Skip to Content

KOPI: KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT ACEH

Foto Emilianus Elip

Kopi: Konteks Sosial Masyarakat Aceh (Dari Konstantinopel sampai Aceh)

Oleh: Emil. E. Elip

Catatan: Ini sebuah tulisan dari sepenggal Kumpulan Catatan Dari Aceh, ketika saya bekerja di sebuah lembaga internasional yang bekerja pasca Tsunami selama 3 tahun sekitar 15 tahun yang lalu. Sepenggal kisah lain dari kumpulan cerita itu pernah saya tulis untuk Jendela Sastra dengan judul Dapur, Kuda, dan Syair Didong.

Beberapa  gambaran  dilematis  kopi  dan  petani kopi mungkin terasa sangat tidak adil. Ketidakadilan ini serasa semakin tajam jika Anda meminum kopi dari tanah Gayo ini di wilayah masyarakat Gayo, merasakan nikmatnya [1] ditemani landscape yang indah atau hangatnya api unggun di sore hari, atau melihat bagaimana para petani menunggui dan menghidupi keluarganya dari kopi. Maka sungguh terasa ketidak adilan itu hadir tidak hanya mengusik ”dikepala” namun meremas tepat diulu hati kita. Bagi Anda yang kurang paham tentang siapa sih masyarakat Gayo? Ringkasnya masyarakat ini adalah cikal bakal dari masyarakat di wilayah Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Luwes, sampai perbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara. Mereka menempati pegunungan tengah wilayah Aceh Nanggroe Darussalam.

Tetapi  sudahlah,  kita  tidak  hendak  membahas kopi dari sudut ekonomi semata dan tatakelola perdagangannya yang timpang, yang nampaknya sangat ruwet. Yang perlu kita hargai sebagai energi kebudayaan adalah, bahwa kopi telah menjadi media sosial dan budaya masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh umumnya. Lebih dari itu, apapun pahit getirnya dalam konteks ekonomi, kopi telah menjadi  alat  bertahan hidup  (strugling  of  life)  orang Gayo menjaga keluarganya bertumbuh dari jaman ke jaman, entah bagaimanapun sulitnya hidup dan beratnya merawat kebun-kebun kopi.

Marilah kita sedikit meninjau kopi ini dari sudut sosio-kultural yang agak luas, tidak dalam komunitas Gayo saja tetapi juga komunitas Aceh pada umumnya. Apakah kopi di kedai-kedai kopi di wilayah Aceh Nangroe Darussalam sama saja? Kalau Anda minum kopi di kedai-kedai kopi di kota-kota pesisir seperti Banda  Aceh, Biereun,  Lhokseumawe,  Langsa, Meulaboh,   dll   maka   rasa   kopinya   dikenal   oleh khalayak umum sebagai cita rasa kopi Ule Kareng yang juga kesohor di sana. Namun kalau Anda minum kopi dikedai-kedai  di  Bener  Meriah,  Takengon,  dan Kutacane maka bukan cita rasa Ule Kareng yang Anda temui, tetapi cita rasa kopi Gayo yang hitam dan lebih keras. Di tiga kota tersebut terakhir cita rasa kopi Ule Kareng bisa juga Anda temui khususnya di kedai-kedai kopi yang dibuka oleh orang Aceh pesisiran.

Kopi  dan  kedai  kopi  di  Aceh  memang kontekstual. Tergantung dari wilayah dan kebudayaan mana cita rasa, mulut dan perut Anda dibentuk. Bagi mereka   yang   dibesarkan   dalam   kebudayaan   Gayo maka rindu rasanya kalau seharian belum minum kopi Gayo. Begitu pula sebaliknya, yang dibesarkan dalam kebudayaan Aceh pesisiran rindu untuk minum kopi cita rasa Ule Kareng. Tetapi konon bahan dasar bijih kopi cita rasa Ule Kareng pun berasal dari kopi Gayo, hanya diproses dengan cara, tehnik, dan tambahan bumbu yang berbeda.

Kedai Kopi, Cafe Kopi ”Plus”

Kapankah  tepatnya  nongkrong  di  warung  kopi, atau  kalau  di  wilayah  Eropa  disebut  ”cafe”,  mulai merebak. Kopi dihadirkan pertama kali ke khalayak publik sebagai jasa warung kopi, atau disebut kiva han atau ada juga yang menyebut qahveh khaneh (artinya pencegah kantuk), adalah di Konstatinopel (Istambul) Turki pada  tahun 1479[2]. Waktu  itu  hanya  ada  satu warung kopi. Tujuh puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 1554 dua warung kopi dibuka lagi di Istambul. Di Turki kala itu warung kopi dikenal juga dengan sebutan ”school of wise”. Dengan datang ke warung dan minum kopi orang semakin pintar, karena di sana bisa mendengarkan musik, berbincang-bincang tentang berbagai hal, atau sekadar mendengar diskusi- diskusi yang berkembang.

Seiring semakin kuatnya kesultanan Ottoman di Turki melalui penahklukkan kerajaan-kerajaan di wilayah mediteranian, maka dari Turki kopi merambah masuk  ke  kota  Venice  (Italia)  sekitar  tahun  1615 [3] . Namun tersebar  issu  bahwa  minuman  ini  disebut ”minuman setan” sehingga   menumbuhkan berbagai kontroversi sampai-sampai membutuhkan keterlibatan Paus Clement ke-VIII untuk memberikan ijin bahwa kopi boleh diminum dan dijual di warung- warung kopi.

