Maman S Mahayana
Setiap karya sastra mesti diperlakukan secara khas, unik. Dunia imajinatif yang digambarkan dalam karya sastra tertentu, hanya ada dan berlaku dalam karya sastra yang bersangkutan. Ia mesti ditempatkan secara berbeda dari karya sastra lain. Masalahnya,. sebuah cipta sastra adalah hasil perenungan yang intens dari subjek pengarang yang pasti berbeda dengan subjek pengarang yang lain. Oleh karena itu, satu peristiwa atau masalah yang sama, akan ditanggapi dan menghasilkan pandangan yang berbeda jika diungkapkan oleh dua orang pengarang atau lebih.
Setiap pengarang mempunyai pandangan, ideologi, sikap, persepsi, dan style yang khas yang pasti berbeda dengan pengarang lain. Jika seorang pengarang memperlihatkan style yang sama dengan pengarang lain, misalnya, maka hanya ada dua kemungkinan yang dapat dikatakan tentang dirinya, yaitu pengarang yang satu sangat terpengaruh oleh pengarang lain atau ia sebagai pembebek (epigon).
Meskipun setiap karya sastra bersifat unik, khas dan dunia yang digambarkan di dalamnya hanya berlaku dalam karya sastra yang bersangkutan, mengingat karya sastra mengangkat masalah manusia dan kemanusiaan, maka selalu saja ada ciri-ciri tertentu yang berlaku universal. Masalah keadilan atau ketidakadilan, kemunafikan, penganiyaan, cinta, pengagungan kepada Tuhan atau sifat-sifat lain yang dimiliki manusia, misalnya, berlaku universal. Sifat-sifat seperti itu tidak terikat oleh perbedaan suku bangsa, warna kulit, agama, atau bahasa. Itulah sebabnya, di antara keunikan dan kekhasan karya sastra, di dalamnya selalu saja ada sifat-sifat manusia yang berlaku universal.
Karya sastra yang baik selalu akan menampilkan kekhasan dan keuniversalan itu.
***
Cerpen “Jalur-Jalur Membenam” karya Wildam Yatim ini pun menampilkan ciri-ciri kekhasan dan keuniversalan. Meski secara tematis, cerpen ini tidak mengangkat tema besar yang menyangkut nasib sebuah bangsa, ia justru berhasil mewartakan bahwa cinta sebagai sifat manusia yang paling asasi, tidak mengenal usia, status sosial atau apa pun. Dalam hal ini, apa yang dialami dan dirasakan tokoh Idris dan Hasnah, sangat mungkin pula menghinggapi siapa pun dari bangsa mana pun. Pertemuan Idris dan Hasnah yang sudah sekian lama tak berjumpa, tetap saja melahirkan perasaan tertentu bagi keduanya, meski kini masing-masing dihalangi oleh status sebagai suami dan istri orang lain.
Secara ringkas, cerpen ini berkisah tentang pertemuan dua cinta yang kini tersekat oleh nasib yang membawa keduanya.
Idris bangkit mengikut, kemudian mereka berjalan berjejer. Tangan mereka bersentuhan di lorong. Idris, dalam hati di situ berpikir-pikir betapa akrab persahabatan mereka dulu, dan hampir 3 tahun setelah tamat sekolah, mereka tetap pertahankan hubungan dengan perantaraan surat. Bahkan dengan suratlah baru mereka saling berani memanggilkan kata-kata kekasih. Mereka berhenti berkiriman surat, ketika Idris masuk fakultas di Bandung, lalu terkabar Hasnah sudah kawin dengan saudagar kaya-raya. Idris ketika itu telah sadar juga –dalam kesibukannya menyesuaikan diri setengah mati dengan kuliah bahasa asing semata– bahwa Hasnah bukanlah jodohnya dan tak mungkin menunggunya. Ia cantik, sri panggung; ia pasti menderita jika harus disuruh menunggu juga.
Kini, Hasnah sudah mempunyai enam anak. Idris sendiri dari perkawinannya dengan wanita Sunda, sudah mempunyai dua anak. Status sosial mereka juga sudah berbeda. Tetapi, tokh, cinta tetap cinta. Ada perasaan tertentu yang tidak dapat dihilangkan oleh keduanya. Dan perasaan itulah yang bernama cinta.
