Minimnya ketertarikan masyarakat terhadap karya sastra, menjadi persoalan mendasar sulitnya menyinergikan sastra dan pariwisata di Sumbar. Setidaknya, itu terlihat dengan rendahnya minat baca di kalangan masyarakat. Karena itu, dibutuhkan kerja keras seluruh komponen masyarakat terutama pemerintah, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap perkembangan sastra.
”Tapi, bila masyarakat belum peduli terhadap keduanya, maka hal itu sulit terwujud,” jelas Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Bidang Pranata Sosial, Surya Yuga, dalam seminar sehari ”Sastrawan dan Budayawan Minang” di aula Museum Adityawarman, Padang, kemarin (5/7). Diskusi yang dilaksanakan Balai Pustaka dan Padang Institut ini merupakan rangkaian kegiatan Festival Siti Nurbaya 2011.
Dikatakan Surya, peran masyarakat pasti timbul bila pemerintah daerah peduli terhadap dua hal itu. Terutama menjadikan perkembangan sastra dan pariwisata sebagai salah satu prioritas pembangunan daerah. Tapi, kalau keseriusan pemerintah daerah tidak ada, maka keinginan untuk menggandengkan sastra dan pariwisata akan terjadi ketimpangan.
Sastrawan, Darman Moenir mengatakan, dalam menggandeng sastra dan pariwisata di Sumbar belum bisa dilaksanakan secara menyeluruh. Karena masyarakat Sumbar belum memperlihatkan ketertarikan pada karya sastra. ”Saya mengetahuinya saat melatih kepenulisan pada para guru. Tak ada satu pun yang membawa buku sastra untuk dibaca. Bagaimana pula menyatukannya dengan pariwisata bila kita sendiri belum paham sastra,” ujarnya.
Sejak dulu hingga kini, sastra yang berangkat dari tradisi dan lingkungan Minang telah mengambil tempat dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia. Bahkan, pada masa depan tradisi menulis dalam masyarakat Minangkabau ini berkemungkinan akan tetap bertahan, meski dalam jumlah tertentu.
Pandangan ini disampaikan sastrawan, Harris Effendi Thahar, dalam sesi diskusi ”Sastra Urang Awak Dulu dan Kini”. Tradisi menulis ini bertahan karena masih ada beberapa sanggar yang dibina sastrawan Sumatera Barat, seperti Yusrizal KW dengan Sanggar Sastra Remaja Pelangi, Yayasan Citra Budaya Indonesia. Di samping itu, juga ada Rumah Puisi, dibina Taufiq Ismail, yang awalnya diperuntukkan untuk membina guru bahasa Indonesia.
Taufiq Ismail juga menyambut pandangan ini, karena dalam sejarahnya Rumah Puisi hadir dipicu kondisi 60 tahun Indonesia berada dalam kondisi menyedihkan. ”Terutama berkaitan dengan minat membaca dan menulis,” ungkap Taufiq Ismail. Namun, kondisi yang berbeda disampaikan Hermawan. Justru saat ini, kondisi membaca dan menulis yang berkembang di tengah masyarakat Minang amat menyedihkan. Dalam jenjang pendidikan tertentu, seperti kampus, mahasiswa amat jarang memiliki keinginan untuk membaca dan menulis.
Romi Zarman, kritikus sastra, menganggap bahwa kondisi ini yang menyebabkan terputusnya transformasi ilmu antara generasi dulu dengan kini. Nilai luhur dalam karya sastra lama, yang semestinya bisa diperoleh oleh generasi masa kini menjadi terputus, karena guru-guru bahasa Indonesia tidak menjadikan membaca sebagai sebuah tradisi ketika mereka masih menjadi mahasiswa.
Pembicara lainnya, Zurmailis, melihat hal yang sama juga terjadi pada sastrawan perantauan yang memiliki keterikatan secara matrilineal dengan budaya Minangkabau. Sastrawan perantauan, dalam artian, sejumlah sastrawan yang tumbuh dan berkembang di wilayah perantauan, namun karena kondisi tertentu mengalami pemutusan relasi tanda. (Padang Ekspres)
Komentar
Tulis komentar baru