Skip to Content

Problematik Bahasa : Bakso itu "Lemak" !

Foto Dezi Nusa Putri

Bakso itu Lemak

Oleh

Dezi Nusa Putri

 

Saat melihat tanggal dikalender saya langsung panik karena teringat tugas yang diberikan oleh bapak Mahmud Fasya yang merupakan Dosen mata kuliah Problematik bahasa. Saya semakin bingung setelah saya melihat essay yang dibuat oleh beliau, karena saya tidak mempunyai data semacam itu akhirnya saya memutuskan untuk mengurungkan niat saya mengerjakannya. Saat sedang bermalas-malasan saya teringat kejadian 1 tahun silam saat keluarga besar yang bermukin di Palembang sedang berlibur ke Cilegon, berikut kejadiannya :

Yu oka : dee, kita jajan yuuu laper nih?

Saya    : boleh-boleh ayu mau makan apa?

Yu oka : Apo bae ? (apa saja)

(Akhirnya saya mengajaknya makan bakso langganan saya)

Yu oka            : dee, bakso ini lemak gak?

Saya    : yaa namanya bakso pasti ada lemak-nya

Yu oka : hahahhahahah lucu nia kau ini

Melihat Yu Oka tertawa saya sangat heran, apa yang membuatnya tertawa padahal tidak ada yang lucu. Akhirnya saat malam harinya saya bertanya kepada ibu, saat menceritakan kejadian tadi sore ibu pun ikut tertawa terbahak-bahak, ini makin membuat saya bingung.  Setelah ibu tertawa dengan puas ia mulai menjelaskannya, maksud yang dikatakan Yu Oka, saya pun ikut tertawa setelah mengetahui maksud sebenarnya.

Setelah saya memperhatikan dengan baik pejelasan ibu saya, bisa menyimpulkan bahwa terjadi kesalah pahaman atau perbedaan persepsi kata “lemak” antara saya dengan Yu Oka, hal ini disebabkan yu oka yang memang bermukim di Palembang yang menggunakan dialeg Palembang (melayu Sumatra selatan ) sedangkan saya menggunakan Bahasa Indonesia (BI).

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata lemak memiliki arti minyak atau gemuk binatang, sedangkan dalam bahasa Palembang lemak memiliki arti enak (ungkapan saat kita sedang merasakan sesuatu). Hal itu lah yang memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi kata “Lemak”, lemak yang dimaksud Yu oka bila dilihat dari konteks kalimat yaitu dee, bakso ini enak tidak? Bukan bertanya apakah bakso ini mengandung lemak atau tidak?. Pantas saja bila setiap orang yang saya ceritakan mereka tertawa sangat puas.

Cerita yang sejenispun berlanjut , hal ini terjadi karena keluarga saya sendiri merupakan keluarga multikultural walaupun kami berasal dari etnis Palembang (Sumatra selatan) pada dasarnya. Cerita ini bermula saat sedang ada acara keluarga dirumah saya, pada saat itu sedang ada pertengkaran antara Om saya dan tante saya, berikut dialognya:

Tante   : akulah malak samo kau!

Om      : kapan aku malak kamu?

Tante   : bange kau tuh! (bodoh kamu itu)

(akhirnya pertengkaran itu dilerai oleh keluarga besar)

            Saat pertengkaran itu yang ada diotak saya yaitu adanya perbedaan persepsi yang membuat Tante lebih marah setelah mendengar jawaban Om. Sayapun mencari tahunya, setelah mendengar curhatan tante ternyata benar dugaan saya.

            Setelah saya simak baik-baik ternyata dalam percakapan itu Tante menggunakan sistem semantik Dialeg palembang (sumatra selatan) , sedangkan Om menggunakan sistem semantik Bahasa jawa (BJ). Yang memepengaruhi perbedaan persepsi itu ialah latar belakang keluarga atau lingkunagn, Tante tumbuh besar di Palembang sedangkan om tumbuh besar di kota Malang-Jakarta. Jadi hal itulah yang menimbulkan rumit masalah karena komunikasi antara satu sama lain tidak singkron.

            Penjelasannya sangat ringan yaitu adanya perbedaan persepsi pada kata “Malak”. Dalam percakapan itu kata “malak” pada kata bahasa Sumsel (SS) memiliki arti Bosan, sedangkan kata malak pada bahasa jawa (BJ) berarti pemerasan. Oleh karena perebadaan arti yang sangat kontran itulah yang menyebabkan semakin rumit,karena Tante merasa tidak puas dengan jawaban si Om. Yang dimaksud percakapan Tante yaitu saya sudah bosan dengan kamu, namun si Om menangkapnya kata malak di atas maksudnya pemerasan.

            Kejadian-kejadian di atas sering kali terjadi dikehidupan nyata, dan dari penggalan –penggalan cerita diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa kata-kata tersebut bisa dikelompokan dalam relasi makna tepatnya Homonim. Homonim menurut Kridalaksana ialah hubungan antara kata yang ditulis atau dilafalkan dengan cara yang sama dengan kata yang lain, tetapi tidak mempunyai hubungan makna. Hal itu dapat terlihat dari kata malak dialeg Sumsel yang cara penulisannya dan pelafalannya sama dengan kata malak dalam bahasa jawa (BJ).

 

            Homonin dapat dikelompokan kembali menjadi 2 yaitu homofoni dan dan homografi. Homofoni yaitu kesamaannya pada keidentikan bunyi dan pengucapan. Seperti kata malak dalam pengucapannya sama dalam dialeg atau bahasa Sumsel (BSS) ataupun dialeg bahasa jawa (BJ) namun memiliki arti yang berbeda dan memiliki konteks kalimat yang berbeda kegunaannya.

            Homografi  kesamaannya terletak pada keidentikan ortografi (tulisan dan ejaan) maksudnya dalam tulisanya sama namun dalam pelafalannya berbeda. Seperti pada kata lemak dalam bahasa Sumsel (SS) berbeda dengan pelafalannya dalam bahasa jawa (BJ). Kalo dalam BSS kata lemak dibaca lemaaaak sehingga huruf konsonan K hampir tertutup oleh Vokal A. Sedangkan kata lemak dalam dalam BI terjadi penekanan huruf K sehingga dapat dibaca lemakk.

            Problematik – problematik inilah yang memunculkan masalah dalam kebahasaan karena bahasa sendiri bersifat mana suka. Mungkin hal tersebut dikarenakan Banyak kata yang belum bisa  dilambangi secara jelas. Akibatnya, akan muncul adanya kekeliruan dalam pemaknaan dan perbedaan persepsi. Namun semua ini dikembalikan lagi kepada masyarakat penggunanya.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler