CINTA ITU E K A
Ayam berkokok di pagi hari, bersautan mendendangkan irama alam nan merdu. Sang fajar melintasi zamrud khatulistiwa. Sungguh indah Sabtu ini, matahari kian bersahabat, kian memberi rona kehidupan. Berarak-arak awan di langit lepas mengitari alam semesta. Alam ditumbuhi pepohonan hijau kian memberi kesejukan menembus relung-relung jantung. Pagi ini aku melintasi jalan berliku dengan sepeda kukayuh penuh. Terlintas olehku seorang gadis berjalan mengitari pemukiman penduduk. Pikirku, gadis itu mencari sesuatu yang tidak ditemui, mencari arah yang tak pasti. Sepeda kuhentikan tepat disamping kirinya.
“Selamat pagi jeng, hendak kemana gerangan?” sapaku.
Sorot mata gadis itu meyiratkan wajah penuh tanya, ia tersenyum menjawab “Hendak pulang, kang. Tapi bingung mau kemana?”
“Kalau boleh tahu dimana rumahmu, jeng?”
“Lombok, Lombok Tengah.”
“Wah… so far, butuh waktu bermil-mil untuk sampai ke sana. Pulau ini bernama Sumbawa bersebelahan pulau Lombok. Kalau tidak keberatan jeng bisa istirahat di rumah keluargaku letaknya tak jauh dari sini, di kaki gunung Tambora. Insyaallah, pagi-pagi benar aku akan mengantarmu kembali, pulang. Handai tolanku pun di pulau Lombok.”
Gadis itu sangksi dengan apa yang aku utarakan, aku mahpum.
“Percayalah, aku tidak akan menyakitimu. Aku ini orang baik, ibuku guru, ayahku pengusaha”.
Senyum simpul itu isyarat setuju dengan tawaran yang ada.
“Baiklah, aku mempercayaimu, aku tidak keberatan akan itu.”
“Silahkan naik, jeng!” aku mempersilahkan duduk di belakang sepeda ontel pemberian kakekku.
“Terima kasih,” terdengar ucapan dari hela napasnya.
“Ada pepatah berbunyi tak kenal maka tak sayang. Siapa namamu, jeng?”
”Panggil aku Eka, kang. Eka Arfianti.”
”Siapa?”
”Eka, Eka Arfianti”
“Wah.. nama yang indah.”
“Akang namanya siapa?“.
“Gellis, begitu aku disapa. Ya-ya, coba ceritakan kepadaku bagaimana Eka terdampar di pulau ini!”
“Ceritanya rumit kang, intinya terjadi kecelakaan ketika aku dan kawan-kawan studi tour ke pulau Dewata. JM. Ferry yang kami tumpangi kandas di laut lepas. Oleng.”
”Lantas, bagaimana nasib kawan-kawanmu?”
“Entahlah, setahu yang aku pikir mereka lihai berenang, pun juga aku, kang. Kami berpisah ketika ombak menghantam kapal dan oleng di laut lepas.”
”Bagaimana nasib penumpang lain?” tanyaku lagi.
“Lupakanlah, aku tidak ingin mengingatnya. Bencana itu datang tiba-tiba, tidak mampu dielakkan.”
“Aku turut berduka akan itu.”
Lantas kutoleh ke belakang, kulihat butiran kristal jatuh melintasi pipinya yang indah.
“Maaf, aku membuatmu menangis?”
“Tidak, tidak apa-apa, aku teringat keluargaku, mereka pasti mengkhawatirkanku. Ayah dan Ibuku paruh baya, tentu mereka terpukul.”
“Eka, aku janji akan mengantarmu kembali bersama mereka, bersama orang yang kau cinta, orang yang mereka cintai, bertemu dengan handai tolanmu. I Promise”
“Terima kasih kang, kau begitu baik.”
Perbincangan itu menarik dalam suasana desa, hamparan sawah ditengahi pematang membuat suasana semakin indah, dan kicau burung menambah irama desa yang begitu kental. Sangat kental. Sungguh.
“Eka, itulah rumahku. Rumah idamanku. Rumahku surgaku, karena aku menemukan kesejukan di dalamnya.”