Masih di awal-awal abad XVI itu warung kopi pertama di buka di London. Pada awal abad XVII warung kopi yang kemudian sangat kesohor Edward Lloyd’s Coffee dibuka di kota yang sama. Dari Inggris kopi  dibawa  ke  ”dunia  Baru”  (Amerika)  pada  abad XVI.     Kopi  begitu  pesat  berkembang  sehingga  di London pada akhir abad ke-XVII tercatat sudah 300 warung kopi beroperasi. Dari Inggris kopi masuk ke Belanda, dan cafe kopi persia dibuka pertama kali di negara ini tahun 1713. Belanda kemudian menyebarkan kopi ke India dan Indonesia sekitar pertengahan abad XVII. Begitulah sekilas perkembangan minum kopi di warung   kopi,   yang   disinyalir   sebagai   ”the   most consumed baverage in the planet”.

Menurut penelaahan banyak kawan bahwa perkembangan binis kopi di Aceh sangat signifikan pasca Tsunami dan MoU Helsinki. Dunia dan atmosfir nongkrong minum kopi telah berkembang bermacam-macam, mulai dari yang bernuansa tradisional-konvensional sampai ke nuansa modern-metropolis, lengkap dengan berbagai fasilitas serta asesoris pelengkap promosi. Ada Kedai Kopi, ada Cafe Kopi, dua nama yang sebetulnya maknanya sama saja sebagaimana ”warung kopi”. Jaman dahulu bayangan mengenai ”kedai” atau ”warung” kopi adalah tempat minum  kopi  dengan  perabot  bermeja  papan,  kursi kayu, rumah warung dari papan, tanpa AC atau kipas angin. Inilah gambaran konvensional-tradisional. Sekarang ”kedai” atau ”warung” kopi mengambil tempat dan design ruang yang lebih mewah persis seperti kita lihat ”cafe-cafe” di film-film luar negeri, bahkan dilengkapi dengan akses internet.

Itulah letak ”plus”-nya, bahwa kedai kopi di Aceh (khususnya di kota Banda Aceh) dewasa ini dikelola dengan desain yang modern dalam manajemennya, setting ruang yang enak dan   mewah,   meubelair   yang  menunjukkan   wajah ”wah”,  dengan  setting  lampu  yang  romantis, dilengkapi  dengan  akses  internet,  dan di  beberapa kedai atau cafe pelayannya adalah perempuan- perempuan muda.

Di   kedai-kedai   kopi   ”pinggiran”,   maksudnya yaitu  kedai  kopi  yang  letakknya  di  perkampungan, para pelanggan memang didominasi kaum laki-laki. Namun kondisi ini sudah jauh berbeda dengan kedai atau cafe kopi yang ada di kota. Pelanggannya sudah hampir  sebanding  antara  laki-laki  dan  perempuan. Para tamu ini datang dari bermacam kalangan entah anak SMA, mahasiswa, para pegawai negeri maupun swata, para pebisnis, para pengangguran, seniman, aktivis LSM, dan berbagai macam lainnya. Nampaknya topik-topik yang dibicarakanpun bermacam rupa entah cuma berkelakar biasa, tapi ada pula yang membicarakan perkembangan politik lokal dan nasional, bisnis, diskui kemahasiswaan, atau sekedar menggosip, dan tentu saja ada pula yang berkencan.

Warung kopi, dimana sekarang sering memakai istilah  cafe,  bukanlah  sekedar  institusi  sosial  yang terkait dengan pedagangan dan jasa saja. Warung kopi cenderung menjelma menjadi institusi sosial yang menjadi arena dimana hampir tidak ada sekat-sekat batas sosial.  Jika Anda hendak  bernegosiasi ”pekerjaan”  dengan para  fungsionaris  birokrat,  akan sangat  berbeda  nuansanya  jika  dimulai  di  cafe  kopi. Jika mitra bisnis yang sedang Anda dekati dibawa terlebih dahulu ke cafe-cafe kopi, mungkin naunsa-nuansa negosiasi berikutnya akan menjadi lebih mulus.

Antara pukul 17:00 sampai sebelum mahrib sudah merupakan pemandangan yang biasa di cafe-cafe kopi cukup  padat  dengan  anak-anak  muda  masih berpakaian rapi ala kantor, bercanda melepas ketegangan   pekerjaan   dengan   rekan-rekan   mereka. Saat  mahrib  cafe-cafe  ini  sepi  karena  ditutup sementara, dan setelah mahrib kembali ramai. Kondisi ini mungkin mirip dengan para eksekutif muda di Jakarta yang setelah jam-jam kantor selesai mereka datang ke cafe-cafe, karaoke, atau diskotik untuk melepas lelah dan ketegangan pekerjaan kantor.

Kedai dan cafe kopi (khususnya di kota besar Banda Aceh)  telah menjadi arena ”non-formal”, sekat- sekat struktur sosial yang membelenggu hilang sementara  meski  masih  dalam  batas  koridor kesopanan. Orang khususnya kaum muda, ingin mencari arena yang lebih ”longgar” dimana untuk sementara terhindar dari beban-beban ekonomi, struktur-sosial, himpitan kekuasaan, atau mungkin (bercampur) bayangan tekanan psikologis masa lalu oleh karena konflik panjang.

Pertanyaan yang menarik diajukan, ”ngopi” merupakan koteks kekinian masyarakat Aceh, atau ngopi sudah merupakan ”oase” kehidupan dalam historisitas masyarakat Aceh. Jika memang ya, sejak kapan keudai kopi dan ngopi ini kira-kira telah mewarnai fenomena perkembangan masyarakat Aceh.

Kopi dan Historisitas Aceh (Sekedar reintepretasi historis)

Sekarang mari kita pertanyakan lebih dalam, apakah   kedai-kedai   kopi   di   Aceh   dalam   lintasan sejarah  Aceh  menyumbangkan  alternatif-alternatif kritis  untuk  tatanan  “dunia  baru”?    Ambil  misalnya saja,  apakah  kedai-kedai  kopi  di  era  kolonial  dulu punya peran sebagai arena kritalisasi gagasan-gagasan kepahlawanan dan praktik-praktik strategi perlawanan demi bangsa yang berdaulat dan terhormat? Entahlah, secara historiografi mungkin tidak ada catatan-catatan sejarah tentang hal itu, dan penulis juga belum pernah menemukan artikel yang mengintepretasi mengenai hal tersebut.

Namun mungkin bisa dilakukan rekonstruksi antara sejarah perkembangan persebaran kopi, sejarah masuknya pengaruh-pengaruh Islam (terutama Turki dan Arab) dan di sisi lain sejarah kepahlawanan pejuang-pejuang Aceh. Dari rekonstruksi itu mungkin barang  sedikit  kita  bisa  mengintepretasi  apakah kehidupan   “warung   kopi”   telah   mewarnai   “Aceh tempo doeloe”.

Mitos awal mengenai kopi ada di daerah Etiopia dengan legenda penggembala kambing bernama Kaldi pada awal abad 8 [4]. Dari sini kemudian kopi menyebar ke Mesir, Yaman, dan Arab. Namun bangsa Arab-lah yang berhasil mengembangbiakkan tanaman kopi ini, bahkan memproduksi dan memperdagangkannya di sekitar abad 11 [5]. Di negara-negara jazirah Arab kopi yang biasa disebut qahweh ini menjadi sangat populer, namun secara formal kopi menjadi jasa perdagangan dalam bentuk ”kedai kopi” terjadi tahun 1475 (tulisan lain menyebutkan abad 16) di Konstantinopel (Istanbul- Turki) dikenal dengan istilah Kiv Han (artikel lain menyebutkan kahve) pada era kejayaan Khalifah Turki Usmani. Dari negeri para khalifah ini kopi kemudian menyebar ke Italia, Inggris, dan Belanda antara abad 16 sampai 17.  Namun ngopi di ”warung kopi” waktu itu   masih   menjadi   dominasi   kaum   elite   karena harganya yang selangit.

Belanda akhirnya mendapat bibit-bibit biji kopi tersebut pada sekitar abad 17, dalam upayanya untuk memotong mata rantai monopoli pedagangan kopi oleh bangsa Arab. Pada tahun 1610, Belanda mencoba mengembanbiakkan tanaman kopi ini di India namun kurang begitu berhasil.   Pada tahun 1699 Belanda mencoba kembali mengembangbiakkan tanaman kopi di   perkebunan   kopi   di   Srilanka   dan   tanah   Jawa (Indonesia) pada tahun 1699 [6]. Akhirnya melalui institusi dagang   VOC,   Belanda   berhasil   mengeksport   kopi tahun 1711 . Indonesia adalah tempat perkebunan pertama diluar Arabia dan Ethiopia dan VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 sampai   1780.   VOC   kemudian   melebarkan   sayap dengan menanam kopi diluar Jawa seperti di Sumatra, Bali, Sulawesi dan Timor. Tanaman kopi tersebut akhirnya masuk ke dataran tinggi Gayo (Aceh) sekitar tahun 1924 [7].

Menilik perkembangan sejarah tanaman kopi, maka dia baru masuk ke Indonesia pada sekitar abad 17, bahkan penanamannya secara perkebunan baru masuk ke Aceh (Takengon) sekitar tahun 1924. Dalam sudut pandang sejarah yang lain, yaitu sejarah Islam masuk ke Aceh, maka kemungkinan sejarah orang Melayu  (termasuk  Aceh)  minum  kopi  bisa menunjukkan cerita yang berbeda. Hubungan komunitas-komunitas masyarakat di Aceh  dengan  pedagang-pedagang  Islam,  secara  lebih konstruktif  dan  terorganisir  dalam  bentuk perdagangan, perkawinan silang maupun kerja sama resmi     dua     institusi     kesultanan,     dimulai     sejak kesultanan Islam Perlak pada sekitar abad VIII. Kemudian juga dengan kesultanan Samudra Pasai sekitar abad X, dan dilanjutkan dengan hubungan yang lebih kuat melalui kesultnan Aceh Darussalam yang dimulai pada abad XII.

Pada   masa   kejayaan   kesultanan   di   Aceh   itu, terjalin hubungan yang paling kuat dengan Turki yakni pada tahun 1567 dalam bentuk pengiriman armada- armada Angkatan Laut ke Aceh di bawah perintah keluarga kesultatan terkuat saat itu yaitu keluarga Usmaniah yang bernama Sultan Selim II. Bantuan ini bertujuan memperkuat armada laut Aceh dalam memerangi Portugis, dan juga membangun semacam ”akademi  angkatan   laut”   yang   kuat   di Aceh [8]. Dikisahkan utusan itu terdiri atas beberapa armada angkatan laut, ulama, ahli kapal, ahli altileri, beserta tukang-tukang. Oleh Sultan Selim mereka diminta tinggal di Aceh selama sultan Aceh masih membutuhkannya. Dikisahkan bahwa akhirnya para utusan tersebut banyak yang kawin dengan penduduk setempat.

Relasi  yang  kuat  ini  terjadi  sekitar  satu  abad setelah budaya ngopi kahve sudah sangat membudaya di Turki (Tahun 1475-an),   dimana kopi juga sudah mulai  diperdagangkan  oleh  bangsa  Turki  ke  Italia, Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda. Sementara tanaman kopi baru masuk Indonesia sekitar 1725 oleh Belanda. Relasi orang-orang Aceh yang cukup intens dengan pedagang-pedagang, para ulama, maupun para spesilist (ahli)  dari  Arab  dan  Turki  tersebut,  bukan tidak mungkin telah memperkenal orang-orang Aceh dengan minuman yang disebut ”kopi”.

Ada beberapa intepretasi tentang ”ngopi” yang terjadi pada masa kesultanan Aceh tersebut. Pertama, kopi masih di minum dalam kalangan elite-elite kesultanan dan  bara  bangsawan  sebagagai  jamuan  minum bersama. Sebabnya yaitu bahwa kopi belum menjadi barang  perdagangan  umum,  kopi  diperoleh  sebagai ”cindera mata” saja dari para utusan dari dunia Arab dan Turki. Intepretasi Kedua,   kalaupun sudah dipasarkan  di Aceh [9], kuantitasnya   masih   sangat langka atau harganya sangat mahal, sehingga saudagar kaya, para penyair-pujangga, para bangsawan atau sanak saudara kesultanan saja yang mampu nongkrong di  ”keudai  kopi”.  Intepretasi  kedua  ini  pun  cukup logis, sebab para pedagang luar dari Arab dan Turki tentu saja bukan pedagang biasa tetapi setingkat saudagar. Merekapun kiranya ingin memasarkan atau membuat kedai kopi, seperti yang telah terjadi di negara-negara eropa.

Bagaimana dengan lintas sejarah para sastrawan-budayawan dan pahlawan?  Hamzah Fansuri, seorang ulama, pujangga dn penyair, namun juga bisa disebut pengelana hidup sekitar abad 16, seangkatan  dengan  Syekh  Syamsuddin  bin  Abdullah Al Sumatrani, Syekh Ibrahim Al Syami dan Syekh Nurruddin Al Raniri dari Gujarat. Tiga ulama terakhir telah lebih dulu menjadi ulama sekaligus pujangga kesultanan, baru kemudian Hamzah Fansuri menyusul. Cik  Di  Tiro     hidup  tahun  1836-1891,  Teuku  Umar hidup pada 1854 – 1899, Cut Nyak Dien antara 1850- 1908,   Cut   Meutia   1870-1910,   dll.   Jika   pada   masa kedekatan sultan-sultan di Aceh dengan orang-orang Turki  yaitu  sekitar  abad  15,  dimana  kemungkinan besar ”ngopi” bersama sudah ada meski di kalangan terbatas, maka penulis kira hal yang sama sudah ada pula pada masa para pujangga-ulama, penyair dan pengelana,  dan kemudian  diikuti  masa  hidup  para ”pahlawan”.

Jadi  ”ngopi”  (bersama)  sejak  zaman  kesultanan (besar)   Aceh   penulis   kira   sudah   menjadi   arena ”dialog”, dimana orang saling membagi energi penyegaran   dan   pembaharuan pemikiran [10]. Bukan tidak mungkin keunggulan-keunggulan Aceh sejak zaman itu, disumbangkan oleh peran ”tempat ngopi”. Strategi ketatanageraan yang hebat zaman Iskandar Muda, qanun-qanun yang sahih, syair-syair pujangga ternama, strategi-strategi perang samudera, majunya mazhab-mazhab pemikiran Islam, dll kiranya satu dan lain hal ditopang oleh ”hidupnya” perbincangan di arena-arena kedai kopi.

Peran ”ngopi” dalam perkembangan sejarah masyarakat Aceh ini tentu saja terus berlanjut sampai pada masa pra-kemerdekaan Indonesia dan masa konflik panjang antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan   Pemerintah   Indonesia.   Pada   era-era tersebut pasti warung kopi di Aceh kuantitasnya sudah jauh lebih banyak dibanding masa kesultanan dan penjajahan.  Kopi  sudah  merakyat  dimana-mana sebagai komoditi merakyat (publik). Dan tentu saja, peran warung kopi sebagai arena ”ngopi” bersama, pada intinya mirip dengan jaman-jaman sebelumnya, bahwa dia menjadi arena mencari ”energi baru”: menganalisi kondisi kekinian—memperbincangkan secara kritis, setara dan lintas individu— terjadi semacam format ulang gagasan-gagasan baru.

”Ngopi”: Liminalitas Kehidupan [11]

Ada  semacam  pameo  bahwa  Kota  Banda  Aceh (mungkin) merupakan kota dengan kedai kopi terbanyak di dunia. Kedai kopi di Aceh khususnya di Kota   Banda   Aceh   telah   berkembang   sangat   pesat dengan berbagai ragam gaya dan fasilitas.   Kebiasaan ”ngopi”   di   masyarakat   Aceh   memang   luar   biasa. Sampai-sampai beberapa pemerintah kabupaten/kota sempat khawatir mengenai kedisiplinan pegawainya oleh karena budaya duduk di warung kopi. Sesungguhnya ”ngopi” ini sekedar ingin jajan saja, sekedar tradisi saja yang telah jadi kebiasaan turun temurun, ataukah dalam sudut yang lain ”ngopi” memiliki makna tersembunyi (unconciusness) dalam kehidupan.

Kalau orang hanya sekedar ingin minum kopi tentu saja bisa dilakukan di rumah, lebih murah, dan bubuk-bubuk  kopi  enak  bisa  dibeli  di  warung,  kios, atau  supermarket  terdekat.  Jelaslah  alasan  sekedar ingin kopi ini tidaklah benar. ”Ngopi” di cafe adalah arena yang dicari serta diinginkan. Warung kopi bukan saja arena pemilik warung untuk berperan ekonomi. Lebih dari itu warung kopi sudah menjadi arena yang dicari dan diinginkan para konsumennya. Ngopi telah menjadi simbol kebutuhan komunitas-komunitas di Aceh.

Warung   kopi   dan   ngopi   bersama   bukanlah wilayah ”formal”. Dia merupakan ruang ”informal” dimana batas-batas strukturasi vertikal maupun horisontal telah menjadi ”abu-abu” meski masih dalam batas  norma kesopanan. Di  dalam  arena  ”ngopi” sudah tidak amat penting lagi atasan dan bawahan, kaya maupun miskin, bekerja maupun pengangguran, priyayi maupun rakyat biasa, bangsawan atau bukan, ulama bisa berkelakar dengan umat, tengku bisa berdebat dengan orang awam, perempuan bisa duduk bersama laki-laki, dll.

Menurut pandangan penulis di dalam diri orang Aceh mengalir darah dari India dan Arab, dimana orang-orang  ini  sering  disebut  sebagai  ”macan mimbar” alias suka berbicara (bukan dalam pengertian negatif). Di luar sana dalam ”ritual” kehidupan nyata sesesorang terbelenggu oleh batasan-batasan sosiologis dan  kultural,  sehingga  tidak  bisa  sembarangan berbicara semaunya dalam hubungan yang sepadan. Maka di warung kopi ekspresi keinginan bicara bisa ditumpahkan tanpa terlalu direpotkan dengan sekat-sekat dan struktur yang membelenggu.

Itu salah satu alasan. Alasan berikutnya adalah bahwa kehidupan ini penuh dengan ”ritus”, yang didalamnya sarat dengan aturan dan norma yang membatasi, penuh dengan sekat struktur sosial dan budaya.   Hampir  tidak   ada   atau   sangat   sedikit ”kebebasan”   di   sana.   Semunya   itu   bisa menumbuhkan kejenuhan, keputusasaan, sinisme, tekanan-tekanan psikologis,  energi  amarah  dan  konflik  invidual maupun kelompok. Begitulah gambaran para ahli sosilologi  dan  antroplogi  mengenai  ritus  dan kehidupan, yang salah satunya diwakili oleh pemikiran Van Gennep dan Victor Turner [12] 

Dalam setiap komunitas kebudayaan, menurut para ahli tadi, pasti ada sebuah ”ruang” sebagai mekanisme untuk melepaskan diri dari ritual yang membelenggu tersebut, sejenak lepas dari struktur. Itulah ”liminalitas”, atau oleh Victor Turner sering disebut   juga   ”kondisi   anti-struktur”.      Bentuk   dan media  situasi anti-struktur tersebut bisa berbeda-beda di setiap masyarakat sesuai perkembangan ruang dan waktu. Saya kira kegiatan ”ngopi” di warung-warung kopi di Aceh merupakan representasi salah satu arena liminal masyarakat Aceh.

Apakah  sitauai  liminal  tersebut  merupakan sesuatu yang ”negatif”? Kalau dijawab dengan pemikiran sempit ”kaca mata kuda”, maka jawabannya cenderung negatif. Misalnya saja, budaya ngopi dianggap mengganggu kinerja pegawai. Padahal mengukur kinerja pegawai tidak hanya dari apakah seorang   pegawai   membolos   atau   terlambat   demi duduk di warung kopi. Ada pula disinyalir bahwa banyak ibu-ibu yang menjadi kesal karena lelakinya sering menghabiskan waktu di warung kopi dari pada di rumah membantu pekerjaan rumah tangga. Jika dicari-cari mungkin masih banyak daftar yang masih bisa ditulis. Namun bukan di situ letak problematikanya.

Liminalitas warung kopi di Aceh harus dilihat dalam   konteks   yang   lebih   luas   masyarakat   Aceh sebagai kesatuan ritus kehidupan sosio-kultural. Bayangkan saja jika dikeluarkan Qanun tidak boleh ada warung kopi di Aceh, apa jadinya?! Fungsi-fungsi sosialitas di Aceh mungkin justru menjadi kacau sebab warung kopi dan ngopi sudah menjadi bagian dari kultur Aceh. Persis seperti diungkapkan Victor Turner: ”So  where  does  that  leave liminality?  Exactly  where  it started: betwixt and between. It is not outside of the social structure or on its edges, it is in the cracks within the social structure itself”.

Ritus “ngopi” di warung kopi di masyarakat Aceh dari sudut teori liminalitas kebudayaan, justru merupakan arena untuk memaknai kembali atau memberikan energi produktif kepada bangunan tata sosial masyarakat Aceh.  Ada lima fenomena yang bisa dipelajari dari situasi liminalitas tersebut [13]  namun di sini penulis ambil dua tema saja yang sekiranya bisa dipakai untuk “pisau analisa” situasi liminal ngopi di Aceh.

Pertama,  kondisi  liminalitas  bisa  dikatakan sebagai ritus pembebasan yang dimulai dari pra-liminal, tahan liminal, dam post-liminal. Pra-liminal adalah situasi di bawah tekanan tatanan dan struktur sosial dalam kehidupan keseharian. Kemudian memasuki arena (kondisi) liminal dimana di kasus kita ini adalah arena warung kopi (ngopi), dimana format-format tatanan dan struktur sosial dilepaskan sehingga setiap individu menjadi “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” dengan individu (kelompok) lainnya. Victor Turner menggambarkan sebagai berikut:

“…  isolation  from  the  previous  or  fixed  social  structure; “liminal”, which denotes transition period; … the individual is no more under the influence of the effects of “preceding” and “future” statuses and finds himself in an undefined position”.

Selama “ngopi” bersama di warung kopi, selain menanggalkan tekanan-tekanan sosio-kultural, sesungguhnya sekaligus sedang terjadi negosiasi relasi-relasi terhadap bentuk-bentuk hubungan sosial baru (new alternative social structure). Hubungan-hubungan inkorporasi ini tidak saja dalam level individual namun bermakna pula dalam level hubungan-hubungan lebih luas di tingkat komunitas (masyarakat). Itulah tahap post-liminal dimana para “warga” warung kopi yang sedang saling mereposisikan diri tersebut mengharapkan terjadinya relasi-relasi kultural baru, dimana  Turner  mengatakannya  dengan  :  “…awaiting for the realization of reconstructed and renewed cultural models   and   paradigms”.   Jadi   ringkasnya,   ngopi   di warung kopi sudah menjadi semacam seremoni sosial di Aceh untuk mereposisikan-membaharukan bentuk- bentuk baru relasi sosial yang diharapkan.

Tema kedua, menggambarkan bahwa liminalitas berperan untuk memungkinkan tumbuhnya alternatif-alternatif baru, kreasi positif, bahkan oposisi-kritis terhadap kondisi, aturan dan tatanan sosial yang ada. Relasi-relasi pemikiran, ruang-ruang bicara di warung- warung kopi di Aceh, saya kira kita semua setuju justru lebih  kritis barangkali  di  banding  di  forum-forum seminar, di ruang kelas, di rapat-rapat para dewan, dll. Sebab orang bicara persis pada apa yang disebut “obyektif” dengan hampir tidak ada rasa takut lagi dirinya siapa. Relasi dan negosiasi-negosiasi “obyektif” yang ada menumbuhkan sintesa alternatif dalam berbagai bidang, yang jika ditransformasikan ulang berintikan pada harapan “tata kehidupan baru” (new order)  baik  dalam  berinteraksi sosial,  aturan-aturan baru, kondisi sosial yang lebih baik dan adil, sampai tata kehidupan bernegara yang setara.

Belajar ke Depan Dari ”Liminalitas”

Pembacaan   penulis   terhadap   artikel-artikel   di dunia    maya    dan    media    cetak    tentang    Aceh menunjukkan adanya kecenderungan skeptisisme. Pertama, skeptisisme yang mengungkap bahwa norma- norma agama yang Islami tergerus dengan begitu derasnya oleh fenomena hedonisme modernitas. Pergaulan anak muda semakin longgar, pakaian ketat dimana-mana,  kecenderungan  mencari  ”hiburan” keluar daerah, kasus-kasus khalwat terus saja terjadi, dll. Jika hal itu terus terjadi tidak terbendung, akan hancurlah Aceh kira-kira begitu intinya. 

Kedua,  skeptisisme  yang  ingin  mengatakan bahwa sudah ”hacur harga diri Aceh” karena semakin berkurangnya orang-orang yang meneladani nilai-nilai kepahlawanan Aceh tempo dulu, semakin buruk Aceh kini dibanding masa kesultanan-kesultanan Aceh yang berjaya, baik dalam tatanan aturan sosial dan ketatanegaraan, kemakmuran, bahkan Aceh menjadi pusat-pusat  pemikiran  Islam  di  Asia  Tenggara,  dll. Tesis lebih lanjut adalah, lantara tidak ada harga diri lagi itu maka Aceh kini terpuruk dalam kemiskinan (ketidakmakmuran), SDM yang minimal, dll. Begitulah kira-kira logika skeptisisme dalam tema ini.

Dalam benak penulis ”skeptisisme” -–yang berlebihan--  ini  agak  mengganjal  karena  tidak sebangun dengan pembacaan yang panjang historisitas masyarakat  Aceh,  yang  bagi  penulis,  berlandaskan pada ”adaptif-kritis-progresif”. Jangan-jangan sesuatu hal besar mendasar sedang terjadi di dalam masyarakat Aceh -–ini sekadar dugaan kritis penulis—- dimana konsolidasi sosio-kultural masyarakat Aceh telah menganga ”retak” satu sama lain. Jangan-jangan pula ada ”energi” praksis sosial-kebudayaan yang sedang berbenturan saling ingin mendominasi. Keretakan ini, yang dalam banyak perbincangan sosiologis sering disebut ”transisi”, jangan serta merta kemudian dinilai buruk negatif, apalagi berpandangan: ”matilah kebudayaan kita sekarang ini”.

Setiap sejarah, zaman, era, selalu memiliki kontekstualisasinya masing-masing. Yang hanya bisa diteladani   dari   era   sebelumnya,   menurut   penulis, adalah nilai dan prinsip-prinsinya bukan praktik praksisnya. Skeptisisme tergambar di atas mengemuka karena kebimbangan kemana mau mencari ”rujukan” yang kontekstual di dalam nafas sosio-budaya Aceh sendiri. Dalam hal ini penulis ingin menyubang secuil saja pemikiran, mengapa kita tidak ”belajar” dari fenomena ngopi di warung kopi, yang dalam pemaparan sebelumnya telah setidaknya berperan sebagai ”arena oase” energi-energi pemikiran baru.

Studi etnografi-partisipatif yang komprehensi mendalam  kiranya  perlu  dilakukan  terhadap liminalitas ”ngopi” di warung-warung kopi, untuk menganalisis ide-ide nilai alternatif sosio-kultural ke depan. Pada ritual nyata kehidupan sehari-hari Aceh kini adalah Aceh kosmopolitan era millenium, bukan Aceh satu atau dua abad lalu. Studi ini harus dimulai dengan  ”kanvas  putih  kosong”  supaya  terbuka  luas atas fenomena liminalitas yang ada, dan menghindari kecenderungan hipotesis-hipotesis awal yang dogmatis apalagi dominasi  pemikiran.

Transformasi nilai-nilai ke-Aceh-an yang kontekstual penulis yakin pasti bisa dilakukan, bersumber dari liminalitas ”ngopi” warung kopi, kemudian digodok dengan pemikiran-pemikiran terbuka yang non-dominatif. Sepatutnya kita belajar dari Jepang tentang ”transformasi nilai” ini.

Sebagai   secuil   contoh   saja:   Jepang   adalah   negara dengan ”seribu gempa" [14]. Mereka sebetulnya memiliki rumah tradisionil yang tahan gempa peninggalaan pemikiran besar nenek moyangnya beradab-abad. Tapi yang tengah diujicobakaan dan sebagian sudah diterapkan, bukan membangun rumah tradisional ditambah pondasi pencakar bumi yang kian kuat, atau bukan pula terus membangun gedung-gedung modern dengan pondasi cakar bumi yang menghujam ke tanah semakin kuat. Nilai yang diambil dari tradisi rumah tradisional Jepang yaitu ”fleksibilitas” terhadap gempa (gerakan bumi). Kini jepang sudah membangun dan terus  menerus  melakukan   pembelajaran   terhadap ”pondasi   rumah   yang   fleksibel”   terhadap   gerakan bumi akibat gempa, fleksibel secara horisontal maupun fertikal.

Masyarakat Jepang sesungguhnya memiliki tiga pilihan model berpikir. Pertama, model berpikir konvensional masa lalu kembali mengintrodusir model rumah tradisional dengan berbagai modifikasinya. Model berpkir kedua, terus saja membangun gedung- gedung modern dengan mengeksplorasi tehnik memperkuat cakar-cakar pondasi. Ketiga, yakni model berpikir alternatif dengan tetap membuat gedung modern namun mengeksplorasi untuk menemukan pondasi gedung yang ”fleksibel” (nilai prinsip rumah tradisional) terhadap seismic.

Sebagai arena ”transisional”, ruang berpikir alternatif,  serta  media  liminalitas  multi  pemikiran, ngopi di warung kopi tersebut akan mampu memberikan format baru sosio-kultural Aceh yang kontekstual dengan kekinian dan masa depan. So...mengapa kita tidak belajar dari sana secara konstruktif?! [■]

 


[1] Citra rasa kopi masyarakat Gayo ini, menurut para ahli kopi, nikmatnya mencapai tiga tingkatan. Ketika di dalam mulut dan kemudian mengalir ke dalam kerongkongan, kopi ini menyentuh kenikmatan khas indera-indera pencecap. Ketika sudah ditelan dan masuk di dalam perut, ia tidak menumbuhkan kejenuhan atau  sakit  perut  namun  justru  yang  muncul  adalah  kelegaan.  Setelahnya, sementara masih terasa lega di dalam perut kenikmatan yang ada di dalam mulut dan  kerongkongan  aroma  khas  kopi  tersebut  masih  dapat  dirasakan  bersama- sama.  Bagi  para  pecandu  kopi,  mungkin,  saat  itulah  saat  yang  tepat  untuk memulai sharing, berdiskusi, atau sekedar memulai obrolan dengan kawan, berangkat dari obrolan yang enteng-enteng saja sampai soal politik, mungkin juga bahkan yang berbau filsafat.

[2] Lihat   artikel   ”Coffee,   The   Drink   of   Choice”   oleh   Hilda   Maria Sigurdardotir (http://ezinearticles.com).

[3] Lihat http://www.ncausa.org

[4] Lihat artikel Azma Putra dalam http://id.ecehinstitute.org, 12 Mei 2009; dan artikel Radinan Maruddany dalam http://www.acehblog.com, 12 April 2010. Di  kisahkan  si  Kildi  suatu  ketika  menemukan  kambing-kambingnya  dalam keadaan sehat bugar dan lebih lincah setelah memakan suatu biji-bijian. Sang pemuda membawa pulang biji-bijian tersebut, merebus dan meminumnya. Sejak itu biji-bijian yang disebut kopi menjadi minuman tradisional di masyarakat Etiopia.

[5] Lihat artikel Hilda Maria Siguldardottir dalam ”Coffee The Drink of Choice” (http://www.ezienearticle.com)

[6] Lihat artikel Radinan Maruddany dalam http://www.acehblog.com, 12 April 2010

[7] Lihat    artikel    Sejarah    Kopi    di    Indonesia    (dalam    http://www. kampoengcoffee.com)

[8] ”Malahayati  Srikandi  Dari  Aceh”,  oleh  Solichin  Salam;  Jakarta  1995, Gema Salam.

[9] Mungkin ini merupakan keterbatasan penulis dalam mengumpulkan fakta dan artikel sejarah, dimana dari sekian banyak artikel sejarah yang terkait dengan komoditi-komoditi perdagangan belum tercatat nama ”kopi”. Yang dicari para pedagang luar itu antara lain emas, kapur barus, dan rempah-rempah, dan tidak ada catatan komoditi apa yang didagangkan kepada penduduk lokal. Namun perlu diingat bahwa banyak penulis yang menyoroti sejarah masa lalu menulis bahwa Kutaraja (Banda Aceh) waktu itu adalah kota yang kosmopolitan. Di kota ini merupakan  perjumpaan  berbagai  orang  dan  bangsa  mulai  dari  Arab,  Turki, Yaman, India, Malaysia, Eropa, Thailand, Khemer, Cina, Jawa, dll dengan berbagai profesi dan kepentingan seperti para ulama, penyair-pujangga, para pengelana, pedagang besar antar negara (saudagar), bangsawan-bangsawan kesultanan, atau mungkin juga para bala-tentara, dll.

[10] Banyak artikel yang mengupas mengenai budaya ”ngopi” di Aceh menyebutkan bahwa ngopi ”sudah membudaya sejak lama di Aceh”. Namun dari berbagai artikel-artikel tersebut kurang jelas dapat dirunut ”sudah lama membudaya” tersebut kira-kira kapan periodesasinya. Lebih dari itu tidak ada gambaran bagaimana ”ngopi” tersebut berperan dalam konteks masyarakat dari waktu ke waktu.

[11] Versi alih ubah dari sub-bab ini pernah dimuat di Harian Serambi, Banda Aceh.

[12] Lihat tulisan Irma Ratiani dalam “Theory of Liminality” (http:// www.litinfo.ge/issue-1/ratianiirma.htm); volume 1, 2007; lihat juga artikel “What About Liminality” (dalam http://www.liminality.org/about/whatisliminality); Artikel    Mathieu    Deflem    dalam    “Ritual,    Anti-Structure,    and    Religion: A Discussion of Victor Turner's Processual Symbolic Analysis”, Journal for the Scientific Study of Religion 30(1):1-25, 1991 (dalam http://www. cas.sc.edu/socy/faculty/deflem/zturn.htm); dan Artikel Lauro Zavala tentang “Towards  a  Dialogical  Theory  of    Cultural  Liminality,  Arizona  Journal  of Hispanic Cultural Studies”, Volume 1, 1997.

[13]  Lihat   tulisan  Irma   Ratiani  dalam  “Theory   of  Liminality”  (http:// www.litinfo.ge /issue-1/ratianiirma.htm); volume 1, 2007.

[14] Lihat  artikel  Nabuo  Ito  “A  Historical  Review  of  the  Techniques  in Japanese Buildings for Resisting Various Loads, Focusing on Seismic Attacks”; XVI International Symposium – Florence, Venice and Vicenza 11th -16th November 2007 (dalam http://www.icomos.org/iiwc/16/ito.pdf); lihat juga artikel Cledy E Witt: It Can’t Happen here: “Seismic Isolation System Patented in Japan Has   Applicability   in   Earthquake   Prone   US-Location”   dalam   http://www .prologis.com/docs/1934E_MHM_PRLO+eprint.pdf

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler