SATU
WALAU matahari tertutup awan kelabu tebal namun udara di permukaan laut terasa panas bukan main. Wiro pandangi baju dan celana putih kotor yang terletak di lantai perahu. Dia berpikir-pikir apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian Ratu Duyung yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian putih dekil itu. Dia tak biasa berpakaian serba hitam seperti itu.
Mungkin itu sebabnya dia merasa sangat panas. Memandang berkeliling Wiro tidak melihat lagi perahu yang ditumpangi Dewa Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau bertebaran dipermukaan laut.
Sesaat wajah cantik jelita serta sepasang mata biru mempesona Ratu Duyung terbayang di pelupuk mata Pendekar 212. “Gadis aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau munafik kalau merasa tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi mengingat permintaannya…”
Wiro geleng-geleng kepala sambil usap tengkuknya, “Menurut penglihatan Ratu Duyung lewat cermin saktinya ada sebuah pulauaneh yang terdiri dari gunung, bukit dan batu merah melulu. Dia tak mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak luar biasa.
Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di tenggara. Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-pikir.
“Mungkin terletak jauh di balik gugusan pulau itu.” Setelah memandang ke langit, Wiro akhirnya memutuskan untuk menuju ke pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah tenggara.
Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang tadinya sangat panas perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja dia teringat pada manusia bercaping yang tubuhnya penuh koreng itu.
“Aku tak dapat memastikan siapa adanya itu manusia sialanyang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu! Mengapa dia berusaha membunuhku secara licik! Lalu kemana dia kaburnya? Kukira sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap aku mau memberi ampun…”
Selagi pendekar 212 berpikir-pikir seperti itu, mendadak sepasang telinganya mendengar suara sesuatu diantara desau anginlaut. Suara itu datang dari sisi kiri kanan perahu yang tengah dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke kanan. Dia tak dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan air laut ada sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro palingkan kepala ke kiri. Hal yang sama dirasakannya. Ada benda bergerak meluncur cepat mendekat perahu dari arah kiri. Hatinyaberdetak tidak enak.
“Ikan buas tidak akan secerdik itu menghadang perahu dari dua arah berlawanan,” pikir Pendekar 212. “Heemm… saatnya aku mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan Ratu Duyung!”
Cepat Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya pada kedua matanya. Dia memandang lekat-lekat ke arah permukaanair laut di sebelah kiri perahu dan kedipkan sepasang matanya dua kali.
“Huh!” Murid Sinto Gendeng jadi melengak sendiri. Dengan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung saat itusamar-samar dia melihat sesosok tubuh manusia berkulit sangat hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda berbentuk tombak pendek bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya ke kanan hal yang sama terlihat. Seorang berkulit sangat hitam menyelam dalam laut, meluncur cepat ke arah perahunya, membawa senjata tombak bermata dua!
Dua makhluk dalam air mencapai tepi perahu dalam waktu yang bersamaan.
“Byarr! Byarr!”
Dua makhluk yang menyelam mencuat ke permukaan air. Saat itu juga Wiro melihat dua sosok manusia berkulit sangat hitam, berambut pendek memiliki mata tanpa alis berwarna merah. Bibir mereka yang tebal juga berwarna sangat merah.
Wiro perhatikan bagian tubuh dua makhluk yang menyembul dari permukaan air laut itu. Pada bahu kiri kanan dan bagian tengkuk ada sebentuk daging berbentuk daging berbentuk sirip.
Selain itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu kehebatan mereka adalah kemampuan untuk berenang jarak jauh dan menyelam di bawah permukaan air laut.
“Siapa kalian?” bentak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua makhluk hitam menyeringai. Ternyata bukan Cuma mata dan mulut mereka saja yang berwarna merah, tapi lidah dan gigi mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan gigi-gigi mereka berbentuk kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah serta barisan gigi-gigi itu bergelimang cairan merah seperti darah!
Dari mulut kedua mahkluk hitam ini kelular suara jeritan keras. Lalu sosok tubuh mereka melesat ke udara. Tombak hitam bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah rusuk kiri dan kepala bagian kanan Wiro.
“Kurang ajar!” maki Wiro. Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke lantai perahu. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan pendayung di tangan kanannya ke tubuh makhluk di sebelah kanan.
“Bukkk!”
“Traakk!”
Kayu pendayung menghantam dada makhluk hitam sebelah kanan dengan telak. Kayu pendayung patah dua sebaliknya makhluk yang kena digebuk cuma menyeri-ngai. Masih memegangi patahan kayu pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala perahu. Ketika dia baru saja sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam air laut bergerak mendekatinya dan langsung menyerbu lagi. Kali ini mereka pergunakan tombak masing-masing untuk menusuk bagian bawah perut Pendekar 212!
Sambil melompat cepat ke udara Wiro keluarkan jurus “kincir padi berputar”. Kaki kanannya membabat deras ke arah kepala makhluk berkulit hitam di sebelah kiri perahu sedang untuk yang di sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”.
“Praakk!”
Tendangan kaki kanan Wiro menghantam kepala makhluk sebelah kiri.
“Pecah kepalamu!” ujar Wiro begitu dilihatnya lawan mencelat mental lalu amblas ke dalam laut.
Makhluk di sebelah kanan keluarkan pekik keras melihat kawannya kena tendangan Wiro. Tubuhnya melesat ke atas dan coba menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan Pendekar 212. Tapi gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro menghantam dadanya lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang satu ini terpental dan masuk ke dalam laut diiringi jerit menggidikkan.
Wiro menarik nafas lega. Dalam hati dia mengomel. “Belum lama merasa tenteram tahu-tahu ada saja orang-orang yang ingin membunuhku. Siapa mereka…? Kaki tangan orang tua berpenyakit kulit berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,” belum sempat Wiro mengakhiri kata hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar teriakan keras.
“Huaahhh!”
“Huaahhh!”
Dua makhluk berkulit hitam yang tadi disangkanya sudah menemui ajal dan tenggelam tiba-tiba mencelat muncul dari dalam laut. Tubuh mereka melesat ke udara demikian tingginya hingga di lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro.
Meskipun terkejut besar melihat kejadian itu karena menyangka dua makhluk tadi telah menemui ajalnya namun Wiro tak punya kesempatan untuk berpikir lebih lama. Begitu dia mendongak untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk aneh ini telah menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke punggung dan bagian belakang kepala!
“Mereka tidak main-main. Mereka memang ingin membunuhku!” ujar Wiro. Secapt kilat dia melompat lalu jatuhkan diri ke lantai perahu. Dua serangan terus memburu. Wiro balikkan tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi menggeprak ke samping. Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang disebut “membuka jendela memanah matahari”.
Hantaman tangan Wiro memukul mental dua tombak di tangan dua lawannya. Sementara tendangan kaki kanan menyodok masuk ke perut salah satu dari dua makhluk berkulit hitam itu.
“Buukk!”
Makhluk yang kena hantaman tendangan menjerit keras. Tapi tubuhnya tidka mental karena dengan cepat kedua tangannya mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro berkutat berusaha melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan hantamkan satu jotosan ke dada Pendekar 212!
Wiro merasa dadanya seperti amblas! Tangan kanannya dihantamkan ke belakang melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra”, membuat makhluk hitam di belakangnya menjerit keras dan mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan sakit Wiro berusaha lepaskan kakinya yang dicekal. Perahu kecil bergoyang keras. Tiba-tiba si makhluk berteriak keras dan gerakkan kedua tangannya yang mencekal kaki Wiro. Saat itu juga tubuh murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu melayang jatuh ke dalam laut!
Di dalam air, Wiro cepat berenang berusaha mencapai perahu. Dia tahu dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian luar biasa dalam hal berenang dan me-nyelam. Menghadapi mereka di dalam laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia telah cidera akibat pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil mencapai perahu, salah satu kakinya tiba-tiba kena dicekal lawan yang tahutahu sudah berada di belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil menendang membuat gerakan jungkir balik di dalam air.
Kakinya memang bisa lolos namun begitu dia berbalik dua lawan sudah menggempurnya kembali.
“Makhluk-makhluk hitam ini rupanya tahan pukulan dan tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan sinar matahari. Tapi…”
Wiro jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah melepaskan pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya dan apakah pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di daratan?
Makhluk pertama hanya tinggal satu tombak di depan Wiro. Murid Sinto Gendeng segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Semula dia agak meragu namun ketika melihat tangan itu sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka legalah Wiro. Dia segera lipat gandakan tenaga dalamnya.
Di depan sana makhluk yang berada paling depan terkesiap dan hentikan gerakannya berenang sewaktu dilihatnya tangan kanan Wiro memancarkan sinar putih menyilaukan dan air laut di sekitar tempat itu mendadak sontak menjadi panas. Dua makhluk perlahanlahan berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang seperti hendak merebus mereka. Wiro tidak tunggu lebih lama lagi. Dia hantamkan tangan kanannya ke arah makhluk paling depan.
Sinar putih menyilaukan berkiblat dalam laut. Satu gelombang air yang mendadak sontak menjadi panas laksana mendidih membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah makhluk hitam paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat ke kiri tapi gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat.
Tubuhnya kelihatan menggeliat merah dan mengepul lalu terlempat jauh kemudi-an seperti sehelai daun kering melayang jatuh ke dasar laut.
“Heemm… mana kawannya…,” ujar Wiro dalam hati sambil memandang berkeli-ling. Dadanya yang terkena pukulan lawan tadi mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak mungkin berada lebih lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di hidung dan mulutnya. Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan yang kedua tiba-tiba ada satu lengna mencekal lehernya. Ketika dia coba melepaskan diri, tangan yang lain menjambak rambutnya. Dua tangan kemudian bergerak. Gerakannya jelas hendak mematahkan batang leher Pendekar 212!
Wiro hantamkan dua sikutnya sekaligus ke belakang.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Hantamannya tepat mendarat di tubuh orang yang mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak dirasakan malah cekalan semakin ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang. Matanya pedas tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air laut mengucur masuk ke dalam tenggorokannya lewat mulut dan hidung!
“Celaka! Tamat riwayatku!” ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh tenaga yang ada, kerahkan tenaga dalam. Namun cekalan makhluk yang mencekalnya dari belakang tidak dapat dilepaskan! Sementara itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana punah.
Sekujur tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja. Lawan yang membuat Wiro tidak berdaya ternyata berlaku cerdik. Sambil terus mencekal berusaha mematahkan batang leher Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa Wiro bergerak semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih kencang. Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya.
***
DUA
PADA saat yang sangat menetukan itu dimana ajal Pendekar 212 Wiro Sableng boleh dikatakan hanya tinggal sekejapan mata saja lagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang yang paling dekat dengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru si nenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampang Dewa Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur. Terakhir sekali muncul wajah Ratu Duyung.
“Ra… tu…” Wiro membuka mulut. “Tolong diriku…” tapi ucapan itu tak pernah keluar. Malah air laut masuk semakin banyak ke dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke belakang.
Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarna putih. Hidungnya kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulu-bulu halus panjang. Nenek ini menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang kecil serta lidahnya yang merah. Lalu sepasang matanya yang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang sesaat membuat Wiro jadi tersentak.
“Nenek Neko… Nenek Muka Kucing...” ujar Wiro. Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Mendadak sontak Wiro ingat sesuatu.
“Koppo… Ilmu Mematahkan Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti muncul dalam diri Pendekar 212. Kedua tangannya bergerak memegang dua jari-jari kedua tangan makhluk hitam yang mencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!”
Makhluk hitam menggeliat. Wajahnya menunjukkan kesakitan setengah mati. Mulutnya terbuka lebar. Kedua matanya membeliak. Jari-jari tangannya hancur berpatahan. Tulangnya mencuat keluar. Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan cekalan lalu berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai)
Wiro sendiri yang tak ada niat mengejar cepat naik ke permukaan laut. Dia muncul di atas air dengan megap-megap. Ada cairan merah keluar dari mulutnya. Dia memandang berkeliling. Di kejauhan kelihatan perahunya terapung-apung dipermainkan ombak. Dengan susah payah Wiro berenang mencapai perahu itu. Perlahanlahan dia naik ke atas perahu. Rasa sakit pada dadanya belum lenyap. Malah kini napasnya bertambah sesak. Sekujur tubuhnya terasa letih dan tulang-tulangnya laksana tanggal dari persendian.
Ketika dia hendak membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh di belakangnya. Wiro putar kepalanya. Sepasang matanya terpentang lebar ketika melihat siapa adanya orang yang duduk berjuntai di atas sebua perahu putih yang tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa diketahuinya.
“Makhluk Pembawa Bala. Manusia celaka…!” Wiro berusaha bangkit tapi tubuhnya yang lemah itu terhenyak kembali ke lantai perahu. Dari balik kain penutup wajahnya kembali terdengar suara tawa mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya penuh koreng membusuk.
Tiba-tiba sosok Makhluk Pembawa Bala yang mengenakan pakaian sebentuk jubah melesat ke udara. Dia mendarat di atas perahu, sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro sendiri saat itu sudah tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping tegak dengan satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak dada Wiro. Dia mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar suara tawa bergelak.
“Mujur tak dapat diraih, celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau masih bias lolos dari tangnaku, saat ini jangan harap bisa lepas! Nyawamu memang sudah ditakdirkan harus amblas di tanganku! Ha… ha... ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu lenyap. Kaki kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar 212 yang terkapar di lantai dalam keadaan pingsan!
Hanya setengah jengkal lagi kaki kanan Makhluk Pembawa Bala akan menghancur-kan leher dan membunuh Pendekar 212 tiba-tiba dari laut sekitar perahu melesat enam sosok tubuh. Bagian atas merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi dada yang putih polos sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar. Keenam gadis ini bukan lain adalah anak buah Ratu Duyung penguasa lautan di kawasan itu.
“Tahan!”
Enam gadis berteriak berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa Bala serta merta terhenti. Memandang berkeliling dan melihat siapa yang ada di sekitar perahu tampangnya yang tertutup kain cadar jadi berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan gelisah.
“Jangan berani mencampuri urusanku!” Makhluk Pembawa Bala membentak.
Enam gadis diam saja namun diam-diam mereka luruskan jari telunjuk tangan kanan masing-masing.
Melihat tidak ada yang bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat teruskan hantaman kakinya ke leher Wiro. Pada saat itu juga enam jari si gadis memancarkan sinar biru. Ketika mereka mengangkat jari masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu, enam sinar biru berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk Pembawa Bala dengan leher Pendekar 212 yang menjadi sasaran.
Makhluk Pembawa Bala berseru keras. Cepat dia tarik serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu terdengar jeritan orang ini. Tiga ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya laksana dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang kelihatan hangus.
“Kalau kau bermaksud meneruskan niat jahat membunuh lawan yang tak berdaya, kematian akan menjadi bagianmu lebih dulu!,” salah seorang dari enam gadis bertubuh setengah manusia setengah ikan membentak.
Mulut orang bercaping yang terlindung di balik kain penutup komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Dia maklum jangankan enam orang, satu orang saja sulit baginya menghadapi gadis anak buah Ratu Duyung.
“Katakan pada Ratumu, lain kali sebaiknya dia sendiri yang dating untuk bertemu muka denganku!”
“Ratu kami tidak layak hadir di depan manusia tak berguna sepertimu!” jawab salah seorang gadis.
Makhluk Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat dari atas perahu Wiro, masuk ke dalam perahu putihnya.
“Sebelum kau pergi dari sini kami perlu mengajukan beberapa pertanyaan!”
Makhluk Pembawa Bala walaupun merasa jeri terhadap enam gadis namun karena merasa ditekan lantas menukas. “Jangan membuat aku jadi marah! Katakan apa mau kalian!?”
“Kami perlu tahu siapa kau sebenarnya dan apa perlunya sejak sekian lama gentayangan di kawasan ini!”
“Hemm… Itu rupanya pertanyaan kalian?” Makhluk Pembawa Bala mendongak lalu tertawa bergelak. “Katakan pada Ratumu, jika dia mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan kalian!”
“Kau minta mampus! Terima kematianmu!”
Enam larik sinar biru menyambar ke arah Makhluk Pembawa Bala. Orang ini cepat menyambar caping di atas kepalanya. Lalu dengan sigap caping yang terbuat dari bambu itu dikibaskannya menangkis serangan enam larik sinar biru.
“Wussss!”
Makhluk Pembawa Bala menjerit keras. Caping bambu di tangannya hancur berantakam. Kepingan-kepingan caping itu bertebaran di udara dalam keadaan terbakar lalu jatuh ke dalam laut. Si Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas perahu sampai beberapa tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut. Enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung menunggu sampai beberapa lamanya.
“Tubuhnya tidak muncul lagi…,” berkata gadis di ujung kanan.
“Pasti dia sudah jadi mayat dan tenggelam ke dasar laut. Beberapa hari di muka baru mayatnya akan mengambang di permukaan laut…,” berkata gadis lainnya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” salah satu dari mereka bertanya.