”RISA, rumah indah sederhana.”
Tiba kami di pekarangan rumah lantas berucap “Assalamualaikum”. Samar-samar terdengar jawaban dari dalam “Alaikumsalam.”
Ibu keluar dari dalam rumah, bertanya dengan nada kaget “Gellis, siapa gerangan gadis ayu itu?”
“Namanya Eka, Bu. Eka ini Ibuku.”
Segera ia meraih tangan ibu, menciumnya. Ibu tampak sumringah. Ibu mempersilahkan kami masuk, dan duduk di sofa rumah. Aku menceritakan asal-muasal pertemuanku dengan Eka pagi ini. Panjang lebar kubeberkan tetek bengeknya, akhirnya Ibu mahpum, mengijinkan Eka untuk menginap di rumah kami.
“Oh ya, Eka. Silahkan istirahat, kau pasti kelelahan hari ini. Sebelah kanan nomor dua ada kamar Lala adik Gellis. Kau tidak keberatan di kamar tersebut?”
“Tentu saja Bu, engkau begitu baik mengijikan Eka berada di sini, di tengah keluarga ini.”
“Eka, aku antar kau ke kamar adikk,” pinta Gellis.
“Terima kasih, kang.”
Ibu tersenyum simpul mendengar ucapan lembut tutur bahasanya. Aku lantas menuju lokasi kamar adikku, adik bungsuku.
“Eka, silahkan istirahat, kau pasti kelelahan setelah saban hari menghadapi hal yang tidak kau inginkan. Di lemari itu, ada pakaian adikku. Aku rasa pas untuk postur tubuh indahmu. Kau bisa menggunakannya. Adikku tentu tidak keberatan. Eka, tapadon.”
“Terima kasih, kang.”
Detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari, tak terasa siang pun menghampiri. Kumandang azan nyaring melengking dikumandangkan marbot Ali, suaranya begitu anggun, serak-serak basah.
Aku mengetok pintu kamar adikku lantas berucap ”Eka, shalat dzuhur dulu, makanan sudah stand by.”
“Ya, kang.”
Pintu itu dibuka pelan dan kasat mata kulihat wajah indah merona tampak mempesona.
“Kau tampak segar siang ini,” sapaku.
“Ya, badanku sedikit agak baik kang. Sejatinya aku ingin membalas kebaikanmu.”
“Eka, aku melakukannya ikhlas tanpa pamrih. Lupakanlah yang telah terjadi. Di lemari ada mukenah, bisa kau pakai! wudhu di belakang rumah!. Aku ke depan dulu.”
Ketika hendak berbalik, tiba-tiba Eka menarik tanganku. “Kang, kita shalat berjamaah, kakang menjadi imam.”
Dari balik pintu ibu datang menghampiri lantas berdehem. “Ehm..ehm…., makanan sudah siap kita makan berjamaah.”
Eka melepas tanganku. “Oh ya, bu kita sholat dulu,” jawabnya.
Setelah mengambil air wudhu, kami menunaikan shalat fardu. Usai shalat Eka mengulurkan tangannya, mencium tanganku. Dalam hatiku berucap akankah Eka gadis yang ditunjuk Allah untukku. Gadis sholehah begitu anggun mempesona. Allahualam bissawab. Aku tersipu malu ketika ia mencium tanganku dan aku merasa salah tingkah dibuatnya. Setelah sholat, kami menuju meja makan untuk menyantap makan siang yang telah disediakan. Ibu masak sepat makanan khas Sumbawa, kesukaanku.
“Apa ini, kang?” Eka ingin tahu.
“Ini sepat. Di pulau Lombok kau belum mencicipinya, cobalah! rasanya goyang lidah. Satu lagi rujak seping, tak kalah enaknya dengan sepat.”
“Wah.. rasanya nendang, sungguh lezat sekali. Rujak seping di daerah Eka seperti beberok. Beberok adalah kacang panjang, terong berbumbu pelecing.”
Ikan Kakap yang dibakar ibu sunguh menambah kelesatan makan, siang ini.
“Eka, aku paling suka ikan bakar, makan kurang mantap tanpa ikan bakar.”