Demikianlah, inti cerita cerpen itu. Begitu sederhana, tidak istimewa, dan sangat lumrah, karena siapa pun dapat mengalami hal yang sama. Jika demikian, lalu dalam hal apakah cerpen itu menjadi penting.
Hal pertama yang dapat kita tarik dari cerpen ini adalah bahwa tema cerita bukan segala-galanya. Tema besar dengan penggarapan yang dangkal, tetap saja tidak akan membantu karya itu menjadi penting. Sebaliknya, tema sederhana dengan penggarapan yang mendalam akan menghasilkan karya yang bermutu. Kenyataannya, sastra memang sering kali mengambil bahan ceritanya dari persoalan-persoalan remeh-temeh yang tidak penting atau peristiwa keseharian yang sebenarnya sudah tidak asing lagi.
Cerpen “Jalur-Jalur Membenam” sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa berbagai peristiwa yang tampaknya tak penting itu, melalui kepiawaian sastrawan justru menjadi kisah yang mempesona. Di sinilah fungsi sastra. Ia mengangkat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Ia mengisahkan sosok individu manusia tertentu dengan sifat dan keadaan masyarakatnya yang juga tertentu, menjadi sosok manusia yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ia menjadi masalah manusia dan kemanusiaan yang berlaku universal.
***
Bahwa cerpen ini terasa begitu menarik, tentu saja itu tidak terlepas dari cara bertutur sastrawannya sendiri. Mengingat hakikat prosa adalah cerita, maka lancar tidaknya sastrawan bersangkutan menyampaikan cerita, akan sangat menentukan berhasil tidaknya karya itu. Wildam Yatim punya kemampuan bercerita yang andal. Bahasanya lancar dan jauh dari kesan terbata-bata.
Jika A. Teeuw berkomentar bahwa: “Bagi para pembaca yang hanya paham terhadap bahasa Indonesia kewartawanan dan kantoran dari Jawa, bahasa Indonesia Wildam Yatim mungkin penuh dengan perbendaharaan kata yang aneh: bahasa Melayu Minangkabau sebelum perang masih tetap segar bugar di dalam karyanya itu.” maka sesungguhnya hal itu berkaitan dengan warna lokal. Dalam hal ini, Wildam tidak sekadar berhasil memotret keadaan masyarakat waktu itu, tetapi juga berhasil menyandingkannya dengan warna lokal yang melekat pada diri tokoh-tokohnya.
Perhatikanlah kutipan berikut: “Di sini saja kau menunggu mobil sambungannya. Nanti kusuruh orang mengambil bebanmu. Kau langsung dari Padang naik bis? ABS?”
Ada tiga kata dalam kutipan di atas yang khas memperlihatkan warna lokal bahasa Indonesia (Melayu) Minang, yaitu mobil sambungannya, bebanmu, dan ABS. Pada masa awal Orba sampai akhir tahun 1970-an, jalur lalu lintas darat ke Padang dari kota-kota di sekelilingnya, seperti Medan, Palembang, Aceh atau Pakanbaru, atau sebaliknya, tidaklah selancar sekarang ini. Kondisi jalan sudah rusak berat. Oleh karena itu, kendaraan darat yang menuju ke sana, setiap minggunya boleh dihitung dengan sebelah jari. Dalam satu minggu, mungkin hanya ada satu kendaraan yang ke sana. Akibatnya, para penumpang yang akan pergi atau meninggal Padang, terpaksa harus menunggu prahoto (truk) pengangkut hasil hutan selama sehari dua hari. Sampai kota tertentu, ia harus berganti kendaraan. Pergantian kendaraan untuk melanjutkan perjalanan itulah yang disebut dengan mobil sambungannya.
Mengenai kata beban, dalam bahasa Melayu berarti muatan, bawaan. Dengan demikian, jika seseorang pergi membawa beban, artinya ia membawa bawaan. Jadi, yang dimaksud dengan perkataan: Nanti kusuruh orang mengambil bebanmu, artinya mengambil barang-barang bawaan. Adapun kata ABS adalah nama perusahaan bus yang biasa melakukan perjalanan ke atau dari Padang, karena hanya bus itulah satu-satunya bus yang pergi pulang ke arah Padang.