“Sesuai perintah Ratu kita harus menolong pemuda ini. Ada darah di sekitar mulutnya. Jelas dia mengalamai luka dalam cukup parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok leher dan dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian dada.
Sesaat dia pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu. Pada bagian tengah dada terdapat rajah tiga angka yang tak asing lagi. Angka 212. Entah sadar entah tidak, gadis ini lalu mengusap dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat hal ini kawan di sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani berbuat macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin saktinya dan melihat apa yang kau lakukan, kita semua di sini habis dihukumnya! Lekas totok pemuda itu!”
Wajah gadis yang barusan mengusap dada Pendekar 212 tampak bersemu merah. Dia berpaling dan menjawab, “Tak perlu bicara keras. Jangan munafik. Aku tahu kau pun sebenarnya sangat tertarik pada pemuda gagah ini…”
“Sudah! Lekas totok saja tubuhnya. Aku segera akan memasukkan obat ke dalam mulutnya!”
Gadis pertama segera mengusapkan dua ujung jarinya di bagian leher dada Pendekar 212. Setelah itu gadis kawannya memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut Wiro. Sekali lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang ada di dalam mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam tenggorokannya terus ke perut.
“Sebelum matahari tenggelam dia akan siuman dan luka dalamnya akan sembuh. Sekarang, sesuai perintah Ratu kita harus mendorong perahu ini ke arah tenggara dan meninggalkannya di satu tempat…”
Enam orang gadis itu lantas berenang smbil mendorong perahu kecil di atas mana Pendekar 212 Wiro Sableng masih terbujur dalam keadaan pingsan.
***
TIGA
PANGERAN Matahari merangkul gadis yang duduk di pangkuannya itu lalu dengan penuh nafsu menciumnya berulang kali. “Kekasihku, sebelum kita bersenang-senang di ruangan dalam katakana apa hasil peneyelidikanmu…”
Si gadis tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan. “Salah…” katanya seraya membelai rambut di belakang kepala Pangeran Matahari.
“Eh, apa yang salah?” tanya sang Pangeran.
“Kita bersenang-senang dahulu baru nanti aku memberitahu hasil penyelidikanku!”
Pangeran Matahari tertawa lebar. Ditekapnya kedua pipi si gadis lalu dikecupnya bibirnya lumat-lumat. Sambil menggeliat gadis dalam pelukan menurunkan tangannya ke bawah. Pangeran Matahari cepat memegang tangan itu seraya berkata. “Ingat kekasihku, urusan besar harus dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika semua sudah rampung seribu hari pun kau suka aku akan melayani…”
Si gadis tampak cemberut tapi serta merta pejamkan matanya dan mengeluarkan suara lirih ketika Pangeran Matahari menyelinapkan wajahnya ke balik pakaiannya di bagian dada.
“Aku tidak tahan. Benar-benar tidak tahan Pangeran…” bisik si gadis setengah memelas.
Pangeran Matahari tarik kepalanya lalu berkata. “Ceritakan padaku hasil penyelidikanmu…”
Si gadis melihat sepasang mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip. Ada sorotan sinar aneh yang membuatnya jadi tak berani menatap. Dengan sikap manja dia menggelungkan tangan kanannya di leher sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja yang kau ingin ketahui, Pangeran?”
“Pertama sudah pasti menyangkut musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng. Menurut dua bersaudara Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan, mereka berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit di luar Kartosuro. Aku telah meminta mereka membuktikan dengan membawa kepala Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang kau ketahui?”
“Kemungkinan mereka memang telah membunuh Pendekar 212. Hanya saja berlaku ayal tidak membawa bukti. Tapi setahuku tempo hari mereka telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu sakti hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum cukup dijadikan tanda atau bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar sudah tewas? Atau mungkin dua senjata itu palsu belaka?”
Pangeran Matahari mengusap pinggul si gadis lalu gelengkan kepala. “Kapak dan batu sakti itu asli. Tidak palsu. Tapi menyaksikan kepala Pendekar 212 jauh lebih meyakinkan daripada hanya mendengar sekedar laporan dari dua kaki tanganku itu...“
“Turut penyelidikanku, juga berdasarkan beberapa keterangan orang-orang kita, Pendekar 212 tidak diketahui lagi berada di mana. Ada yang menduga mayatnya dilarikan orang ke satu tempat di tengah laut di selatan muara Kali Opak....”
“Hemmm.... Kalau keteranganmu benar mengapa kaki tanganku di kawasan itu belum datang memberitahu?!” ujar Pangeran Matahari pula seraya mendongak dan usap dagunya yang ditumbuhi janggut pendek kasar.
“Kawasan laut selatan berada di bawah pengawasan penguasa tertentu yang memiliki beberapa pembantu. Salah seorang dari mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda sesuatu telah terjadi di kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti mengalami benturan-benturan aneh....”
“Ratu Duyung dari dulu memang tidak pernah mau tunduk terhadap kita...” kata Pangeran Matahari pula. “Sudah saatnya kita memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk setengah manusia setengah ikan itu....”
“Pangeran,” kata gadis yang duduk di pangkuan Pangeran Matahari. “Kalau aku boleh mengusulkan, pada saat sekarang ini sebaiknya kita jangan mencari musuh baru dulu. Salah-salah urusan besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi tak karuan... “
“Hemmm.... Kau betul. Usulmu aku terima!” kata Pangeran Matahari lalu menghadiahkan satu kecupan di bibir gadis itu.
“Kau lihat sendiri Pangeran. Aku tidak seperti gadis-gadis lain yang jadi kekasihmu. Mereka hanya menyediakan badan. Aku bukan cuma badan. Tapi juga pikiran dan sumbang saran....”
Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. Sambil menepuk-nepuk bahu si gadis dia berkata. “Itulah kelebihanmu, kekasihku. Itu sebabnya kau mendapat tempat utama di sisiku.”
“Kalau begitu apakah sekarang kita bisa bersenang-senang?” tanya si gadis. Lalu kaki kirinya digelungkan ke pinggul sang Pangeran. Pakaiannya yang tipis tersingkap. Ketihatan pahanya yang bagus mulus dan putih.
Pangeran Matahari mengusap paha itu berulang kali lalu berkata. “Masih belum saatnya kekasihku. Harap kau suka bersabar. Kau harus kembali melakukan penyelidikan. Aku harus tahu apa yang sebetulnya telah terjadi dengan Pendekar 212. Apa benar dia sudah menemui ajal?”
“Nada suaramu masih saja membayangkan rasa was-was Pangeran,” kata si gadis pula. lalu tangannya meraba ke bagian dada Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam dan pakaian yang dikenakannya dia menyentuh sebuah benda yang terikat kencang ke dada sang Pangeran. “Kau telah memiliki Kitab Wasiat Iblis. Mengapa harus merasa gelisah dan selalu memikirkan Pendekar 212?”
“Ada ujar-ujar mengatakan bahwa punya satu musuh sudah terlalu banyak sedang punya seribu teman masih kurang banyak!”
Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku menyelidik lag! Pergi dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita dapatkan saat ini?”
“Kataku harap kau bersabar. Masanya akan datang aku akan jadi Raja Di Raja dunia persilatan dan kau kekasih tunggalku....”
Si gadis menarik napas dalam lalu perlahan-lahan dia berdiri, ”Kalau begitu ada baiknya aku minta diri sekarang juga,” katanya. Dia membungkuk sedikit untuk memeluk dan mencium Pangeran Matahari.
Namun dengan gerakan nakal dia menggoyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian tipis yang melekat di tubuhnya serta merta merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran Matahari balas memeluk maka dia merangkul tubuh si gadis. Kalau tadi sang Pangeran selalu menolak ajakan si gadis maka kini dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat menahan gelegak darahnya. Dia berdiri dan slap hendak mendukung tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba, “Braaakkkl”
Pintu ruangan terpentang. Sesosok tubuh masuk dan jatuhkan diri di lantai. Gadis cantik tanpa pakaian terpekik, cepat-cepat menyambar pakaiannya yang tercampak di lantai laiu melompat tinggalkan tempat itu.
Pangeran Matahari tak kurang terkejutnya. Tampangnya merah mengelam, rahangnya menggembung hingga wajahnya berubah seperti jadi empat persegi!
Orang yang terkapar di lantai hanya mengenakan sehelai cawat hitam. Sekujur tubuhnya mulai dari muka sampai ke kaki berwarna sangat hitam dan liat. Pada dua bahu dan tengkuknya sampai ke punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata dan bibirnya merah.
Pangeran Matahari kerenyitkan kening. Kedua matanya mendelik tak berkesip menyaksikan bagaimana sepasang tangan manusia hitam itu, mulai dari pergelangan sampai ke ujung-ujung jari tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya mencuat putih menggidikkan.
“Jahanam! Apa yang terjadi dengan dirimu! Mana kawanmu?!” Pangeran Matahari membentak seraya melangkah ke hadapan orang hitam yang terkapar di lantai.
“Ka... kawanku mati!” jawab orang hitam.
“Mati?! Apa yang terjadi?!”
“Dia... dia mati dibunuh Pendekar 212....”
Tampang Pangeran Matahari berubah. Alisnya berjingkrak dan daun telinganya seperti mencuat mendengar ucapan orang hitam itu. Kaki kanannya ditendangkan ke dada orang itu hingga si hitam ini mencelat dan terbanting ke dinding ruangan.
“Lekas katakan apa yang terjadi!” bentak Pangeran Matahari.
“Mohon maafmu Pangeran... Kami tidak berhasil menjalankan tugas yang kau berikan. Kawanku terbunuh. Aku sendiri kau bisa saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur oleh Pendekar 212!”
Kembali sepasang mata Pangeran Matahari memperhatikan kedua tangan orang hitam itu seolah tak percaya. Tulang-tulangnya mencuat berpatahan.... “Ilmu apa yang telah dipakai mencelakai orang ini? Kalau memang Pendekar 212 yang melakukan setahuku dia tidak memiliki ilmu kepandaian begini rupa....”
Pangeran Matahari mendongak. Otaknya berpikir keras. Tetap saja dia tidak bisa menerima keterangan si hitam.
“Kau berdusta! Ini bukan pekerjaannya Pendekar 212!” bentak sang Pangeran. “Dia tidak punya ilmu kepandaian mematahkan tulang seperti ini! Aku tahu betul!”
“Saya bersumpah memang dia yang melakukan. Kami mencegatnya di pantai selatan...”
Pangeran Matahari terdiam sesaat. “Jika kau memang telah berhadapan dengan Pendekar 212, aku ingin mencocokkan ciri-ciri jahanam itu dengan apa yang kau saksikan. Bagaimana keadaan rambutnya?”
“Hitam lebat dan… dan gondrong..,” jawab si hitam.
“Apa dia mengenakan ikat kepala kain putih di keningnya?”
Si hitam menggeleng.
“Hemmmmm....” Pangeran Matahari bergumam. Kecurigaan bahwa si hitam itu berdusta semakin besar. “Apa dia mengenakan pakaian serba putih?”
“Ti... tidak Pangeran. Dia mengenakan baju dan celana hitam....”
“Jahanam! Jelas orang itu bukan Pendekar 212! Seumur hidupnya dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam! Kau berani mendustaiku!”
”Saya bersumpah saya tidak berdusta Pangeran...”
“Manusia keparat! Aku tanya padamu, apa benar kawanmu sudah mampus?!” bertanya Pangeran Matahari seraya bungkukkan tubuhnya sedikit.
“Dia memang telah menemui ajal Pangeran. Saya menyaksikan sendiri...” jawab si hitam yang masih terkapar di lantai sambil menduga-duga apa maksud pertanyaan Pangeran itu karena sebelumnya dia telah menjelaskan mengenai kematian kawannya.
Di hadapan si hitam Pangeran Matahari menyeringai. Tiba-tiba seringai itu lenyap lalu, terdengar suaranya berucap. “Kalau begitu kau susullah temanmu! Aku tidak butuh manusia jelek dan tolol macammu!”
Habis berkata begitu Pangeran Matahari ayunkan tangan kanannya. Bersamaan dengan itu dia alirkan tenaga dalam dari bagian dada di mana menempel Kitab Wasiat Iblis. Pangeran Matahari tahu betul bahwa si hitam memiliki ilmu kebal tertentu. Dia tak mau susah. Karenanya dia sengaja meminjam kekuatan ganas yang ada pada kitab iblis itu.
“Praakkk!”
Kepala manusia hitam rengkah mengerikan. Tubuhnya terbanting ke lantai tanpa nyawa lagi! Masuk ke ruangan dalam Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya duduk di atas sebuah bantalan tebal dan empuk. Keadaannya masih polos seperti tadi. Pakaian tipisriya dipergunakan menutupi auratnya yang penting tapi itu pun tidak mampu menutupi seluruh tubuhnya.
“Aku hampir yakin kalau Pendekar 212 memang sudah menemui ajal. Tapi aku merasa perlu menunggu sampai Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan muncul membawa kepala musuh besarku itu....”
“Apakah sampai saat ini kau masih merahasiakan tentang diriku terhadap mereka?”
Pangeran Matahari mengangguk.
“Sebaliknya bagaimana dengan saudaramu. Aku tidak ingin....”
“Kau tak usah khawatir Pangeran. Sudah lama sekali aku tidak mendengar mengenai dirinya. Entah berada di mana...” jawab si gadis yang duduk di atas bantalan empuk sambil menjulurkan kakinya dan balik pakaian tipis.
Memandangi tubuh si gadis pikiran sang Pangeran jadi berubah. Kalau sebelumnya dia tidak berniat untuk bersenang-senang kini setelah membunuh lelaki hitam tadi rangsangan dalam dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia melangkah ke hadapan si gadis. Perlahan-lahan pakaian tipis yang menutupi tubuh si gadis itu ditariknya.
***
EMPAT
SINAR sang surya yang siap tenggelam membuat air laut kemerahan. Enam gadis anak buah Ratu Duyung yang mendorong perahu berhenti berenang. Gadis yang bertindak sebagai pimpinan berkata.
“Kita mengantar sampai di sini. Di kejauhan ada sebuah pulau. Ombak akan mendorong perahu dan membawa pemuda ini ke sana. Kita harus segera kembali. Ingat pesan Ratu. Kita tidak boleh berada terlalu dekat dengan pulau-pulau yang banyak bertebaran di sekitar kawasan ini.”
Lima gadis lainnya tidak menjawab. Dalam hati sebenarnya mereka ingin mengantar perahu berisi Pendekar 212 itu sampai ke daratan, menunggu sampai dia siuman dari pingsan. Namun kelimanya tak berani membantah.
“Mudah-mudahan dia cepat sadar dan selamat. Mari kita kembali...”
“Tunggu dulu,” salah seorang dari lima gadis tiba-tiba berkata.
“Ada apa?!”
“Aku mendengar seperti ada orang menyanyi. Di kejauhan...”
Empat gadis lainnya picingkan mata dan pasang telinga. Lalu hampir berbarengan mereka mengiyakan. Gadis yang bertindak sebagai pemimpin sebenarnya juga sudah mendengar apa yang didengar lima temannya. Namun dia cepat berkata. “Suara desau angin laut dan alunan gelombang bisa saja menipu pendengaran kita.
Kalaupun memang yang kalian dengar adalah suara orang menyanyi maka itu adalah satu keanehan. Siapa pula yang menyanyi di tengah lautan begini rupa? Dan ingat pelajaran dari Ratu. Dibalik setiap keanehan mungkin tersembunyi satu bahaya. Jadi, kalian tak perlu banyak bicara lagi. Ikuti aku meninggalkan tempat ini!”
Enam gadis cantik yang tubuh atas polos sedang sebatas pinggang ke bawah berbentuk ekor ikan besar itu melepaskan tangan masing-masing dari perahu lalu berbalik. Sesaat kemudian keenamnya lenyap masuk ke dalam laut.
Perahu tanpa kemudi tanpa dikayuh itu meluncur perlahan dibawa alunan ombak menuju ke tenggara dimana di kejauhan kelihatan sebuah pulau berbentuk aneh. Di sini sama sekali tidak kelihatan pepohonan. Yang tampak hanya kawasan bebatuan. Di bawah sinar matahari yang tenggelam dan udara yang mulai menggelap pulau itu kelihatan angker. Keangkeran itu bisa membuat siapa saja jadi merinding karena dari pertengahan pulau yang gelap dimana terdapat gunung dan bebukitan batu merah tiba-tiba sayupsayup sampai terdengar suara orang menyanyi.
Laut selatan tak pernah tenang
Gelombang selalu datang menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta
Orang yang menyanyi itu duduk bersila di atas salah satu puncak batu berwarna merah. Tubuhnya tampak bungkuk dimakan usia. Rambut, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai tertiup angin laut. Meskipun tempat itu cukup gelap namun masih bisa terlihat keanehan pada muka orang tua ini. Wajahnya sebelah kanan yaitu mulai dari pertengahan kening, hidung, mulut dan dagu berwarna biru. Di dalam mulutnya senantiasa ada segumpal sirih campur tembakau yang selalu dikunyahnya tiada henti. Bahkan ketika menyanyi tadi sirih itu masih tetap berada dalam mulutnya namun anehnya suaranya bebas lepas seolah-olah mulutnya kosong tak berisi apa-apa!
Di hadapan orang tua berjubah putih ini, di atas batu, terletak benda aneh, entah batu entah logam. Benda ini mengeluarkan sinar angker merah kebiruan seperti nyala sumber api yang sangat panas.
Namun anehnya yang terpancar dari benda itu bukan hawa panas melainkan satu kesejukan. Makin lama kesejukan itu semakin menjadi-jadi malah kini hawa di tempat itu terasa sangat dingin. Si orang tua bermuka biru sebelah sampai-sampai kertakkan rahang menahan gigil kedinginan.
“Saatnya sudah tiba...” kata orang tua bermuka belang dalam hati. Seluruh kekua-tan luar dalam dikumpulkannya agar tubuhnya tidak ambruk oleh hawa dingin yang menggempur dari benda bercahaya di hadapannya. Dalam keadaan sekujur tubuh menggigil orang tua ini angkat tangan kanannya. Lengan sampai ke ujung-ujung jarinya yang kurus keriput kelihatan bergetar kaku.
“Batu sakti batu pembawa petunjuk...” si orang tua berucap dengan suara bergetar. “Terbanglah tinggi, membubung ke angkasa. Melayanglah turun menukik ke bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal malapetaka. Ingat hanya ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di delapan penjuru angin. Gusti Allah tempat semua kekuatan itu berpulang menjadi satu. Batu sakti batu pembawa petunjuk. Terbanglah tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda Dewa!”
Getaran tangan kanan si orang tua semakin keras. Benda di atas batu di hadapannya bersinar hebat menyilaukan. Didahului dengan teriakan dahsyat orang tua itu pukulkan tangannya ke udara.
“Byaaarrr!”
“Wussssss!”
Benda di atas batu bersinar. Tempat itu laksana diterangi sinar kilat. Lalu terjadi satu hal yang ajaib. Benda terang di atas batu melesat ke udara, mengeluarkan ekor panjang cahaya terang. Di udara benda ini berputar tujuh kali berturut-turut. Lalu dengan kecepatan yang sulit diawasi mata, seperti bintang jatuh benda bercahaya itu melayang turun ke bumi. Tapi tidak kembali ke tempat asalnya semula di atas batu di hadapan si orang tua melainkan ke satu tempat di mana terdapat sebuah batu miring, diapit oleh gugusan batu-batu karang runcing.
***
KITA kembali dulu pada saat tak lama setelah enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung melepas perahu kecil di dalam mana Pendekar 212 terbaring dalam keadaan pingsan.... Perahu kecil dipermainkan ombak, meluncur perlahan ke arah pantai. pulau yang tertutup batu-batu besar berwarna merah sedang di sebelah depan pulau itu dikurung oleh deretan batu-batu karang runcing laksana memagari.
Satu gelombang besar tiba-tiba muncul di tengah laut, menghantam ke arah pulau dalam bentuk ombak yang bukan olaholah dahsyatnya. Perahu kecil dimana murid Sinto Gendeng berada dalam keadaan pingsan mencelat ke udara sampai setinggi lima tombak, hancur berkeping-keping. Tubuh Wiro tampak berputar seperti kitiran lalu melayang jatuh melewati dua puncak runcing batu karang kemudian terhempas di atas sebuah batu miring. Keningnya membentur bagian batu yang menonjol. Terjadi satu hal yang aneh.
Pada saat tubuhnya mencelat di atas laut dan jatuh ke atas batu Wiro masih berada dalam keadaan pingsan. Tapi begitu keningnya membentur tonjolan batu yang menimbulkan luka serta kucuran darah, Pendekar 212 mendadak siuman dan sempat bangkit sambil dua tangannya bersitekan ke batu.
“Apa yang terjadi dengan diriku. Di mana aku saat ini.... “ Dia memandang berkeliling sementara telinganya mendengar suara deburan ombak tidak henti-hentinya memukul batu-batu karang yang memagari pulau batu merah itu.
“Aku mendengar suata deburan ombak. Berarti.... Eh, aku seperti mendengar suara orang menyanyi....” Murid Sinto Gendeng memutar kepalanya, berusaha memandang ke arah datangnya suara nyanyian itu. Dia coba mendengar suara nyanyian yang diulang-ulang itu. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Di kejauhan dia hanya melihat puncak-puncak bukit batu yang menghitam dalam kegelapan.
“Aku akan pergunakan ilmu pemberian Ratu Duyung. Ilmu Menembus Pandang....” Wiro segera kerahkan tenaga dalam dan atur jalan darah yang menuju ke matanya. Namun dia tidak dapat memusatkan pikiran. Keningnya terasa sakit. Tangannya bergerak meraba.
Ada cairan mengalir di keningnya, turun ke pipi kiri. Saat itu keadaan belum gelap benar. Pantulan terakhir cahaya matahari masih bisa membuat Wiro mengenali bahwa cairan merah yang ada di tangannya adalah darah. Darahnya sendiri.
“Apa yang terjadi dengan diriku.... Aku terluka,” pikir Wiro. Dia mendadak saja merasa ngeri melihat darahnya sendiri.
Pendengarannya dipasang baik baik. “Suara nyanyian itu lenyap. Aneh kalau ada orang menyanyi di tempat ini. Manusia atau jinkah yang menyanyi. Tak jelas apa kata-kata dalam nyanyiannya tadi....”` Wiro siap untuk melihat dengan ilmu Menembus Pandangnya. Tiba-tiba dia jadi tercekat. Di langit dilihatnya satu benda aneh memancarkan sinar sangat terang melayang turun ke bumi.
“Bintang jatuh…”piker Wiro. Kemudian disadarinya kalau benda bercahaya itu melayang jatuh ke arahnya.
“Astaga!” Wiro berseru kaget. Dia berusaha menggulingkan diri.
Tapi benda bercahaya datangnya laksana kilat. Jatuh menghantam kepalanya tepat pada bagian luka di kening sebelah kiri lalu amblas masuk ke dalam kepalanya!
“Wusss!”
Kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki bersinar terang benderang. Dia seperti melihat ada ratusan bintang menyilau-kan di depan matanya. Saat itu juga sekujur tubuhnya terasa sedingin salju di puncak gunung hingga dia menggigil keras. Rahang menggembung geraham bergemele-takan. Wiro berusaha bertahan. Tapi sia-sia. Sedikit demi sedikit tangannya yang me-nahan tubuhnya terkulai lemah ke samping. Badannya jatuh terbujur di atas batu miring. Kesadarannya perlahanlahan sirna.
Di atas batu miring tubuhnya yang sedingin es itu tidak bergerak sedikit pun. Kedua matanya terpentang lebar. Namun dia tidak melihat apa yang ada di sekitar ataupun di atasnya. Dia seperti orang tidur nyalang. Satu kejadian aneh menyelu-bungi Pendekar 212. Dia tenggelam ke dalam pusaran waktu dan laksana disedot masuk ke dalam alam pada masa sekitar tujuh puluh tahun yang silam. Anehnya dirinya sendiri seolah-olah berada dalam pusaran waktu itu!
***
LIMA
LAUT utara tampak tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi basah. Di langit tak berawan kawanan burung laut terbang melintas di atas kapal besar terbuat dari kayu. Di buritan kapal Ageng Musalamat memeluk kakek berjubah dan bersorban putih erat-erat, mencium kedua pipinya berulang kali dan berusaha menahan titiknya air mata.
“Muridku Ageng Musalamat, negeri Cina sangat jauh dari sini. Perjalanan menempuh laut bukan satu hal yang mudah. Kau telah memutuskan untuk menerima undangan Raja di sana. Ini satu kehormatan sangat besar bagi kita semua muridku. Terutama bagi dirimu. Berarti kau punya tanggung jawab sendiri terhadap dirimu.
Lebih dari itu kau membawa serta empat puluh orang yang sebagian besar adalah murid-muridmu yang merupakan juga murid-muridku. Keselamatan mereka menjadi tanggung jawabmu.... “
“Wali Astanapura yang saya sebut dengan hormat sebagai Eyang Ismoyo Jelantik, guru saya tercinta. Perjalanan besar ini memang bukan tanpa bahaya. Namun dengan bekal ilmu pengetahuan serta kesaktian yang Eyang berikan serta lindungan dan bimbingan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, saya dan semua saudara-saudara yang empat puluh akan selamat sampai di tujuan. Lalu selamat pula kembali pulang ke tanah Jawa ini.”
Kakek berjubah dan bersorban putih anggukkan kepala.
“Bagaimanapun baiknya keadaan dan sambutan orang di sana, satu hal harus kau ingat bahwa negeri itu adalah tanah asing. Jadi kau dan anak-anak harus pandai-pandai membawa diri. Jangan berlaku sombong, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Jangan pamerkan sedikit ilmu silat dan kesaktian yang kau kuasai. Mungkin di negeri sana semua yang kau miliki itu tidak ada artinya sama sekali. Ingat peribahasa yang mengatakan mulut kamu harimau kamu. Di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Pesankan pada anak-anak agar jangan lupa sembahyang lima waktu. Itu tiang agama yang harus ditegakkan dimana pun kita berada.”
“Terima kasih Eyang. Saya akan selalu ingat baik-baik semua pesan Eyang.... “
“Selamat jalan muridku. Doaku bersamamu....”
“Selamat tinggal Eyang. Doakan agar kami kembali cepat ke tanah Jawa ini....”
Wali Astanapura yang dipanggil oleh muridnya itu dengan sebutan Eyang Ismoyo Jelantik anggukkan kepala. “Kau harus kembali ke sini tetap sebagai orang yang disebut secara lengkap Kanjeng Sri Ageng Musalamat....”
“Saya mendengar dan saya berjanji Eyang...” jawab Ageng Musalamat.
Eyang Ismoyo berpaling pada seorang pemuda yang tegak di belakangnya sambil memegang sebuah kotak kayu jati berhias ukiran Jepara. Pemuda ini segera menyerahkan peti yang dipegangnya kepada Eyang ismoyo.
“Ageng Musalamat,” kata Eyang Ismoyo seraya membuka penutup kotak kayu, “Kotak ini berisi sebuah senjata sakti mandraguna berupa keris. Baik mata keris, hulu maupun sarungnya terbuat dari emas yang ditempa demikian rupa hingga kekuatannya lebih atos daripada baja. Keris ini dibuat oleh seorang empu sakti di Bali yang masih merupakan kakekku. Ketika dibuat senjata ini tidak bernama. Ayahku kemudian memberinya nama yaitu Kiyai Sabrang Tujuh Langit. Aku menitipkan keris sakti ini padamu untuk diserahkan pada Raja, negeri Cina sebagai tanda persahabatan yang tulus.”
Eyang Ismoyo membuka penutup peti. Satu cahaya kuning membersit keluar dari kotak, mengenai wajah Ageng Musalarnat hingga lelaki berusia empat putuh tahun ini mengerenyit kesilauan. Meskipun silau namun Musalamat masih dapat melihat sosok keris emas Kiyai Sabrang Tujuh langit yang ada dalam kotak kayu.
Si orang tua menutup kotak kayu kembati lalu menyerahkannya pada muridnya seraya berkata. “Simpan senjata mustika ini di tempat yang baik. Kau tidak perlu terlalu mengawasinya. Tak ada seorang pun yang akan sanggup mencurinya....”
“Maksud Eyang ada satu kekuatan yang melindunginya?” tanya Musalamat.
Eyang Ismoyo menunjuk ke atas. “Tuhan Yang Maha Kuasa yang melindunginya. Siapa saja yang berniat jahat, misal berusaha mencuri atau merampok senjata ini dari pemiliknya yang sah atau selama berada dalam titipan yang sah maka orang jahat itu tak akan sanggup melakukan. Keris ini akan menjadi sangat berat seolah seberat gunung batu!”
Ageng Musalarnat menerima kotak kayu itu dengan hati-hati. Lalu sang guru berkata. “Sebelum layar terkembang, sebelum kapal besar berlayar, aku ingin melihat kamarmu. Seumur hidup belum pernah aku melihat kamar dalam kapal. Apakah seperti kamar ketiduran tuan puteri...?” Eyang Ismoyo memegang bahu muridnya. Walau sentuhan itu biasa-biasa saja namun Musalamat merasa ada satu hawa aneh yang membuat tubuhnya mengikut kemana telapak tangan sang guru mendorong. Maklumlah Musalamat kalau gurunya bukan hanya sekedar ingin melihat kamar di dalam kapal.
Apa yang diduga Musalarnat ternyata benar. Begitu masuk ke dalam kamar di bawah buritan Eyang Ismoyo langsung mengunci pintu. Selagi Musalamat meletakkan kotak kayu jati di dalam sebuah lemari, orang tua itu membuka ikatan kain putih lebar yang menggelung pinggangnya. Dari balik ikatan kain putih dikeluarkannya sebuah benda berupa lembaran-lembaran daun lontar yang sudah sangat tua membentuk sebuah kitab. Sepasang mata Sri Ageng Musalamat cepat melihat apa yang ada di tangan gurunya dan sekilas sempat membaca deretan aksara Jawa kuno yang tergurat di sampul kitab.
“Kitab Putih Wasiat Dewa...” kata Ageng Musalamat dalam hati dengan dada berdebar. “Muridku, aku yakin kau pernah mendengar tentang kitab sakti ini...”
Ageng Musalamat mengangguk. “Saya sudah lama tahu kalau Eyang memang memilikinya, namun baru sekali melihatnya,” jawab Musalamat sambil matanya tidak lepas dari kitab tua yang berada di tangan sang guru.
“Kitab ini dibuat dan ditulis isinya oleh nenek moyang kita ratusan tahun yang silam. Siapa mereka adanya tidak diketahui. Yang jelas pada masa kitab ini diciptakan nenek moyang kita masih belum tersentuh hidup beragama. Mereka menganggap semua kekuatan, semua kesaktian datang dari langit, daripada apa yang mereka sebut para Dewa. Walau demikian apa yang mereka pelajari dan apa yang kemudian mereka ajarkan bukanlah satu perbuatan sesat. Mereka memiliki tata krama peradaban asli yang tidak tercampur dengan kehidupan asing. Banyak dari semua tata krama dan peradaban itu yang kini tetap kita pergunakan sebagai panutan. Muridku, Kitab Wasiat Dewa ini bukan kitab sembarangan. Kitab sakti ini diwariskan padaku sekitar lima belas tahun yang lalu. Aku telah membaca dan mempelajari seluruh isinya. Namun aku merasa kepandaian apa yang aku dapat dari kitab ini masih belum sempurna. Harus banyak waktu yang diperlukan untuk mendalami pelajaran dan kesaktian yang ada di sini. Otak tuaku sudah tumpul. Usiaku sudah lanjut dan tubuhku sudah sangat rapuh. Mungkin aku sudah keburu menemui ajal sebelum aku dapat mengerti seluruh isi kitab ini. Kau masih muda, otakmu masih tajam dan tubuhmu masih kuat. Kurasa kau akan mampu menguasai isi kitab ini jauh lebih cepat dariku. Aku tidak punya orang lain yang dapat kupercaya. Kitab Wasiat Dewa ini kuserahkan padamu. Jagalah baik-baik, selami isinya yang hanya beberapa lembar ini. Kelak kepandaian yang kau miliki dan berasal dari kitab ini akan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas segala kejahatan. Orang yang memberikan kitab ini padaku pernah mengatakan siapa yang memiliki kitab ini dan mempergunakannya di jalan Allah maka dia akan menjadi penguasa dunia persilatan, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan...“
Eyang Ismoyo menyerahkan kitab di tangannya pada Ageng Musalamat. Sang murid yang tidak menduga hal itu akan terjadi tersurut mundur dengan muka pucat.
“Eyang... Sa... saya tidak berani menerima kitab sakti ini...” kata Ageng Musalamat dengan suara bergetar.
“Kau tidak berani. Apakah kau mau mengatakan apa sebabnya?” tanya Eyang Ismoyo seraya menatap tajam sepasang mata muridnya.
“Saya... saya merasa tidak layak memilikinya. Saya insan kecil yang tak mungkin mampu...”
“Muridku...” memotong Eyang Ismoyo. “Di mata Tuhan semua manusia itu sama adanya. Yang membedakan kita satu sama lain adalah ketakwaan terhadapNya. Yang membedakan kita satu sama lain ialah dari patuh pada larangan dan kukuh pada ajaranNya. Aku mempercayakan kitab ini untuk diserahkan padamu. Jangan sia-siakan kepercayaan itu...”
“Eyang...”
“Aku pernah mendapat petunjuk dalam mimpi. Kau akan mampu menguasai isi kitab ini dalam enam kali bulan purnama. Selama perjalanan ke negeri Cina yang akan menghabiskan waktu cukup lama, selama berada di atas kapal mulailah membaca dan menyelami serta mempelajari isinya... Terimalah!”