”Oh ya.. bagus itu kang, Eka juga suka.”
“Sore nanti aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, tempat dimana kesedihanmu sedikit memudar.”
“Kesedihan Eka mungkin memudar, tapi trauma itu belum hilang dalam memori.”
“Tentu saja itu akan lenyap seiring berjalannya waktu. Waktu yang terus berputar bagai roda pedati. Pepatah barat berbunyi Yesterday is history, today is gift and tomorrow is mistery. Hari lalu adalah kisah, hari ini adalah kesempatan, dan hari esok misterius problem.”
“Kau benar. Kakang pandai nian bahasa Inggrisnya? Belajar darimana?”
“Aku belajar Otodidak, belajar sendiri tanpa guru.” Kalau kita menggemari membaca, tentu kita sudah belajar secara tak langsung. Belajar tersebut dinamakan otodidak.”
“Oww… ,Kakang waktu luang Eka sedikit sekali untuk membaca, Eka ingin memotivasi diri Eka untuk membaca lebih giat. Bagaimana caranya, kang?”
“Gampang saja Eka, bacalah buku yang kamu suka, kamu akan termotivasi untuk membacanya.”
Makanan hampir habis, namun kami terus berbincang.
”Kang, aku penasaran tempat yang mampu menghilangkan kesedihan Eka.”
“Ini kejutan besar dan rahasia.”
Kami lantas menyudahi makan siang. Eka membantu Ibu membersihkan tempat makan.
“Eka, istirahatlah. Aku akan membeli tiket untuk keberangkatan kita besok. Bu, saya pergi dulu ya?”
“Hati-hati di jalan nak!” petuah ibu
“Ya-ya Bu, do’akan saya. Eka, aku pergi dulu.”
Eka melambai tangan dan lambaian itu membuat hatiku terpana.
Ayah sedang menjaga Warung makan sehingga tidak sempat makan bersama kami, tapi aku segera menuju ke tempat beliau bekerja. Aku menceritakan duduk permasalahan. Beliau mengijinkan.
Sore hari ba’da Asar kutepati janjiku untuk mengajak Eka melihat matahari sore. Hati kecilku berkata, gerangan apa diriku? Kenapa dirinya? Aku mengajaknya berbincang “Eka, disinilah aku melepas kegundahan, sendiri seorang diri menikmati keindahan cakrawala alam. Sejatinya kaulah orang pertama menemaniku menikmati keindahan ini.”
Eka sumringah. “Ya-ya, kang. Tempat ini memang indah, rasanya hatiku ikut terbawa oleh suasana alam alami.”
Ketika kami berbincang panjang lebar, matahari hampir mendekati peraduannya. Kami kembali pulang.
Ketika usai fardu Magrib, kami melatunkan ayat suci Al-Quran bersama hingga Isa menjemput. Ba’da Isa diner bersama-sama, lantas sharing untuk mencari titik temu masalah yang singgah dini hari tadi. Eka menceritakan masalah yang terjadi tetek bengek. Aku memberi support untuknya. Ayahku mahpum, berbelas kasih dengan masalah Eka. Sungguh menyedihkan, menggugah hati. Eka wanita yang tegar dan sigap menghadapi hidup.
“Ayah, Ibu. Aku akan menemani Eka pulang besok pagi. Pukul 07.00 am pesawat take out dari bandara Brangbiji menuju bandara Internasional Lombok.”
”Pergilah anakku, jaga Eka baik-baik,” jawab mereka
Hari makin petang, aku mempersilahkan Eka istirahat.
“Anakku, kemarilah! Gadis itu anggun dan sopan. Eka sepertinya gadis yang dikirim Allah untukmu.”
“Entahlah, Bu. Setiap malam aku shalat Lail untuk mendapatkan pendamping hidup. Soal jodoh Tuhan yang atur.”
“Ya-ya, dimana Eka bekerja?”
“Dia mahasiswa MIPA semester tujuh IKIP, Bu. Eka kuliah sambil kerja juga, dan Eka bekerja di SDN 51 Cakra. Ketika itu Eka melaksanakan studi tour di pulau Dewata, lantas musibah itu tidak dapat dibendung.”
