Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 02)

Foto SIHALOHOLISTICK

DUA

 

TEGURAN Pak Imron membuyarkan lamunan Aris. Pak Imron merasa geli melihat Aris melamun sambil senyam-senyum. Pak Imron mengerti kalau Aris lagi kasmaran.

Kedapatan bekerja sambil melamun, Aris hanya menunduk, takut dimarahi. Meskipun selama ini Pak Imron tak pernah memarahinya, ia tetap saja takut. Selama ini ia tak pernah bekerja mengecewakan, tapi kali ini ia telah ceroboh dan berbuat kekeliruan dan bukan tak mungkin membuat Pak Imron marah. Tapi melihat hal itu Pak Imron malah tertawa terkekeh-kekeh.

“Kenapa, Ris? Kok kamu ketakutan begitu?” tanya Pak Imron itu menghentikan tawanya.

“Maaf, Pak. Aris tadi ngelamun sambil kerja.” balas Aris mengakui kesalahannya.

“Aris...Aris.... Apa bapak pernah marah sama kamu? Tak pernah, kan?”

“Ya, kan situasinya beda, Pak. Selama ini Aris gak pernah salah, kali ini Aris teledor, jadi pantas kalau Bapak marah. Lagian Bapak mesti tegas pada Aris. Kalau tidak bagaimana kerjaan Aries nanti, Pak.”

“Sudah... sudah. Bapak tak tau marah. Bapak ketawa lihat kamu ngelamun sambil senyum. Sepertinya kamu lagi jatuh cinta.”

“Ah, Bapak bisa saja.”

“Tapi, benar kan, kamu lagi jatuh cinta?”

“Gak kok, Pak. Aku cuma ingat kejadian pagi tadi di sekolah. Itu, cewek yang hampir menggilas aku di tengah jalan, gak taunya pindah ke sekolah tempat Aris sekolah. Dia udah  aku  kata-katain  tadi,  ternyata   nyalinya kecil, dikirai bisa ngandalin kekayaan orang tuanya. Dia belum tau, sih, siapa Aris Wicaksana.”

“Jangan terlalu berlebihan, Ris. Kasihan kan, apalagi dia cewek.”

“Biar saja, Pak. Biar dia tau sikapnya itu udah keterlaluan. Kalau dia cewek, trus dibiarkan aja. Buat orang  lain boleh saja, tapi tidak dengan Aris, Pak. Aku gak mau dilecehi gitu aja.”

“Gak boleh gitu, Ris. Siapa tau kamu malah suka padanya.  Kamu harus ingat, gak selamanya cinta itu datang karena kecocokan, kadang kala karena benci pun akan tumbuh cinta. Anggap aja angin lalu, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Gampang, kan?”

“Kalau gitu doang, sih, gampang, Pak. Sekali-sekali diajari tata krama juga gak salah. Lagian siapa juga yang suka cewek kek begitu, Pak.” kata Aris merampungkan pekerjaannya. Gula yang sudah dibungkus diangkat dan ditata di tempatnya yang biasa.

“Ris, Bapak pergi dulu. Kamu terusin bungkus tepung terigu. Ingat jangan ngelamun lagi..”

“Iya, Pak!”

“Bapak pergi dulu!” kata Pak Imron keluar dari toko dan menyalakan mesin motor Supra Fit-nya.

Aris segera menyiapkan alat-alat yang diperlukannya untuk membungkus tepung terigu. Dalam menimbang, ia tak ingin mengurang-ngurangi timbangan. Apalagi Pak Imron selalu berpesan lebih baik melebihkan dari pada mengurangi.

Sebuah mobil berhenti di depan toko. Dengan agak berjingkrak, Aris melongo memandang keluar. Daihatsu Xenia Silver, mobil yang hampir merenggut nyawanya kemarin. Aris melihat Yuyun keluar dari dalam mobil sambil meletakkan ponsel ke telinganya. Ada kesan pamer yang disaksikan Aris dari sikap gadis itu. Ia tak menggubrisnya, ia memilih melanjutkan pekerjaannya ketimbang meladeninya. Tapi ia segera sadar kalau ia tak harus membenci gadis itu sedemikian. Tapi, ia juga tak menyukai kehadiran gadis itu.

“Permisi....” kata Yuyun dari luar.

Aris tak peduli.

“Aris...!” panggil sebuah suara yang lain.

Aris menoleh. Dilihatnya wajah Misbah. Ia tak menyangka kalau Misbah juga ikut.

Aries bangkit dari duduknya setelah di panggil untuk kedua kalinya. Ada sedikit perasaan yang masih berkecamuk dalam hatinya setiap menatap Misbah. Perasaan itu telah berulang kali direjamnya, namun ia tak sanggup. Sepertinya ia hanya bisa terpesona pada Misbah.

Namun rasa persahabatannya pada Rheiner, yang dibina sejak kecil, memaksanya mengalah dan membiarkan Misbah dimiliki oleh Rheiner.

Aris tak menyesal melakukannya, ia sudah cukup bahagia melihat hubungan Misbah dan Rheiner bertambah dekat. Walaupun demikian, ia tak kecewa karena Rheiner benar-benar mencintai Misbah.

Disadarinya, kemengalahannya telah mengunci rapat pintu hatinya pada wanita lain, padahal Rara dan Laura tak kalah dari Misbah. Namun kebersahajaan wajah Misbah dan kelembutan tatap mata Misbah telah membiusnya kaku.

“Kok, bengong, Ris?”

“A...a....” balas Aris tergagap. “Mau beli apa, nih, Mis?” tanya Aris.

“Nggak. Mau ganggu kamu aja, kok.”

“Oh, boleh. Asal jangan rewel, aja.”

“Busyet! Emang aku bayi, apa?”

“He...he.... Bercanda, kok. Masuk! Ajak temennya, tuh.”

Keduanya masuk ke dalam toko dan duduk di bangku plastik yang diberikan Aris. Misbah minta dua teh botol Sosro. Dengan segera Aris mengambil dan membuka penutupnya, sedotan dimasukkan dan disodorkan pada keduanya.

Misbah melihat senyum di bibir Aries ketika menyodorkan minuman pada Yuyun. Misbah merasa lega melihatnya dan ia yakin kalau Aris tak lagi membenci sepupunya.

“Ris, aku salut banget ama kamu. Kamu rela ngorbanin apa saja buat persahabatan walaupun kamu mesti nyingkirin perasaan kamu. Kedengarannya emang sepele, tapi buat aku bukan hal yang gampang. Kamu gak pernah ceritain ke aku, malah kamu menikmatinya sendiri, kamu obati luka  itu dengan kecewa.”

“Maksud kamu?” tanya Aris heran, kenapa Misabah bisa tau hal itu. “Luka hati, kecewa, menyingkirkan perasaan? Maksudnya apa, sih?”

“Aris, kamu sendiri yang nyayat perasaan kamu. Gak usah bercanda, deh, lagian kamu gak berbakat jadi pelawak. Aku udah tau semuanya, kok. Kamu ngorbanin perasaan kamu demi persahabatan kamu ama Rhei. Dulu kamu suka ke aku, tapi kamu malah mengalah. Kalau dipikir-pikir, kamu cukup gentlement juga, tapi buat aku kamu itu pecundang yang gak bisa perjuangan cinta. Dengar, Ris! Kalau kamu tetap ngejaga solidaritas cinta kamu, mudah-mudahan kamu bakal kecewa seumur hidup.”

“Siapa yang bilang, Mis? Aku ngerasa persahabatan kita lebih berarti dari perasaan aku.”

“Gak perlu berdalih macam-macam, Ris. Aku akui, Ris, aku juga punya perasaan itu ke kamu. Sejak aku ngenal sifat-sifat kamu aku selalu berharap kamu ngungkapin perasaan kamu ke aku, tapi semakin aku nunggu semakin aku kecewa. Akhirnya Rhei ngungkapin perasaannya ke aku dan dengan pertimbangan yang berat aku nerima cinta Rhei, karena aku pikir kamu gak suka ke aku. Hari ini aku tau, dibalik semua sifat baik kamu masih tersimpan ego. Setelah kamu pikat aku dengan sikap kamu lantas kamu biarin aku gelisah gak menentu.”

Aris terdiam mendengar pengakuan Misbah. Ia tak menyangka kalau Misbah juga memiliki perasaan itu.

“Maafin aku, Mis. Aku pikir kamu gak bakal nerima aku, soalnya aku nyadar siapa aku. Aku gak punya apa-apa buat mencintai kamu. Tapi untunglah Rhei yang mencintai kamu. Ia sobat aku sejak kecil, aku gak bisa ngorbanin apa-apa buat dia selain itu. Aku gak bisa senyum di atas kecewa orang lain sedang kecewa itu aku tau. Aku tau ini berat, bahkan hal ini udah ngunci rapat hati aku untuk wanita manapun. Jujur, aku masih mencintai kamu, tapi aku punya cara untuk mencintai kamu. Aku cuma berharap ama kamu, jangan pernah tinggalin Rhei hanya karena masalah ini, dia sangat mencintai kamu. Jangan pedulikan aku. Aku gak apa-apa.”

“Emang Rheiner udah ngorbanin apa buat kamu?” tanya Yuyun ikut-ikutan.

Aries menatap Yuyun mencoba memahami hati gadis itu. Tapi, ditatap seperti itu, Yuyun malah salah tingkah.

“Maaf, Ris, aku gak bermaksud ikut campur.”

Aris tersenyum.

“Sebelumnya aku minta maaf ama sikap aku di sekolah tadi.”

“Seharusnya aku yang minta maaf  dengan kejadian kemarin.” kata Yuyun. “Trus, gimana soal Rheiner, tadi?”

“Gak selamanya kita ngelakukan sesuatu atas dasar balas budi. Untuk saat ini, Rheiner memang belum ngorbanin apa-apa buat aku, tapi hidup bukan cuma sampai di sini, tapi aku gak berharap banyak, aku cuma berpegang ama amanat mendiang bokap aku dan berhenti berharap karena orang yang terlalu banyak berharap akan kecewa, itu kata orang bijak.”

“Tapi, sampai kapan, Ris?” tanya Misbah gak percaya. “Gak selamanya, kan?”

“Kenapa gak, Mis. Selama aku masih bisa.”

Misbah terdiam mendengar keputusan Aris yang begitu kokoh. Sedang di mata Yuyun, Aris tipe cowok setia, berpendirian teguh. Tanpa disadari Yuyun, ia mulai simpatik pada Aris.

“Ris, aku dengar dari Rheiner, kamu suka nulis puisi dan cerpen, ya?”

“Ya, begitulah. Buat ngisi waktu luang ketimbang bengong. Awalnya suka bicara ama nurani lantas diungkapin lewat kata-kata. Kadang-kadang ada kejadian yang mesti dikasih respon atau kritik, dari situ muncul tokoh dengan beragam watak.”

“Tapi, apa gak punya niat menjualnya, lumayan lho sumber in-come, memang relatif minim, tapi buat bayar iuran BP3.”

“Sejauh ini aku belum punya niat untuk itu. Di samping materinya yang kadang kering, awal pembuatannya juga bukan untuk urusan komersial. Menulis buat aku hanya sekedar curhat, trus lama-lama jadi hobi, selanjutnya jadi ketagihan. Aku gak pengen pisah ama karangan-karangan aku, sebab itu bagian dari hidup aku.” terang Aris sambil merampungkan pekerjaannya. Selanjutnya tepung-tepung yang sudah dibungkus diangkat ke tempatnya yang biasa.

“Kalau urusan kek begitu, mudah ngatasinya, Ris. Kamu coba lagi tulis yang udah selesai itu dengan tujuan yang baru, ya harus bisa memikat hati para redaktur. Dengan begitu tulisan kamu bakal lebih segar. Kamu bakal merasa puas kalo udah ngerampunginnya. Untuk masalah yang terakhir itu mudah ngatasinya. Kamu copy aslinya untuk arsip buat kamu.”

“Boleh juga ide kamu. Tapi aku belum yakin materi cerpen aku itu baik, soalnya semua cuma penalaran.”

“Kalau itu gak masalah, yang pastinya kamu yakin. Kalau kamu nganggap baik, ya udah. Lagian gak ada istilah minder. Redaktur-redaktur itu gak bakalan ngenal kamu, jadi, kalau pun ketemu gak bakal ada beban apa-apa. Atau gini aja, kamu minta kritik dari teman-teman, kalau nggak aku bersedia jadi patnert.”

“Wah, kalau dua orang yang punya hoby sama jadi patnert, bakal seru dan heboh, nih ceritanya. Malah bisa jadi patnert hati, nih kelihatannya. Gosip hangat, nih di sekolahan besok. Raja sastra berhasil digaet pendatang baru.”

“Gak mungkinlah. Aris kan udah bilang, kalau kamu akan tetap jadi impian indah dari masa silamnya. Aku yakin, Aris punya komitmen soal itu dan kelihatannya dia punya pendirian yang teguh, konsisten ama pendiriannya.”

“Bisa diaturlah, lagian perasaan cinta itu bisa datang dari meningkatnya persentase pertemuan dan kebersamaan. Kitakan gak tau apa yang bakal terjadi esok. Bisa saja ini jalan terbaik bagi Aris untuk melepas semuanya.”

“Jangan dipikirin, deh, Ris. Kamu mesti konsisten ama omongan kamu. Kalau emang Misbah adalah hasrat kamu, wujudkan ia seperti hasrat itu.”

“Apaan, sih, kamu, Yun?” protes Misbah cemberut.

“Kalo cemberut, sepupu aku tambah cantik, ya, Ris? Coba liat aura kecantikannya tersembul.”

Aries menoleh, ia terkesiap melihat wajah Misbah yang merah merona. Baru kali ini ia melihatnya.

“Ris, kita cabut dulu, ya. Udah sore, nih.” kata Misbah sambil bangkit. “Berapa, nih?”

“Gak usah bayar, deh.”

“Enak aja kamu. Emang ini toko kamu apa? Ntar gara-gara ini kamu di PHK lagi.”

“Ah, udah, deh, simpan aja uang kamu.” kata Aris mendekati kedua temannya.

“Ya, udah, kalau gitu. Kita berdua cabut dulu.” kata Misbah sambil ngulurin tangannya pada Aris. Tanpa beban apa-apa, Aris menyambutnya.

“Selamat, ya, Ris. Moga aja hari ini awal bahagia buat kamu. Kamu udah dapat patnert yang gak sembarangan. Moga bisa ngobati luka kamu. Selamat menempuh hidup baru.”

“Eh, apaan, sih, kamu?” kata Aris menarik tangannya. “Emang aku udah nikah apa, pake ucapan kek begituan lagi.”

“Sekarang, sih belum, tapi bakal ngejurus ke situ. Anggap ini ucapan paling awal atau motivator. Siapa tau aku gak datang di hari ‘H’-nya , maklum sibuk show keliling Indonesia, mana shoting lagi, lounching album baru lagi, jumpa fans di Papua lagi.”

“Seleb dadakan, Ris.” sambut Yuyun. “Gak badai, gak hujan, stres jadi seleb, tuh.” Aris dan Yuyun tertawa. “Cabut ya, Ris.”

Aries mengangguk sambil mengulas senyum. Tak berapa lama Daihatsu Xenia Silver menghilang dari halaman toko dengan sisa-sisa lambaian Aris membalas lambaian tangan Yuyun.

Sesaat Aris teringat kata-kata Misbah tadi, tapi percuma, semua udah berlalu. Ia terlanjur mengalah, memilih jadi pecundang dan lebih gak mungkin ia mengusik hubungan Rheiner dengan Misbah, hubungan yang selama ini baik.

Tak lama kemudian Pak Imron muncul, dia masuk ke toko dengan ponsel yang menempel di telinganya dan berjalan agak tergesa-gesa. Setelah hubungan terputus, ia bergegas ke tempat duduknya.

“Gimana, Ris? Udah kelar?”

“Udah, Pak.” kata Aris sambil meraih koran yang dibawa Pak Imron.

“Gimana soal kemarin, apa ibu kamu kasih izin?” tanya Pak Imron sambil mengeluarkan rokoknya dan memasang sebatang.

“Maaf ya, Pak. Sepertinya aku gak tega ninggalin ibu. Ibu semakin tua, tenaganya semakin berkurang. Aku memutuskan untuk menemani ibu dan ini adalah pesan mendiang ayah. Menurut aku, Bapak nerima aku kerja di sini udah cukup membantu aku untuk terus sekolah. Sekali lagi aku minta maaf dan ibu juga minta maaf pada Bapak.”

“Ndak papa, Ris. Bapak mengerti posisi kamu sebagai anak sulung. Bapak ndak kecewa, kok.” balas Pak Imron. “Sekarang kita tutup saja.”

“Kok, cepat, Pak?”

“Bapak mau keluar kota, Ris. Ada family yang meninggal. Mungkin dua hari ini kamu gak masuk kerja.”

Mendengar itu, Aris segera menutup toko setelah barang-barang yang di luar dimasukkan ke dalam.

Malam harinya, Aris tak bisa melupakan bayangan Misbah yang seolah tak mau pergi dari benaknya. Sudah berkali-kali ia menguap pertanda kantuk telah amat sangat menyerangnya, namun semakin dicobanya memejamkan mata, bayangan gadis yang menilai pengorbanannya hanya sebagai pecundang , muncul lagi. Hingga ia pun tak mampu menahan perasaannya yang kembali bergejolak.

Lama kelamaan bayangan Misbah semakin nyata di pelupuk matanya. Seolah bayangan itu mencoba menggoyahkan pendiriannya dan memaksanya kembali berjuang mendapatkan cintanya.

Setelah hal itu berubah jadi tekad yang menggebu, bayangan Rheiner muncul dengan raut kesedihan. Seolah berharap untuk benar-benar merelakan gadis itu. Aris akhirnya sadar kalau hal itu tak akan pernah dilakukannya. Ia akan tau betul, bagaimana Rheiner akan tersisih ataupun menyisih.

* * *

DI SEKOLAH, Aris disambut Yuyun dengan hangat. Yuyun merasa ada yang pantas disambut dari Aris pagi itu. Ia merasa menemukan satu sisi hatinya yang terkeping dan kehadiran Arislah yang telah membuat jiwanya kembali bernyawa.

Aris hanya bisa tersenyum melihat Yuyun yang begitu bahagia. Aris menilai, kapan pun ia mengungkapkan perasaannya pada Yuyun pastilah tak akan ditolak. Tapi sayang, ia belum simpatik pada Yuyun dan pesona Misbah masih belum ada duanya di matanya. Namun ia merasa Misbah sudah terlalu jauh untuk digapai walau hanya dalam angan.

Setiap bayangan Misabah menelusup ke balik angannya, selalu bayangan Rheiner pun hadir. Anehnya, ini terjadi setelah Misbah menganggapnya sebagai pecundang. Bayangan Misbah yang diikuti bayangan Rheiner kini jadi siksaan berat baginya.

Pagi itu ia hanya tersenyum kecut dengan sejuta sesal ketika melihat Misbah berada di samping Rheiner. Ingin rasanya ia berteriak sekuat hatinya, tapi suaranya tercekat sebatas tenggorokan mau tak mau ia harus menelan kepedihan itu.

Sementara Rheiner hanya bisa heran dan gak yakin melihat keakraban Aris dan Yuyun. Senyum Aries tak sesinis dan sebuas kemarin.

“Mis, sandiwara apa, nih, yang diperankan Aries, kemarin buasnya gak ketulung kek mo nerkam Yuyun aja. Apa yang kemarin juga sandiwara dan ini akhirnya yang happy ending gitu.”

“Yang kemarin bukan sandiwara dan ini juga bukan sandiwara, meskipun kemarin adalah hari terburuk bagi keduanya. Kita do’ain aja semoga keduanya saling tertarik.”

“Wah, seru juga, nih, kayaknya. Raja sastra SMA kita akhirnya ngebuka hatinya ama pendatang baru.”

“Betul, Rhei. Yuyun semalam udah ngomong ke aku kalau dia simpatik ama Aris. Kehadiran Aris kayaknya udah ngubah pandangannya ama cowok.”

Keduanya akhirnya mendekati Aris dan Yuyun yang lagi asyik ngobrol. Mereka kelihatan akrab seolah kejadian kemarin bukan mereka pamerannya.

“Ris, kapan nih punya waktu, biar kita ngumpul di rumah kamu, kayaknya udah pada kompak, nih?”

“Kebetulan, hari ini aku gak masuk kerja. Pak Imron keluar kota melayat familynya yang meninggal.” sambut Aris semangat. “Tapi jangan ke rumah aku, deh. Ke rumah kamu aja  Rhei. Maklum rumah aku berantakan.”

“Ke rumah kamu aja, Ris, biar aku bisa baca karangan kamu. Soalnya jiwa pengarang itu bisa dipahami lewat hasil tulisannya. Kalau udah gitu kita mudah nyambungnya.”

“Betul, Ris. Lagian bisa diaturlah. Kita kan bisa ke belakang rumah kamu, gelar tikar. Tapi, jangan lupa kelapa muda. Rhei bawa gitar dan urusan snack aku yang atur.” kata Misbah.

“Ya, udah. Terserah, deh. Asal jangan nyesal aja.” kata Aris bangkit. “Pinjam Misbah, ya.”

“Emang apaan, pake pinjam segala.”

“He...he.... Buat atur strategi untuk renungan MOS ntar malam. Pada ikut, kan, sekalian balas dendam. Masih ingat gak Rhei, waktu Misbah dikerjai si Bagus. Ntar malam aku yang jadi dia.”

“Wah, boleh juga, tuh. Tapi yang sportiflah.” sambut Rhei tertarik.

“So pastilah. Balas dendam sesuai prosedur dan batasan-batasan yang ada.” terang Aris. “Cabut dulu, ya.”

Aris dan Misbah berjalan menuju ke kantor guru. Sebenarnya mereka pasangan serasi, hanya saja Aries yang kelewat solid, terlalu rela berkorban dan akhirnya gigit jari.

“Ris, nurut kamu Yuyun itu gimana, sih?” tanya Misbah.

“Biasa.”

“Cuma segitu?”

“Ya, abis, maunya yang kek gimana, coba? Kanal aja baru kemarin.”

“Tapi dia, kok udah sejauh itu nilai kamu. Feeling aku bilang, dia simpatik ama kamu.’

“Simpatik, sih, boleh aja, cuma aku hanya nganggap dia sebagai teman.”

“Trus, gimana kalau dia suka ke kamu?”

“Itu urusan individu. Cuma aku masih belum simpatik ama dia. Aku gak tau, Mis, apa yang mesti aku lakukan untuk ganti pesona kamu di mata aku, aku gak tau gimana aku ngebunuh perasaan kau ini,  ... jauh di lubuk hatiku masih tersimpan namamu, jauh di dasar jiwaku engkau masih kekasihku... gitulah perasaan aku ke kamu, Mis. Orang Batak bilang  ...songonima holong ni rohangki tu ho ito da hasian....”

“Apaan... apaan tadi, Ris? Song...go nim...ma... susah banget ngomongnya, Ris.”

Songonima holong ni rohangki tu ho ito da hasian.”

“Tau dari mana bahasa Batak, Ris?”

“Istri Pak Imron itu orang Batak, trus istri om aku yang di Medan. Kalau kudengar orang itu bahasa Batak, bah, kutanyailah apa artinya, tertarik pulak aku tau.” jawab Aris menirukan logat Om Ruhut Poltak Sitompul, si Raja Minyak dari Medan.

“Ha...ha..., kayak Om Ruhut pulak kudengar kau. Ajarilah aku, aneh pulak kudengar.” kata Misbah ikut-ikutan meniru logat Om Ruhut.

“Boleh, aja. Aku paling senang dengarnya, kalau ada orang yang belajar ama aku.”

“Aris, gitu!” kata Misbah.

Sementara Yuyun dan Rhei masih asyik ngobrol di ruangan kelas. Di acara MOS begini, kegiatan belajar dan mengajar belum terlalu diperhatikan. Yang lain juga ikut orientasi ama kelas baru dan teman-teman baru, soalnya mereka masih diaduk menurut prestasi yang mereka capai selama kelas I.

Yuyun dan Rheiner juga lagi orientasi satu sama lain, mereka baru kenal kemarin, tapi Aris masih saja jadi bahasan penting bagi keduanya, terlebih bagi Yuyun yang mulai simpatik pada Aris. Segala hal yang berhubungan soal Aris, rasanya ingin diketahuinya.

“Yun, udah sejauh mana, sih, kerja sama kalian soal berpatnert? Aku pikir tadi lagi mimpi, kemarin galaknya minta ampun, eh, hari ini udah kek pengantin baru aja.”

“Apa-apaan, sih kamu? Yang pasti-pasti aja, deh, apa yang ada aja dulu dijalani, terserah gimana akhirnya. Kalo dia ngungkapin perasaannya belakangan hari, aku gak bakal mikir dua kali, deh.”

“Murahan banget, dong, kalau gitu jadi cewek.”

“Terserah! Abis mo gimana coba?”

“Bikin dia penasaran, kek, atau apa, kek.”

“Untuk apa coba, sekarang kan udah jelas kalo dia itu orang baik.”

“Gimana kalo Aris gak nyinggung masalah itu?”

“Ya ambil komitmen sendiri.”

“Maksudnya?”

“Kalau gak dia, aku aja.”

“Wah, itu nekat namanya, jangan ceroboh. Kalau aku yang ditembak cewek, trus terang aku nolak Yun. Buat aku pribadi, itu penghinaan namanya.”

“Trus gimana, dong? Mendam perasaan itu sakit banget, Cuma itu jalan satu-satunya. Memang, sih, cinta itu bagai kentut ditahan sakit dikeluarkan malu.”

Rheiner tertawa mendengar ungkapan Yuyun yang aneh itu.

“Eh, cinta itu suci lagi, masa disamain ama kentut.”

“Tolongin aku, dong, Rhei!”

“Tolongin apa? Jadi Mat Comblang?”

“Mau nggak?”

“Maafin aku, Yun. Ini udah nyalahi kode etik persahabatan kami. Ini soal yang terlalu individualis untuk saling mencampuri.”

“Rhei, tolongin aku, dong. Please! Aku butuh bantuan kamu.”

“Please, Yun! Aku juga butuh pengertian kamu. Sumpah mati, aku gak bisa bantu kamu.”

“Please, Rhei! Cuma kamu yang bisa bantu aku.”

“Yun, aku gak bisa. Benar-benar gak bisa.”

Yuyun terdiam dengan kecewa karena Rheiner gak bisa bantu dia untuk nyomblangin dirinya ke Aris.

* * *

JAM dua siang, Misbah, Yuyun dan Rheiner sampai di tempat Aris. Aris menyambut sahabat-sahabatnya dengan senang hati. Kelapa muda pesanan Misbah telah disediakan, buku karangan-karangan Aris diberikan pada Yuyun.

Selanjutnya Aris bareng ama Yuyun mencoba membahas semua karangan Aris. Sedang Rheiner dan Misbah menjauh dari Yuyun dan Aris, keduanya asyik bercanda dan nyanyi dengan petikan gitar Rheiner.

Mata Aris tak luput dari kedua sahabatnya, ia baru sadar kalau selama ini pengorbanannya yang dianggap mulia, kini jadi siksaan terpedih baginya.

Yuyun yang mengerti arti tatapan itu, hanya bisa menatap Aris dengan lekat-lekat, dia tak bisa berbuat apa-apa. Dia melihat di mata Aris terbentang samudera yang luas, samudera yang tak bisa diarungi Aris dan ia hanya melihat Aris terapung-apung di sana.

Yuyun mencoba mengajak Aris mengobrol dengan maksud mengalihkan perhatian Aris, namun yang dibahas Aris ngelantur entah ke mana-mana. Sampai mereka selesai, Yuyun hanya bisa baca karangan Aris, namun untuk mengobrol banyak dengan Aris seolah tak bisa. Aris malah terlelap dengan lukanya.

Di jalan pulang, Yuyun menceritakan apa yang dilihatnya pada diri Aris. Mendengar hal itu hati Misbah menjadi tak enak. Ia sadar kalau tindakannya tadi dengan Rheiner telah membuat hati seseorang terluka dan kehilangan asa.

Sesaat Misbah menoleh pada Rheiner, namun ia tak menemukan sesuatu yang mengenakkan di wajah Rheiner. Rheiner hanya sedih mengingat tindakannya yang terlalu egois itu.

Hampir gelap, Aris nyampe di sekolah dengan seragam abu-abunya yang udah hampir lusuh, begitu juga dengan sepatunya yang mulai usang. Seragamnya dilapis dengan jaket Army hitam.

Tak berapa lama Misbah pun sampai pula. Melihat kedatangan Misbah, Aris segera beranjak dan menghindar, dengan sesegera mungkin sambil menitipkan tasnya pada kakak kelasnya yang menjabat sebagai koordinator panitia MOS.

Begitu sampai di ruang guru, Misbah langsung menanyakan Aris.

“Kak, Aris udah datang belum?”

“Udah. Nih tasnya, tadi dia buru-buru ke belakang, kebelet mungkin.”

“Kalau gitu nitip juga, nih. Misbah mau nyusul Aris.”

“Wah, jadi jasa penitipan barang, nih.” canda wanita itu.

 “Tenang aja, ntar dikasih tipsnya.”

“He...he...bercanda, kok. Ya, udah tarok dekat tas Aris.” perintahnya. “Kalian ama Aris pacaran, ya? Serasi amat, yang cantik ama yang tampan.”

“Ih, dapat gosip murahan dari mana, tuh?”

“Gak gosip, cuma feeling aja. Kakak ngelihat ada yang gak bisa dipisahin dari kalian.”

“Murahan. Mana mau Aris ama cewek kek Misbah. Aries orangnya tampan, jago ngarang, jago belajarnya dan orangnya baik lagi. Sedang Misbah dibilang pas-pasan aja udah syukur banget. Kita cuman teman doang, kok.”

“Teman kok gitu-gitu amat, pastilah ‘TTM’!”

“Ih, Kakak ada-ada aja, deh, biasa lagi. Misbah cabut, Kak.” kata Misbah beranjak dari ruang guru, temannya bicara itu senyum sambil mengangguk.

Di luar, Misbah nanya sana sini kalo ada yang lihat Aris. Orang yang keluar dari WC pun ikut ditanyai, tapi setiap orang yang ditanya tak ada yang tau. Dijalaninya semua sudut sekolah, namun yang dicari malah menghilang di telan bumi lenyap tak meninggalkan bekas. Capek putar-putar nyari Aris, Misbah break di depan kelas mereka yang agak elit dari kelas lain. Pintu kelas didorong setelah memutar gagang pintu. Ketika pintu terbuka, ia menangkap sosok Aris di sudut ruangan.

“Setengah mati aku nyari kamu, Ris, ternyata kamu di sini lagi berkhalwat. Ngapain, sih, nyari ide, ya? Penulis selalu menyendiri kalau lagi butuh ide.”

Aris tak menjawab, ia malah beralih ke dalam laci dan mengambil sepotong rokok yang hampir padam, segera dipaksanya kembali nyala dengan menghisapnya dalam dan kuat.

“Oh, jadi ini kerja kamu di sini, ngerokok. Kamu pikir ini gak bahaya ama kamu. Aku heran, sejak semua pabrik rokok nulis peringatan dari bahaya rokok itu, bukannya orang-orang ninggalin malah rame-rame ngisap, rame-rame ngerasain kanker dan serangan jantung, trus mati bareng.” kata Misbah pada Aris.

Aris tersenyum, kemudian menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, meminta Misbah diam.

“Ris, sejak kapan kamu ngerokok?” Misbah tak peduli dengan permintaan Aris. Dipegangnya tangan Aris, mencoba menghalangi rokok itu kembali menempel ke bibir Aries. Namun Aris berusaha mempertahankan rokok itu.

“Ris...please, Ris. Kenapa kamu jadi begini? Sejak kapan kamu ngerokok?”

“Sejak aku ngerasa kalau aku gak bisa berbuat banyak buat diri aku, gak bisa buat aku bahagia. Lucu, kan? Aku juga udah kehilangan makna kehidupan aku sendiri.” kata Aris sambil menunduk, rokok yang ada di tangan kirinya dialihkan ke tangan kanannya, menghindari jangkauan Misbah. Perlahan-lahan dihisapnya rokok itu dan di tarik sedalam-dalamnya, tapi... “Uhuk...uhuk...uhuk....” Aris terbatuk-batuk.

“Cukup, Ris. Cukup! Aku ngaku tindakan aku tadi siang emang gak pantas, seolah-olah aku sengaja mencabik-cabik perasaan kamu, padahal aku tau, kamu suka ke aku. Meskinya aku ngargai perasaan kamu. Okey, Ris, aku bakal nyelesaiin semua ini ama Rheiner. Antara aku ama Rheiner gak akan ada hubungan apa-apa lagi.” kata Misbah bangkit dari duduknya.

“Jangan, Mis!” cegah Aris meraih tangan Misbah dengan cepat. “Kalau kamu putus dengan Rheiner, belum tentu semua bakal kembali kek dulu lagi. Malah yang ada masalah bakal tambah runyam. Kasihan Rheiner, Mis. Dia tulus mencintai kamu.”

“Tapi, Ris...?”

“Mis, aku gak pengen bertindak bodoh untuk kedua kalinya. Semua udah terjadi, jalani saja, terserah gimana akhirnya nanti.” kata Aris sambil menghisap rokoknya kembali.

“Trus, aku mesti gimana, Ris?”

“Tetap mencintai Rheiner, jangan kecewakan dia, setauku dia gak pernah ngecewain kamu. Menyingkirlah dari kehidupanku, biarin aku sendiri agar aku bisa ngebunuh perasaan aku. Anggap kamu gak pernah ngenal aku seumur hidup kamu. Gak perlu negor-negor aku. Anggap semua ini hanya sebatas sandiwara dan aku adalah pemain tunggalnya.”

“Gak, aku gak setuju. Aku gak pengen kamu hancur di situ. Ini sandiwara konyol. Ingat, Ris, kamu satu-satunya harapan keluarga kamu, satu-satunya harapan nyokap dan adik-adikmu.”

“Gak usah sok nasihati aku. Aku tau apa yang mesti aku lakukan dalam hidup aku. Gak perlu bawa-bawa keluarga aku segala. Kamu gak perlu ikut campur, ini urusan sutradara ama skenario dan semuanya ada di tangan aku.” kata Aris sambil mengangkat tangannya dan mendekatkan ke bibirnya.

Sebelum sampai ke bibir Aris, Misbah mencoba menghalanginya, tapi Aris mencoba mempertahankannya, dicobanya menepis jangkauan Misbah. Tepisan Aris membuat Misbah semakin berniat meraih rokok itu dari tangan Aris. Aris akhirnya kewalahan juga, dia hanya bisa mengelak dan mengelak, tapi tanpa disangka, secara tiba-tiba dan refleks bibir Aris menempel di pipi kanan Misbah. “Cup...!”

Sontak Misbah kaget dengan mulut ternganga. Dia sadar itu adalah kecupan, kecupan pertama dalam hidupnya, kecupan yang tanpa disengaja dan orang itu adalah Aris. Misbah hanya bisa menatap wajah Aris di antara bias-bias cahaya lampu yang masuk dari luar. Namun ia tak menemukan ekspresi apapun di wajah Aris.

Segera Aris membuang rokok yang ada di tangannya lewat jendela dan segera meninggalkan Misbah sendirian tanpa sepatah kata pun. Dia berjalan tanpa menoleh pada Misbah lagi.

Sementara Misbah masih terpaku di tempatnya, tanpa bisa berbuat apa-apa, di benaknya berkecamuk seribu tanda tanya yang memaksanya tetap tak bergeming.

Kenapa mesti demikian kecupan pertama dalam hidupku, hanya sebuah ketidaksengajaan, tak bisakah atas nama cinta? Tapi salahkah Aris atau bodohkah aku? Salahkah semua ini terjadi tanpa ada skenario yang indah dari seorang penulis yang terluka?

Akhirnya ia bangkit dari duduknya tanpa bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecamuk itu. Dia berjalan dengan pelan, pikirannya melayang pada kejadian tadi, di saat bibir Aris menempel di pipi kanannya.

Jam dua belas malam, semua siswa dikumpulkan di lapangan. Saat itu, Misbah belum bisa melupakan kejadian itu, kejadian yang seharusnya dijadikan hal yang berkesan, hal yang tak akan dilupakan seumur hidup first kiss. Tapi terjadi begitu saja tanpa kesan apa-apa, kecuali hanya kesan kesengajaan.

Pada saat siswa baru dikumpulkan di lapangan, Aris yang menjadi central ceremony            di acara renungan malam itu tidak kelihatan. Ketua panitia menyuruh Misbah mencari Aris. Misbah segera menuju ruang guru, namun yang dicari malah gak ada dan hanya melihat Yuyun yang ada di sana.

“Yun, lihat Aris, nggak?”

“Tadi Rhei ngajak ngobrol, tapi gak tau ke mana. Emang kenapa, Mis?”

“Ketua panitia nyari dia, ntar kalo udah balek bilang, ya!”

“Oke...!”

Misbah kembali ke lapangan dan memberi tau ketua panitia kalau Aris gak ada. Ketua panitia gak berkomentar. Barisan segera disiapkan oleh ketua gugus masing-masing, selanjutnya ketua panitia memberi arahan.

“Adik-adik kami sekalian, sekarang sudah lewat jam dua belas. Mungkin sebagian dari kita sudah ada yang mengantuk, terlebih kami para instruktur yang lebih ekstra dari kalian, tapi karena tugas ini sudah dibebankan kepala sekolah kepada kami, ya, terpaksa kami jalankan juga. Tadi seksi konsumsi sudah menghidangkan kopi campur sedikit garam agar tahan melek semalaman. Kalau ada yang tidak  meminum rasakan sendiri dan kalau ada yang kedapatan mengantuk akan kami hukum. Seksi konsumsi sudah berbaik hati memberikan obat melek yang paling  mujarab dan murah. Kalau tidak diminum itu sombong namanya, ini bukan rumah kalian, di sini tidak ada si mbok yang akan meladeni kalian.” kata ketua panitia mengawali arahannya. “Masing-masing ketua gugus silakan maju dan absen anggotanya.” kata ketua panitia dan panitia yang lain membagikan lembaran absen pada setiap ketua gugus.

Tak berapa lama, absen-absen itu kembali diserahkan pada instruktur yang mendampingi masing-masing gugus.

“Ketua gugus satu..., kamu kehilangan dua orang anggota. Silakan cari!”

“Siap, Kak!” balas ketua gugus satu dan meninggalkan tempatnya.

“Gugus dua, cari dua anggotamu yang hilang!” perintah instruktur yang lain.

“Siap, Kak!”

“Gugus tiga, anggotamu lengkap, tapi kebetulan Kak Aris tidak kelihatan, coba usahakan mencarinya sampai dapat!”

“Siap, Kak!”

“Gugus empat, tiga orang anggotamu dicari secepatnya!”

“Siap, Kak!”

“Gugus lima, delapan orang, ini paling banyak. Apa saja kerjamu ketua, cari itu!”

“Siap, Kak!”

Sementara Aris dan Rheiner berada di gardu satpam yang ada di dekat gerbang, mereka ngobrol di situ.

“Ris, aku dengar dari Misbah, tadi kamu ngerokok, ya? Kamu kenapa sebenarnya, Ris? Kenapa kamu jadi ngisap rokok? Kamu, kok jadi serapuh ini.”

“Entahlah, Rhei, aku aja gak ngerti apa sebenarnya yang terjadi ama aku. Nafsu makan aku menurun, susah tidur, pikiran kacau, trus badan aku capek banget.”

“Lagi suntuk? Kayaknya kamu lagi patah hati. Apa soal Misbah, Ris?” Aku jadi nyesal, kok aku jadi setega ini sama kamu.”

“Apa maksud kamu, Rhei?”

“Sepertinya aku milih putus ama...”

“Apa? Mutusin Misbah? Gak perlu, Rhei. Aku rela, aku cuma kecewa kenapa Misbah sampai tau kalau aku suka ke dia.”

“Ris, maafin aku! Aku keceplosan.”

“Udahlah, sekarang kalo kamu masih pengen bersahabat ama aku, kamu mesti mencintai dia setulus hatimu dan jangan sampai Misbah netesin air mata gara-gara kamu.”

“Aku ngerti, Ris.” balas Rheiner mengangguk. “O ya, Ris, soal Yuyun, kelihatannya dia simpatik banget ama kamu.”

“Kita udah buat perjanjian, kalau soal pacaran kita urusannya napsi-napsi, masing-masing.”

“Aku ngerti, aku bukannya mo nyomblangin kalian.”

“Masuk, yuk. Kelihatannya api unggun udah menyala, selanjutnya acara aku, nih.” kata Aris bangkit dari duduknya diikuti Rheiner.

Sampai di dalam, Aris segera masuk ke tengah lingkaran, di mana para instruktur berkumpul, sedang Rheiner hanya di luar mengawasi para peserta. Aris menerima miniphone dari ketua panitia.

“Tadi ada yang nyari saudara Aris Wicaksana, mana orangnya?” kata Aris mulai  bicara. Orang yang tadi mencari Aris maju ke tengah lingkaran dan mendekat pada Aris. “Gimana udah ketemu Kak Aris-nya?”

“Belum, Kak!”

“Kalau belum, kenapa gabung ama peserta lain, tugas kamu kan belum selesai. Gugus berapa?”

“Tiga, Kak!”

“Ke mari ketua gugus tiga?”

“Saya sendiri, Kak!”

“Kok, cewek ketua gugusnya. Mari semua cowok gugus tiga!”

Sebanyak lima belas orang laki-laki maju mendekati Aris.

“Kenapa gak bantu ketua gugusnya nyari Aris Wicaksana?” tanyanya. Semua menunduk. “Oke... Kakak ngasih dua pilihan: pertama, lanjut nyari Kak Aris sampai dapat; kedua, menerima hukuman dari Kakak. Gimana?”

“Hukumannya apa, Kak?”

“Ya, terserah. Itu bukan urusan kalian, itu urusan panitia. Kalian gak mikir, apa, gimana kalau Kak Aris lagi tersesat di hutan sana, gimana kalau ia sedang dipatuk ular berbisa dan mematikan dan dia sekarang  lagi butuh seseorang untuk menemaninya yang sedang di grogoti maut. Ya, semisal membantunya mengiring dua kalimat syahadat.” kata Aris bersandiwara. “Kakak ingin kalian mempertanggungjawabkannya di kantor kepolisian besok pagi, kalau ternyata dia sudah meninggal dunia.”

“Maaf, Kak. Kami gak kenal Kak Aris.” bela salah seorang dari mereka.

“Kenapa jadi tidak kenal? Dia pernah membimbing gugus tiga. Salah sendiri kenapa gak nanya nama instruktur yang membimbing.” kata Aris meninggikan volume suaranya. “Gimana?”

“Baiklah, Kak! Kami akan coba cari dan jika tidak ketemu, apa boleh buat.”

“”Tak usah pesimis. Sekarang siapkan perlengkapan kalian dan silakan cari ke hutan itu dan cari di tempat yang berbeda. Bentuk tiga rombongan.”

“Baik, Kak!” kata mereka dengan segera meninggalkan lapangan.

“Nama kamu?” tanya Aris pada ketua gugus tiga.

“Sheila, Kak!”

“Sheila on Seven?” tanya Aris meninggikan suaranya.

“Sheila Holong Marito Hutabarat, Kak!”

“Halak Batak hapengan kamu, Ito. Mardomu tu dia do Hutabarat, Ito?”1)

“Dang kubotoi, Ito!” 2)

“Bah, bohadoi, halak Batak, alai dang iboto martarombo.”3)

“Ai Bapak do na halak Batak. Hami holan keturunan do hami, Ito.” 4)

“Nungga hubotoi. Alai nungga daba tardok Hutabarat di pudi ni goarmi, dang na keturunan be daba goarni-i.” 5)

“Dak kubotoi, Ito.” 6)

“Ya..., Kakak maklum dan sekarang tau apa kesalahannya, kan?”

“”Ya, Kak. Gak bisa nemuin instruktur yang bernama Kak Aris Wicaksana.”

“Itu kesalahan yang pertama. Yang kedua?”

“Gak nanya nama instruktur setiap masuk ke ruangan.”

“Betul. Itu kesalahan fatal.” kata Aris. “Sama Kakak, sudah kenal?”

“Belum, Kak!”

“Kalau gini, gimana mau MOS. Masih mendingan di sini. Kalau di sekolah lain MOS ini malah jadi ajang membuat orang sinting pake pernak-pernik yang aneh-aneh. Kalau di sini nggak, di sini siswa baru benar-benar dikenalkan ama sekolah. Tapi, kalau udah kek gini gimana jadinya, ah...!” kata Aris dengan sedikit kesal. “Sebenarnya Kak Aris ada di antara kita. Coba kamu cari tau , seperti apa sebenarnya dia! Apa yang menarik darinya?”

Gadis itu segera berlalu menuju kerumunan instruktur. Aris merasa menemukan kembali makna hidupnya setelah menatap gadis berdarah Batak itu. Ia merasa telah menemukan cintanya yang tersisih. Itulah sebabnya ia ingin berlama-lama dengan gadis itu. Gadis itu pun kembali mendekati Aris.

“Sudah tau siapa dia?”

“Sudah, Kak. Kak Aris itu dikenal sebagai penulis berbakat di sekolah kita ini. Tapi, saat ini ia sedang terluka....”

Aris kaget mendengar hal itu, diarahkannya pandangannya ke arah kerumunan instruktur itu, dia melihat Misbah sedang menoleh padanya.

“Maksudnya?”

“Lukanya cukup unik. Ia telah mengorbankan perasaannya, padahal ia sangat mencintai gadis pujaannya. Gadis itu mungkin telah menjadi gadis imajinernya. Orangnya baik, pintar dan tampan. Sebenarnya dia hanya merasa minder, itu menurut aku. Tapi, cukup gentlement juga laki-laki seperti dia.”

“Jadi, kamu penasaran, ya?”

“Mungkin gitulah, Kak!”

“Sebentar...! Ketua gugus satu, ke sini!” teriak Aris. Yang dipanggil segera mendekat.

“Rekan kamu ini mau minta tolong sama kamu untuk nyari instruktur yang bernama Aris Wicaksana. Kenalkan?”

“Kenal, Kak!”

“Cari segera!” bentak Aris dengan suara sekuat mungkin.

Ketua gugus satu itu malah jadi gugup, ia tak tau apa yang mesti diperbuatnya, karena disuruh oleh orang yang akan di carinya.

“Ayo cepat!” lagi Aris membentak.

Akhirnya ketua gugus satu itu lari tanpa tujuan. Beberapa saat ia kembali.

“Mana dia...??!!!!”

Ketua gugus satu itu malah tambah gugup.

“Ng...ng...ng....”

“Apa...???!!!”

“Ng...nggak ketemu, Kak.”

“Push-up!” perintah Aris. “Ketua gugus lima, kemari...!”

“Siap, Kak!” katanya berlari mendekati Aris. “Ada yang bisa dibantu, Kak?”

“Rekan kamu ini meminta kamu untuk nyariin instruktur yang bernama Aris Wicaksana. Kamu kenal dia?”

“Cukup kenal! Bahkan sangat.”

“Oke! Cari...!!!”

“Aris Wicaksana si penulis terluka, yang tersingkir atau menyingkir itu adalah Kakak sendiri.”

“Apa maksud kamu?”

“Hm...mm.... Gak usah berdalih, Kak, agar aku gak perlu memanggil gadis imajiner Kakak itu. Cukup hanya beberapa orang saja yang tahu hal ini. Kita sama-sama cowok, Kak, aku bisa ngerasain hal itu. Jadi orang yang serba kekurangan memang minder itu jadi batu sandungan. Mungkin kita senasib, Kak.”

Aris menjadi terharu mendengarnya. Sedang Sheila hanya menatap keduanya dengan perasaan terenyuh.

“Kakaklah Aris Wicaksana.” kata Aris. “Berterima kasihlah pada rekanmu ini.” perintah Aries pada Sheila.

 Aris menjabat tangan ketua gugus lima.

“Sabar, ya, Bro. Itu hal biasa, buat cowok emang udah adatnya gitu. Tapi, kamu lebih enteng soalnya gadis imajiner kamu gak tau. Kalau Kakak, ia sudah sempat tau dan menyalahkan tindakan Kakak, menganggap Kakak sebagai pecundang. Tapi dia gak tau gimana sebenarnya Kakak ngadapi masalah ini.”

“Kakak seorang penulis, jadikan kejadian ini sebagai cimeti untuk bersemangat.”

“Pastilah, Bro!”

“Permisi, Kak!”

“Silakan!”

Tak berapa lama peserta yang mencari Aris, kembali dan melapor.

“Kak Arisnya gak ketemu, Kak. Kami siap dihukum dan bertanggung jawab.”

“Bagus! Baru namanya laki-laki. Sekarang ambil gitar itu dan nyanyikan lagu Setengah Hati –nya Ada Band. Ini permintaan dari Aris Wicaksana.” perintah Aris sambil menyodorkan miniphone.

Para instruktur meninggalkan lapangan dan menuju ruang guru, hanya beberapa orang saja yang berada di situ.

Di kantor guru, mereka menikmati hidangan yang sengaja di pesan. Suara alunan musik itu mulai terdengar.

Setelah lagu itu selesai, Aris kembali ke lapangan dan kembali meminta miniphone.

“Demikianlah penampilan yang mengecewakan dari lima belas personil gugus tiga dengan musik yang amburadul dan kejar-kejaran, meski menurut mereka itulah penampilan mereka yang terbaik seumur hidup. Semoga Aris Wicaksana tenang di alamnya.” kata Aris sendiri.

“Sudah kenal ama Kakak?”

“Belum, Kak!”

“Heh...! Kenalin, Kakaklah Aris Wicaksana yang kalian cari. Sudah, kembalilah ke alamnya masing-masing.” kata Aris senyum. “Oke..., adik-adik sekalian, jam udah nunjukin angka setengah dua dini hari. Ada yang lapar?”

“Ada, Kak!” teriak semua peserta.

“Ada yang ngantuk?”

“Ada, Kak!!!”

“Rasain!!!”

“Hu...uuu...!”

“Ha...ha..., emang enak dikerjai. Oh ya, kebetulan seksi konsumsi tahun ini berasal dari keluarga yang tergolong mapan, maka mereka nyediain snack. Beda dengan waktu Kakak di orientasi. Kalau kami hanya makan makian dan bentakan.”

“Kacian, deh, Kakak.”

“Emang! Makanya bersyukurlah jadi siswa di sekolah ini tahun ini. Sebentar lagi kalian bakal dihidang. Mau kan?”

“Mau banget, dong, Kak!”

“Kalau soal makan-minum, baru gembira, nih, kelihatannya.”

“Udah lapar, Kak.”

“Kakak tau!”

“Kok bisa, Kak?”

“Kemaren Kakak lapar berat, kakak makan.” balas Aries bercanda. “Seksi konsumsi sebentar lagi akan menghidang, tapi sebelum itu...?”

“Apaan, tuh...???!!!”

“Mantap!” balas Aris. Baiklah, untuk menghemat waktu acara ini akan diisi dengan baca puisi yang ditulis oleh Aris Wicaksana. Ada lima buah puisi dan setiap gugus akan di tunjuk satu sebagai yang mewakili. Kelima puisi ini ada di antologi sajak   Aris Ws: Rapshody Magma Cinta. Pertama Sajak Ini Serupa Secangkir  Kopi  oleh  ketua  gugus  satu. Kedua  Menanti  Jawabmu  Part.1 oleh ketua gugus dua. Ketiga Menanti  Jawabmu  Part.2 oleh ketua gugus tiga. Keempat Setengah Mengerti oleh ketua gugus empat. Kelima Cinta Satu Kata oleh ketua gugus lima.” kata Aris menyudahi.

Snack segera dibagikan oleh anggota seksi konsumsi dan dilanjutkan dengan baca puisi setelah hidangan di santap.

Aris akhirnya menyerahkan miniphone pada ketua panitia dan memulai acara renungan malam. Ia segera keluar dari lingkaran dan segera menuju ke arah belakang. Misbah yang dari tadi terus memperhatikan Aris, segera mengikuti secara diam-diam. Sampai di depan kelas mereka, Misbah melihat Aris memasuki kelas mereka dan kembali merapatkan pintu. Selang beberapa saat, Misbah melihat kilatan api dari dalam kelas.

Setelah merasa yakin kalau Aris sedang merokok, ia meninggalkan tempat itu dan memberi tau Rheiner dan Yuyun dan mereka segera menyusul. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, mereka berhasil membuka pintu, namun cahaya lampu yang masuk membuat Aris yang duduk di lantai di antara barisan meja dan kursi jadi kaget dan meletakkan rokok yang ada di antara jari-jarinya. Cahaya senter segera menyeruak cahaya remang, mereka segera menuju tempat Aris.

“Ngapain kamu di sini, Ris? Ngerokok lagi, ya? Sejak kapan, sih?” tanya Rheiner.

“Rupanya kamu, Rhei, aku pikir siapa.” balas Aris tanpa berduli pertanyaan Rheiner.

“Kamu, kok, jadi gini, Ris? Apa sebenarnya yang terjadi. Kamu cerita, dong, kita ini udah sobatan sejak lama. Masalah kamu masalah aku juga.”

“Kalian emang sobat aku, sobat aku paling baik, jadi tolong kasih aku kebahagiaan sedikit aja. Sekarang tolong tinggalin aku, aku pengennya sendiri.”

“Sebenarnya semua ini berawal dari aku, aku yang salah. Aku gak bisa ngejaga rahasia. Kenapa Misbah sampai tau kalau kamu pernah suka ke dia.” kata Rheiner, membelakangi Aris, Misbah dan Yuyun. “Mis, aku pikir jalan yang terbaik bagi kita semua hanya satu dan inilah jalan satu-satunya. Kita jalan sendiri-sendiri, kita putus, Mis.”

“Apa kamu bilang? Apa? Mutusin Misbah tanpa sebab yang jelas, ha?” kata Aris sambil berdiri dan mendekati Rheiner. “Apa sebenarnya mau kamu? Mau ngina aku, ha?” desak Aris sambil membalikkan tubuh Rheiner. “Bubbb...!!!” spontan Aris melayangkan kepal tinjunya ke pipi Rheiner. Rheiner yang tak menduga pukulan itu, terjungkal dan terdorong hingga terdesak ke meja yang ada di belakangnya. “Kamu pikir, selama ini aku bisa bernafas tenang ngeliat kamu jalan bareng Misbah. Hati aku terbakar, hingga virus insonmia menggerogoti aku. Tapi demi kamu aku rela dan aku nyadar aku orang yang gak punya. Sekarang kamu pengen putusin Misbah? Kamu mau ngina aku?” kata Aris sambil melayangkan kepal tinjunya, namun secepat mungkin Misbah menghalangi Aris.

“Biarin, Mis. Ini salah aku. Aku pantas di pukul.”

“Rhei, kamu ingat satu hal, sekali aku dengar kamu nyakitin Misbah, kamu bakal tau siapa aku sebenarnya. Aku gak segan-segan mampusin kamu. Dan kamu, Mis, jangan pernah ngecewain Rheiner.” kata Aris sambil ngeluarin rokok Class Mild dari saku jaketnya. Dinyalakannya sebatang. “Sekarang kalian boleh pergi. Aku pengen sendiri, aku lagi butuh ketenangan.” kata Aris sambil mendekati Rheiner dan menghembuskan asap rokok. Dipegangnya pundak Rheiner. “Rhei, maafin aku.” kata Aris sambil kembali duduk di tempatnya semula.

“Rhei, Mis, pergilah! Aku mau ngomong sebentar ama Aris.” kata Yuyun.

Misbah dan Rheiner pun pergi meninggalkan tempat itu. Yuyun mengikuti mereka sampai pintu dan mengunci pintu dari dalam setelah keduanya keluar. Ia duduk di dekat Aris sambil memanjangkan kakinya di lantai.

“Ris...!” kata Yuyun pada Aris yang terus asyik dengan hisapan-hisapan rokoknya, ia tak peduli dengan keberadaan Yuyun.

“Ris...!” kata Yuyun lagi setelah tak mendengar sahutan dari Aris.

“Ada apa?”

“Kamu serius ama omongan kamu tadi?”

“Yang namanya Aris gak pernah main-main ama ucapannya sendiri. Itu pun kalau mereka gak percaya, silakan. Tapi siap juga mampus.”

“Jadi kamu serius pengen bunuh mereka kalau mereka coba ngancurin hubungan mereka. Kamu kan bakal dihukum.”

“Aku udah tau dan itu memang udah resiko. Kenapa susah-susah? Abis bunuh mereka serahin diri ke depan hukum.”

“Kamu udah gila kali, ya?”

“Mungkin juga!”

“Trus, cita-cita kamu gimana?”

“Kamu ini gimana, toh, buat apa cita-cita kalau udah jadi napi?”

Yuyun terdiam mendengar jawaban Aris.

“Ris...!”

“Ya...!”

“Aku mau ngomong sesuatu ama kamu. Tapi aku gak tau mesti mulai dari mana.”

“Penting?”

“Penting juga. Tujuh puluh persen.”

“Berarti penting, dong, tapi gak pake banget. Artinya penting tapi gak mendesak.”

“Tapi, kamu jangan marah, ya?”

“Emang mo ngina?”

“Gak. Aku cuma takut kamu salah pengertian.”

“Yah, kebanyakan teka teki kamu.” Kata Aris sambil mengeluarkan bungkus rokoknya, kembali ia memasang sebatang rokok. “Ngomong aja. Kesempatan hanya datang satu kali atau kamu lupa muqaddimah-nya, biar aku ajari.”

“Emang tim safari Ramadhan, pake muqaddimah segala.

“Ya, udah, mulai sekarang!”

“Kamu gak marah, kan?”

“Asal gak ngina gak mungkin aku marah.”

“Ris...!” Yuyun menarik nafasnya panjang. “Aku suka ama kamu. Aku pengen jadi pacar kamu.”

“Apa, Yun?” Aris kaget mendengar ungkapan Yuyun. “Apa aku gak salah dengar, nih, cewek nembak cowok? Sebaiknya nggak, deh.”

“Kenapa, Ris? Kamu minder karena gak punya apa-apa, kamu minder karena kamu orang miskin?  Ris, cinta itu buta. Cinta itu gak minta harta, cinta hanya minta ketulusan dan aku tulus.”

“Bukan itu, Yun. Aku gak pengen terikat ama cinta kamu. Baiknya lupain aja aku. Kamu gak usah malu. Aku orangnya sportif, kok. Tapi kamu luapain aja aku.”

“Maksud kamu, Ris?”

“Maafin aku, Yun. Bukannya aku jual mahal atau merasa terhina atas tindakan kamu nembak aku. Aku ngedukung perjuangan R.A. Kartini, emansipasi wanita. Tapi, aku lagi gak minat pacaran. Aku gak pengen terikat dengan cinta. Aku pengen bebas tanpa mesti ngingat janji yang diucapin atas nama cinta. Aku pengena bebas dengan cewek manapun tanpa ada yang menaruh cemburu ke aku, tanpa ada yang merasa tersakiti, tanpa ada yang merasa didustai, tanpa ada yang merasa diingkari.”

“Aku bisa ngasih kamu kebebasan itu, Ris.”

“Kamu gak akan bisa, sebab aku juga gak bisa ngasih kebebasan apa-apa. Aku hanya lelaki yang pecemburu.”

“Berarti kamu gak adil. Egois namanya.”

“Makanya aku gak bisa nerima kamu. Aku ini laki-laki egois dan aku gak pengen ada yang terluka dengan keegoisan itu.”

“Tapi, apa gitu prinsip kamu nyari pendamping hidup?"

“Menikah? Itu bukan hal yang main-main. Cinta gak selamanya jadi dasar untuk duduk di pelaminan. Cinta juga gak bisa memberi jaminan untuk kebahagiaan, bukan juga untuk pengawet perkawinan. Banyak orang yang pacaran lama, saling mencintai, tapi setelah menikah rumah tangga mereka berantakan. Ada juga pasangan yang cuma kenalan di pelaminan, tapi rumah tangganya awet. Pacaran sebelum nikah itu sangat banyak efek negatifnya. Ada benarnya juga, karena manusia itu punya rasa bosan, hingga apabila rasa bosan itu benar-benar timbul, maka ujung-ujungnya selingkuh. Lantas kamu bayangin, kalau pasangan kita membalas dengan selingkuh pula, yang korbankan anak. Setidaknya ini bakal aku paparin dalam cerpen aku dengan judul Berawal Dari Kebencian. Aku bakal kasih tau gimana sebenarnya hakikat pernikahan dan perselingkuhan itu. Daripada saling selingkuh mendingan cerai baik-baik jangan anak jadi pelengkap penderita.”

“Jangan menyiksa diri dengan hal yang aneh-aneh?”

“Kenapa tidak, Yun. Gak ada salahnya dicoba dan hasilnya lihat nanti. Soalnya ini akan jadi karya perdana aku yang terbit di media cetak. Orang bijak bilang orang yang gak pernah mencoba gak akan pernah tau di mana letak kesalahannya.

“Oke, Ris. Aku bakal coba ngasih kamu segalanya. Cinta, kebebasan dan apapun yang kamu pengen, meskipun aku gak bisa merasakan apapun dari kamu. Mungkin aku bodoh dan naif, tapi cinta adalah kerelaan.”

“Terserah. Tapi kalau kamu gak bisa bertahan, lupain aku, masih banyak laki-laki lain yang mungkin bisa memberimu apapun yang kamu minta. Tapi, bisakah kamu ngebuktiin kerelaan kamu.”

Sejenak Yuyun berpikir, tapi tak berapa lama, ia segera mencium pipi Aris tanpa sedikit sungkan. Ia tak merasa risih akan perbuatannya yang betul-betul memalukan, murahan dan merendahkan harga dirinya. Dia gak yakin akan aturan Aris yang menempatkannya di posisi mencintai tanpa pernah di cintai. Perlakuan yang egois.

Siang harinya, di acara penutupan MOS, sedikit pun ia tak mempedulikan Yuyun. Ia asyik bersama gadis Batak itu. Dan hari-hari selanjutnya, Aris lebih banyak menunjukkan sifat-sifat negatif. Rheiner, Misbah dan Yuyun mencoba mengingatkannya, tapi ia tak peduli. Mereka memberi tau ibu Aris, tapi Aris berhasil meyakinkan ibunya dan ibunya percaya pada Aris.

* * *


“Halak Batak hapengan kamu, Ito. Mardomu tu dia do Hutabarat, Ito?”1) Orang Batak rupanya kamu, Ito (panggilan akrab antara lelaki dan perempuan dalam Batak). Bersatu kemanakah Hutabarat itu?

“Dang kubotoi, Ito!” 2) Tidak tau, Ito!

“Bah, bohadoi, halak Batak, alai dang iboto martarombo.”3) Bah bagaimana ini, Orang Batak, tapi tidak tau Martarombo (Menjelaskan silsilah marga dalam Batak).

“Ai Bapak do na halak Batak. Hami holan keturunan do hami, Ito.” 4) Bapaknya orang Batak. Kami hanya keturunan, Ito.

“Nungga hubotoi. Alai nungga daba tardok Hutabarat di pudi ni goarmi, dang na keturunan be daba goarni-i.” 5) Sudah tau saya. Tapi sudah tertera Hutabarat di belakang namamu, bukan keturunan lagi namanya.

“Dak kubotoi, Ito.” 6) Tidak taulah, Ito.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler