Dari balik pepohonan dan hamparan belukar kijang kencana muncul seperti asap. Moncongnya sedikit lancip dengan dua bundaran mata bening sipit berputar-putar seperti mengajak berbicara. Tubuhnya emas dengan kaki-kaki ramping berloncatan mengitari Sinta dengan jenaka. Sang jelita tergoda. Rama bagai kilat meloncat menerkam, secepat kilat pula kijang berkelebat menghindar. Keduanya melesat bagai meteor makin lama makin titik dari pelupuk Sinta. Jerit semayup-sayup terdengar bagai salam perpisahan. Dan Laksmana terusir tersaruk sia-sia… Ooo,bumi bergetar langit berkedip-kedip
malam makin menyayat
lampus tengah malam
kelabu yang segera beradu
jagat menjadi amat hitam, ooo!
Ruangan itu sesepi kuburan. Seperangkat gamelan pelog slendro masih saja terbujur di sebelah kanan dengan debu-debu yang tumbuh di atasnya. Juga sekotak wayang kesayangan almarhum Bapak. Sebuah kursi goyang besar (yang hampir tidak ada yang mendudukinya setelah Bapak meninggal), deretan foto keluarga, lampu gantung tua, semuanya tidak ada yang berubah.
“Jam berapa kamu dari datang Ut? Kami semua sudah menunggu. Cuci kaki atau mandilah dulu lalu tengoklah Ibu di kamar”
Sapaan halus itu cukup mengagetkan lamunanku. Pak Dhe muncul dari ruang tengah. Segera kucium tangan Pak Dhe, kakak satu-satunya dari Ibu. Lalu bergegas ke belakang.
Ketika sampai di kamar aku terkejut. Wajah Ibu demikian kurus, pucat dan sayu. Ibu memang sudah berusia 65 tahun, tapi beliau selama ini sangat pandai merawat tubuhnya sehingga selalu tampak lebih muda dan segar, tapi kini Ibu tampak jauh lebih tua dari seseorang yang berumur tujuh puluhan. Padahal baru tiga bulan lalu aku menengoknya dan waktu itu beliau tampak baik dan sehat-sehat saja.
Tangannya terasa dingin dan gemetaran ketika aku menciumnya. Beliau tak menjawab salamku. Air mata mengambang di pelupuknya dan tangannya tak henti mengelus-elus sebuah pigura kaca di pangkuannya. Sudah lima tahun pigura kaca bercat keemasan dengan sebuah dasi dengan warna dasar biru berleret-leret merah hati di dalamya itu terpampang di dinding kamar Ibu. Saban tahun setiap lebaran, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipasang di ruang tengah tepat di bawah foto keluarga yang berjejer di tembok. Di bawah dasi dan foto-foto itu kami sekeluarga berkumpul di malam-malam menjelang lebaran sampai lebaran ketupat, sepasar setelah hari raya. Di dasi itu tersimpan pusat segala kebanggaan ibu terhadap anak-anaknya.
Putra Ibu tiga. Yang pertama Mbak Tutik—Wulan Widiastuti—menjadi dosen di sebuah PTN di Surabaya dan suaminya seorang dokter. Yang kedua Mas Prasetya Utama, lulusan magister manajemen, tinggal di Semarang dan menjadi pengusaha sukses. Dan yang ragil, Mas Wahyu, lengkapnya Wahyu Kusuma Wibawa, jebolan Sarjana Hukum universitas terkemuka di Indonesia dan menjadi pengacara di Jakarta. Sedangkan aku sendiri, Wiji Utami, sejak umur sembilan tahun ikut Ibu, beruntung dikuliahkan Ibu di IKIP swasta di kota kecil ini sambil menemani Ibu yang menjanda. Beruntung lagi karena setahun lalu bertemu dengan seorang laki-laki yang menjadi suamiku, seorang pegawai di kejaksaan di ibu kota. Meski bukan anak kandung aku adalah kepercayaan Ibu dan seluruh keluarga karena sebelum bersuami akulah yang menemani dan melayani Ibu, sementara ketiga putra Ibu sejak remaja sudah meninggalkan rumah untuk sekolah, kuliah dan kemudian bekerja.
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan pertanyaan lirih, “Nduk, apakah berita-berita santer tentang kakakmu Wahyu itu benar? Benarkah Wahyu sedang dicari-cari polisi nduk?”
Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Ibu justru karena aku tahu siapa Mas Wahyu di mata Ibu. Dari ketiga putra-putrinya, Mas Wahyulah yang paling disayangi dan paling membetot perhatian Ibu. Kalau dua kakaknya lancar-lancar saja hidupnya. Sekolah tertib, kuliah juga selesai tepat waktu dan lancar memperoleh pekerjaan, Mas Wahyu lain. Ia jarang pulang dan hampir tak pernah berkirim surat bahkan jarang minta jatah bulanannya. Kuliahnya delapan tahun baru selesai karena lebih banyak beraktivitas daripada menekuni diktat-diktatnya.
Suatu kali beliau berkata dengan penuh bangga, “Nduk, Masmu Wahyu itu persis bapaknya. Tidak gampang menyerah dan keras memegang prinsip. Kamu tahu, Bapak dulu pegawai negeri, bahkan Kepala Bagian lho, tetapi Bapak memilih pensiun karena tidak mau berbuat neko-neko dan tidak tahan melihat kebobrokan atasan-atasannya. Jadinya Bapak lebih suka ndalang wayang kulit dan nunggu tanggapan”.
Ibu memang sangat bangga dengan suaminya, karena itu selalu berupaya keras mendidik putra-putranya agar seperti bapak, Hardja Prawira. Beliau menasihati putra-putranya termasuk aku dengan cara menceritakan lakon-lakon wayang. Ibu selalu mendongeng sebelum kami tidur. Selalu ada saja kisah yang diceritakan setiap malam, kami semua dibawanya mengembara ke alam yang indah dan menakjubkan. Gaya berceritanya begitu hidup dan memesona bagaikan kereta kencana yang membawa kami dalam berbagai gairah petualangan. Dalam cerita Ibu kami bertemu dengan tokoh-tokoh yang begitu beragam wataknya. Ada yang jujur, pemberani, namun ada juga yang culas, serakah, dan licik. Kami tersugesti menjadi tokoh satria perwira yang rela menderita agar orang lain bahagia.
Dari semua kisah-kisah wayang itu Ibu paling suka dan paling sering mendongeng penggalan kisah Ramayana, saat Sinta istri Rama tergoda rayuan kijang kencana penjelmaan Kala Marica suruhan dari Rahwana. Lewat cerita itu Ibu menegaskan agar kami tidak gampang hanyut oleh godaan-godaan hidup. Ibu mewanti-wanti kami untuk selalu eling bahwa Kala Marica akan selalu menggoda setiap waktu.
Hampir empat tahun Mas Wahyu seperti lenyap ditelan bumi. Lalu sampailah pada hari yang tidak akan mungkin dilupakan oleh kami semua keluarga besar Hardja Prawira. Waktu itu hari Minggu, matahari belum lagi terang ketika sebuah mobil warna metalik masuk begitu saja di halaman rumah. Aku yang kebetulan sedang menyapu halaman hampir berteriak saat melihat sesosok tubuh turun dari mobil. Mas Wahyu pulang. Rambutnya masih saja dibiarkan gondrong sampai bahu. Tubuhnya yang dulu kurus sekarang agak gemuk dan bersih dibalut hem biru lengan panjang dengan sepotong dasi dengan warna dasar juga biru dengan leret-leret merah hati. Di belakangnya menguntit seorang perempuan cantik menggendong bayi yang kira-kira tiga bulan umurnya. Perempuan itu dipanggilnya dengan nama Desy.
Hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan Ibu. Mas Wahyu pulang dengan membawa anak istrinya. Ibu tak henti-hentinya mengusap air mata sambil mengelus-elus rambut cucunya. Hari itu juga Mbak Tutik dan Mas Pras dipanggil pulang, demikian juga seluruh famili. Ibu jadi seperti punya hajat. Di depan seluruh keluarga Mas Wahyu bercerita bahwa ia telah mempunyai kedudukan di sebuah departemen pemerintah di ibu kota. Aktivitasnya sebagai mahasiswa yang kritis membuat ia dikenal oleh seorang tokoh partai politik yang selepas jatuhnya rezim lama menjadi pejabat pemerintahan yang kemudian menawarinya jabatan di departemen yang dipimpinnya. Ia juga mendirikan kantor pengacara dan sebuah LSM. Jadilah Mas Wahyu seperti sekarang. Wahyu yang tak lagi kurus dan kumal, tapi Wahyu yang rapi dengan dasi warna biru leret-leret merah dan bagasi mobil penuh oleh-oleh buat keluarga dan tetangga-tetangga.
Semenjak itu dasi biru leret-leret merah hati yang dikenakan Mas Wahyu seakan-akan menjadi pusaka keramat keluarga kami. Dasi itu diminta Ibu dan dimasukkan pada pigura kaca berbingkai emas lalu diletakkan di dinding kamar Ibu. Setiap tahun menjelang lebaran tiba, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipajang di ruang tengah tempat seluruh keluarga biasa berkumpul. Saat-saat itu pula Ibu selalu mengadakan tirakatan keluarga dengan mengundang para tetangga dan pemuda-pemuda desa kami, dan dengan bangga bercerita tentang pemilik dasi itu sambil tak lupa menasehati agar meneladani keberhasilan si empunya dasi dalam mengangkat martabat dan nama baik keluarga dan desa kami. Mas Wahyu sendiri tetap saja jarang pulang hanya bingkisan-bingkisan hadiahnya tiap tahun tak pernah absen dinikmati para tetangga, juga sumbangan ini itu untuk masjid desa, aspal jalan, irigasi sawah dan sumbangan-sumbangan lainnya.
Aku mematung menatap Ibu, bibirku gemetar wajahku kualihkan dari tatapan Ibu. Tiba-tiba Ibu menggigil dan menangis tersengal-sengal dengan hebatnya.
“O Allah Gusti….kenapa ada maling di trah Hardja Prawira?! Mengapa kamu malah jadi Marica, jadi raksasa ta ngger, ngger..?!”
Kurangkul tubuh kurus yang terbaring itu dan dengan susah payah akhirnya aku berhasil meredam gejolak perasaan dan emosinya. Kubiarkan beliau menangis hebat dalam pelukanku sampai tertidur kelelahan.
Kami semua, Aku, Pak Dhe, Mbak Tutik dan Mas Pras berkumpul di ruang tengah. Pak Dhe bercerita bahwa sebulan yang lalu, menjelang magrib Mas Wahyu tiba-tiba pulang sendirian. Ibu tergopoh-gopoh menyambutnya dengan rentetan pertanyaan tapi Mas Wahyu hanya menjawab pendek-pendek seperti malas bicara. Wahyu hanya berkata bahwa ia naik bus, sangat payah serta mengantuk. Ia langsung mandi, makan, dan tanpa berkata-kata masuk ke kamar tidur. Seminggu Mas Wahyu di rumah, seminggu pula Ibu digempur teka-teki. Mas Wahyu nyaris tak pernah ke luar kamar dan berbicara. Wajahnya selalu kusut. Usaha Ibu mengajaknya berbicara gagal, ia hanya berkata bahwa sangat lelah dan tak enak badan. Tawaran Ibu untuk memanggil dokter ditolaknya.
Genap seminggu, pagi-pagi benar Mas Wahyu balik ke Jakarta. Matahari sepenggalah ketika Ibu membersihkan kamar Mas Wahyu. Tiba-tiba pembantu mendengar jeritan Ibu dan menemukannya tergeletak pingsan di kamar Mas Wahyu. Pak Dhe yang segera dipanggil ke rumah menemukan sobekan koran di tangan Ibu yang rupa-rupanya milik Mas Wahyu yang ketinggalan. Terbaca berita dalam sepotong koran yang tak utuh itu: Petugas kemarin menyegel rumah seorang pejabat berinisial WKW sebagai tersangka yang menggelapkan uang negara sebesar 650 M….
Malamnya Ibu pingsan lagi ketika dalam berita di televisi melihat Mas Wahyu dalam kawalan petugas dikerumuni wartawan seusai pemeriksaan. Semenjak itu Ibu tak mampu bangkit dari tempat tidurnya, tidak pernah berbicara, hanya menangis dan menangis.
Kami semua terdiam mendengar cerita Pak Dhe. Dalam minggu-minggu terakhir ini kami memang sering melihat Mas Wahyu muncul di banyak koran dan televisi sebelum Ibu mengetahuinya. Kami dengan mata kepala sendiri melihat di televisi bagaimana dengan wajah pucat Mas Wahyu berteriak no comment, no comment! kepada para wartawan yang mengerubutinya. Berita di televisi dan di koran-koran itu telah menjadi bambu runcing yang menusuk-nusuk jantung kami sekeluarga.
Tiba-tiba suara Mas Pras memecahkan keheningan, “Lalu bagaimana sekarang? Apakah tidak ada di antara kita yang dapat mengusahakan agar Wahyu tidak ditahan? Apakah tidak ada di antara kalian yang mempunyai koneksi yang dapat menolong mengeluarkan Wahyu minimal mencegah penahanannya? Aku sanggup menyediakan berapa pun biayanya!”
Semua mata terangkat dan memandang wajahku. Leher dan wajahku terasa dingin dan basah mendadak. Kulihat mata Mbak Tutik, mata Mas Pras dan mata Pak Dhe begitu berharap padaku.
“Ut, bukankah suamimu kerja di Kejaksaan? Tentu suamimu punya kenalan atau dapat mencarikan seseorang yang dapat membantu Wahyu, kasihan Ibu, Ut?”
Pertanyaan Mbak Tutik itu bagaikan bom yang meledak di tenggorokanku. Tiba-tiba aku melihat bayangan kijang kencana berkelebat menyelinap ruangan. Kulihat pula di langit-langit rumah wajah Kala Marica menyeringai mempertontonkan taring-taringnya menertawakan kisah-kisah kepahlawanan yang dulu indah dan mendebarkan. Kulihat pula wajah Bapak, pucat dan dengan suara pilu semayup-sayup melagukan suluk seperti dulu ketika mendalang ……
Ooo, suram-suram cahaya matahari
mencium mayat satriya telanjang
bersama malam makin menggigil
lintang kehilangan sinar,
bulan lupa berpupur
bumi makin ringkih
manusia mesra berselingkuh
dengan raksasa yang berjoget, ooo
Tulis komentar baru