Dua tangan Ageng Musalamat tampak gemetaran ketika menerima Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu. “Terima kasih atas kepercayaan guru. Amanat Eyang tidak akan saya sia-siakan,” Musalamat membungkuk dalam-dalam. Eyang Ismoyo tersenyum. Tiba-tiba dia melangkah ke pintu. Siap hendak membukanya tapi membatalkan niatnya.
“Ada apa Eyang?” tanya Ageng Musalamat. “Ada seseorang mencuri dengar pembicaraan kita tadi,” jawab si orang tua. Mendengar ini Ageng Musalamat segera membuka pintu dan memeriksa keluar.
“Tak ada siapa-siapa...” katanya. Tapi dia yakin pendengaran sang guru tidak salah.
“Orangnya tentu telah menyelinap pergi. Muridku, ada seorang culas di antara empat puluh anak buahmu.”
“Saya menyesalkan kebodohan saya. Padahal saya telah memilih mereka dari orang-orang yang paling saya percayai. Agaknya saya harus melakukan penyelidikan. Kalau perlu keberangkatan hari ini saya batalkan.”
Si orang tua gelengkan kepala seraya memegang bahu muridnya. “Jangan habiskan waktu untuk melakukan hal itu. Jika kau sudah tahu ada seorang yang bersifat lancung yang harus kau lakukan adalah berhati-hati, selalu bersikap waspada. Bila dalam perjalanan kau berhasil menangkap orang yang culas itu, kuperintahkan padamu untuk melemparkannya ke dalam lautan! Aku pergi sekarang.”
Sri Ageng Musalamat cepat menyalami tangan gurunya dan menciumnya dengan khidmat. Lalu orang tua itu diantarkannya sampai ke daratan.
Ketika kapal besar itu mulai meluncur meninggalkan pantai utara pulau Jawa, Eyang Ismoyo Jelantik didampingi beberapa orang sahabat dan anak buahnya masih tegak di tepi pantai. Dia baru bergerak sewaktu kapal kayu itu lenyap di batas pemandangan.
Dari saku jubahnya dikeluarkannya sebuah tasbih. Lalu sambil melangkah orang tua ini mulai berzikir. Jauh di lubuk hatinya ada suara yang mengatakan bahwa dia tak akan bertemu lagi untuk selama-lamanya dengan muridnya itu.
“Entah aku yang akan meninggalkan dunia fana ini lebih dulu, entah dia yang akan mendapat cobaan berat...” membatin si orang tua. “Tuhan, lindungi dia. Jauhkan dia dari segala malapetaka. Selamatkan dia dan seluruh anak buahnya kembali ke tanah Jawa.”
***
ENAM
LAUT malam mengalun tenang. Itu adalah malam pertama kapal kayu yang ditumpangi rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat dalam pelayaran menuju utara. Setelah beberapa lama berada di anjungan menikmati udara malam di tengah lautan murid Eyang Ismoyo itu turun ke bawah, masuk ke dalam kamarnya. Dia berdiri di atas sebuah kursi kayu lalu menggeser papan kecil di langit-langit ruangan. Dari atas langit-langit kamar dikeluarkannya Kitab Wasiat Dewa. Dengan hati-hati kitab itu diturunkannya lalu duduk di atas ranjang.
Ageng Musalamat sengaja menyembunyikan kitab sakti itu di atas loteng kamar tidur karena khawatir ada yang berniat jahat. Apalagi dia sudah mendapat pemberitahuan dari sang guru kalau ada seseorang yang telah mencuri dengar percakapan mereka di dalam kamar.
Sejak siang tadi sebenarnya Ageng Musalamat ingin membuka dan membaca isi kitab itu namun hatinya merasa tidak tenang. Hal ini dapat dimaklumi. Beban yang diberikan Eyang Ismoyo dengan menyerahkan kitab sakti itu padanya bukan beban kecil. Kalau sampai dia tidak dapat memegang amanat bukan dirinya saja yang akan celaka tapi rimba persilatan di tanah Jawa akan mengalami bencana.
Ageng Musalamat memperbesar lampu minyak di atas kepala tempat tidur. Dengan tangan gemetar dia membalik sampul Kitab Wasiat Dewa.
Pada halaman pertama tertera serangkaian tulisan dalam aksara Jawa kuno berbunyi:
Bilamana datang kebenaran maka meraunglah para iblis pembawa kejahatan. Kejahatan mungkin bisa berjaya. Tapi pada saat kebenaran dan keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain mampu membendungnya. Kejahatan membakar dan merusak laksana api. Tetapi api itu sendiri sebenarnya adalah kekuatan dahsyat Yang diarahkan para Dewa untuk membakar mereka. Bilamana api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berguna.
Ageng Musalamat membaca rangkaian kalimat itu sampai tiga kali lalu pejamkan mata merenungi dan meresapi. Sesaat kemudian baru dia membuka halaman kedua Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.
Di halaman ini terdapat gambar kepala seekor harimau putih yang dikurung oleh lingkaran putih. Pada bagian bawah tertera tulisan berbunyi:
Putih lambang kesucian dan kebenaran. Harimau lambang keberanian dan kejantanan. Barang siapa berjodoh dengan kitab ini maka kemana pun dia pergi harimau putih akan menjadi kekuatan, menjaganya dari segala musuh, ilmu hitam dan iblis jahat.
Setelah mengerti betul apa yang tertulis di halaman kedua itu maka barulah Ageng Musalamat membalik memasuki halaman ketiga. Di halaman ini terdapat tulisan panjang dalam aksara Jawa kuno berukuran kecil. Ageng Musalamat terpaksa membaca dengan perlahan dan hati-hati agar tidak ada tulisan yang terlewat.
Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti dan mampu mempelajari yang tersurat maupun yang tersirat, menguasai yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa yang telah disabdakan. Delapan Sabda Dewa adalah delapan jalur keselamatan.
Tanah - Sabda Dewa Pertama
Manusia berasal dan dijadikan dari tanah Kepada tanahlah manusia akan kembali Karenanya manusia tidak boleh congkak dan takabur dan harus ingat bahwa dirinya berasal dari gumpalan debu yang hina. Yang kuasa kemudian memberikan kehormat-an, menjadikannya makhluk pilihan karena memiliki pikiran yang membedakannya dengan binatang. Tanah bagian dari bumi ciptaan Yang Kuasa diberikan kepada ma-nusia untuk tempatnya berlindung diri, berkaum-kaum dan mencari rezeki. Karenanya tidaklah layak kalau manusia merusak tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta berbuat kejahatan di atasnya. Tanah dan bumi diberikan Yang Kuasa untuk kebahagiaan ummat manusia. Karenanya manusia wajib berterima kasih dengan jalan memeliharanya. Tanah tempat kaki berpijak. Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung Ketika tanah dijadikan ajang pertumpahan para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa Mengapa manusia tidak berpikir dan berterima kasih?
Air - Sabda Dewa Ke-Dua
Lebih dari separuh bumi diciptakan Yang Kuasa dalam bentuk air. Air mengalir di bumi dan mengalir di tubuh manusia. Air sumber kehidupan. Air membawa berkah. Mengapa manusia tidak berpikir? Mengapa manusia berlaku keji mencemari air, membunuh makhluk yang hidup di dalam air dan di atas air. Air selalu mengalir dari atas ke bawah. Bukankah itu satu petunjuk bahwa mereka yang di atas harus menolong mereka yang di bawah? Pada saat manusia lupa dan tidak berterima kasih atas segala berkah. Maka para Dewa berseteru dengan mereka Azab Yang Kuasa pun turunlah. Dan air berubah menjadi bencana.
Api - Sabda Dewa ke-Tiga
Ketika kecil menjadi kawan. Sewaktu besar menjadi lawan. Mengapa manusia tidak mau berpikir dalam mencari. manfaat daripada kualat? Api membakar seganas iblis. Di dalam tubuh manusia ada api yang mampu merubah manusia menjadi iblis. Barang siapa tidak mampu melawan api, bumi dan tanah akan meratap, air akan menangis manusia akan menjadi api puntung neraka. Para Dewa terhempas dalam perkabungan.
Udara - Sabda Dewa Ke-Empat
Udara sumber kehidupan. Dihembuskan Yang Kuasa ke dalam jalan pernapasan jantung sanubari manusia. Udara tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh tangan. Di dalam yang tidak terlihat dan tidak tersentuh itu ada berkah yang maha besar. Mengapa manusia masih mau berlaku culas. Mencemari udara dengan berbagai kebusukan. Ketika jalan napas tak dapat lagi menerima hawa kotor, Para Dewa siap melihat kematian mengenaskan. Mengapa manusia tidak berpikir?
Bulan - Sabda Dewa Ke-Lima
Sumber kesejukan dunia ini muncul dikala malam. Tiada keindahan melebihi malam dengan rembulan penuh memancarkan cahayanya yang lembut. Mengapa manusia tidak bisa selembut sinar rembulan? Padahal manusia memiliki pikiran, bulan tidak. Padahal manusia memiliki hati, rembulan tidak. Bukankah kelembutan sinar rem-bulan mencerminkan perasaan kasih? Kasih dari orang tua terhadap anaknya. Kasih seorang pemuda pada gadis curahan hatinya. Kasih sesama insan. Bahkan binatang pun mempunyai rasa kasih. Lalu mengapa manusia terkadang melupakannya? Menga-pa kasih dapat berubah menjadi kebencian yang mendatangkan azab dan sengsara? Dari siapa para Dewa akan mendapat jawaban?
Matahari - Sabda Dewa Ke-Enam
Ketika bumi berputar dan matahari menerangi jagat. Cahaya terang menjadi berkah bagi seisi alam. Yang kuasa tidak ingin para makhluk dalam kegelapan. Tetapi mengapa banyak diantara mereka yang sengaja mencari memeluk kegelapan? Tidakkah manusia berpikir. Bahwa cahaya hati tak kalah pentingnya dari cahaya matahari? Ketika bumi menjadi gelap karena sinar matahari terhalang rembulan, Apakah manusia merenungi arti semua ini? Mengapa ummat mengeluh teriknya matahari. Padahal diakhir dunia kelak mereka akan didera oleh seribu teriknya matahari. Padahal bukankah para Dewa telah memberi ingat akan azab setiap dosa?
Kayu - Sabda Dewa Ke-Tujuh
Siapa yang menanam akan menuai. Itu janji Maha Pencipta. Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah. Sang Pencipta tiada akan melupakannya. Karena Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Lalu mengapa kemudian manusia merusak benlh, merusak yang tumbuh di atas tanah. Padahal mereka perlu tetumbuhan untuk dima-kan. Padahal mereka butuh pepohonan untuk berlindung. Adakah manusia merasa bi-sa hidup tanpa pohon dan kayu? Ketika badai mengamuk dan pepohonan tumbang sa-ma rata dengan tanah. Ketika para Dewa merenung mengingat dosa. Ummat manusia masih saja berbuat kerusakan. Padahal mereka punya otak untuk berpikir dan punya hati untuk merasa.
Batu - Sabda Dewa Ke-Delapan
Ketika gunung batu meletus. Para Dewa bersujud minta ampun. Manusia menjerit, terhenyak dalam ketakutan. Tapi hanya seketika. Sesaat mereka terlepas dari bencana kembali mereka. lupa dan tegakkan kepala dengan congkak. Batu dijadikan Maha Pencipta agar manusia mempergunakannya untuk melindungi diri dari keganasan alam. Agar manusia ingat bahwa keteguhan iman harus dipegang sekukuh batu. Ke-tika iman runtuh seperti runtuhnya gunung batu. Para Dewa menangis meminta am-pun. Apakah mata dan hati manusia telah berubah menjadi batu, buta dan bisu tiada rasa?
Kanjeng Sri Ageng Musalamat terpekur lama meresapi apa yang barusan dibacanya. “Delapan Sabda Dewa...” katanya dalam hati sambil memejamkan mata. “Sungguh luar biasa. Tak pernah kubaca tulisan sebagus ini. Pengertiannya bila ditelusuri sangat mendalam. Menurut Eyang Ismoyo buku ini ditulis pada masa orang belum mengenal agama. Tapi aneh sekali, apa yang tertulis di sini, dasar pemikiran sang penulis jelas seperti berasal dari Kitab Suci. Siapa yang dimaksud penulis dengan para Dewa dalam kitab ini? Para tokoh silat, para pemuka agama atau Dewa sungguhan...?”
Sri Ageng Musalamat mengusap-usap dagunya “Isi kitab ini mengandung makna bahwa manusia harus ingat siapa dirinya, harus ingat pada ajaran Sang Pencipta, harus hidup perduli diri sendiri dan perduli lingkungan. Delapan Sabda Dewa ditutup dengan rangkuman kalimat agar manusia memiliki iman sekokoh batu.... Lalu dimanakah letak kehebatan buku ini? Mana ajaran-ajaran silat atau ilmu kesaktian yang katanya bisa membuat seseorang menjadi penguasa dunia persilatan? Ah! Aku bersikap bodoh. Yang kubaca baru beberapa halaman. Masih ada halaman lain yang harus kubaca dan kuteliti...”
Perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat pergunakan jari-jari tangan kanannya untuk membuka halaman berikutnya yakni halaman kelima. Mendadak Ageng Musalamat merasakan satu keanehan. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergetar keras. Lalu dua jari itu laksana berubah menjadi kayu tak mampu lagi digerakkan.
“Astagfirullah, dua jari tanganku menjadi kaku. Tak bisa digerakkan. Aku tak mampu membalikkan halaman keempat untuk membuka halaman ke lima....” Ageng Musalamat kerahkan tenaga luarnya “Celaka! Kini lima jariku semua jadi kaku!” Lelaki itu terkejut dan berubah air mukanya. Selain heran dan terkejut ada sekelumit rasa penasaran dalam dirinya “Membalikkan halaman kitab daun lontar ini api sulitnya. Tapi mengapa jari-jariku mendadak menjadi kaku tak bisa digerakkan?! Kalau aku salurkan tenaga dalam mungkin jari-jariku bisa pulih dan aku mampu membuka halaman kelima....“
Berpikir sampai disitu Ageng Musalamat kerahkan tenaga dalam murninya dari pusar ke pergelangan tangan kanan terus ke ujung-ujung lima jarinya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat lelaki ini keluarkan seruan tertahan dan wajahnya mengerenyit tanda menahan sakit yang amat sangat.
Tangan kanannya seperti disambar petir terbanting ke samping dan ada. asap putih mengepul dari tangan itu. Ketika dia memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah menjadi sangat merah laksana tersiram air panas.
Selagi Ageng Musalamat tenggelam dalam keterkejutan dan kesakitan yang amat sangat tiba-tiba kamar di mana dia berada itu laksana runtuh oleh suara auman dahsyat. Suara auman harimau. Bersamaan dengan itu hidungnya mencium harum bau kemenyan hingga dalam kesakitan Ageng Musalamat kini juga dilanda rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya merinding!
“Ya Tuhan, lindungi diriku. Apa yang sesungguhnya terjadi. Jangan berikan cobaan padaku yang aku tidak sanggup menghadapinya...”
Sekali lagi terdengar suara auman dalam kamar kayu yang sempit itu. Seperti disapu angin dahsyat Ageng Musalamat terbanting ke dinding kamar. Tangan kirinya masih memegang Kitab Wasiat Dewa. Kedua matanya membelalak ketika tiba-tiba di hadapannya muncul dua bayang-bayang aneh yang samar-samar membentuk sosok tubuh manusia dan sosok binatang besar!
***
TUJUH
WALAU dua sosok di hadapannya tidak beda seperti asap tipis namun Sri Ageng Musalamat dapat melihat bahwa sosok pertama adalah seorang tua bertampang gagah yang tubuhnya sangat tinggi hingga kepalanya yang berambut putih hampir menyentuh langit-langit kamar. Orang ini mengenakan selempang kain putih dan memegang sebuah tongkat kayu berwarna putih. Sepasang matanya berwarna kebiruan dan menatap tajam pada Ageng Musalamat yang saat itu masih terhenyak di atas ranjang kayu dan tersandar ke dinding kamar.
Di sebelah kiri si orang tua, ini yang membuat Ageng Musalamat menjadi menahan napas dan keluarkan keringat dingin tegak seekor harimau putih yang bukan main besarnya, memiliki tinggi tubuh sampai sepinggang orang tua berselempang kain putih itu. Sepasang mata harimau besar ini berwarna kehijau-hijauan, memandang tak berkesip pada Ageng Musalamat.
Setelah menenangkan hati dan berusaha tabah, walau suaranya masih gemetar Ageng Musalamat bertanya.
“Or... orang tua.... Siapa kau adanya?” Dalam hati dia yakin saat itu bukan berhadapan dengan manusia dan harimau sungguhan. Mungkin jin laut naik ke atas kapal bersama binatang peliharaannya? Atau mungkin kapal yang ditumpanginya itu berpenghuni makhluk halus? Untuk tambah menguatkan hatinya Ageng Musalamat diam-diam membaca berbagai ayat suci dan memahon perlindungan pada Yang Maha Kuasa.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat...” orang tua berbentuk bayangan dan menyebut nama lengkap murid Eyang Ismoyo itu. “Seratus tahun lalu aku dikenal dengan nama Datuk Rao Basaluang Ameh. Jazadku sudah lama ditelan bumi. Kalau aku bisa muncui dan berdiri di hadapanmu saat ini, itu tidak lain semata-mata adalah karena Kuasanya Tuhan Seru Sekalian Alam. Harimau putih di sampingku adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Seperti diriku dia pun sudah lama bersatu dengan bumi yang dengan Kuasa Allah masih bisa muncul dan ikut bersamaku pada saat-saat diperlukan. Kami datang untuk memberitahu padamu bahwa Kitab Wasiat Dewa tidak berjodoh dengan dirimu...”
“Da... Datuk Rao.... Aku tak mengerti maksudmu,” kata Ageng Musalamat.
“Kitab Wasiat Dewa yang ada di tangan kirimu itu tidak berjodoh dengan dirimu. Dengan kata lain apa-apa yang ada di dalamnya tidak boleh kau pelajari. Cukup kau hanya berkesempatan membaca sampai halaman ke empat. Dalam empat halaman itu sesungguhnya kau telah mempelajari hal-hal besar yang orang lain tidak pernah mengetahui atau rnenyadarinya sebelumnya....”
“Orang tua, harap maafkan kalau kukatakan aku masih tidak mengerti. Izinkan aku bertanya, apa hubunganmu dengan kitab ini?”
“Kami adalah sesepuh terakhir yang diserahi tugas untuk menjaga Kitab Wasiat Dewa. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang yang tidak mendapat izin dan ridho. Apalagi kalau sampai mempelajarinya....”
“Kitab ini aku terima dari guruku Eyang Ismoyo Jelantik yang dikenal dengan panggilan Wali Astanapura...”
“Kami tahu hal itu...” kata si orang tua pula. “Beliau menyerahkan disertai pesan bahwa aku harus mempelajari serta menyelami isi kitab ini. Kelak aku akan memiliki ilmu sangat berguna untuk membela keadilan dan kebenaran, menguasai dunia persilatan di jalan Allah, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan.... Dia telah membaca isi buku ini walau katanya tidak tuntas. Karena sudah terlalu tua untuk mempelajari maka diserahkan padaku.... “
“Kami tahu, tapi ada yang kau tidak tahu. Ismoyo Jelantik tidak pernah membaca apalagi mempelajari isi Kitab Wasiat Dewa itu.... “
Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut mendengar ucapan orang tua berupa bayangan dan asap itu.
“Kami menitipkan Kitab Wasiat Dewa padanya melalui seseorang. Dia menjaga kitab sakti itu selama lima belas tahun tanpa sekali pun berani membuka dan membaca isinya. Itu sesuai dengan pesan kami. Kami juga mengatakan padanya bahwa kitab itu kelak harus diserahkannya pada orang yang sangat dipercayanya. Dan orang itu ternyata adalah dirimu.... “
“Kalau kau sudah tahu hal itu berarti tidak ada halangan bagiku untuk mempelajari segala ilmu kesaktian yang ada di dalamnya.”
“Tidak Ageng Musalamat. Kau tidak boleh mempelajari isinya. Karena kau hanyalah seorang perantara yang dititipkan untuk menjaga kitab itu baik-baik seperti kau menjaga keselamatan diri dan nyawamu sendiri. Kelak seperti Ismoyo Jelantik, kau pun harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa itu pada seseorang yang paling kau percayai.... “
Ageng Musalamat jadi terdiam mendengar ucapan si orang tua.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apakah kau mendengar dan mengerti apa-apa yang aku ucapkan tadi?” bertanya Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Aku mendengar, tapi terus terang harap dimaafkan sulit aku bisa mengerti semua ini. Kau menyebut dirimu sudah ditelan bumi seratus tahun yang silam. Bagaimana aku bisa mempercayai hal-hal yang tidak bisa dicerna akal dan pikiran ini...?”
“Ada hal-hal yang memang tak bisa dicerna oleh otak manusia, karena semua itu terjadi dengan kodrat dan kuasanya Tuhan. Bila manusia memaksa untuk memecahkannya sedang dia tidak mampu melakukannya maka berarti manusia mendera dan menyiksa dirinya sendiri. Namun apa yang aku katakan padamu tidak termasuk dalam hal-hal yang tak bisa dicerna akal dan pikiran itu. Kami hanya meminta agar kau menjaga Kitab Wasiat Dewa baik-baik, jangan membaca dan mempelajari isi kitab mulai dari halaman lima. Dan bahwa kau harus menyerahkan kitab itu kelak pada seseorang yang sangat kau percayai....”
“Siapa orangnya...?” tanya Ageng Musalamat.
“Kau akan tahu sendiri pada dua puluh tahun mendatang...” jawab Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Datuk....”
“Kau berjanji akan mematuhi apa yang kami minta?”
“Aku tak mungkin berjanji.... “
“Kalau begitu bersumpahlah!” kata Datuk Rao Basaluang Ameh.
Ageng Musalamat menangkap nada suara yang mengandung ancaman. Lalu dia ingat apa yang terjadi atas dirinya sebelum kemunculan si orang tua dan harimau putihnya. Mula-mula dua jari tangannya kaku, lalu seluruh jari tangannya. Ketika dia memaksa dengan mengerahkan tenaga dalam untuk membuka halaman ke lima dari Kitab Wasiat Dewa, sekujur lengannya bukan saja menjadi kaku tapi juga melepuh merah laksana tersiram air panas! Sesaat Ageng Musalamat memperhatikan tangan kanannya. “Jangan-jangan orang tua ini yang telah melakukannya...” kata Ageng Musalamat dalam hati. “Kalau aku menolak permintaannya pasti dia akan melakukan sesuatu yang lebih hebat dari ini....”
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, aku tahu apa yang ada dalam benakmu.” Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berucap, membuat Ageng Musalamat terkesiap.
“Jika kau merasa tidak sanggup menjaga Kitab Putih Wasiat Dewa, lebih dari itu tidak akan berlaku culas membaca seluruh isinya, maka saat ini juga lebih baik kau serahkan kitab itu padakul”
Si orang tua angkat tangannya yang memegang tongkat. Tongkat kayu putih itu di arahkannya pada Ageng Musalamat. Saat itu juga tubuh Ageng Musalamat tersedot ke depan. Keningnya menempel di ujung tongkat. Sementara sekujur tubuhnya terasa kaku dan sedingin es! Putuslah nyali murid Eyang Ismoyo ini.
“Datuk Rao... Aku, aku berjanji akan menjaga Kitab Wasiat Dewa dan nanti akan menyerahkannya pada orang yang paling kupercaya....“
“Kau tidak akan mengingkari janji?”
“Tidak Datuk....“
“Bagus. Tapi harap kau ingat. Jika kau berlaku curang dan mengingkari janji maka kau akan mendapat malapetaka besar...“
“Aku tidak akan mengingkari janji Datuk,” kata Ageng Musalamat pula.
Datuk Rao Basaluang Ameh tarik tongkatnya sedikit. Ujung tongkat terlepas perlahan dari kening Ageng Musaiamat. Tapi sebaliknya murid Eyang Ismoyo ini terpental dan terbanting ke dinding kamar.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, kami tahu beban berat bagimu dalam menjaga Kitab Wasiat Dewa. Apalagi kau akan berada di negeri asing. Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya...”
“Apa maksud Datuk Rao?” tanya Ageng Musalamat.
“Kau akan kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri....”
“Datuk hendak mengajarkan tlmu silat Harimau Dewa. Di dalam kamar sesempit ini? Bagaimana mungkin...”
Ilmu ini tidak perlu dilatih secara lahir. Pada saat kau memerlukan, ilmu itu akan menuntunmu menghadapi musuh…”
“Ilmu aneh luar biasa. Jika Datuk tidak bergurau maka saya menghaturkan terima kasih…”
“Mendekatlah ke sini Ageng Musalamat. Duduk di lantai di hadapanku,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh.
Ageng Musalamat turun dari atas ranjang kayu. “Letakkan Kitab Putih Wasiat Dewa di atas pangkuanmu.”
Kembali murid Eyang Ismoyo melakukan apa yang dikatakan si orang tua berbentuk samar. Setelah Ageng Musalamat duduk di hadapannya, dari balik selempang kain putihnya Datuk Rao keluarkan sebuah benda yang memancarkan sinar kekuningan. Benda ini ternyata adalah sebuah saluang terbuat dari emas. (Saluang = sebentuk seruling khas Minangkabau yang biasanya terbuat dari bambu).
Datuk Rao dekatkan ujung saluang ke mulutnya. Sesaat kemudian menggemalah suara alunan seruling, lembut berhiba-hiba. Harimau putih besar di samping sang Datuk tiba-tiba melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. Orang ini serasa terbang nyawanya ketika binatang itu tiba-tiba mengaum dahsyat lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Sekali lahap saja seluruh kepala Ageng Musalamat sampai ke pangkal leher masuk ke dalam mulutnya.
Murid Eyang Ismoyo ini tidak sempat merasakan adanya hawa dingin yang keluar dari mulut harimau putih karena dirinya langsung pingsan. Hawa aneh ini menjalar memasuki kepalanya terus mengalir ke tangannya kiri kanan.
***
DELAPAN
PEMUDA berpakaian biru berikat kepala merah dan bertubuh tegap itu sesaat tegak tak bergerak di depan pintu kamar. Dari balik tumpukan peti-peti besar melangkah keluar seorang lelaki separuh baya. Mereka adalah anggota rombongan dan murid-murid Ageng Musalamat. Lelaki yang melangkah dari balik peti menegur pemuda yang berdiri di depan pintu kamar Ageng Musalamat.
“Cagak Guntoro, sedang apa kau di situ? Air mukamu kulihat aneh.”
Pemuda bernama Cagak Guntoro tersentak kaget oleh teguran yang tiba-tiba itu. “Kakak Munding Sura, syukur kau datang. Aku mendengar suara suara aneh dari dalam kamar pimpinan kita Kanjeng Sri Ageng Musalamat.”
Munding Sura tersenyum. “Kau baru sekali ini mengarungi laut naik kapal. Berbagai suara dalam kapal serta suara angin laut tentu telah mempengaruhi pendengaranmu.”
“Aku tidak tertipu pendengaran sendiri kakak Munding. Aku barusan dari geladak. Kanjeng Sri Ageng tidak ada di sana. Aku yakin dia berada dalam kamar...”
“Malam belum larut, tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng masuk kamar untuk tidur...” kata Munding Sura pula. “Suara-suara aneh apa yang tadi kau dengar?”
“Suara seperti orang jatuh. Mungkin juga suara orang dibanting ke dinding. Lalu aku dengar Kanjeng Ageng bicara. Tapi lawan bicaranya tak kedengaran suaranya...”
“Kau ngaco Cagak! Apa kau kira pimpinan kita tidak waras bicara sendirian dalam kamar? Hemm... mungkin dia memang sudah tertidur lalu mengigau.... Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Naik ke geladak melihat-lihat laut waktu malam...“
Munding Sura hendak berlalu tapi Cagak Guntoro cepat memegang bahunya dan berkata. “Kalau kita pergi begitu saja tanpa menyelidik, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dirinya?”
“Lalu apa yang ada di benakmu?” tanya Munding Sura.
Cagak Guntoro tidak menjawab. Dia melangkah mendekati pintu lalu mengetuk. Tak ada jawaban. Pemuda ini mengetuk sekali lagi. Kini sambil bertanya. “Kanjeng Sri Ageng, kau ada di dalam?”
Tetap tak ada jawaban. Cagak Guntoro memandang pada Munding Sura. Lelaki satu ini kini mulai merasa tidak enak.
“Buka pintunya. Kalau terkunci buka paksa!” kata Munding Sura.
Cagak Guntoro coba membuka pintu. “Dikunci dari dalam...” bisiknya. Lalu pemuda bertubuh kekar dan kuat ini pergunakan bahunya untuk mendorong. Sekali mendorong pintu kamar terbuka.
Dia melangkah masuk ke dalam. Munding Sura mengikuti. Namun belum sempat mereka melewati ambang pintu, kedua orang ini melompat mundur sambil berbarengan keluarkan seruan tertahan. Di dalam kamar yang tak seberapa besar itu, Kanjeng Sri Ageng Musalamat tampak terbujur di atas ranjang kayu. Punggungnya tersandar ke dinding. Di tangan kirinya ada sebuah kitab daun lontar dalam keadaan terkembang. Sekujur tubuh Ageng Musalamat tampak tak kurang suatu apa. Namun mukanya inilah yang membuat dua anggota rombongan itu terkejut bukan kepalang bahkan ngeri. Muka itu telah berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Kejadian ini hanya terlihat sebentar karena sesaat kemudian perlahan-lahan wajah Sri Ageng Musalamat kembali pulih ke bentuknya semula. Cuma hanya sepasang matanya saja yang kelihatan terkatup.
“Apa yang terjadi dengan pimpinan kita? Barusan mukanya seperti harimau...” kata Cagak Guntoro dengan suara bergetar karena masih diselimuti rasa ngeri.
“Aku mencium bau kemenyan,” balas berbisik Munding Sura.
“Yang begini merupakan tanda-tanda ilmu hitam...”
“Tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng memiliki ilmu hitam. Kita semua tahu betul hal itu!” kata Cagak Guntoro pula.
“Jangan-jangan ada seseorang telah berbuat jahat terhadapnya. Kita harus segera membuat dia sadar...” Munding Sura masuk ke dalam kamar. Namun saat itu perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat membuka kedua matanya. Dalam keadaan sadar dia segera ingat akan apa yang barusan dialaminya. Namun tidak bisa memikir panjang karena dilihatnya ada dua orang anak buahnya berada dalam kamar.
“Cagak Guntoro, Munding Sura! Ada apa kalian berada dalam kamarku?!” tanya Ageng Musalamat.
“Maafkan kami berdua Kanjeng Sri Ageng. Kami tidak bermaksud lancang. Namun tadi Cagak Guntoro mendengar suara gaduh dalam kamar....”
“Betul Kanjeng. Saya mendengar suara seperti sosok tubuh terbanting ke dinding.... Kami mengetuk pintu kamar. Juga memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Karena khawatir terjadi apa-apa dengan Kanjeng kami lalu memaksa masuk...,” Begitu Cagak Guntoro menerangkan.
“Waktu masuk kamar ini terselubung bau kemenyan...” menambahkan Munding Sura. “Begitu masuk kami lihat Kanjeng tersandar ke dinding. Mata terpejam entah tidur entah pingsan. Syukur sekarang Kanjeng sudah bangun. Mohon maafmu kanjeng. Kami minta diri....”
“Tunggu...” kata Ageng Musalamat. “Selain suara orang terbanting ke dinding, apa kalian juga mendengar suara-suara lain...?”
“Kami mendengar Kanjeng bicara dengan seseorang. Tapi waktu kami masuk tidak ada siapa-siapa di kamar ini selain Kanjeng.... “ Menjawab Cagak Guntoro.
“Hemmm.... Berarti mereka tidak mendengar suara auman harimau putih itu. Juga tidak mendengar suara seruling dan suara Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Ageng Musalamat.
Munding Sura melirik pada kitab yang ada di tangan kiri Ageng Musalamat dan masih dalam keadaan terbuka. Melihat orang melirik baru Ageng Musalamat sadar. Kitab Wasiat Dewa cepat ditutupnya. Lalu dia bertanya. “Apa kalian masih mencium bau kemenyan di kamar ini?”
Dua anak murid menggeleng.
“Kalian boleh pergi. Tak usah khawatir. Tak ada apa-apa di sini. Aku berterima kasih kalian punya perhatian atas keselamatanku.... Sebelum pergi mungkin ada hal lain yang hendak kalian katakan padaku?”
Cagak Guntoro sesaat memandang pada Munding Sura. Pemuda itu memandang maksudnya untuk memberi isyarat pada lelaki itu apakah akan diceritakan saja bagaimana tadi mereka menyaksikan wajah sang Kanjeng berubah seperti muka seekor harimau putih.
Namun Munding Sura saat itu cepat-cepat membungkuk hingga Cagak Guntoro terpaksa mengikuti meninggalkan kamar itu. Sampai di geladak Munding Sura memegang lengan Cagak Guntoro lalu bertanya berbisik. “Waktu di dalam kamar tadi kau berada lebih dekat ke tempat tidur Kanjeng Sri Ageng. Apa kau sempat memperhatikan kitab daun lontar yang dipegang Kanjeng?”
“Sempat, tapi aku tak tahu buku apa. Tulisannya kecil-kecil. Lagi pula ditulis memakai huruf Jawa kuno. Aku tidak begitu pandai membaca tulisan Jawa kuno... Kenapa kau menanyakan kitab itu?”
“Aku khawatir kitab itu ada hubungannya dengan keadaan Kanjeng tadi...”
“Hem, bagaimana kau bisa menduga begitu kakak Munding Sura?” tanya Cagak Guntoro. Munding Sura terdiam lalu mengangkat bahu. “Kurasa Kanjeng tidak suka kita membicarakan apa yang tadi kita saksikan. Sebaiknya kita lupakan saja kejadian itu....”
“Kurasa begitu...” kata Cagak Guntoro. Lalu dia menepuk bahu
Munding Sura dan berbisik. “Lihat, Kanjeng Sri Ageng ada di ujung buritan sana....
Memang ada baiknya dia berada di laut terbuka begini berangin-angin. Dalam kamar terus-terusan udaranya kurang sehat. Panas dan pengap.”
Sambil berpegangan pada pagar kayu kokoh di buritan kapal sebelah kiri Ageng Musalamat meraba dadanya. Di balik pakaiannya tersimpan Kitab Putih Wasiat Dewa. Setelah apa yang tadi terjadi di dalam kamar, kitab itu tak akan ditinggalkannya ke mana pun dia pergi. Memandang ke arah lautan luas yang menghitam dalam kegelapan malam Ageng Musalamat merenungi apa yang telah,dialaminya.
“Dua puluh tahun.... Menurut orang tua yang muncul secara aneh itu aku harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada seorang yang paling aku percayai. Padahal Eyang Ismoyo jelas-jelas mengatakan jika aku mempelajari keseluruhan isi kitab ini aku akan menjadi penguasa dunia persilatan. Hemmm... mengapa orang tua itu berdusta? Kalau saja sebelumnya dia menceritakan terus terang padaku bahwa kitab ini tidak berjodoh rasanya bebanku tidak akan seberat ini. Atau mungkin dia sendiri tidak mengetahui kalau dirinya, dan juga diriku hanya ketitipan saja sebelum Kitab Wasiat Dewa sampai di tangan orang yang benar-benar berjodoh? Lalu siapa pula gerangan orang yang beruntung itu?”
Ageng Musalamat menarik napas dalam berulang kali. “Waktu kutanya apakah ada hal lain yang hendak disampaikan, Cagak Guntoro kulihat seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi Munding Sura cepat-cepat keluar hingga pemuda itu tak sempat bicara. Atau mungkin Munding Sura tidak mau Cagak Guntoro mengatakan. Mengatakan apa? Aku harus menyelidik.”
Lama Sri Ageng Musalamat merenung dan berpikir-pikir di buritan kapal. Dia baru beranjak dari situ ketika angin laut terasa semakin kencang dan lembab.
Ketika dia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam, langkah Ageng Musalamat serta merta terhenti. Peti kayu berukir tempat disimpannya keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit dilihatnya tercampak di lantai. Ageng Musalamat cepat mengambil dan membuka tutupnya untuk memeriksa. Tujuh cahaya emas membersit menyilaukannya. Hatinya lega mendapatkan senjata mustika itu masih berada dalam peti.
“Peti ini sebelumnya berada di atas meja kecil sana. Bagaimana mungkin tahu-tahu berada di lantai? Pasti ada seseorang yang coba mencurinya...“ Lalu Ageng Musalamat ingat akan keterangan Eyang Ismoyo. Barang siapa bermaksud jahat dan mencuri keris sakti itu maka senjata itu akan berubah beratnya laksana segunung batu! Ageng Musalamat coba mereka-reka. “Ada seseorang menyelinap masuk. Mengambil peti berisi keris. Ketika coba membawanya keluar kamar tiba-tiba keris menjadi sangat berat hingga dia tidak mampu mengangkat dan lepas dari pegangannya. Pengkhianat terkutuk.
Pencuri laknat. Ada pengkhianat dan pencuri di atas kapal ini. Celakanya dia adalah salah seorang dari murid-muridku!”
Dengan mengepalkan tangan Ageng Musalamat tinggalkan buritan. Cagak Guntoro ditemuinya lebih dulu. Pemuda ini terduduk di salah satu sudut kapal. Kaki kanannya tampak bengkak dan luka. Seorang kawannya sibuk menguruti kaki yang cidera itu.
“Hemm.... Dia rupanya,” kata Ageng Musalamat dalam hati. Dia melangkah mendekati orang yang mengurut dan menepuk bahunya.
“Pergilah... Biar aku yang meneruskan mengurut kakinya.”
“Kanjeng.... Tak usah. Biarkan saja dia...” kata Cagak Guntoro.
Namun pandangan mata pimpinan mereka membuat pemuda yang tadi mengurut segera berdiri dan tinggalkan tempat itu. Setelah mereka berada berdua saja Ageng Musalamat berjongkok di depan Cagak Guntoro. Sambii memegang kaki kanan pemuda itu dia berkata.
“Hemmm... Cidera kakimu cukup parah. Apa yang terjadi Cagak Guntoro?”
“Kakiku kejatuhan salah satu besi penahan tiang layar kapal...“
“Pasti kau tidak berhati-hati. Malu rasanya pemuda sehebatmu bisa dihajar lawan tidak bernapas seperti besi itu!” Ageng Musalamat menyeringai. Lalu tangan kirinya bergerak memegang kaki kanan muridnya itu. Pegangan sang Kanjeng bukan pegangan sembarangan karena disertai tenaga yang kuat hingga Cagak Guntoro teraduh-aduh kesakitan.
“Dengar, aku bisa meremukkan tulang kakimu mulai dari ujung jari sampai ke mata kaki...” kata Ageng Musalamat dengan suara tajam dan pandangan mata tak berkesip.
“Kanjeng.... Apa maksudmu?” tanya Cagak Guntoro sambil menahan sakit.
“Katakan apa yang sebenarnya terjadi! Kakimu itu cidera bukan karena kejatuhan besi kapal!”
“Aku tidak berdusta Kanjeng. Perlu apa....”
“Waktu aku berada di buritan kau menyelinap masuk ke dalam kamarku. Berusaha mencuri peti kayu berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit! Benda sakti itu tiba-tiba menjadi berat dan kau tidak mampu memegangnya. Peti kayu terlepas dari tanganmu, jatuh menimpa kaki kananmu hingga hampir remuk!” Cagak Guntoro tampak berubah mukanya.
“Kanjeng... aku tak pernah berdusta padamu.... Mengingat budimu aku menghormati lebih dari menghormati orang tua sendiri...“
“Kedua orang tuamu sudah mati! Tak perlu disebut-sebut. Aku tidak percaya pada keteranganmu. Ingat, kau dulu kupungut dari pasar sewaktu jadi pengemis kecil, kurus kering dan korengan. Hebat kalau kau menyebut segala budi. Kau memang telah membuktikan. Dengan mencuri keris itu tapi gagal karena kau tidak tahu bagaimana saktinya senjata itu!”
Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali. Dia menggelenggelengkan kepalanya berulang kali. “Menurut pesan Eyang Ismoyo manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih mau memberi pengampunan. Kedudukanmu sebagai murid aku cabut. Derajatmu sekarang sama dengan pembantu yang harus melayani semua anggota rombongan! Kalau kelak nanti tidak terbukti bahwa memang bukan kau yang hendak mencuri senjata mustika itu maka aku akan memikirkan untuk memulihkan kedudukanmu kembali!”
Kanjeng Sri Ageng Musalamat bantingkan kaki kanan Cagak Guntoro ke lantai lalu berdiri dan tinggalkan tempat itu.
“Kanjeng!” panggil Cagak Guntoro. “Kau keliru Kanjeng. Aku bersumpah bahwa aku tidak....”
Ageng Musalamat tidak perduli. Dia melangkah terus dan akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar. Di tangga yang menghubungkan bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu Ageng Musalamat berpapasan dengan Munding Sura. Anak muridnya ini segera ditariknya ke salah satu sudut di bawah tangga.
“Aku perlu penjelasan darimu Munding Surya. Kuharap kau menjawab dengan jujur. Jangan berani berdusta!”
Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun Munding Sura menjawab juga. “Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak kau tanyakan?”
“Sewaktu kau dan Cagak Guntoro berada di kamar, aku menanyakan pada pemuda itu apa ada hal lain yang hendak dikatakannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku. Namun kau seolah memberi isyarat agar dia tidak bicara. Lalu kalian berdua cepat-cepat meninggalkan kamarku. Aku yakin ada sesuatu yang kalian tidak mau mengatakan!”
“Kanjeng....”
“Aku menunggu Munding Sura. Katakan cepat!”
“Waktu kami masuk ke dalam kamar, kami lihat Kanjeng Sri Ageng duduk di atas ranjang kayu, tersandar ke dinding kamar. Kami tidak tahu apakah saat itu Kanjeng tengah tidur atau pingsan. Cuma kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti biasanya....”
“Maksudmu?” tanya Ageng Musalamat.
“Muka Kanjeng tidak seperti muka manusia....”
“Munding Sura!” bentak Ageng Musalamat. “Jangan kau bicara ngelantur...“
“Saya tidak ngelantur. Juga tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami lihat muka Kanjeng telah berubah menjadi muka seekor harimau putih...“
Kalau ada petir menyambar di depannya mungkin tidak demikian terkejutnya Ageng Musalamat. “Mukaku berubah menjadi muka seekor harimau putih katamu?!”
Dalam keadaan tercekat Munding Sura anggukkan kepala. Ageng Musalamat tegak tak bergerak. Ingatannya kembali pada apa yang terjadi di kamarnya. Muncul sosok Datuk Rao dan seekor harimau putih. Lalu harimau putih itu mendekatinya dan membuka mulut lebar-lebar. Sewaktu binatang ini memasukkan kepalanya ke dalam mulutnya, dia jatuh pingsan. “Orang ini tidak berdusta,” membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada ucapan Datuk Rao.
“Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya... Kau akan kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri...“
“Berarti....” Ageng Musalamat usap-usap dagunya, “Datuk Rao memang telah memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau Dewa...”
***
SEMBILAN
KEDATANGAN rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat disambut utusan khusus Raja Tiongkok di pelabuhan Seochow. Bersama utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat penting di Kotaraja. Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena tahu rombongan tamu yang datang adalah orang-orang Muslim maka dia sengaja mengirimkan orang-orang seagama untuk menyambut kedatangan Ageng Musalamat dan rombongan. Seorang penterjemah yang juga disediakan oleh Raja ikut hadir di tempat itu dan kelak akan mendampingi Ageng Musalamat kemana dia pergi.
Di antara rombongan penjemput terdapat seorang anak lelaki kurus berusia sembilan tahun. Setelah upacara penyambutan resmi selesai sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke muka membawa sebuah pipa panjang khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau. Seseorang membakar tembakau itu hingga menebar asap yang harum. Si anak lalu menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat.
“Ah, rupanya para sahabat di sini tahu kalau aku dulunya adalah perokok berat. Sejak beberapa tahun belakangan ini aku berusaha mengurangi merokok karena kurang baik untuk kesehatan. Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum ini aku berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?” Kanjeng Sri Ageng Musalamat tertawa lebar. Diusapnya kepala anak lelaki itu berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang diserahkan. Langsung saja dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan asapnya tinggi-tinggi ke udara.
“Terima kasih... terima kasih...” kata Ageng Musalamat berulang kali seraya membungkuk. Dia berpaling pada anak lelaki yang barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat sesuatu yang sudah lama diharapkannya. “Anak ini walau kurus tapi memiliki bentuk tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki anak lain. Sepasang bola matanya jernih dan pandangannya mencerrninkan satu kekuatan yang tidak mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu bisa ditemukan yang seperti dia....”
Ageng Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya. “Anak gagah, siapa namamu?” Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si penterjemah apa yang ditanyakan orang si anak dengan sikap tegak dan suara lantang menjawab.
“Nama saya Ki Hok Kui. Saya anak petani miskin di desa Chungwei!”
“Anak hebat!” memuji Ageng Musalamat. “Orang tuamu pasti bangga punya anak sepertimu...”
Setelah Bu Tjeng memberitahu si anak tampak tersenyum lalu membungkuk.
“Orang tuaku telah tiada. Mereka meninggal enam tahun lalu waktu terjadi air bah besar di pantai timur!”
“Ah...” Ageng Musalamat manggut-manggut terharu. Namun dibalik keharuannya dia melihat sesuatu pada diri Ki Hok Kui. Anak ini tersenyum ketika menjawab pertanyaannya padahal dia mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya.
“Anak ini mampu menekan perasaannya. Menjawab kesedihan dengan senyum menghias bibir....”
Ageng Musalamat kembali mengusap kepala Ki Hok Kui. “Aku menyesal mendengar kau seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama. Aku juga seorang yatim piatu. Tapi kau tak usah takut. Kesusahan hidup membuat seseorang menjadi tabah dan kuat sekuat batu karang yang aku lihat banyak bertebaran di pantai menjelang pelabuhan Seochow!”
Ki Hok Kui kembali tersenyum. “Saya memang sudah pernah mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu....” Anak ini menyebut kata Kanjeng dengan Kan-jieng.
Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut. Orang-orang yang ada di sekitar situ juga terheran-heran mendengar ucapan anak itu.
“Ki Hok Kui, kau bilang barusan pernah mendengar aku mengucapkan kata-kata itu. Kapan... di mana? Padahal kita baru saja saling bertemu saat ini.”
“Dalam mimpi,” jawab Ki Hok Kui pula. “Satu tahun lalu saya pernah bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti itu. Begitu melihat Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jienglah orang yang saya lihat dalam mimpi itu dan bicara pada saya....”
Sesaat Ageng Musalamat jadi terkesiap mendengar keterangan si anak. Begitu juga anggota rombongan yang lain. “Ternyata anak ini punya daya ingat yang kuat....” kata Ageng Musalamat dalam hati.
“Aku yang baru berusia empat puluh tahunan terkadang sering-sering lupa pada hal-hal yang belum lama terjadi. Hemm.... “
Ageng Musalamat tertawa lebar.
“Apakah kau punya saudara Ki Hok Kui? Kau tinggal di kota ini?”
Ki Hok Kui menggeleng. “Saya tidak punya saudara tidak punya sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak terlantar dipimpin seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah tiga kali naik haji ke tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke Mekkah?”
Ageng Musalamat tertawa gelak-gelak. “Gurumu itu pasti ulama hebat! Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan pergi nanti langsung dari daratan Tiongkok ini....” Ageng Musalamat tepuk-tepuk bahu Ki Hok Kui. “Anak gagah, apakah kau akan menyertai rombongan kami ke Kotaraja?”
Si anak mengangguk.
“Kalau begitu kita berangkat sekarang....”
“Kan-jieng dan rombongan silahkan berangkat duluan nanti."
“Eh, memangnya kau hendak kemana Hok Kui?” tanya Ageng Musalamat pula.
Si anak menunjuk ke langit. “Matahari sudah tinggi Kan-jieng.... Saya belum sembahyang Zuhur.”
Ageng Musalamat terkejut. “Astagfirullah, semoga Tuhan mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum sempat sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar.... Hok Kui, apakah ada mesjid di sekitar sini?”
“Tidak ada Kan-jieng. Tapi tak jauh dari sini ada satu bangunan besar yang ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya bersih. Airnya banyak untuk wudhu....”
“Kalau begitu antarkan kami ke sana. Kita sembahyang berjamaah di tempat yang kau katakan itu.”
Ki Hok Kui membungkuk. Lalu tanpa sungkan-sungkan dipegangnya lengan Ageng Musalamat, membawanya ke sebuah bangunan besar yang terletak tak jauh dari sana.
Walaupun rombongan mengendarai beberapa kereta dan gerobak serta ada pula yang menunggangi kuda, namuh cuaca yang buruk membuat mereka tidak bisa bergerak cepat. Satu hari menjelang sampai di Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan berkemah di dekat sebuah telaga kecil. Ageng Musalamat dan anak buahnya sebenarnya ingin terus berjalan namun kuda-kuda penarik kereta dan gerobak serta kuda-kuda tunggangan perlu beristirahat setelah satu hari suntuk berjalan terus menerus.
Di dalam kamarnya setelah selesai metakukan sembahyang sunat dan bersiap-siap untuk merebahkan diri di atas sehelai tikar permadani mendadak telinga Ageng Musalamat mendengar suara derap kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan. Tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.
Ageng Musalamat yang satu kemah dengan penterjemah Bu Tjeng segera keluar dari dalam kemah. Ketika sampai di luar dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang menjemput dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang penunggang kuda. Selain mengenakan pakaian serba hitam, tujuh penunggang kuda ini juga memakai kain hitam penutup wajah masing-masing. Di belakang punggung mereka kelihatan tersembul ujung gagang pedang. Mereka memiliki rambut hitam lebat. yang dikuncir di atas kepala. Anehnya rambut di sebelah atas ikatan kuncir berwarna kuning keemasan.
“Kami datang mencari kepala rombongan tamu yang datang dari seberang!” Penunggang kuda di sebelah kiri depan berseru. Tidak seperti enam temannya, dia satu-satunya yang mengenakan mantel merah. Agaknya dialah yang jadi pimpinan rombongan tak dikenal itu. Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang diucapkan orang itu.
“Ini aneh, bagaimana dia tahu diriku dan apa perlunya mencariku?” bisik Ageng Musalamat.
“Sebentar lagi persoalannya akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan utusan Raja tengah melangkah ke hadapan penunggang kuda bermantel merah itu,” kata Bu Tjeng berikan jawaban.
Lu Liong Ong, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, berpakaian merah dan mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kotaraja serta memiliki kepandaian silat melangkah ke depan kuda tunggangan si mantel merah.
“Aku Lu Liong Ong pimpinan rombongan penjemput tamu dari tanah Jawa. Tamu Raja tidak boleh diganggu. Jika kau ada keperluan harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu harap beritahu siapa kalian adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang harap kau memakai sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara denganku!”
Orang bermantel terdengar mendengus. “Lu Liong Ong!” orang ini keluarkan suara lantang. “Kami tahu kau pejabat tinggi salah satu orang kepercayaan Raja! Karena kami menghormatimu maka kami tidak berniat untuk cari urusan dengan kalian orang-orang Kerajaan!”
“Aku minta kau turun dari kuda kalau bicara denganku! Enam orang anak buahmu lekas kau perintahkan untuk melakukan hal yang sama!”
Kembali orang bermantel mendengus di balik kain hitam penutup mukanya. Dia memandang berkeliling pada enam orang anak buahnya. Lalu masih duduk di atas kuda orang ini kibaskan mantel merahnya ke kiri. Angin deras menderu ke arah Lu Liong Ong membuatnya agak sempoyongan. Cepat orang ini kerahkan tenaga dan atur kuda-kuda kedua kakinya hingga dia tidak sampai jatuh oleh sambaran angin mantel yang hebat itu!
Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat dari punggung kudanya. Dia tidak langsung melompat turun tapi melayang dulu ke atas lalu ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak tanah tidak sedikit suarapun terdengar. Rupanya orang ini sengaja menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua orang yang ada di situ, terutama kepada Lu Liong Ong yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi.
“Hemm.... Orang ini sengaja memamerkan ginkangnya,” membatin Lu Liong Ong. (ginkang = ilmu meringankan tubuh) Enam penunggang kuda lainnya segera pula melompat turun dari tunggangan masing-masing.
Begitu berdiri berhadap-hadapan Lu Liong Ong segera berkata. “Sekarang katakan siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan kalian ke sini! Muncul dengan menutupi wajah dengan kain bukan tindakan orang-orang bermaksud baik!”
“Menurut aturan kami tidak layak memberitahu siapa kami adanya. Tapi mengingat kau adalah pejabat Kerajaan, kami sedikit berlaku murah. Kalau kami sudah memberitahu harap kau jangan banyak cingcong lagi!”
“Katakan saja langsung siapa kalian!” kata Lu Liong Ong menahan jengkel.
“Kami utusan Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas. Kami datang untuk menjemput pimpinan orang-orang yang datang dari Jawa...” (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu dari beberapa partai besar di daratan Tiongkok)
Terkejutlah semua orang-orang Kerajaan yang ada di tempat itu. Ageng Musalamat sendiri walau tetap berlaku tenang namun wajahnya jelas berubah. Dia segera minta keterangan pada penterjemah Bu Tjeng.
“Orang-orang itu bermaksud menjemputmu... Itu istilah halusnya. Sebenarnya mereka hendak mengambilmu secara paksa....”
“Mau menculikku?!”
***
SEPULUH
SI PENERJEMAH, Bu Tjeng, mengangguk membenarkan. “Tapi mengapa? Siapa mereka sebenarnya?” tanya Ageng Musalamat.
“Selama beberapa tahun Lo Sam Tojin dikenal sebagai salah satu pengurus tinggi Partai Kun Lun. Diantara dia dan para pengurus partai terjadi satu perselisihan besar. Paderi itu memutuskan meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan dia ikut serta. Mereka membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun dan mendirikan satu perkumpulan yang mereka beri nama Perkumpulan Kuncir Emas.
“Dari satu perkampungan kecil, lembah Pek-hun menjadi satu kawasan pemukiman besar. Jumlah para pengikut Lo Sam Tojin semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka akan membentuk sebuah partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami Perkumpulan Kuncir Emas bukan perkumpulan baik-baik. Mereka sering melakukan perampokan dan pembunuhan walau yang mereka rampok dan bunuh adalah orang-orang kaya pelit atau pejabat-pejabat yang diketahui melakukan korupsi.”
Lu Liong Ong rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu bertanya. “Apakah Lo Sam Tojin memberitahu padamu apa maksudnya menjemput tamu kami yang datang dari Jawa itu?”
Lelaki bermantel merah kembali tertawa pendek. “Kami bukan anak buah yang tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal yang tidak layak kami ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami datang untuk menjemput orang itu. Mana dia! Lekas suruh dia keluar!”
“Selama orang itu berada bersama kami, sebagai tamu Raja maka tidak ada satu orang lainpun boleh memintanya! Aku sudah tahu apa kata-kata menjemput yang kau sebutkan! Kalian sebenarnya hendak merampas orang itu dari tangan kami! Mau menculik tamu Raja!”
“Kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera menyerahkan orang itu pada kami?!”
“Aku perintahkan kau dan anak buahmu segera meninggalkan tempat ini!” bentak Lu Liong Ong.
“Lu Liong Ong, tadi kami sudah bilang kami mengambil sikap hormat terhadap kalian orang-orang Kerajaan dan tidak ingin mencari urusan. Tapi jika kau berani menampik permintaan Lo Sam Tojin maka itu adalah satu penghinaan besar yang harus kau bayar dengan mahal!”
Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak tadi dirangkapkan di depan dada. “Kami memang sudah lama mendengar dan mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang Perkumpulan Kuncir Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik. Tinggalkan tempat ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada Lo Sam Tojin. Jika dia tidak segera membubarkan perkumpulannya maka pasukan Kerajaan akan datang menyerbu. Lo Sam Tojin akan ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada satu putusan pengadilan baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!”
Orang bermantel merah tertawa gelak-gelak. Enam temannya ikut-ikutan tertawa.
“Lu Liong Ong! Kami tahu kau seorang pembesar Kerajaan. Tapi mulutmu lebih besar dari kedudukanmu! Kalau kau menuduh kami ini orang-orang jahat mengapa tidak segera turun tangan menangkap kami?!”
Ditantang seperti itu walau dia jadi marah tapi Lu Liong Ong tetap tenang.
“Saatnya akan tiba! Pasukan Kerajaan akan menyerbu lembah Pek-hun menumpas habis kalian semual Kalian masih untung saat ini kami tengah membawa rombongan tamu dari seberang laut. Jadi sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-cepat angkat kaki!”
Orang bermantel tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada enam anak buahnya dan berkata. “Kawan-kawan, percuma bicara dengan manusia satu ini! Bereskan dia!”
Mendengar kata-kata pimpinan mereka enam orang berseragam hitam melompat ke depan. Mereka menebar demikian rupa hingga Lu Liong Ong terkurung di tengah-tengah. Melihat kejadian ini Ageng Musalamat cepat tinggalkan kemah. Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Ki Hok Kui. Anak ini mengatakan sesuatu cepat sekali. Ageng Musalamat berpaling pada Bu Tjeng.
Orang ini segera memberitahu. “Hok Kui mengkhawatirkan keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah karena orang itu datang hendak menculikmu.”
Ageng Musalamat tersenyum. “Anak baik! Kau tak usah mengkhawatirkan keselamatanku… Kalau ada orang hendak berbuat jahat terhadap rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rombongan tamu tapi kami tak bisa lepas tangan begitu saja.”
“Kalau Kan-jieng berkata begitu mana saya berani melarang. Berarti kita akan menonton satu perkelahian seru!” kata Ki Hok Kui pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng Musalamat.
Sementara itu di depan sana, dalam gelapnya malam enam orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas telah menyerang Lu Liong Ong. Mereka memiliki kepandaian tidak rendah. Namun yang diserang adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah membekal diri dengan ilmu silat tangan kosong. Enam penyerang terkejut ketika gebrakan pertama yang mereka buat tidak dapat menyentuh tubuh lawan. Keenamnya cepat menyerbu kembali. Perkelahian berlangsung hebat. Saat itulah Ageng Musalamat berteriak pada beberapa orang anak buahnya.
Lima anak murid Ageng Musalamat, yang memiliki kepandaian tinggi segera melompat masuk ke dalam kalangan perkelahian. Melihat ini Lu Liong Ong berteriak. Bu Tjeng cepat mendekati Ageng Musalamat dan berkata. “Pimpinan kami meminta agar kau menyuruh mundur lima orang itu!”
“Tapi dia dikeroyok secara curang!” jawab Ageng Musalamat.
“Tak usah khawatir, Lu Liong Ong akan mampu menghadapi mereka. Lagipula beberapa orang anggota prajurit Kerajaan yang ada di antara kami akan membantu!”
Mendengar ucapan Bu Tjeng itu Ageng Musalamat terpaksa menyuruh murid-muridnya mundur. Bersamaan dengan mundurnya mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke tengah kalangan. Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok maka kini keadaan jadi terbalik. Mereka yang jadi sasaran keroyokan.
Perkelahian tangan kosong berjalan seru. Walau dikeroyok begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu bertahan bahkan dengan membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan serangan-serangan balasan. Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak. Dua orang tergelimpang muntah darah akibat dimakan tendangan lawan.
Lu Liong Ong kertakan rahang. Otaknya yang cerdik serta matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan barisan pertahanan enam orang anggota Kuncir Emas itu. Dia melesat ke salah satu ujung barisan lalu menggempur habis-habisan. Lawan pertama terkapar di tanah dengan leher patah akibat hantaman pinggiran tangannya yang sekeras besi. Sesaat kemudian korban kedua menyusul. Orang ini mencelat mental dan jatuh tepat di depan lelaki bermantel. Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu terhenyak tak berkutik lagi. Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat tendangan kaki kanan Lu Liong Ong.
Prajurit-prajurit Kerajaan. pengawal rombongan yang mendapat semangat berhasil pula merobohkan dua orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas. Dua orang yang masih tinggal walau kini menghadapi lawan yang jauh lebih banyak namun mereka tidak menjadi takut.
Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti kalap keduanya menyongsong serangan lawan. Orang bermantel merah yang tak mau melihat korban jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan melompat ke tengah kalanggn perkelahian. Dia sempat merobohkan dua prajurit yang menyerang anak buahnya hingga mencelat mental dan menemui ajal dengan kepala pecah!
“Tahan! Lu Liong Ong aku lawanmu!”
Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai.
“Korban sudah jatuh dipihakmu dan pihakku! Memang pantas kau harus bertanggung jawab! Atas nama Kerajaan lekas menyerah dan berlutut!”
“Pejabat jahanam! Makan dulu tanganku ini!” bentak si mantel merah. Tapi dia tidak mengirimkan jotosan atau pukulan. Tangan kanannya berkelebat mengibaskan mantel merahnya.
“Wussss!”
Mantel itu bertabur di udara. Sinar merah memancar dalam kegelapan malam. Angin deras menghantam ke arah Lu Liong Ong.
“Orang itu memiliki tenaga dalam tinggi,” membatin Ageng Musalamat yang menyaksikan jalannya perkelahian dan melihat bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung hampir jatuh.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri, lawan datang menyergap dan lancarkan satu jotosan ke pelipis kirinya! Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk menangkis.
“Bukkkk!”
Dua lengan saling beradu. Entah karena kedudukan kedua kaki Lu Liong Ong yang belum kokoh, entah karena keadaan tubuhnya yang miring atau entah karena lawan memiliki tenaga yang lebih kuat, beradunya dua lengan itu membuat pejabat Kerajaan itu terjatuh keras ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit lawan bermantel mendatangi dengan satu tendangan ke arah tulang rusuknya.
Lu Liong Ong berteriak keras. Hanya setengah jengkal lagi tendangan lawan akan menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu Liong Ong, gulingkan tubuhnya. Si mantel merah tersaruk ke depan namun cepat menguasai diri. Di tanah dilihatnya Lu Liong Ong membuat gerakan aneh. Setelah beberapa kali berguling tubuh itu melesat ke atas. Di udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong berkelebat ke arah si mantel merah. Inilah jurus silat bernama soan hong liap in yang berarti “angin berpusing mengejar awan.”
Orang bermantel keluarkan seruan kaget ketika tahu-tahu kaki kanan lawan menderu ke arah lehernya. Ini benar-benar merupakan serangan mematikan. Dia cepat melompat hindarkan diri. Meski serangan mematikan. Meski lehernya selamat tapi dia masih kurang cepat. Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak lalu tergelimpang di tanah.
Ageng Musalamat mengira paling tidak tulang bahu si mantel merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri. Namun apa yang terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si kuncir emas itu. Setelah keluarkan suara menggembor pendek orang ini melompat bangkit. Lu Liong Ong tampak agak tercekat ketika melihat lawannya tidak cidera malah masih sanggup berdiri dan melangkah ke arahnya.
“Lu Liong Ong, kesempatanmu untuk berdoa pada Thian hanya sedikit. Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!”
“Manusia sombong tapi tolol! Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu kemari untuk mencari mati!”
Si mantel merah kembaii keluarkan suara menggembor. Lalu didahului bentakan keras tubuhnya berkelebat. Sinar merah mantelnya bertabur. Lu Liong Ong merasa kedua matanya perih. Ada hawa aneh keluar dari bawah mantel. Sesaat dia tidak dapat melihat apa-apa. Tapi telinganya masih mampu mendengar datangnya serangan. Dengan cepat dia melompat ke kiri.
“Bukkkkk!”
Lu Liong Ong mengeluh tinggi. Mantel merah menghantam punggungnya hingga tak ampun lagi pejabat Kerajaan ini terpental ke depan. Untung dia masih sempat menggapai roda sebuah gerobak hingga tak sampai jatuh ke tanah. Namun baru saja dia membalikkan badan, satu tendangan menghajar dadanya. Lu Liong Ong tersandar ke badan gerobak. Dadanya seolah remuk. Napasnya sesak. Sewaktu dia coba menarik napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya. Beberapa orang anak buahnya berseru kaget melihat kejadian ini.
Saat itu si mantel merah sudah berkelebat lag!. Tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong. Tangan kirinya menelikung leher si pejabat. Sekali dua tangan itu bergerak pasti patahlah tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan lagi!
Ketika si mantel merah siap mematahkan leher Lu Liong Ong, di udara malam, melewati kepala beberapa orang yang ada di tempat itu, melesat satu bayangan putih. Tahu-tahu si mantel merah merasakan ada satu tangan memegang bahu kirinya. Mendadak sontak tangan kirinya menjadi sangat berat dan kaku tak bisa digerakkan iagi. Bersamaan dengan itu di belakangnya ada satu suara menegur dalam bahasa yang tidak dimengertinya.
“Orang gagah bermantel merah. Kau telah memenangkan perkelahian. Lawan dalam keadaan tidak berdaya. Tak ada untungnya bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong....”
Si mantel merah berpaling. Pandangannya membentur wajah Ageng Musalamat yang memandang tersenyum padanya.
“Kau pasti orang asing yang datang dari negeri seberang itu...”
Ageng Musalamat masih tersenyum. Tidak menjawab karena memang dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah. Sebaliknya si mantel merah juga tidak mengerti apa yang tadi diucapkan Ageng Musalamat.
Ki Hok Kui segera mengguncang lengan Bu Tjeng. Anak ini cepat berkata. “Paman Bu Tjeng, kau harus lekas ke sana. Dua orang itu saling bicara dalam bahasa yang mereka tidak mengerti satu sama lain!”
“Kau benar!” kata Bu Tjeng lalu melompat dan berdiri di antara Lu Liong Ong dan si mantel merah yang masih mencekal si pejabat tapi tak sanggup meneruskan maksudnya membunuh orang itu. Ageng Musalamat kembali mengatakan sesuatu pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan. “Orang ini memintamu agar melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya membunuh. Dia juga menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam Tojin hingga kau diutus untuk menjemputnya?”
Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan mengendur amarahnya. Sepasang pandangan mata lembut Ageng Musalamat membuat dia merasa kecut. Cekalan dan jambakannya pada Lu Liong Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah setengah sadar setengah pingsan. Beberapa orang prajurit segera menggotongnya ke tempat aman.
“Orang asing. Ketua Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin ingin bertemu denganmu. Itu sebabnya dia mengutusku untuk menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun tempat kediamannya.”
“Ah, Ketuamu tentu seorang yang sangat baik hati. Belum pernah bertemu tapi telah sudi mengundangku datang ke tempatnya. Kau kembalilah ke danau Pek-hun. Sampaikan salam hormatku pada Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat ini aku sedang menjadi tamu Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi izin aku akan datang sendiri menyambanginya di lembah itu...”
Habis berkata begitu Ageng Musalamat membungkuk member hormat. Ketika dia hendak membalikkan badan si mantel merah berseru.
“Orang asing! Tunggu!”
Si mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. “Peraturan di Perkumpulan Kuncir Emas sangat keras. Jika seorang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu dan tidak berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan memisahkan kepalaku dari tubuhku!”
Sepasang alis mata Ageng Musalamat berjingkat ketika dia mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu Tjeng.
“Jika kau tidak sanggup mengikuti aturan Perkumpulan, mengapa tidak keluar saja?”
“Itu lebih celaka lagi! Lo Sam Tojin akan membunuhku dan seluruh keluargaku!”
“Ah... Rupanya susah juga hidup ini bagimu...” kata Ageng Musalamat sambil usap-usap dagunya.
“Sebelum pergi Lo Sam Tojin mengatakan sesuatu padaku...”
“Hemmm, aku ingin mendengarkan....”
“Katanya, jika aku tidak bisa membawamu ke lembah Pek-hun maka sebagai gantinya aku harus mendapatkan keris emas yang hendak kau persembahkan pada Raja....”
Ageng Musalamat terkejut. Bagaimana orang ini bisa tahu aku membawa keris itu, pikirnya.
“Rupanya kabar menebar secepat kilat dan tak ada rahasia yang bisa dipendam di negeri ini. Aku memang membawa sebilah keris emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku tidak keberatan menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri.”
Beberapa orang anak murid Ageng Musalamat maju ke hadapan pimpinan mereka, serentak menegur keras menyatakan ketidaksenangan mereka. Lu Liong Ong sendiri yang setengah sadar setengah pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa yang hendak dilakukan Ageng Musalamat.
“Tamu terhormat Kanjeng...! Jika kau serahkan keris itu padanya maka itu adalah satu penghinaan besar bagi Raja dan rakyat Tiongkok!” kata Lu Liong Ong setengah berteriak lalu perlahan-lahan jatuh terduduk di tanah.
“Sahabatku pejabat Lu Liong Ong, kau tak usah khawatir... Lihat saja apa yang akan terjadi,” kata Ageng Musalamat sambil tersenyum dan kedipkan matanya.
Ageng Musalamat memberi isyarat agar si mantel merah mengikutinya. Lalu dia melangkah menuju kemah. Hampir semua orang yang ada di tempat itu mengikuti.
Sampai di dalam kemah yang diterangi lampu minyak Ageng Musalamat menunjuk pada sebuah peti kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas tumpukan barang.
“Buka penutup peti dan lihat isinya...” Ageng Musalamat berkata pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan ucapan Ageng Musalamat. Si mantel merah tampak ragu. Agaknya dia khawatir orang akan menjebaknya.
Namun setelah melihat Ageng Musalamat memandang tersenyum dan anggukkan kepala padanya, orang ini segera dekati peti kayu jati berukir itu. Dia ulurkan tangan membuka penutup peti. Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar kuning membersit keluar. Si mantel merah lindungi matanya yang kesilauan dengan telapak tangan kiri.
“Apakah benda itu yang diminta oleh Ketuamu paderi Lo Sam?” tanya Ageng Musalamat.
Si mantel merah mengangguk setelah mendengar kata-kata Bu Tjeng. Ageng Musalamat kembali bicara. Bu Tjeng kembali menterjemah. “Kau boleh mengambil senjata itu, membawanya pergi dan menyerahkan pada Lo Sam Tojin.”
”Ah.... Terima kasih... terima kasih...” kata si mantel merah sambil membungkuk berulang kali. Dia tidak menyangka kalau orang akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya. Peti kayu cepat ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia mengangkat peti dari tumpukan barang.
Baru satu langkah berjalan mendadak tampang si mantel merah yang tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit. Tubuhnya terhuyung ke depan. Peti kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit itu seperti berubah menjadi sebuah batu besar yang amat berat. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga tetap saja dia tak sanggup bertahan. Kedua bahunya membuyut ke bawah. Dan tangannya menjadi panjang. Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia kerahkan tenaga daiam.
“Krakk! Kraaak!”
Si mantel merah menjerit keras. Sambungan tulang bahunya kiri kanan tanggal dari persendian. Peti kayu lepas dari pegangannya dan bukkk!
Peti jatuh menimpa kakinya. Kasut yang melindungi kakinya berlubang besar. Tulang kakinya remuk dan kasut itu tampak merah tanda kakinya cidera berat dan berdarah. Si mantel merah menjerit berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan.
Ageng Musalamat membungkuk mengambii peti kayu berisi keris sakti. Lalu dengan tangan kirinya dipegangnya bahu si mantel merah.
“Katakan pada Ketuamu, kau telah berusaha tapi tak sanggup membawa keris daiam peti ini. Mungkin senjata ini tidak berjodoh dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang...“
Si mantel merah hendak berteriak marah. Tapi ketika dilihatnya orang bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti ada sinar aneh memancar dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa banyak bicara lagi dia segera keluar dari dalam kemah.
***
SEBELAS
MALAM pertama sampai ke Kotaraja rombongan Ageng Musalamat dibawa ke istana Raja. Sebelum jamuan makan malam yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan serta undangan khusus dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng Musalamat menyerahkan keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada Raja. Sebagai balasan, Raja memberikan seuntai tasbih yang terbuat dari batu giok berwarna hijau pekat. Tasbih itu bukan tasbih biasa karena mampu menolak racun serta memiliki kekuatan besar.
Perjamuan itu menjadi semarak karena dipertunjukkan berbagai tarian dari beberapa propinsi. Menjelang tengah malam, perjamuan baru selesai dan rombongan diantar ke tempat bermalam yakni sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana.
Selama dua hari rombongan diajak melihat-lihat beberapa tempat berpemandangan indah. Pada malam ketiga sesuai yang telah diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan lagi di sebuah gedung yang biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk perunjukan kepandaian silat. Acara kali ini tidak dihadiri oleh Raja, tapi beberapa pejabat penting termasuk Kepala Barisan Pengawal Raja dan Kepala Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut hadir. Lu Liong Ong sendiri tidak kelihatan karena kabarnya masih dalam perawatan akibat perkelahian dengan anak buah Lo Sam Tojin tempo hari.
Tuan rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat tangan kosong dan mempergunakan senjata diseling dengan pertunjukan akrobat. Setelah itu giliran murid-murid Ageng Musalamat ganti memperlihatkan kebolehan mereka. Bagian ketiga yang merupakan bagian penutup adalah pertandingan persahabatan antara pihak tuan rumah dan tamu dari tanah Jawa. Agaknya dalam rangka persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak berani menurunkan tangan keras. Walau begitu pertandingan itu berjalan cukup seru dan tidak henti-hentinya mendapatkan sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir.
Ketika pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara malam itu tiba-tiba sebuah benda kuning melesat di udara lalu menancap di atas panggung. Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu tombak yang pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning. Pada bagian tengah bendera, dalam lingkaran merah terlihat gambar berupa kunciran rambut.
“Bendera Perkumpulan Kuncir Emas!” seru semua orang yang mengenali. Tempat itupun menjadi gempar. Belum berhenti getaran besi bendera yang menancap di lantai panggungm belum reda suara gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang. Lampu-lampu besar di ruangan itu berkelapkelip.
“Braakk!”
Loteng di atas panggung ambruk. Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak tepat di samping kanan bendera kuning.
“Lo Sam Tojin!” beberapa orang yang duduk di barisan depan sampai terlonjak dari kursi masing-masing saking kagetnya. Ageng Musalamat sendiri yang ada di barisan kursi terdepan mendadak saja merasa berdebar. Kedua matanya memandang tak berkesip pada orang yang di atas panggung.
Orang di atas panggung ternyata adalah seorang kakek mengenakan jubah paderi berwarna serba hitam. Mukanya berwarna kuning muda. Sepasang alis, bibir, dan rambut yang dikuncir, dicat dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya yang kurus tinggi membuat keseluruhan diri orang ini menjadi angker untuk dipandang. Apalagi sepasang matanya tak bisa diam, selalu jelalatan. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat besi berwarna kuning.
“Apakah kalian sudah selesai mempertunjukkan kebodohan masing-masing?!” Tiba-tiba Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa mengekeh.
“Tak ada yang menjawab! Bagus! Itu berarti kalian menyadari kebodohan masing-masing!” seru Lo Sam Tojin lalu kembali tertawa bergelak-gelak.
Seseorang berpakaian kebesaran militer yang duduk di barisan depan tegak dari kursinya lalu membentak. Orang ini adalah Suma Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal Istana.
“Lo Sam Tojin! Tindakanmu sungguh kurang ajar sekali! Lekas turun dari panggung dan tinggalkan tempat ini!”
“Ah…! Ternyata pejabat-pejabat di Kotaraja ini tidak angkuh semua!” Lo Sam Tojin menjawab.
“Apa maksudmu?!” sentak Suma Tiang Bun dengan mata mendelik.
“Beberapa hari lalu, seorang pejabat bernama Lu Liong Ong sesumbar jual omongan besar mau menyerbu kediamanku di lembah Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang she Lu itu? Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh kemari. Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal bernama Suma Tiang Bun dengan sikap hormat memintaku untuk berlalu. Ha… ha… ha…!”
Merah padam muka Kepala Barisan Pengawal Istana itu. Dia cepat memandang berkelliling dan siap berteriak pada para pengawal untuk memberi perintah agas segera menangkap Lo Sam Tojin tapi alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat tidak satupun anggota pengawal ada di ruangan itu. Malah seputar dinding ruangan kelihatan sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan wajah tertutup kain hitam, rembut kuning dikucir di atas kepala!
Di atas panggung Lo Sam Tojin kembali tertawa mengekeh.
“Jenderal Suma!,” teriak Lo Sam Tojin, “kau tak usah khawatir. Semua anak buahmu berada di gudang belakang. Semua tertidur pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua! Ha… ha… ha…!”
Terkejutlah Suma Tiang Bun mendengar ucapan Lo Sam Tojin itu. Dia cepat berpaling pada seorang lelaki gemuk pendek yang tegak di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal Tjia, Kepala Balatentara Daerah Timur.
“Jenderal, aku minta bantuanmu. Lekas himpun kekuatan. Lucuti semua anggota Kuncir Emas yang ada di tempat ini. Aku akan menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!”
Jenderal Tjia mengangguk. “Hati-hati Jenderal Suma. Lo Sam Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung membantumu begitu selesai menyusun kekuatan!”
Begitu Jenderal Tjia bergerak. Suma Tiang Bun berkelebat ke atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan ejekan.
“Ha… ha…! Aku jadi sungkan berhadapan denganmu Jenderal Suma! Kau mengenakan pakain bagus dan mewah. Aku cuma memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh, pakaianmu itu tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha… ha… ha..!”
“Tojin sesat! Tutup mulutmu! Aku masih memberi kesempatan terakhir kepadamu. Tinggalkan tempat ini!”
“Ho… ho! Terus terang aku kemari bukan mencarimu. Tapi mencari orang lain! Sebelum aku menemukan orang itu jangan harapa aku akan minggat dari sini!”
“Kau akan menyesal. Sebentar lagi pasukan besar akan mengurung tempat ini. Kau dan anak buahmu tak bakal bisa keluar hidup-hidup dari sini!”
“Heemm... begitu?!” dua mata Lo Sam Tojin berputar-putar dan jelalatan kian kemari. “mari kita main-main sebentar. Sudah lama aku tidak mengukur sampai dimana tingkat kepandaian seorang Jenderal sepertimu!”
“Kalau kau memang minta digebuk, aku tuan besarmu tidak akan sungkan-sungkan lagi!” kata Suma Tiang Bun lalu melompat ke depan melancarkan serangan.
“Ha… ha! Hanya jurus Ouw liong cut tong! Siapa takut?!” ejek Lo Sam Tojin. Lalu sapukan tongkat besinya ke depan. (Ouw liong cut tong = Naga hitam keluar goa).
Jenderal Suma Tiang Bun tentu saja terkejut ketika mendengar Lo Sam Tojin menyebut nama jurus serangan yang dilancarkannya. Sebenarnya ini bukan satu hal yang mengherankan. Jenderal Suma dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat gemblengan Kun Lun Pay. Sedang Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang sesepuh itu. Jadi dia sudah tahu semua jurus-jurus ilmu silat Partai.
“Jenderal Suma! Kalau kepandaianmu cuma sebegitu sungguh mengherankan, Raja mau mengangkatmu jadi Kepala Barisan Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi seranganmu dengan jurus yang sama!”
Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu sisipkan tongkat besi kuningnya. Ketika serangan lawan berupa jotosan keras siap melabrak dadanya Lo Sam Tojin berteriak keras.
“Jurus ouw liong cut tong sejati!”
Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun semua orang yang berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan paderi melancarkan serangan tahu-tahu…
“Buukkk!”
Jenderal Suma terpental satu tombak ke belakang. Dari mulutnya terdengar erang kesakitan. Ketika dia memperhatikan tangan kanannya ternyata tangan itu telah membengkak merah. Rasa sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi amarah tak mampu dibendungnya. Didahului bentakan dahsyat dia melompat ke depan. Kini terjadi perkelahian seru. Lima jurus Jenderal Suma Tiang Bun merangsek lawannya dengan serangan-serangan ganas. Tapi Lo Sam Tojin berubah laksana bayang-bayang.
Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma keluarkan seluruh kepandaiannya. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Tubuhnya yang besar berkelebat mengeluarkan deru angin kencang. Lo Sam Tojin berseru keras ketika dapatkan dirinya tenggelam dalam tekanan serangan lawan. Kini dia tidak menyerang dengan sepasang tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk mengebut gempuran lawan.
“Wuuss…! Wuuss…!”
Dua larik sinar hitam menderu keluar dari ujung lengan jubah hitam sang paderi. Sinar di sebelah kanan berhasil dielakkan Jenderal Suma. Namun sinar yang menyambar dari arah kiri menghantam dadanya dengan telak. Untuk kedua kalinya orang ini terpental. Mukanya tampak pucat. Kedua kakinya kelihatan bergetar keras. Dari mulutnya ada darah meleleh. Sang Jenderal menderita luka dalam yang cukup parah.
“Paderi keparat! Biar kupatahkan kepalamu dari tubuh detik ini juga!” kertak Suma Tiang Bun.
“Srett!”
Dia cabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekali dia menggerakkan tangan maka sinar putih bertabur menyambar ke leher Lo Sam Tojin.
Si kakek ganda tertawa. Tangannya bergerak ke pinggang. Selarik sinar kuning berkiblat.
“Traangg!”
Bunga api memercik di atas panggung ketika pedang Suma Tiang Bun beradu keras dengan tongkat besi Lo Sam Tojin. Celakanya, karena sejak pertama tangn kanan sudah cidera maka genggamannya pada gagang pedang tidak teguh. Akibatnya begitu bentrokan senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental.
Di atas pangung Lo Sam Tojin angkat tongkat besinya ke udara. Semua orang terkesiap ketika melihat bagaimana pedang Jenderal Suma yang mencelat mental ke udara, laksana disedot, melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning. Dengan cepat Lo Sam Tojin ambil pedang itu. Lalu dia tertawa mengekeh.
“Jenderal Suma! Aku akan membelah tubuhmu dengan pedang milikmu sendiri! Bersiaplah untuk menghadapa Giam lo ong! Ha… ha… ha…!” (Giam lo ong = malaikat maut).
Jenderal Suma berusaha menyelamatkan diri dari sambaran pedang dengan melompat ke belakang. Dia menyambar sebuah jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang kembali membabat dia menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat dari porselen hancur berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam Tojin menderu dari atas ke bawah, mengarah batok kepala Jenderal Suma. Rupanya tojin ini benar-benar hendak membuktikan kata-katanya yaitu ingin membelah tubuh sang Jenderal!
Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan Kerajaan yang dibawa Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua puluh orang anak buah Lo Sam Tojin. Walau mereka berjumlah lebih sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian tinggi dalam waktu singkat mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal Tjia sendiri saat itu yang telah melihat bahaya maut mengancam Jenderal Suma segera melompat ke atas panggung. Selagi tubuhnya melayang di udara dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Lo Sam Tojin sama sekali tidak menghindar sewaktu merasakan ada sambaran angin menyerang ke arah sepuluh jalan darah di sisi kirinya. Sambil meneruskan bacokannya ke kepala Suma Tiang Bun, kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar kuning bertabur. Angin laksana badai mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia.
Orang gemuk pendek ini berseru kaget ketika tubuhnya terpental ke bawah panggung. Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh terbanting di lantai, tombak besi di tangan Lo Sam Tojin tahutahu melayang. Demikian cepatnya sambaran tongkat besi ini hingga Jenderal Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi menancap di ulu hatinya! Orang banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar. Terlebih ketika melihat bagaimana pedang di tangan Lo Sam Tojin siap pula membelah kepala Jenderal Suma!
***
DUA BELAS
SESAAT lagi Jenderal Suma akan menjadi mayat dengan kepala terbelah tiba-tiba dari bawah panggung, dari barisan kursi paling depan melesat satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang membuat kakek bermuka kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih sanggup meneruskan bacokannya namun mata pedang meleset jauh, tak dapat membelah kepala Jenderal Suma melainkan hanya membelah angin. Satu tangna kemudian menarik leher pakaian Suma Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam