REINIER SI JURU TULIS DARI MIDDELBURG
Aku ikut!
Teriak seorang pemuda yatim
Kepada kapten kapal yang akan bertolak
Dari Middelburg ke Hindia
Akan kuhitung jarak
Langkah
Bintang
Akan kuhitung segala di mata
Dan akan kucatat semua di kepala.
Baik, kata sang kapten
Kini kau hitung berapa banyak
Papan kayu kapal ini
Sambil mengepel lantai palka
Reinier muda mulai menghitung dan menulis.
Delapan ribu papan besar
Dan empat ribu lembar papan ukuran sedang
Lapornya, saat kapal merapat
di Nieuw Amsterdam
Lalu Reinier menghitung dan mencatat
Jarak langkahnya menuju tangga Stadhuis
Tidak lebih dua belas tahun
Katanya, dalam hati.
Reinier menukar bedil dengan pena bulu.
Ia menghitung dan mencatat:
Ribuan orang Cina menggelepar di jalan
dan di sungai
Panjang pantai utara Pulau Jawa
Ribuan pohon pala Pulau Banda
Reinier akhirnya menjadi kruidenier
Yang mencatat secara akurat:
Luas tanah, ratusan budak, emas-perak,
vila mewah, dan hutang piutang miliknya
ke dalam daghregister.
Reinier lelah,
Seakan semua telah ditulis
Rhematik keburu memilin pergelangannya
Padahal, ia belum sempat melaporkan
dan tak akan berani melaporkan
Kepada para Heeren
Banyaknya tikus berpesta setiap hari
Di Graanpakhuizen milik mereka.
1999
SAIR KEJADIAN SEWAKTU GUNUNG MELETUS (1983)
UNTUK MENGINGAT:
M. BAKIR DAN TAN TENG KIE
Di Kota Inten banyak prahu pada kelebu
Lantaran ombak ngamuk seperti sapu.
Air laut meluap sampai ke Kali Baru
Lantan gunung di Banten muntahin abu.
Langit siang jadi gelap malem
Lantaran awan dikekepin asep item.
Di Langgar orang berdoa minta slamat
Lantaran dikira bakal ada kiamat.
Orang Belanda kagak bisa pelesir.
Lantaran di jalan banyak batu pasir.
Orang Cina kebakaran jenggot
Lantaran rumahnya jadi pada reyot.
Arab sengke Krukut batal balik ke Yaman
Lantaran laut di Jawa masih belon aman
Pohon dan genteng jadi pada kelabu
Lantaran banyak abu nempel di situ.
Anak-anak berebut nanggok ikan
Lantaran air kali luber sampe ke jalan.
Ibu-ibu pada menjerit takut
Lantaran tempayan di dapur
pada saling nyikut.
1999
J. RACH DAN MOLENVLIET 111
J. Rach bersama budak payung
Bersiap melukis dari seberang Groote Rivier
Menghadap vila de Klerk
Pedagang Cina pulang
Tuan kompeni lalu lalang
Sais menunggu penumpang
Candu dikirim ke gudang
Buah-buahan dalam sampan menuju pelelangan
Penjaga seperti robot mainan anak
Berdiri kaku berhadapan di depan
Pntu gerbang model Buckingham
Dua orang budak gelut.
Anjing menggigit salah seorang pantat mereka.
Istana Versailles berkacak pinggang
Jendelanya terkancing
Barangkali mevrouw de Klerk sedang keliling
Menjajakan berita tentang koleksi permata
barunya
J. Rach selesai mengarsir bayang-bayang
Yang semakin menghitam
menelan kaum pribumi
Dan menenggelamkan mereka
Ke dalam dasar Groote Rivier.
1999
DJAKARTA, 24 MARET 1945
DARI DAN UNTUK: IBUKU
08.32
Kristen hitam bubaran misa
Jalannya merunduk
Tangannya berat mendekap baibel ke dada
08.37
Tiga orang geisha kuyu
Baru keluar dari markas Heiho
Menenteng bungkusan hasil barter,
pasti berisi
Beras, ikan asin , dan gula.
09.10
Di Priok
Rombongan pemuda gundul
Berbaris menghadap matahari dan bendera
Asia timur raya
Kakinya nyeker berdebu.
Sayup-sayup kimigayo menuntun mereka
Menuju gerbang neraka
09.50
Di gudang Jepang
Antrian jatah semakin panjang
Sisa makanan kaleng diperebutkan
Oleh para perempuan rombengan
Anak-anak mereka jalan merangkak
Perutnya buncit berisi angin
Sekitar 10.35 – 12.20
Di sebuah kampung
Pada pelataran rindang
Para bocah main hompimpah
Mereka bersiteru
dan mengejek anak yang kalah:
nasi uduk ketan urap
orang buduk ditendang arab
nasi uduk ketan urap
orang buduk sering kalap
Hari ini wak haji hanya mengimani tiga orang sebaya
Seperti biasa, ancemon kuah
Tumpah
Di perut.
13.17
Di sebuah pos jaga
Para opsir kegerahan
Baju dinasnya dibiarkan terbuka
Sebagian mengipas
Matanya mengecil dan semakin setipis garis.
14.10
Kata seorang zuster,
Sudah lama rumah sakit kehabisan perban.
Percetakan Kolf tutup
Olimo dan Lindeteves lebih dahulu
Apalagi Pasar Baru.
Hari ini
Ada lagi
Orang mati
Di emperan toko
Tubuhnya dipenuhi kutu tuma
Entah nanti
Dibuang ke mana
Dikubur tanpa tanda
Sebab mereka adalah
Orang-orang kalah tanpa nama
Sekitar 14.30 – 14.55
Teng-teng-teng!
Trem line 2 Kota-Menteng
Lewat Deka Park
Angin mengejar di belakang
Dan berloncatan mengisi dua gerbong kosong
Trem line 4 Kota-Tanah Abang
Lewat Gang Ketapang
Biasa membawa sekeranjang keharuman pasar
Di warung kopi
Tukang catut, seperti tawon
Keluar masuk sarang bergantian
Mengabarkan adanya kuncup bunga yang akan mekar
Kurang lebih 15.38
Sebuah rumah mewah di jalan Kaji
Tenang ganjil
Penghuninya tidur siang
Kata orang bekas tempat interniran
Para perempuan indo
Sekarang menjadi tempat piaraan
para komandan.
Sekitar 16.35
Rombongan pengantri pulang
Wajah mereka matang udang
Di kali sudah banyak orang mandi.
Di depan markas Kempetai
Hinomaru lemas terkulai.
Di sebuah tembok
Poster Banzai – Dai Nippon!
Sobek lusuh tinggal separuh.
17.10
Sepintas,
Di meja abu
Rumah nyonya Alan
Terdapat foto baru
Tiga hari yang lalu
Anak perempuannya yang berkepang
Dinyatakan hilang
17.58 – 18.35
Sudah tiga tahun ini
Petugas lampu gas menganggur
Djakarta semakin buram kabur.
Setelah maghrib,
Sebaiknya di dalam rumah.
Sebab banyak setan gentayangan
Ngaji.
Kunang-kunang sambuk kelapa
Menjadi penunjuk jejak malam
Sebentar lagi ada kusyu-keiho
Siap-siap menggigit karet
Truk tentara akan lewat
19.20
Bioskop Al-Hambra, Astoria, dan Thalia
Gelap.
Di beranda hotel des Indes
Lampu 10 watt
Menggelantung sendirian
Para geisha merah menor kembali
Masuk ke kandang babi.
21.15
Di rumah pak mantri ada rapat pemuda
Tinta cina mulai habis
Besok mungkin
Aku tidak dapat lagi menulis
1998
MASUK KOTA 1949
SEPERTI DIKISAHKAN OLEH SEORANG SAKSI MATA
Sudah kami persiapkan
Sejak kemarin
Kembang, bendera, dan selendang
Untuk pemuda pejuang
Dari Kerawang dan Tanggerang
Dalam konvoi mungkin masih ada
Jono, Idrus, Suratman, dan Bachtiar.
Saudara, teman, dan tetangga kita
Yang kini menjadi gondrong, dekil,
dan lusuh
Padahal dahulu mereka necis dan parlente
Semua sudah tergadai,
saat nica mengetuk pintu.
Sudah kami persiapkan
Sejak kemarin
Nyanyian dan lencana
Yang tak sempat tersematkan
Dan tak sempat didengarkan
Percuma,
Sebab mereka keburu menghilang memburu
Hiburan, perempuan, harta rampasan,
dan perumahan.
Di kawasan Menteng, Matraman,
dan Tanah Abang.
Kami hanya bersorak sesaat di Kramat.
Mencari wajah yang tak lagi dapat dikenali.
Seperti gedebong hanyut,
Rombongan terdiam pulang.
Sambil menenteng kembang layu
Untuk dibuang!
1999
KERONCONG TUGU
Angin kering teluk Jakarta
Pedas menggigit kulit
Menusuk mata menjadi lebam
Menjelang senja,
buaya muara mengatupkan rahang
Dan menyembunyikan matanya yang berair.
Bersama dengung snar macina, prunga,
dan zitara
Yang sedang distem
Nyamuk rawa ikut nimbrung mendengarkan
Para Mardijker
Penghuni wilayah Kapten Jongker
Mengalunkan lagu Porto buyut mereka:
Dari Ceylon kita berangkat
Mampir dahulu di Malaka, ya nona.
Lewat laut untung selamat
Akhirnya sampai di Batavia
Tapi, sampai sekarang tetap melarat.
Pagar rumput sebagian membungkuk
Mencium air payau Ford Marunda
Dan Tanah Merdeka.
Bulir pasir terus berjatuhan
Dalam gelas kaca dan membenamkan
Kaum Kristao bersama Tugu Padrao
dalam rawa.
Tinggal tersisa tangan keluarga
Abraham, Quiko, dan Andries
Megap menggapai tali lonceng gereja
Agar tetap bergema
Malam disayat suara biola
Seorang bayi terlelap di pangkuan ibunya
Yang perlahan mendendangkan
Lagu Nina Bobo.
1998
LEGENDA MAT ITEM
Kopiah hitam merah beludru
Miring ke kanan
Menutup kepala berambut ikal
Di dalamnya tersimpan jimat pelenyap tubuh.
Kumis setebal akar bahar di lengan
Mata merah belo
Persis akik darah di jari tangan
Sepucuk postol bekas rampasan nica
Dan sebuah golok terselip di kanan kiri pinggang
Yang dililit sabuk kedot kebal
Mat Item:
Senterklas sohor Betawi kulon
Benggolan tulen tukang santron
Jangan coba sebut sembarang nyebut
Jin angin dapat mengantarnya ke mana dia suka.
Mat Item suka menyelam dalam lautan malam
Dan muncul seketika di depan pintu
Warung babah gendut di bilangan Tanggerang, Muara Karang,
Pesing, Angke,
dan Rawa Buaya.
Atau mampir melepas cumbu
Ke rumah janda dan istrinya di Srengseng,
Kedoya, Kreo, Serpong, Lengkong,
dan Maruya.
Jika Mat Item Nyamper
Centeng petenteng pada keder
Bandar judi keprok dan sintir
Kudu nyetor.
Buntelan hasil jarahan disebar
Untuk pengganjal perut tipis lesak
Sisa kurban jaman Jepang.
Judas Eskariot mata recehan
Diam-diam mengintip dalam barisan.
Segepok captunan dari kepolisian
Menaklukan jimat kesaktian
Dua puluh letusan tapak jalak
Menghujam di tubuh kekar hitam
Tanpa balutan
Darahnya menyatu dalam gulungan arus
Kali Angke
Sebagian jasadnya dimoyak dan dilempar
Ke berbagai tempat jin buang anak.
Salah satunya tertanam di pemakaman Enclek
Tanggerang
Pada nisannya tertulis:
H. Muhammad Item
Alias Mat Item
Wafat 12-2-1953
1998
HABIB
1/
Ahlan!
Serak berat bebatukan
Sepanjang kampung Arab
Pagar tinggi
Pintu mengatup sepanjang siang
Para wanita mengintip
Memastikan tamu
Dari balik jeruji jendela
Mata-mata bulat
Menukik pada sasaran
Hidung-hidung seperti lengkung gunung
Mengisap semua debu kematian
Para baksil Betawi rajin memarut tenggorokan mereka
2/
Ahlan!
(Suara dari goa faring kering)
Sang Habib sarungan
Duduk di kursi rotan
Secangkir gahwe jahe mengepul
Di tengah meja marmer segi delapan
Tasbih kecil terus berotasi di jari kiti
Tangan kanan menyangga kepalanya
yang beruban
Segumpalan awan menggantung di atasnya:
3/
Sejak umur 21 tahun
Terakhir melihat wadi gurun
Dari Aden menuju Betawi
Setelah muntah di dek kapal Inggris
Matanya menghijau royo
Tanah yang dipijak gembur-subur
Baik ditanam hadis dan fikih
Yang mengakar di setiap sel otaknya
4/
Wan mau ke mane wan?
Mau ke Pekojan
Wan mau jual ape wan?
Mau jual merjan
Sang habib membawa jadam menuju Kampung Bandan
Membawa kitab menuju maktab
Menebarkan wewangian di rumah
dan di madrasah.
Sepuluh tahun sekali menanggalkan jubah
Menuju Makah melempar jumrah…
Selama 46 tahun
Benih yang ditanam
Menyebar di pelosok Betawi
Dan Habib rindu kepingin pulang!
5/
Sepanjang kampung Arab
Dehem dan sengau keledai bersautan
Mereka tak dapat sembunyi dari para penagih
Dan baksil Betawi terus mengejar,
Menggerogoti tenggorokan serta paru-paru
mereka.
Ba’da Ashar,
Pintu-pintu mulai terbuka
Sebagian Arab di pangkalan istirahat
Duduk di bale-bale
Sambil mengisap Hoge
Ahlan… Bib!
Gahwenya sudah dingin
Saat beduk Maghrib,
Gerakan jarinya berhenti
Tasbihnya jatuh
Tangannya terkulai
Menyentuh lantai
Yang tak berpasir…
1999
MALARI: 1974
SEBUAH EPISODE YANG DIGUBAH BERDASARKAN PENGALAMAN PENULIS SEWAKTU DUDUK DI KLAS II SMPN XXXV - GAMBIR
Bubaran sekolah aku mengikuti rombongan
Yang meneriakkan pekik kebebasan dalam
kemarahan.
Pada hari itu aku bangga
dapat mengempiskan tiga mobil perwira.
Temanku lima bahkan ada yang sepuluh.
Semua berlomba mengumpulkan pentil
sebanyak mungkin.
Para perwira terpaksa harus berjalan
bersama massa.
Pada hari itu kami bangga
dapat mengusir Panser
Yang petugasnya berendam di dalam.
Kami bergembira dapat menghalau robot-robot
berpakaian seragam
Yang mundur kehabisan strum.
Pada hari itu, kami menjadi sombong,
Karena berhasil menakuti para birokrat
dan aparat.
Di Pejambon,
Aku bergabung dengan serombongan Arek
Yang seakan sedang mementaskan
pertunjukan reog.
Mata mereka seperti terpejam.
Hawa mulutnya menebar anggur kebencian
Garang membawa balok dan pentungan
Sambil berteriak seperti orang kesurupan.
Kami lalu berbelok ke arah Lapangan Banteng
Menuju Proyek Senen.
Di sana,
Para perempuan penjaga toko
berlari merunduk
Seperti kijang menghindar terkaman macan.
Pemilik toko komat-kamit,
Entah berdoa atau ngomel tak karuan.
Para preman Batak ikut sibuk
membersihkan perhiasan.
Warga Sentiong, Tanah Tinggi, Kwitang,
dan Alamo Kwini
Berebut memusnahkan
barang produksi Jepang.
Sehari itu,
Mata kami menjadi ahli membedakan
Barang yang mana yang harus dibuang
Proyek Senen terbakar,
Jakarta lengang
Semua orang berjalan
Bahkan di jalan orang dapat tiduran.
Iring-iringan rombongan seperti ada perayaan.
Ya, memang ada
Perayaan menyambut kemenangan
Perayaan menyambut kebencian
Perayaan menyambut kemarahan
Dan perayaan menyambut kecemburuan.
Atas nama sebagian orang yang tidak dapat
mencicipi harta bantuan utang Jepang.
Di Bunderan Air Mancur,
Mahasiswa bersama massa mendesak aspri
mundur
Karena dianggap sebagai antek Tanaka
Yang menjerumuskan masyarakat Indonesia
ke jurang romusha.
Brandwier kehabisan air
Untuk memadamkan jiwa-jiwa yang terbakar
Yang melemparkan kekesalannya melalui
batu-batu,
Melalui linggis, dan melalui api.
Baru pada hari itu, aku merasakan menjadi
pemilik kota ini
Dan merasakan menjadi pemilik negeri ini.
Setelah berjalan berputar-putar,
kami berpencaran.
Di pinggir jalan orang bertanya,
Tentang asap yang menghitam
di belakang kami.
Menjelang Malam,
Di depan jalan ke rumahku
Para tetangga bergerombol
Seakan berhasil menjerat mangsa buruan
Mereka mengurungku dan menanyakan
peristiwa hari itu.
Ternyata, aku adalah orang pertama yang
ditunggunya.
Nah…, aku menjadi pewarta.
Mereka mengikutiku sampai ke serambi
rumahku.
Dengan tenang kuurut semua menit kejadian.
Pada hari itu Aku menjadi berita
Aku menjadi pencerita
Aku menjadi koran dan radio
Aku adalah si pewarta
Yang bangga dapat mengalahkan
Oom Usman dan ‘Ceu Ety
Yang biasa menyajikan berita kepada para tetangga.
Akulah berita
Akulah koran dan radio
Akulah si pencerita
Akulah si pewarta
Akulah si pencatat pertama
Yang membuat Oom Usman dan ‘Ceu Ety
melongo dan keqi
Pada hari itu kesombongan mereka
kutaklukkan.
Sampai tengah malam
Para tetangga masih seperti lalat
mengerubungi bangkaiku.
Walaupun berjalan berkilo meter,
aku tidak merasa lelah.
Yang tersisa hanya perasaan bahagia
Atas kebebasan, kemenangan,
dan keberanian.
Selesai,
Semua telah kuwartakan.
Tapi ada sesuatu yang kulewatkan
Yang tak kuceritakan pada mereka
Dan tak akan pernah kuceritakan,
Bahwa di dalam kantong celanaku
Tersimpan puluhan jam tangan
Dan beberapa emas batangan
Hasil jarahan…
1999
BATAVIA CENTRUM
1933:
Beberapa encek dan encim
Tergopoh-gopoh memikul
Keranjang keringat.
Menyusuri lorong sempit
Pertokoan Pintoe Ketjil.
1942:
Jeppun datang
Bagero, katanya
Kepada babah berbaju blacu
Yang memelas saat gudangnya
Dikuras.
Tahun ini tanpa Sin Chia
Kue Pia hanya berisi ampas kelapa.
1954:
beberapa amoy dan akew
membuka grendel pintu
Dan menunggu recehan
Untuk mengisi pundi-pundi abu mereka.
1963:
Sebagian enci dan engkoh
Mengganjal pintu.
Dan membiarkan asap hio
Masuk ke rumahnya
Diam-diam mereka menghitung
Hari-hari sial dengan sipoanya.
1979:
Taipekong dapur iri
Melihat dewa judi
Diberi dupa wangi setiap hari
Marga Tan dan Lie mengikat chiefen
Sebagian sampkai ke vihara
Sisanya bersimpuh di hadapan Bunda Maria.
1992:
Beberapa encim dan empe
tertatih bergandengan
Menuju emperan untuk senam Tai-Chi
Sementara cucu mereka
Masih tertidur pulas di Singapura.
1998:
Tirai-tirai besi koyak berderak
Bersamaan dengan itu
Batu giok Dewi Kwam Im dan Macan Pa Kua
Jatuh beserakan
Bersama abu leluhur mereka.
1998
JAMPI DUKUN BAYI BETAWI
SUARA AZAN DIBISIKKAN KE TELINGA SI BAYI
Bismillah…
Mate jangan seliat-liatnye
Kuping jangan sedenger-dengernye
Lidah jangan sengomong-ngomongnye
Mulut jangan semakan-makannye
Muke jangan semerengut-merengutnye
Bibir jangan sedower-dowernye
Perut jangan sebuncit-buncitnye
Jidat jangan selicin-licinnye
Pale jangan sebotak-botaknye
Tangan jangan sepegang-pegangnye
Kaki jangan sejalan-jalannye
Kulit jangan sebuduk-buduknye
Insyaallah… Wabarakallah …
Nangis jangan sejadi-jadinye
Marah jangan sengamuk-ngamuknye
Otak jangan selupe-lupenye
Hati jangan sekosong-kosongnye
Darah jangan sekotor-kotornye
Puah! Alhamdulillah…
1999
TENTANG ZEFFRY J. ALKATIRI
Zeffry J. Alkatiri lahir 30 Agustus 1960 di Jkarta. Berasal dari keluarga campuran Arab, Pakistan, dan Betawi. S1 jurusan Rusia FSUI (1987) dan S2 Kajian Wilayah Amerika UI. Profesi: Dosen di jurusan Rusia FSUI. Kumpulan puisinya: Pintu, Etalase, Batavia Centrum (1998). Adapun naskah Dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999 (2001) meraih penghargaan pertama dalam Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik tahun 1998-2000 yang diselenggarakan oleh PKJ-TIM.
Tulis komentar baru