak kedua dan satu orang anak laki-lakinya besrta ustad Mizbah bersama istrinya yang juga kebetulan sedang hamil tua. Selama satu bulan mereka akan menunggu hari keramat bagi keluarga mereka itu guna menunaikan sebuah tradisi ‘’Perjanjian Plasenta’’ demi persatuan dan kerukunan anak-anak mereka kelak.***
Komentar
Tulis komentar baru