Banyak sekali kosa kata yang khas mengisyaratkan warna lokal. Seperti dalam kalimat-kalimat berikut: Kurang terang sebabnya maka ditahan, maksudnya kurang jelas; Akan kami sambung ke SMP, maksudnya akan melanjutkan ke SMP; Tapi aku ingat diriku sudah punya ekor yang panjang …, maksudnya sudah punya suami dan anak-anak.
Tampaknya, Wildam Yatim sengaja menampilkan dialog-dialog yang khas seperti itu untuk memperkuat deskripsinya mengenai latar tempat. Kalimat pembuka cerpen itu saja sudah mengisyaratkan gambaran mengenai latar tempat. “Ada bunyi genta kerbau sedang memamah dan suara bercakap.” Dari kalimat ini saja pengarang sudah membawa pembacanya ke alam pedesaan. Dalam deskripsi berikutnya, sejumlah nama kota, seperti Bonjol, Sidempuan, Tapanuli, Bukittinggi, Padang, atau Lubuk Sikaping, mempertegas latar tempat di pedalaman Sumatera.
Penyebutan nama-nama kota itu juga tentu saja tidak akan berarti apa-apa, jika hal itu tidak didukung deskripsi latar yang mengacu pada kondisi sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Perhatikan misalnya, suasana yang terjadi di dalam dan di luar lepau.
Di meja panjang ada beberapa orang duduk minum. Kain sarung diselubungkan ke lutut dan kaki. Dari pintu dan jendela lebar yang terbentang nampak sebuah prahoto. Ada rodanya yang didongkrak dan bannya kini sedang dipompa seorang kenek. Terdengar kenek itu bicara Mandailing dengan temannya yang sedang membungkuk di atas mesin mobil.
“Oh, sudah bangun, Nak?” tegur empunya lepau. Pakaiannya ia lihat masih yang dipakai tadi malam. Bersarung dan berbaju kaus yang kumal. Rambutnya yang agak gondrong ditutupi kopiah lusuh dan kekuningan. Ia memakai tengkelek yang bertumit tinggi, tiap sebentar berderuk-deruk pada lantai tanah.
Perhatikan pula cara Wildam Yatim memotret aktivitas para pekerja di rumah pengusaha Engku Nurdin, suami Hasnah.
Ada orang sedang memuat getah ke mobil. Air getah berleleran di lantai gudang dan lalat berdengung. Di ruangan sebelahnya ada pegawai sedang menghitung pak barang yang bersusun setinggi orang, dan mencatat pada buku notes. Sebuah timbangan besar terletak di sudut….
Begitulah, deskripsi tempat yang dibangun Wildam Yatim, tidak hanya sebatas pada usahanya memotret segala benda, tetapi juga aktivitas sosialnya. Dengan demikian, latar tempat dan situasi masyarakat yang digambarkannya, menyatu sebagai bagian integral dari struktur cerita. Termasuk di dalamnya dialog para tokohnya. Dengan cara demikian, latar tempat dan latar sosial dalam cerpen itu, hanya berlaku di tempat tertentu (Sumatera) dan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, Bandung atau Jakarta, misalnya.
Kekuatan Wildam Yatim dalam hal deskripsi latar tempat dan latar sosial inilah yang menjadi salah satu kekuatan cerpen ini. Ia berhasil memotret kondisi sosial dan warna lokal masyarakat di daerah pedalaman Sumatera. Sesungguhnya, kekuatan ini pula yang tampak dalam hampir semua karya Wildam, termasuk novel-novelnya. Jelas di sini, bahwa Wildam sengaja memanfaatkan kemampuannya memotret untuk menyembunyikan tema cerita yang hendak disampaikannya.
Dalam kesusastraan dunia, keberhasilan memotret situasi sosial yang didukung oleh warna lokal inilah yang acapkali mengantarkan sastrawannya memperoleh penghargaan yang membanggakan. Karya-karya sastra seperti itu pula yang cenderung menjadi karya-karya monumental.
(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)
Komentar
Tulis komentar baru