FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN DAN MAKNANYA BAGI PENDIDIKAN
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Jakarta
Abstrak: Tulisan ini dikonstruksi berdasarkan interpretasi terhadap filsafat ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan praksis pendidikan. Dari interpretasi tersebut ditelusuri makna filsafat ilmu pengetahuan terhadap pendidikan. Dalam tulisan ini, seluruh uraian terhadap berbagai aspek yang terkait dengan filsafat ilmu pengetahuan memiliki resonansi secara kuat dengan pendidikan. Tesis pokok tulisan ini berhubungan dengan peran penting filsafat ilmu pengetahuan dalam memajukan pendidikan, termasuk pendidikan di Indonesia.
Kata kunci: ontologi, epistemologi, aksiologi, revolusi pendidikan
Prolog
Arti dan makna ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia dari masa ke masa menjadi perhatian filsafat ilmu pengetahuan. Dalam pengertiannya yang sederhana, "filsafat ilmu pengetahuan" adalah studi secara filosofis terhadap elemen-elemen ilmu pengetahuan. Berbagai aspek dan dimensi yang terkait dengan ilmu pengetahuaan ditinjau berdasarkan perspektif filosofis. Baik aspek metafisika, metodologi, maupun etika sepenuhnya disimak berdasarkan perspektif filosofis. Dengan demikian, filsafat ilmu pengetahuan menjelaskan makna dan kedudukan ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia.
Manakala disimak dengan menggunakan perspektif filsafat ilmu pengetahuan, maka setiap disiplin ilmu mengandung tiga elemen pokok, yaitu [1] ontologi, [2] epistemologi dan [3] aksiologi. Ontologi adalah elemen penting ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat hidup umat manusia dan hakikat alam semesta, serta hakikat Tuhan. Epistemologi adalah dasar-dasar ilmu pengetahuan dan batas-batas ilmu pengetahuan. Aksiologi adalah dimensi yang berhubungan dengan manfaat atau kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia. Baik ontologi, epistemologi maupun aksiologi merupakan tiga elemen yang tak terpisahkan dengan ilmu pengetahuan. Ketiganya merupakan pilar penyanggah terbentuknya konstruksi ilmu pengetahuan. Tanpa ketiganya (ontologi, epistemologi, aksiologi), satu disiplin ilmu bisa merosot menjadi rapuh manfaatnya dan lalu tidak relevan dengan kehidupan umat manusia. Filsafat ilmu pengetahuan memberikan perhatian yang saksama terhadap ontolologi, epistemologi dan aksiologi.
Dalam pengertiannya yang umum, filsafat ilmu pengetahuan berarti "teori pengetahuan" (Newall, 204). Pengertian ini berhubungan dengan realitas alam semesta dan berbagai pengalaman manusia dalam realitas hidup yang kompleks dan sekaligus konkret. Bagaimana pengalaman-pengalaman nyata itu kemudian dikonstruksi untuk membentuk bangunan ilmu pengetahuan. Pada titik ini, filsafat ilmu pengetahuan berperan penting mentransformasi pengalaman menjadi ilmu. Melalui filsafat ilmu pengetahuan maka proses untuk menjadikan pengalaman sebagai basis pembentukan ilmu pengetahuan menjadi dimungkinkan. Dengan filsafat ilmu pengetahuan setiap orang dituntun agar mampu memperlakukan berbagai pengalaman untuk kemudian diutuhkan menjadi teori ilmu.
Hal fundamental yang kemudian penting diajukan sebagai pertanyaan kritis ialah: Apa makna filsafat ilmu bagi pendidikan? Apakah pendidikan dapat bergerak maju ke depan melalui adanya pemahaman terhadap filsafat ilmu pengetahuan?
Pohon Ilmu Pengetahuan
Tak pelak lagi, hingga di masa depan, pendidikan masih akan terus berhubungan dengan "pohon" ilmu pengetahuan. Berbagai proses dalam dunia pendidikan akan terus bersentuhan dengan "pohon" ilmu pengetahuan. Bahkan, salah satu keberhasilan lembaga-lembaga pendidikan dalam keseluruhan proses pembelajaran ditentukan oleh besarnya kapasitas penguasaan terhadap "pohon" ilmu pengetahuan. Pendidikan malah identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga, penguasaan secara baik terhadap ilmu pengetahuan merupakan kata kunci bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk maju dan berkembang serta diperhitungkan keberadaannya. Pada titik ini, ada kebutuhan terhadap filsafat ilmu pengetahuan. Sebab dengan filsafat ilmu pengetahuan maka berbagai disiplin ilmu diupayakan memiliki keutuhan atau keterpaduan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dengan filsafat ilmu pengetahuan, setiap disiplin ilmu tidak diajarkan sebagai sesuatu yang compang-camping, tetapi diajarkan secara utuh karena terus-menerus mengupayakan adanya titik temu secara sinergis antara ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Arti penting filsafat ilmu pengetahuan bagi pendidikan terkait pula dengan besarnya kebutuhan dewasa ini untuk mempersambungkan atau mempertemukan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Persis sebagaimana dijelaskan Capra (1984) dan Zukav (2001), pada akhirnya setiap ilmu pengetahuan harus saling bertemu satu sama lain. Keniscayaan untuk memecahkan masalah-masalah mendasar dalam kehidupan umat manusia kini dan di masa depan, justru mengharuskan berbagai cabang ilmu pengetahuan agar eksistensinya dipertautkan oleh adanya titik temu. Persoalan-persoalan ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya yang tengah dihadapi umat manusia kini berada dalam situasi yang sangat rumit dan kompleks. Penyelesaian terhadap persoalan-persoalan tersebut mengharuskan adanya kerja sama antar-berbagai disiplin ilmu, mengharuskan adanya solusi masalah secara interdisipliner. Di sinilah lalu sangat terasa pentingnya filsafat ilmu pengetahuan, agar supaya seluruh kehendak penyatuan ilmu dapat dilakukan secara saksama.
Dunia pendidikan, bagaimana pun, harus mengambil suatu peranan untuk turut serta memajukan masyarakat. Agenda-agenda sosio-kultural apa yang harus dilakukan masyarakat agar masyarakat maju dan berkembang, seyogyanya ditangkap oleh dunia pendidikan. Dunia pendidikan dituntut membantu memberikan penerangan kepada masyarakat bagaimana agar masyarakat mampu maju dan berkembang menghadapi tantangan zaman baru. Sementara, tantangan zaman baru itu ditandai oleh semakin menguatnya peran ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa knowledge based society dewasa ini berkembang menjadi fenomena yang menonjol dalam kehidupan masyarakat. Dan sejalan dengan fenomena tersebut maka ilmu pengetahuan tidak cukup lagi dimengerti secara parsial. Ilmu pengetahuan mutlak dimengerti secara utuh dari sisi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Di sinilah lalu mendesak adanya pemahaman secara saksama terhadap filsafat ilmu pengetahuan. Bahkan, sudah saatnya filsafat ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh dari dunia pendidikan.
Makna filsafat ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan pada akhirnya bersinggungan dengan krisis yang terus-menerus dihadapi masyarakat. Dunia pendidikan harus tampil ke depan membantu masyarakat mengatasi berbagai macam krisis. Untuk keperluan itu, dunia pendidikan harus inspiratif, atau niscaya mampu mencetuskan gagasan-gagasan baru yang memang bermanfaat bagi masyarakat dalam hal membebaskan diri dari belenggu krisis. Pada titik ini dunia pendidikan dituntut memiliki kecanggihan dalam hal penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, yaitu menguasaan ilmu pengetahuan hingga pada level ketuntasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dan melalui pemahaman berdasarkan perspektif filsafat ilmu pengetahuan itulah maka setiap disiplin ilmu lebih mudah diteropong aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya.
Dataran Ontologi
Ontologi senantiasa berhubungan dengan hakikat suatu hal. Ontologi sangat mungkin mempersoalkan hakikat suatu hal. Apakah suatu hal yang dianggap ada merupakan hakikat atau malah ilusi yang bukan hakikat, ontologi menjawab persoalan tersebut. Salah satu contoh yang bisa dikemukakan adalah "cahaya bulan". Pertanyaan yang kemudian timbul: Apakah cahaya bulan memang sebuah hakikat dalam maknanya sebagai cahaya? Bukankah cahaya bulan memang ada dan dirasakan bahwa cahaya bulan memang ada? Ontologi berperan penting menjawab pertanyaan ini. Terutama ketika para penyair dan pujangga tak habis-habisnya menulis dan berkata "oh cahaya bulan, oh bulan yang bercahaya", dan seterusnya. Pertanyaan ontologisnya, benarkah cahaya bulan memang ada? Benarkah cahaya bulan eksis? Atau bagaimana?
Tilikan secara ontologis membawa kita pada kesimpulan, bahwa cahaya bulan itu sesungguhnya tidak ada. Sebab, bulan memang tidak bercahaya. Bulan hanya memantulkan cahaya matahari. Bulan sendiri tidak pernah memiliki cahaya dan takkan pernah memiliki cahaya seperti halnya matahari. Dengan kata lain, cahaya bulan itu sesungguhnya tidak eksis. Jika seseorang mengatakan bahwa bulan tak bercahaya dan karena itu tak memiliki cahaya, maka sesungguhnya orang tersebut mengatakan sesuatu yang benar secara ontologis. Meskipun demikian, orang tersebut bisa jadi dipandang oleh orang lain pada umumnya telah mengatakan sesuatu yang tidak logis tentang bulan. Bagi mereka yang tidak biasa berpikir ontologis, pernyataan tentang "bulan tak memiliki cahaya" dianggap sebagai pernyataan yang aneh. Hingga di sini tak berlebihan manakala disimpulkan, bahwa tidak setiap orang mampu berpikir secara ontologis. Buktinya, banyak orang yang percaya bahwa bulan bercahaya dan memiliki cahaya.
Contoh lain yang bisa dikemukakan di sini berkenaan dengan metode berpikir ontologis adalah hakikat "gelap". Pertanyaannya: Benarkah gelap itu ada? Apakah gelap itu eksis? Ataukah gelap itu hanyalah sesuatu yang ilusif, bukan sebuah hakikat? Bagi mereka yang tak biasa berpikir ontologis, gelap itu dianggap ada, dianggap eksis. Padahal, tilikan secara ontologis membawa kita kepada kesimpulan bahwa gelap sesungguhnya tidak ada dan tidak pernah ada. Logika umum membenarkan gelap sebagai kenyataan yang eksis oleh adanya malam. Dengan adanya malam, maka gelap dimengerti sebagai sesuatu yang hakiki. Malam dimengerti sebagai pembuktian yang paling spektakuler dari adanya gelap. Malam merupakan penamaan atau identifikasi terhadap adanya gelap.
Tetapi tilikan secara ontologis bermuara pada kesimpulan, bahwa gelap sesungguhnya tidak ada. Dan dengan demikian pula, malam bukanlah kenyataan yang hakiki. Gelap terjadi oleh adanya penghindaran terhadap cahaya terang matahari. Bagian-bagian tertentu Planet Bumi yang berputar untuk kemudian menghindar secara langsung dari pancaran cahaya matahari serta-merta berubah menjadi bagian dari Planet Bumi yang gelap (baca: malam). Tetapi matahari sendiri tidak pernah redup bercahaya, matahari terus bercahaya. Apa yang dimengerti sebagai "malam" tidak disebabkan oleh redupnya cahaya matahari. Mereka yang berkeyakinan bahwa malam terjadi akibat redupnya cahaya matahari adalah mereka yang sesunguhnya tidak paham suatu hakikat, tidak mampu berpikir dan berkesadaran ontologis.
Dengan contoh tersebut menjadi jelas pada akhirnya, ontologi membawa kita untuk sampai pada satu titik pemahaman "tentang ada". Ontologi membawa kita pada hakikat segala hal. Dalam berbagai literatur filsafat, ontologi juga disebut sebagai bagian penting dari metafisika. Disamping berhubungan dengan hakikat segala hal, ontologi menyinggung saling hubungan antara berbagai hal yang ada, seperti hubungan antara matahari dan bulan sehingga bulan tampak dari bumi memiliki cahaya dan bercahaya. Bagaimana hubungan tersebut terjadi dan apa hakikat dari hubungan tersebut merupakan fokus pembicaraan dalam lingkup ontologi.
Selain alam makrokosmos yang menjadi perhatian ontologi, alam mikrokosmos juga masuk ke dalam cakupan ontologi. Kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya adalah elemen penting dari alam mikrokosmos. Dari sini lalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis, seperti "apa hakikat manusia, dari mana dan akan kemana manusia?" Juga pertanyaan, "apakah manusia dari jiwa yang satu, dan mengapa manusia berasal dari jiwa yang satu?" Dan banyak pertanyaan lain yang bersifat fundamental. Dari sini pula dalam ontologi muncul beberapa istilah yang mewarnai berlangsungnya pencarian terhadap segenap hakikat. Istilah-istilah tersebut, misalnya, bersifat dikotomis, seperti: universalitas-partikularitas, esensi-eksistensi, determinasi-kebebasan, substansial-aksidental, abstrak-konkret, dan sebagainya.
Hal fundamental yang bisa dimengerti dari ontologi ialah adanya kemampuan berpikir analitis. Berpikir secara ontologis sama dan sebangun maknanya dengan berpikir analitis. Berpikir secara ontologis meniscayakan adanya kemampuan berpikir kategoris, agar bisa menangkap segala hal ihwal secara hakiki, serta hubungan antar-berbagai fenomena yang juga bersifat hakiki. Berpikir ontologis meniscayakan setiap orang menukikkan kesadaran untuk sampai kepada segala sesuatu yang hakiki. Sehingga karena itu, segala hal yang ada dimengerti sebagai entitas. Benda-benda langit dan benda-benda bumi masing-masing dipahami sebagai entitas. Binatang, tumbuhan dan mahluk hidup lainnya masing-masing dimengerti sebagai entitas. Bahkan, kesadaran manusia tentang suatu hal pun dimengerti sebagai sebuah entitas. Pentingnya berpikir kategoris dalam ontologi justru untuk mengatasi segenap kerumitan yang terhampar pada kehidupan di alam semesta. Analisis terhadap kenyataan dan terhadap segenap yang ada di alam semesta harus mampu melahirkan klasifikasi dan taksonomi. Berpikir secara ontologis, dengan sendirinya berarti berpikir berdasarkan pola yang menarik.
Berdasarkan kedudukannya yang sedemikian rupa itu, maka ontologi acapkali dimengerti sebagai "kekhususan dari konseptualisasi". Sehingga, ontologi merupakan cabang dari filsafat yang mengemban tugas melahirkan seperangkat konsep tentang definisi-definisi berkenaan dengan suatu hal (Gruber, 1992). Dengan konseptualisasi berarti, pengalaman dan kenyataan diabstraksikan sedemikian rupa ke dalam kategori ilmu pengetahuan. Setiap pengalaman dan kenyataan lalu menjadi bermakna, sebab kemudian tersusun menjadi klasifikasi, relasi dan fungsi sebagaimana lazimnya dikenal dalam ilmu pengetahuan. Berpikir ontologis, dengan demikian berarti, berpikir ke arah lahirnya teori-teori baru melalui keterlibatan aktif subyek yang berpikir ontologis. Itulah mengapa, berpikir secara ontologis merupakan dimensi yang sangat penting dalam konteks memajukan secara lebih lanjut ilmu pengetahuan di tengah kancah kehidupan masyarakat.
Apa yang kemudian penting dicatat lebih lanjut adalah ini. Tatkala seseorang berpikir secara ontologis, maka sesungguhnya seketika itu pula orang tersebut meletakkan sebuah harapan untuk mampu mendayagunakan ilmu pengetahuan bagi tegaknya kebajikan. Terlebih dahulu, berbagai kenyataan dan pengalaman disadari berfungsi sebagai elemen dasar yang dapat diarahkan untuk menciptakan ilmu pengetahuan. Setelah itu, ilmu pengetahuan didayagunakan untuk mendorong lahirnya kebajikan. Penggunaan kembali ilmu pengetahuan atau pendayagunaan secara maksimal ilmu pengetahuan dengan tujuan agar tidak terjadi kemandegan dalam kehidupan masyarakat, sesungguhnya dapat dilakukan melalui penguatan pola pikir ontologis atau melalui kesadaran ontologis. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai "komitmen ontologis pengembangan dan penguatan ilmu pengetahuan" (Gruber, 1992) yang ditandai oleh lahirnya teori-teori baru ilmu pengetahuan.
Penguatan Epistemologi
Penyebutan tentang filsafat ilmu pengetahuan sebagai teori pengetahuan sangat terasakan tatkala pembahasan difokuskan pada epistemologi. Sehingga, tak berlebihan munculnya berbagai kesimpulan, bahwa epistemologi merupakan teori pengetahuan itu sendiri (Flew, 1979: 109-110). Asal-usul ilmu pengetahuan, watak dasar ilmu pengetahuan, batas-batas ilmu pengetahuan dan klaim kebenaran ilmu pengetahuan merupakan bidang pembahasan epistemologi. Apa yang membedakan secara keseluruhan satu disiplin ilmu dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain, merupakan aspek yang tercakup dalam epistemologi. Begitu juga halnya dengan prospek unifikasi atau penyatuan berbagai disiplin ilmu, menjadi salah satu perhatian epistemologi. Turunan dan atau cabang-cabang ilmu pengetahuan merupakan dimensi yang masuk ke dalam cakupan epistemologi. Hubungan antara manusia dan ilmu pengetahuan juga masuk ke dalam wilayah epistemologi. Pendek kata, epistemologi berbicara tentang sosok ilmu pengetahuan dalam formatnya sebagai sebuah disiplin ilmu yang harus dijaga keotentikannya. Secara demikian pula, kelemahan dan kerapuhan sebuah teori dalam satu disiplin ilmu merupakan dimensi yang tak dapat dilepaskan dari sorotan tajam epistemologi.
Dengan epistemologi, maka sesungguhnya ilmu pengetahuan dirawat keberadannya berdasarkan dua prinsip pokok. Pada satu sisi, ilmu pengetahuan dirawat keberadaannya oleh kejelasan watak dan batas-batas demarkasi disiplin ilmu. Sehingga, satu disiplin ilmu benar-benar tampil sebagai "sosok" yang berbeda secara clear and distinct dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Pada lain sisi, dapat ditentukan batas-batas penguasaan manusia terhadap ilmu pengetahuan. Kompetensi dan kecanggihan manusia dalam hubungannya dengan penguasaan satu disiplin ilmu lalu tak dapat dilepaskan dari peran fundamental epistemologi. Ketika pemahaman terhadap dua prinsip pokok itu berada dalam taraf yang matang, maka metodologi-metodologi yang sangat penting bagi praksis penelitian lebih mudah perumusannya. Kesulitan menentukan metode-metode penelitian sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari kegagapan dan kegagalan mengusai epistemologi. Penguasaan terhadap epistemologi merupakan kata kunci untuk memajukan penelitian.
Sesuatu yang kemudin penting dikemukakan adalah ini. Kemampuan manusia merawat ilmu pengetahuan ditentukan oleh kondisi mental manusia. Itu karena, berbagai macam ilmu pengetahuan dapat dikuasai oleh manusia, yaitu sejauh ilmu pengetahuan memang dikondisikan mampu bersemayan dalam kesadaran manusia (Truncellito, 2007). Tentu saja, ilmu pengetahuan tidak dengan sendirinya bersemayam dalam kesadaran manusia. Justru, manusia sendirilah yang sengaja berupaya memasukkan ilmu pengetahuan agar sepenuhnya "bertahta" dalam benak kesadarannya. Ilmu pengetahuan lalu menjadi aspek spesifik dalam tatanan mental manusia. Ilmu pengetahuan diundang agar sepenuhnya "bertahta" di "kerajaan" mental manusia. Pada titik ini, epistemologi berperan membentuk keyakinan rasional dalam struktur kesadaran manusia ihwal pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan.
Rendahnya penguasaan seseorang terhadap ilmu pengetahuan bukan terutama disebabkan ketiadaan ilmu pengetahuan. Tak dapat dibantah, ilmu pengetahuan justru hadir secara omnipresent, hadir di mana pun dan kapan pun, terlebih lagi pada era revolusi informasi dan pada kurun waktu terjadinya ledakan telekomunikasi dewasa ini. Tetapi memang, ilmu pengetahuan tidak serta-merta bersemayam dalam benak kesadaran manusia. Ada prasyarat pokok agar ilmu pengetahuan benar-benar bersemayam dalam kesadaran manusia. Prasyarat pokok dimaksud adalah keyakinan rasional manusia akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan. Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan bisa dikuasai secara sempurna oleh keterbukaan mental manusia jika sang manusia sendiri kosong dari keyakinan rasional akan makna ilmu pengetahuan? Secara demikian, epistemologi mendorong terciptanya keyakinan rasional dalam diri manusia berkenaan dengan kebermaknaan ilmu pengetahuan. Epistemologi menyentak kesadaran manusia, betapa bermaknanya ilmu pengetahuan.
Keyakinan rasional yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas berkaitan erat dengan kebenaran. Sejauh ilmu pengetahuan mengandung kebenaran atau mengusung kebenaran, atau berpihak kepada kebenaran, maka sejauh itu pula mudah membentuk keyakinan rasional dalam kesadaran manusia berkenaan dengan pentingnya ilmu pengetahuan. Bukankah hakikat hidup manusia memang mencari kebenaran, meraih kebenaran dan kemudian berdamai dengan kebenaran? Dalam konteks ilmu pengetahuan, menjaga dan merawat kebenaran urgen dilakukan justru agar kebenaran tak tergerus oleh kepalsuan. Dengan epistemologi, ilmu pengetahuan berdiri tegak sebagai avant garde demi menjaga dan merawat kebenaran. Walau manusia takkan mampu menggapai kebenaran absolut, epistemologi membentuk keyakinan rasional bahwa kebenaran itu ada, yaitu kebenaran ilmu pengetahuan yang mempu mengkonfirmasikan kebenaran partikular dengan kebenaran universal.
Dimensi lain dari epistemologi adalah terciptanya keniscayaan agar ilmu pengetahuan mampu melakukan pembuktian terhadap segala sesuatu yang diklaim sebagai kebenaran. Ditilik dari sudut pandang filosofis, manusia adalah mahluk yang tak dapat mengelak dari kesalahan dan kekeliruan yang berlangsung secara terus-menerus. Manusia tak sepenuhnya mampu mengelak dari situasi fallibility (Truncellito, 2007). Sehingga lantaran itu muncul serangkaian fiksi di seputar superman dan atau superhero, agar manusia masih punya harapan di tengah keberadaan dirinya dalam fallibility. Dalam konteks epistemologi ada sesuatu yang menarik. Demi mengatasi fallibility itu, epistemologi meniscayakan adanya pembuktian terhadap klaim kebenaran ilmu pengetahuan. Dengan pembuktian kebenaran tersebut maka ilmu pengetahuan masih mencetuskan optimisme terhadap diri manusia untuk melakukan penerimaan secara logis bahwa kebenaran memang masih ada.
Dalam realitas hidup yang konkret, manusia cenderung untuk memilih kebenaran dan menolak kesalahan. Terlepas dari kebenaran yang dalam derajat tertentu nisbi—karena memang manusia takkan mampu mencapai kebenaran absolut—kecenderungan manusia untuk memilih kebenaran sangatlah besar. Pada umumnya, manusia lebih berpihak pada posibilitas kebenaran dan menolak probabilitas kesalahan. Itu karena, pada dasarnya manusia memang mahluk yang menjunjung tinggi kebenaran. Persis sebagaimana dijelaskan Victor Hugo dalam karya besarnya yang terbit pertama kali pada 1862 berjudul Les Misérables (Hugo, 2003), sistem sosial-politiklah yang mendorong seorang manusia memilih kesalahan, meskipun kecenderungan yang bergemuruh dalam hati nurani terdalamnya justru memilih kebenaran. Apa yang bisa disimpulkan dengan demikian, konstruksi mentalitas justru mengharuskan manusia untuk berpihak kepada kebenaran dan menghindar atau mengelakkan diri dari kesalahan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai internalism (Truncellito, 2007).
Begitu juga saat berhadapan dengan ilmu pengetahuan, manusia cenderung memilih kebenaran dan menolak kesalahan. Persoalannya kemudian, apakah manusia serta-merta mampu menelisik bahwa setiap disiplin ilmu sepenuhnya berisikan kebenaran dan terhindar dari kesalahan? Atas jaminan apa manusia yakin dan percaya bahwa setiap disiplin ilmu mengklaim sedang mengusung kebenaran serta bersih dari kesalahan? Pertanyaan kritrikal ini hanya bisa dijawab melalui upaya pembuktian kebenaran. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan harus diteropong secara kritis keberadaannya melalui menyelidikan berdasarkan perspektif epistemologis. Melalui pembuktian terhadap segenap asumsi dan teori dalam satu disiplin ilmu, maka epistemologi melakukan evaluasi secara kritis terhadap keberadaan ilmu pengetahuan. Bagaimana penyelidikan secara epistemologis dilakukan demi menguak kebenaran dan atau kesalahan yang termaktub dalam ilmu pengetahuan?
Jawaban terhadap pertanyan tersebut kembali pada aspek pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan. Pertama, pembuktian kebenaran tersebut berpijak pada prinsip foundationalism (Truncellito, 2007). Dalam prinsip ini, terdapat kebenaran dasar dan kebenaran non-dasar. Kebenaran dasar diperoleh dengan menyelidiki relevansi seluruh bangunan disiplin ilmu. Sementara, kebenaran non-dasar diperoleh dengan menyelidiki ke-masuk-akalan proposisi, asumsi dan teori suatu disiplin ilmu manakala ditelisik dari luar lingkup disiplin ilmu tersebut. Kedua, pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan didasarkan pada penyelidikan yang diarahkan untuk membedah hakikat satu disiplin ilmu, apakah terdapat koherensi atau tidak terjadi kekacauan makna proposisi, asumsi dan teori. Ibarat memasuki sebuah rumah, penyelidikan diarahkan untuk menelisik ke-masuk-akalan segala sesuatu yang ada dalam rumah tersebut. Dengan sendirinya, ilmu pengetahuan tidak diterima secara serta-merta, tidak diterima scara taken for granted. Ilmu pengetahuan diterima secara kritis. Ilmu pengetahuan diterima dengan sejumlah catatan.
Melalui epistemologi kita sesungguhnya belajar untuk memberikan pengakuan secara proporsional terhadap kebajikan intelektual. Ilmu pengetahuan dimengerti sebagai wilayah di mana intelektualitas bersemayam menyuarakan keyakinan rasional yang kemudian mendorong lahirnya kebenaran ilmiah melalui serangkaian proses pembuktian (Klein, 2005). Penghormatan terhadap ilmu pengetahuan didorong oleh menguatnya kebajikan intelektual, yaitu kebajikan yang berpijak pada kesadaran untuk melakukan penyempurnaan ilmu pengetahuan secara terus-menerus agar ilmu pengetahuan sungguh-sungguh membawa serta kebenaran.
Kewibawaan Aksiologi
Dalam pengertiannya yang sederhana, aksiologi merupakan studi yang secara khusus memfokuskan perhatian kepada nilai-nilai, terutama nilai-nilai dalam kaitannya dengan etika, agama dan estetika (Flew, 1979: 34). Bagaimana ilmu pengetahuan diimplementasikan atau dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa harus bertentangan dengan nilai-nilai, merupakan persoalan yang terus-menerus disorot oleh aksiologi. Sebagaimana diketahui, setiap disiplin ilmu dituntut terbuka dan fleksibel untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia. Tingkat relevansi dan level kebermaknaan setiap disiplin ilmu justru ditakar berdasarkan keterbukaannya dan atau fleksibilitasnya untuk dapat dipraktikkan dalam kehidupan yang konkret. Jika sebuah disiplin ilmu tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia demi mencapai kebaikan dan kebajikan, maka disiplin ilmu tersebut tidak bermanfaat. Disiplin ilmu tersebut kehilangan salah satu pilarnya yang sangat penting, yaitu aksiologi.
Dengan aksiologi pula maka sesungguhnya terbentang “jembatan penghubung” antara teori dan praktik dalam jagad ilmu pengetahuan. Baik teori maupun praktik tidak lagi berdiri sendiri, menyendiri secara eksklusif. Teori dan praktik justru saling berjalin kelindan satu sama lain. Adanya teori justru karena didukung oleh adanya ruang-waktu untuk melakukan praktik. Dan adanya praktik dimungkinkan oleh tersedianya dasar-dasar teoritik—yang berkedudukan sebagai pemberi landasan pijak implementasi sebuah disiplin ilmu. Aksiologi, dengan demikian, mengatasi problema besar dikotomi antara teori dan praktik. Aksiologi selalu mencari arah dan jalan untuk menyatu-padukan teori dan praktik. Aksiologi tidak membiarkan teori kesepian sendiri meringkuk dalam remang sunyi yang terisolasi dari praktik. Keduanya—teori dan praktik—justru saling dipertemukan oleh aksiologi, saling disenyawakan oleh aksiologi, saling dipersatukan oleh aksiologi.
Sungguh pun demikian, konteks perjumpaan antara teori dan praktik itu mengambil titik tolak dari nilai-nilai. Dorongan besar aksiologi agar setiap disiplin ilmu relevan dipraktikkan dalam kehidupan nyata umat manusia, justru karena adanya keyakinan rasional bahwa implementasi ilmu pengetahuan membawa kebaikan atau mencetuskan konsekuensi positif berupa kebajikan. Jika praktik sebuah disiplin ilmu hanya melahirkan kesengsaraan dan penderitaan terhadap umat manusia dalam kehidupannya, maka aksiologi sesungguhnya tidak mungkin disebut ada. Aksiologi justru mustahil adanya manakala praktik sebuah disiplin ilmu hanya melahirkan keburukan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, apa yang oleh masyarakat Banyuwangi di Jawa Timur disebut sebagai “ilmu santet” merupakan contoh soal di mana aksiologi tidak mungkin bekerja sebagaimana mestinya. Itu karena, keberpihakan terhadap nilai-nilai memang tak memungkinkan aksiologi membenarkan adanya ilmu santet. Ilmu santet berada dalam kategori black magic yang implementasinya atau praksisnya justru menyengsarakan umat manusia. Korban atau obyek sasaran justru harus bertaruh nyawa saat berhadapan dengan praksis ilmu santet. Maka, etika, agama dan estetika menjadi landasan pijak bagi terwujudnya kebajikan dalam keseluruhan efektivitas operasional aksiologi.
Bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa aksiologi senantiasa diberi pengertian umum sebagai “teori filosofis tentang nilai”, yaitu studi terhadap watak dasar nilai-nilai dan atau pertimbangan dan argumen-argumen filosofis berkenaan dengan nilai-nilai. Melalui aksiologi, dunia filsafat melakukan apa yang disebut “investigasi secara rasional terhadap saling hubungan antara ilmu pengetahuan dan eksistensi manusia berdasarkan sudut pandang etis.” Aksiologi menelisik, sejauhmana hubungan antara ilmu pegetahuan dan eksistensi manusia tak memporak-porandakan tatanan etis. Terutama ketika kehidupan sosial, ekonomi dan politik sedemikian rupa berada dalam pusaran kompleksitas sehingga berkembang menjadi obyek dari berbagai kecamuk kepentingan, maka aksiologi berperan penting sebagai kerangka studi terhadap makna kebaikan dalam kehidupan manusia. Aksiologi mengusung tugas-tugas evaluatif terhadap opsi rasional maupun opsi irasional manusia dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Kita tahu bahwa pada abad XXI kini ilmu pengetahuan tampil sebagai faktor determinan terjadinya perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Ilmu pengetahuan juga semakin determinatif menentukan arah kemajuan teknologi. Ilmu pengetahuan menjadi sumber bagi totalitas kemajuan umat manusia pada kurun waktu mutakhir. Pokok soalnya kemudian, jika rekayasa sosial-ekonomi-politik dan lompatan kemajuan teknologi tidak membawa kebaikan bagi hayat manusia, maka ilmu pengetahuan digugat sebagai pihak yang turut serta menciptakan realitas buruk dehumanisasi. Pokok soal ini mengingatkan kita kembali pada ambigu ilmu pengetahuan serupa pisau bermata dua. Mengingat ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, maka dalam praksisnya ilmu pengetahuan bisa dimanfaatkan untuk menciptakan kebaikan atau untuk melahirkan kejahatan. Aksiologi meniscayakan kita untuk sepenuhnya kritis menyimak manfaat ilmu pengetahuan secara etis dalam kehidupan.
Pembicaraan tentang filsafat ilmu pengetahuan dalam konteks aksiologi tak dapat dilepaskan dari tinjauan kritis terhadap berbagai ketidakberesan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana diketahui, ketidakberesan dalam kehidupan umat manusia itu bersangkut paut dengan persoalan-persoalan ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Di sini ada persoalan kegunaan atau kemanfaatan ilmu pengetahuan. Ketidakberesan dalam kehidupan umat manusia merupakan pertanda adanya situasi tertentu berkenaan dengan tumpulnya ilmu pengetahuan, yaitu saat ilmu pengetahuan gagal dan tidak berdaya memenuhi harapan agar mampu mencerahkan, mencerdaskan dan memajukan masyarakat. Mengapa ilmu pengetahuan tampak mencolok gagal memajukan masyarakat dan apa sebab-sebab yang melatarbelakanginya merupakan persoalan yang sesungguhnya bermuara pada aksiologi. Pada derajat tertentu, krisis ilmu pengetahuan berada dalam wilayah persoalan aksiologi. Ada kemungkinan, ilmu pengetahuan terus berkembang dan bahkan mengalami kemajuan. Tetapi krisis ilmu pengetahuan justru tak memungkinkan ilmu pengetahuan digdaya tampil ke depan untuk turut serta terlibat mengatasi ketidakberesan dalam kehidupan masyarakat. Kajian filsafat ilmu pengetahuan dengan mengambil kekhususan aksiologi sebagai titik tolak analisisnya adalah melihat kontribusi ilmu pengetahuan untuk memajukan masyarakat pada satu sisi, serta pada lain sisi menyibak ketumpulan ilmu pengetahuan mengatasi berbagai ketidakberesan dalam kehidupan masyarakat.
Dengan menjadikan situasi dan kondisi masyarakat sebagai titik tolak untuk menelisik kegunaan ilmu pengetahuan, maka tak terelakkan jika kemudian muncul sejumlah gugatan terhadap keberadaan ilmu pengetahuan. Apa arti ilmu pengetahuan manakala masyarakat terus dilanda keterpurukan dalam berbagai segi kehidupan sesungguhnya merupakan pertanyaan yang sebagian terbesarnya justru berada dalam spektrum telaah aksiologi. Gugatan terhadap keberadaan ilmu pengetahuan itu sama dan sebangun maknanya dengan timbulnya penyelidikan-penyelidikan terhadap kebaikan yang dihasilkan oleh keseluruhan dialektika pemanfaatan ilmu pengetahuan. Asumsi pokoknya adalah ini: ilmu pengetahuan bagian dari kebajikan dan dengan ilmu pengetahuan manusia menciptakan kebajikan. Maka, timbulnya aneka keburukan dalam kehidupan umat manusia niscaya untuk dengan segera mengusung gugatan terhadap keberadaan ilmu pengetahuan. Arti gugatan terhadap ilmu pengetahuan didasarkan kepada tujuan untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sumber terciptanya kebajikan. Pada titik ini kita diperhadapkan pada pentingnya aksiologi.
Gugatan terhadap keberadaan ilmu pengetahuan yang sedemikian rupa itu membawa kita untuk memasuki isu pokok aksiologi. Dalam berbagai pembahasan terhadap aksiologi senantiasa dikemukakan nilai instrinsik dan nilai instrumental kebaikan oleh adanya kegunaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Terus-menerus dipertanyakan apa dan bagaimana kebaikan serta bagaimana hubungan antara satu kebaikan dengan kebaikan lain. Di sini lalu muncul perbedaan paradigma antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dengan nilai instriksik berarti kebaikan dimengerti sebagai sesuatu yang tak perlu dipertanyakan lagi maknanya bagi kehidupan manusia. Sementara pada nilai instrumental, kebaikan dimengerti sebagai prasyarat untuk meraih kebaikan lain yang lebih fundamental. Contoh tentang hal ini adalah arti kebaikan uang sebagai alat pembayaran dan arti kebaikan beras sebagai komoditas pangan. Baik uang maupun beras sama-sama mengandung kebaikan. Tetapi uang hanya menjadi nilai instrumental tatkala dalam satu ruang waktu ada kebutuhan yang besar terhadap komoditas beras. Uang justru harus digunakan untuk membeli atau mendapatkan beras. Tak pelak lagi, beras lalu berada dalam kedudukan lebih fundamental dibandingkan uang. Derajat kebaikan beras bagi kehidupan umat manusia melampaui arti penting uang.
Dengan contoh tersebut menjadi jelas pada akhirnya, bahwa kebaikan berada dalam satu kategori tatkala berhubungan dengan kebaikan lain. Kebaikan tidak bersifat tunggal dan homogen, tetapi jamak dan heterogen. Hubungan antara satu kebaikan dengan kebaikan lain dalam kehidupan umat manusia membentuk kategori yang spesifik, sehingga muncul nilai instrinsik dan nilai instrumental. Aksiologi lalu mengajarkan bahwa tidak mungkin kebaikan diterima secara serta-merta, tidak mungkin kebaikan diterima secara taken for granted tanpa terlebih dahulu melakukan kategorisasi. Dengan demikian berarti, aksiologi mendorong timbulnya pandangan kritis terhadap hakikat kebaikan. Pada satu sisi, mutlak bagi ilmu pengetahuan untuk melahirkan kebaikan. Tapi pada lain sisi, kebaikan-kebaikan yang dicetuskan oleh ilmu pengetahuan masih harus dikategorisasi derajat, makna dan hakikat kebaikannya. Kebaikan dalam hubungannya dengan kebaikan lain oleh aksiologi lalu sedemikian rupa dibawa masuk ke dalam sebuah distingsi atau perbedaan-perbedaan. Dengan berpikir berdasarkan kerangka aksiologis, kita sesungguhnya dilatih untuk canggih menyusun kategori dan distingsi antara satu kebaikan dengan kebaikan lain.
Sampai kapan pun, analisis terhadap kebaikan senantiasa dibutuhkan agar manusia dapat memaknai kehidupannya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat hingga pada tahapan yang sangat kompleks, kebaikan-kebaikan pun menjadi beraneka ragam. Muncul definisi-definisi baru kebaikan, sebuah definisi yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Bahkan, masa depan peradaban umat manusia bakal semakin diwarnai oleh hadirnya kebaikan yang beraneka rupa. Diperhadapkan pada kenyataan tersebut, sangat mungkin jika satu kebaikan lantas bertumpang tindih dengan kebaikan lain. Respons secara manusiawi terhadap kehidupan yang super kompleks lalu meniscayakan adanya gradasi atau derajat kebaikan berdasarkan distingsi dan kategori. Kecanggihan membuat distingsi dan kategori terhadap kebaikan itu merupakan aspek yang tak terpisahkan dari aksiologi.
Tentu saja, dengan adanya perbedaan antara nilai instrinsik dan nilai instrumental tidak berarti watak satu kebaikan bersifat absolut dibandingkan dengan kebaikan lain. Jika dalam satu ruang waktu tertentu satu kebaikan masuk dalam kategori nilai instrinsik, pada ruang waktu yang lain masuk dalam kategori nilai instrumental. Analisis terhadap kebaikan lalu sama kompleksnya dengan analisis terhadap kehidupan itu sendiri. Di sini lalu terasa adanya kewibaan aksiologi. Sebab dengan aksiologi, berbagai macam kebaikan dinalisis secara terus-menerus, mana yang masuk dalam kategori nilai instrinsik dan mana yang masuk dalam kategori nilai instrumental.
Epilog: Revolusi Pendidikan
Seluruh pembahasan yang dikemukakan di atas berkenaan dengan ontologi, epistemologi dan aksiologi membawa pesan yang sangat jelas bagi keniscayaan terjadinya revolusi pendidikan. Dengan revolusi pendidikan berarti, keberhasilan pendidikan tegas dikait-hubungkan dengan kemajuan masyarakat. Pendidikan tidak teralienasi dari hayat masyarakat. Pendidikan menjadi inspirator agung bagi terciptanya progresivitas dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan benar-benar berkedudukan sebagai basis menuju terbentuknya knowledge based society. Di sini, sebuah aksioma tiba-tiba mengemuka. Bahwa agar mampu mencapai kemajuan serta berhasil memajukan masyarakat, maka proses-proses pendidikan sejatinya mengadopsi substansi pokok yang termaktub dalam ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Hal mendasar yang bisa diadopsi oleh dunia pendidikan berkenaan dengan ontologi antara lain terkait dengan besarnya kebutuhan untuk melakukan unifikasi atau penyatuan berbagai disiplin ilmu. Apa yang disebut sebagai "realitas sub-atomik" justru mendesak untuk diunifikasi agar tercipta situasi "kebenaran dalam keseluruhan", persis sebagaimana dinubuahkan oleh filosof GWF Hegel. Upaya mengatasi realitas sub-atomik itu sejalan dengan pandangan yang dikemukakan filosof Martin Heidegger, bahwa manusia hadir di dunia ini menjadi bagian dari sejarah melalui perumusan pertanyaan-pertanyaan ontologis yang bersifat fundamental. Kebutuhan dunia pendidikan untuk mengembangkan berbagai pendekatan keilmuan secara interdisipliner lebih besar peluangnya untuk diwujudkan dengan berpijak pada ontologi. Sementara tak dapat dielakkan, pendekatan interdisipliner kini merupakan pilihan strategis yang relevan dikembangkan dalam keseluruhan proses pembelajaran di dunia pendidikan. Kehebatan institusi-institusi pendidikan mengembangkan proses pembelajaran tak dapat mengelak dari pendekatan interdisipliner yang justru dapat dihela melalui ontologi.
Dari pembahasan epistemologi yang dikemukakan di atas, hal fundamental yang dapat diadopsi oleh dunia pendidikan berkaitan erat dengan metodologi penguasaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diwarnai oleh berbagai macam abstraksi, asumsi, proposisi dan puspa ragam teori itu membutuhkan metodologi penguasaan secara tepat. Epistemologi lalu berperan strategis untuk turut serta memajukan proses-proses pembelajaran di dunia pendidikan. Itu karena, dalam epistemologi terkondisikan adanya keyakinan rasional untuk dapat menggapai kebenaran. Sementara kebenaran mendapatkan pengakuan oleh adanya pembuktian. Pola kerja epistemologi bermula dari adanya keyakinan rasional untuk melahirkan kebenaran ilmu pengetahuan melalui serangkaian pembuktian. Dalam hal ini, kebenaran dan pembuktian merupakan dua kondisi independen terhadap keyakinan rasional (Truncellito, 2007). Jika pola ini berjalan efektif dalam proses pembelajaran, maka tak berlebihan manakala dikatakan bahwa institusi pendidikan telah tampil ke depan mengawal lahirnya teori-teori baru. Revolusi pendidikan benar-benar menemukan aksentuasinya, lantaran institusi pendidikan berani menghilangkan tabu-tabu menuju lahirnya teori-teori baru. Segenap sivitas akademika dalam sebuah institusi pendidikan lalu terkondisikan untuk melakukan kerja-kerja kolektif ke arah lahirnya teori-teori baru.
Dalam konteks aksiologi, dunia pendidikan berada dalam satu titik menentukan untuk mengedepankan dan menjunjung tinggi etika. Pendidikan pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya-upaya penyelidikan secara menyeluruh terhadap puspa ragam kebaikan. Isu pendidikan karakter, misalnya, tidak bisa mengelak dari aksiologi sebagaimana dibahas secar luas dalam filsafat ilmu pengetahuan. Sejauhmana penguasaan ilmu pengetahuan sekaligus digdaya memajukan pendidikan melalui character building, semuanya tak bisa dilepaskan dari aksiologi. Kegagalan pelaksanaan pendidikan karakter sesungguhnya dapat ditelusuri pada kelemahan institusi-institusi pendidikan memahami hakikat aksiologi dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan.
Pada akhirnya, jelaslah sudah makna filsafat ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan. Obsesi besar dunia pendidikan untuk menggapai kemajuan dan keunggulan proses pembelajaran, pada galibnya tak dapat dipisahkan dari filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan mampu mengawal dunia pendidikan untuk seksama menyimak pohon ilmu pengetahuan dari segenap aspek dan dimensinya. Filsafat ilmu pengetahuan meniscayakan dunia pendidikan untuk tidak compang-camping saat harus melakukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.[]
Referensi
Capra, Fritjof (1984). The Tao of Physics. New York: Bantam Book.
Flew, Anthony (1979). A Dictionary of Philosophy. New York: Gramercy Books.
Gruber, Tom (1992). What is an Ontology? Dalam http://www-ksl.stanford.edu/kst/what-is-an-ontology.html.
Hugo, Victor (2003). Les Misérables. New York: Barnes & Noble Classics. Edisi perdana buku ini terbit pada tahun 1862.
Klein, Peter D. (2005). Epistemology. Dalam http://www.rep.routledge.com/article/P059
Newall, Paul (2004). Philosophy of Science. Dalam http:/www.galilean-library.org/site/index.php/page/index.html/_/essays/introducingphilosophy/6-philosophy-of-science-r23.
Truncellito, David A. (2007). Epistemology. Dalam http://www.iep.utm.edu/epistemo/.
Zukav, Gary (2001). The Dancing Wuli Master: An Over View of New Physics. New York: HarperCollins.
Komentar
Tulis komentar baru