“Anakku, kau sudah tanya kalau ia sudah memiliki pendamping hidup.”
“Aku belum berani menanyakannya.”
“Baiklah, jalani pertemanan kalian dulu. Ibu setuju kalau kau bersanding dengannya.”
Aku terkesima mendengar kalimat itu. Ya-ya, aku berpamitan untuk tidur lebih awal sebab besok seyogianya bangun pagi-pagi. Weker telah aku aktifkan pukul 05.00 am. Dalam tidur aku bermimpi bertemu bidadari yang tidak sempat aku utarakan kecantikannya itu. Perfeck
“Siapa gerangan?” tanyaku dalam mimipi.
Ia menjawab “Aku bidadari surga?”
“Maukah kau menikah denganku?”
“Lamarlah aku wahai tuan”
“Apa mas kawinmu?”
“Shalat di sepanjang malam.”
“Subhanallah”.
Aku terbangun dari tidurku, kulihat weker menunjuk pukul empat tepat. Maha besar Allah, dari kejadian itu aku lantas mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat Lail. Aku tengadahkan tangan memohon kelapangan rizki dan jodoh. “Akankah gadis bernama Eka jodohku?”, aku mengadu kepada Allah apa yang aku risaukan. Allah bersamaku, bersama jiwaku.
Aku bangun lebih awal sebelum wekerku berbunyi. Aku membangunkan keluarga. Kusapa Eka untuk menyambut pagi ini, ia tersenyum simpul. Ia berbenah dalam segala hal, dan beberapa menit kemudian kami berpamitan untuk menemani Eka kembali pulang, kembali ke kampung halaman, bertemu keluarga, handai tolan yang tentunya merindukan kedatangannya. Kami menuju bandara Brangbiji yang menghubungkan penerbangan menuju Bandara Internasional Lombok.
Dengan menumpang pickup paman pagi itu, kami tancap setir menuju lokasi. Sempat kami pamitan kepada paman sebelum kami take out dari bandara Brangbiji. Nomor kursi kami 13 dan 14, letaknya di tengah pesawat Lion Air yang kami tumpangi. Kami memulai pembicaraan hangat terkait hal-hal kecil. Eka tersenyum simpul, tanpa kusadari ia mejatuhkan kepalanya ke pundakku. Aku sempat merasa nervous, lantas ia berucap “Kang, terima kasih atas apa yang telah kau perbuat untuk Eka, atas segalanya. Kau telah begitu baik menemani Eka di kala Eka sedih dan senang. Kakang ingin rasanya Eka membalas kebaikan kakang.”
Aku mananggapi lalu menjawab “Eka, aku tidak meminta apapun darimu. Aku ikhlas tanpa pamrih, setidaknya aku bahagia karena aku dapat membantu dirimu.”
”Kang, ijinkan Eka mengutarakan sesuatu?”
“Apa itu?”
“Eka bahagia bersamamu.”
“Ketahuilah Eka, aku merasakan hal yang sama padamu, sejak kali pertama kita bertemu kaulah belahan hatiku, penyejuk jiwaku, dian penerang hidupku.”
“Kang, lamarlah Eka!”
Aku terdiam, darahku rasanya ke ubun-ubun kepala mendengar lafal itu.
“Ya-ya,” ucapku pelan.
Dalam hati aku berkata inikah arti mimpi semalam itu. Mimpi bertemu bidadari jelita dan menyandingnya. Ya Allah, terima kasih karena engkau telah memberikan yang terbaik bagiku. Aku rasa Eka kekasihku berjilbab putih.
Dua puluh menit kemudian kami take in ke Bandara Internasional Lombok. Dari kejauhan belum nampak batang hidung kak Asik. Lantas handyponeku berbunyi, Kak Asik menunggu di taman Garden.
“Itu dia” sapaku.
“Ini Eka temanku, teman spesialku, teman hidupku. Eka ini kakakku, kak Asik.”
Kami pergi menuju rumah kak Asik di Mataram.
Pagi-pagi benar aku mengantar Eka pulang ke rumahnya di Lombok Tengah. Aku belum paham rute ke sana, tetapi Eka lebih paham dari aku, ia penunjuk jalan. Dengan menggunakan Satria F 150 kepunyaan kak Asik, aku meminta Eka duduk di belakang, dan tanpa aku sadari ia memelukku. Aku kaget setengah mampus, sebab kali pertama aku membonceng Eka seperti ini. Luar biasa.
“Kak Asik tersenyum simpul, lantas berucap “Duh, mesranya kalian, hati-hatilah di jalan.”
“Terima kasih kak Asik. Assalamualaikum”
“Alaikumsalam,” jawab kak Asik.
Sepanjang perjalanan Eka memelukku begitu eratnya, lantas berucap kata nan mesra. “Kakang, curilah aku dari orang tuaku.”
Aku mencoba memahami apa yang ia utarakan. Aku pernah membaca novel tetralogi laskar pelangi Andrea Hirata berjudul Mayamah Karpov. Buku tersebut menceritakan adat Sunda, apabila seorang gadis meminta kepada pria untuk mencuri dirinya, artinya sang gadis minta dirinya dilamar.
“Eka, apa maksudmu? aku belum mahpum.”
“Lamarlah aku, kang.”
Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Gadis ayu itu meminta aku melamarnya. Tidak terpikir olehku aku mampu memilikinya, seutuhnya.
“Eka, sungguh aku juga merindukan belaian kasih, cinta yang tulus suci. Aku juga berpikir sama denganmu, merindukan saat kita menikamati keindahan sore, memandangi matahari yang hendak menuju peraduannya.”
“Ya-ya, kang. Kita hampir tiba, toko di pertigaan jalan itu rumah keluarga Eka.”
Dari kejauhan tampak ayah Eka sedang membersihkan halaman depan toko, ia tampak sedih memikirkan Eka sudah tiga hari menghilang.
“Assalamualaikum,” ucap kami.
“Alaikumsalam,” jawaban yang terdengar.
Setalah melihat Eka, sapu dilepas, dan segera memeluknya. Rasa haru bercampur bahagia menghampiri, air mata turun seketika tak dapat dibendung lagi, butiran bening juga diteteskan Eka, sebab ia telah kembali ke pangkuan mereka.
Aku terkesima dan jeritan Eka memanggil ibu, melengking seketika. Ibu lantas memenuhi panggilan anaknya. Ibu sujud syukur, dan aku mahpum. Handai tolannya yang lain ikut meramaikan suasana kedatangan Eka.
“Siapa gerangan lelaki ini, nak?” tanya ayah Eka.
Eka memperkenalkan aku kepada mereka “Lelaki inilah yang menolong Eka ayah.”
Aku mencium tangan kedua orang tuanya lantas berucap “Nama saya Gellis, saya dari pulau Sumbawa, saya kesini mengantar putri bapak yang tersesat di kampung saya.”
Kami dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
“Anakku Gellis, terima kasih kau telah mengantar Eka kembali pulang. Ketahuilah Eka adalah kerinduan kami.”
“Kembali kasih,“ jawabku.
Eka, walapun pertemuan hari itu telah mampu mempertemukan kami sejenak, sejatinya aku bangga mendampingimu.
“Pak, Eee..... mengingat usia kami baya, saya ingin melamar Eka.”
”Melamar?!”
Suasana hening seketika dan aku mengheningkan cipta berharap pro. Tarikan napas ketiga, ayah Eka berucap “Eka, apakah kau bersedia menerima lamaran pemuda ini?”
Eka diam seketika, tampak kemerahan di kedua pipinya lantas menganguk-angguk tanda setuju. Diamnya wanita adalah persetujuan. Eka permisi ke belakang membuat minuman hangat. Dalam hatiku amat senang mendengarkan jawaban yang terlontar. Mendapat restu dari kedua orang tua kami...
Eka, I Love You.
* * * *
Komentar
ckckk,,, lis,, lis,,, begini
ckckk,,, lis,, lis,,, begini dalamkah eka telah menoreh sesuatu di benakmu!!! bravo kawan!!! dapatkan dia!
Tulis komentar baru