BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sosiolinguistik dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lain, seperti ilmu ekonomi, sosiologi, atau dengan linguistik sendiri, merupakan ilmu relatif baru. Ditinjau dari nama, sosiolinguistik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (dipelajari oleh ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi). Kadang-kadang sosiolinguistik disebut juga linguistik institusional (Halliday, 1970 dalam Sumarsono, 2011) atau sosiologi bahasa (Fishman, 1972 dalam Sumarsono, 2011), namun hakikat kedaunya sama dengan sosiolinguistik.
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-betuk ujaran (6) tingaktan variasi dan ragam linguistik dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolingusitik (Dittmar 1976 : 128 dalam Abdul Chair 2010 : 5)
Identitas sosial dari penutur adalah antara lain dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman dan sebagainya) dapat berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Maka, identitas pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik, kakak, paman, dan sebagainya), teman karib, guru, murid, tetangga, orang-orang yang dituakan, dan sebaginya. Identitas pendengar atau para pendengar juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.
Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola dialek-dialek sosial itu, baik yang berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek sosial ini digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Penilaian sosial yang berebeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Maka, berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri yang tentunya sama atau jika berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.
Tingkatan variasi atau linguistik maksudnya bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempuranaan kode, maka alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi entah namanya dialek, varietes, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-masing.
Dimensi terakhir yakni penerapan praktis dari penelitian sosiolingusitik, merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolingusitik untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat. Misalnya masalah pengajaran bahasa, pembakuan bahasa, penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik bahasa dan sebagainya.
Idealnya sudah selayaknya kalau pembicaraan sosiolinguistik membahas ketujuh dimensi penelitian linguistik tersebut. Namun, dalam makalah ini akan dibicarakan masalah bahasa, ragam bahasa dan peralihan kode bahasa dalam sosiolingustik.
B. Tujuan
- Memberikan pedoman dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus digunakan jika berbicara dengan orang tertentu.
- Mengetahui bagimana peristiwa alih kode bahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Bahasa
Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
“The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”
Kata linguistik berasal dari bahasa latin “lingua” yang berarti bahasa. Dalam bahasa Inggris “linguistics” sedangkan dalam bahasa jerman “lingustique”. Jadi linguistik adalah ilmu tentang bahasa.
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa, apakah bahasa mirip realitas atau tidak mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.kemudian study tentang ilmu Bahasa ini berkembang pesat sampai saat ini. Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian "bahasa yang baik" , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian "bahasa yang baik" ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat "merusak" bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.
B. Rumpun Bahasa
Beberapa rumpun bahasa yang berhasil direkonstruksikan sampai dewasa ini antara lain:
- Rumpun Indo-Eropa: bahasa Jerman, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavis, Roman, Keltik, Gaulis.
- Rumpun Semito-Hamit: bahasa Arab, Ibrani, Etiopia.
- Rumpun Chari-Nil; bahasa Bantu, Khoisan.
- Rumpun Dravida: bahasa Telugu, Tamil, Kanari, Malayalam.
- Rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia: bahasa Melayu, Melanesia, Polinesia.
- Rumpun Austro-Asiatik: bahasa Mon-Khmer, Palaung, Munda, Annam.
- Rumpun Finno-Ugris: bahasa Ungar (Magyar), Samoyid.
- Rumpun Altai: bahasa Turki, Mongol, Manchu, Jepang, Korea.
- Rumpun Paleo-Asiatis: bahasa-bahasa di Siberia.
- Rumpun Sino-Tibet: bahasa Cina, Thai, Tibeto-Burma.
- Rumpun Kaukasus: bahasa Kaukasus Utara, Kaukasus Selatan.
- Bahasa-bahasa Indian: bahasa Eskimo, Maya Sioux, Hokan
- Bahasa-bahasa lain seperti bahasa di Papua, Australia dan Kadai.
C. Definisi Alih Kode
Sebuah Ilustrasi
Nanang dan Ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya. Sekali-sekali bercampur dengan bahasa Indonesia kalau topik pembicaraan menyangkut masalah pelajaran. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap masuklah Togar, teman kuliahnya yang berasal dari Tapanuli, yang tentu saja tidak dapat berbahasa Sunda. Togar menyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu, segera mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lama kemudian masuk pula teman-teman lainnya, sehingga suasana menjadi riuh, dengan percakapan tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang, dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam ragam resmi dan seluruh percakapan berlangsung dalam ragam resmi hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah selesai dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para mahasiswa menjadi ramai kembali dengan berbagai ragam santai ada pula yang bercakap-cakap dalam bahasa daerah.
Dari ilustrasi itu dapat dilihat, pada mulanya Nanang dan Ujang yang berbahasa ibu sama, bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, kecuali sesekali kalau topik pembicaraannya mengenai bahan pelajaran, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sewaktu Togar yang berasal dari Tapanuli itu masuk maka Nanang dan Ujang mengubah bahasa mereka dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, meskipun hanya bahasa ragam santai. Demikian juga bahasa yang digunakan oleh teman-teman mereka yang datang kemudian. Tetapi begitu ibu dosen masuk dan kuliah mulai berlangsung maka percakapan hanya dilakukan dalam bahasa indonesia ragam formal. Penggunaan ragam formal ini baru berhenti bersamaan dengan berakhirnya jam perkuliahan. Tepatnya begitu ibu dosen meninggalkan ruang kuliah.
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi atau juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut persitwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Jadi ilustrasi di atas telah memberikan gambaran apa yang dimaksud dengan alih kode.
D. Definisi Alih Kode menurut para Ahli
Appel (1976 : 79) dalam Abdul Chaer (2010 : 107) mendefinisikan alih kode sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi” Pada ilustrasi di atas kita lihat peralihan penggunaan bahasa dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan Nanang dan Ujang adalah karena berubahnya situasi yaitu dengan datangnya Togar. Situasi “kesundaan” yang tadinya menyelimuti Nanang dan Ujang berubah menjadi situasi “keindonesiaan” dengna adanya Togar yang tidak mengerti bahasa Sunda, sedangkan ketiganya mengerti bahasa Indonesia. Secara sosial perubahan pemakaian bahasa itu memang harus dilakukan, sebab adalah sangat tidak pantas dan tidak etis secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang ketiga. Apalagi orang ketiga itu dalam ilustrasi Togar, telah lebih dahulu menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, alih kode ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Hymes (1875 : 103) dalam Abdul Chaer (2010 : 107) menyatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Lengkapnya Hymes mengatakan “code switching has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of language or even speach styles.”
Dari pendapat Appel dan Hymes di atas jelas bagi kita bahwa pengalihan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan Nanang dan Ujang berkenaan dengan hadirnya Togar, dan pengalihan dari ragam santai ke ragam resmi berkenaan dengan berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal (ketika perkuliahan berlangsung) adalah tercakup dalam peristiwa yang disebut dengan alih kode. Dari ilustrasi di atas kita lihat pula bahwa pengalihan kode itu dilakuan dengan sadar dan bersebab.
E. Alih kode beserta contoh kata sapaan
Seperti yang sudah dipaparkan oleh Appel bahwa alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Dalam masyarakat tutur tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa (undak usuk), ada alih kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang menurut satu kontinum, sedikit demi sedikit dari yang dekat sampai yang jauh perbedaannya, sehingga alih kode itu tidak terasa mengagetkan. Dalam masyarkat tutur bahasa Jawa, seperti dilaporkan Soewito lazim terjadi. Umpamanya kalau dua remaja Jawa putra dan putri baru pertama kali bertemu dan berkenalan mula-mula kedua pihak menggunakan bahasa Jawa krama (Inggil) Pihak putra menyapa si putri dengan kata sapaan mbak, meskipun dia sadar bahwa dia lebih tua dari yang disapa. Sebaliknya sang putri akan menyapa dengan kata sapaan dik meskipun dia juga sadar bahwa dia lebih muda dari yang disapanya. Kemudian sesudah berkenalan keduanya bertambah akrab, maka mereka akan berlaih kode ke ragam madya atau sepotong krama septong ngoko. Kata sapaan yang digunakan menjadi tidak jelas; biasaya hanya “berkono-konoan”saja.
Misalnya, lha kono priye? (lha di situ (kamu) bagaimana?) Selanjutnya setelah perknalan mereka menjadi intim mereka akan berlaih kode lagi dengan menggunakan ragam ngoko. Kini sang putra menyapa dengan kata sapaan dik, sedangkan sang putri dengan kata sapaan mas. Kelak bila keduanya jadi bersuami istri maka terjadi lagi alih kode dengan menggunakan ragam ngoko halus. Kata sapaan yang mereka gunakan pun berubah menjadi bu dan pak.
F. Faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya alih kode!
Fishman (1976 : 15) dalam Abdul Chaer (2010 : 108) menyatakan “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa.” Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode antara lain :
a. Pembicara atau penutur
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakannya itu. Umpamanya, Bapak A setelah beberapa saat berbicara dengan Bapak B mengenai usul kenaikan pangkatnya baru tahu bahwa Bapak B itu berasal dari daerah yang sama dengan dia dan juga mempunyai bahasa ibu yang sama. Maka, dengan maksud agar urusannya cepat beres dia melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerahanya. Andaikata Bapak B ikut terpancing untuk menggunakan bahasa daerah, maka bisa diharapkan urusan menjadi lancar. Tetapi jika Bapak B tidak terpancing dan tetap menggunakan bahasa Indonesia, bahasa resmi untuk urusan kantor, maka urusan mungkin saja menjadi tidak lancar karena rasa kesamaan satu masyarakat tutur yang ingin dikondisikannya tidak berhasil, yang menyebabkan tiadanya rasa keakraban. Dalam kehidupan nyata sering kita jumpai banyak tamu kantor pemerintah yang sengaja menggunakan bahasa daerah dengan pejabat yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan satu masyarakat tutur. Dengan bahasa daerah rasa keakraban pun lebih mudah dijalin daripada menggunakan bahasa Indonesia. Alih kode untuk memperoleh keuntungan ini biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
b. Pendengar atau lawan tutur
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur itu berlatar belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kalau si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa. Umpamanya, Ani pramuniaga sebuah toko cideramata, kedatangan tamu seorang turis asing, yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Ketika kemudian si turis tampaknya kehabisan kata-kata untuk terus berbicara dalam bahasa Indonesia maka Ani cepat-cepat beralih kode untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, sehingga kemudian percakapan menjadi lancar kembali.
c. Perubahan situasi dan hadirnya orang ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Pada ilustrasi di atas sewaktu Nanang dan Ujang bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, masuklah Togar yang tidak menguasi bahasa Sunda ke bahasa Indonesia. Andaikata Togar mengerti bahasa Sunda mungkin alih kode tidak dilakukan oleh Nanang dan Ujang.
d. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya
Percakapan dimulai dalam bahasa Indonesia karena tempatnya di kantor, dan yang dibicarakan adalah tentang surat. Jadi situasinya formal. Namun, begitu yang dibicarakan bukan lagi tentang surat, melainkan tentang pribadi orang yang disurati sehingga situasi menjadi tidak formal, terjadilah alih kode. Bagaimanapun untuk situasi tak resmi lebih mudah menggunakan bahasa pertama daripada bahasa kedua, kalau situasi mengizinkan.
e. Perubahan topik pembicaraan
Berubahnya topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode. Contohnya percakapan menggunakan bahasa Indonesia tetapi ketika permbicaraan beralih ke topik lain maka terjadilah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Ibu. Andaikata kedua pembicara tidak menggunakan bahasa ibu tentu alih kode akan dilakukan ke dalam bahasa Indonesia nonformal bukan bahasa Ibu. Alih kode tidak akan terjadi meskipun topik permbicaraan berganti, misalnya dari topik pengiriman surat menjadi topik penagihan utang atau pembayaran gaji pegawai sebab situasi tetap formal, yang dalam masyarakat tutur Indonesia harus menggunakan ragam resmi Yang mungkin berubah adalah penggunaan registernya. Kalau perubahan register dianggap juga sebagai alih kode (sebab berubah ragam atau dialek juga dianggap persitwa alih kode) maka persoalannya menjadi lain. Untuk kegiatan tertentu memang diperlukan register tertentu.
G. Alasan-alasan terjadinya alih kode
Menurut Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia disebabkan oleh :
- Kehadiran orang ketiga
- Perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis
- Beralihnya suasana bicara
- Ingin dianggap “terpelajar”
- Ingin menjauhkan jarak
- Menghindarkan adanya bentuk kasar atau halus dalam bahasa Sunda
- Mengutip pembicaraan orang lain
- Terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia
- Mitra berbicaranya lebih mudah
- Berada di tempat umum
- Menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda
- Berlaih media/sarana bicara
Penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda adalah karena :
- Perginya orang ketiga
- Topiknya beralih dari hal teknis ke hal nonteknis
- Suasana beralih dari resmi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan ke keindonesiaan.
- Merasa ganjil untuk tidak berbahasa Sunda dengan orang sekampung
- Ingin mendekatkan jarak
- Ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa Sunda halus dan berakrab-akrab dengan bahasa Sunda kasar
- Mengutip dari peristiwa bicara yang lain
- Terpengaruh oleh lawan bicara yang berbahasa Sunda
- Perginya generasi muda, mitra bicara lain yang lebih muda
- Merasa di rumah sendiri, bukan di tempat umum
- Ingin menunjukkan bahasa pertamanya adalah bahasa Sunda
- Beralih bicara biasa tanpa alat-alat seperti telepon.
Catatan :
Penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Bahasa adalah “The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.” Sedangkan Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Dalam masyarakat tutur tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa, ada alih kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang, sedikit demi sedikit dari yang dekat sampai yang jauh perbedaannya, sehingga alih kode itu tidak terasa mengagetkan. Faktor yang mempengaruhi alih kode antara lain (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan turur, (3) perubahab situasi dan hadirnya orang ketiga, (4) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan. Jadi dalam setiap interaksi sosial kita tidak dapat memungkiri alih kode itu dapat terjadi seketika begitu saja karena sebab tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul, dkk. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa
Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik. Yogjakarta : Sabda
Komentar
Tulis komentar baru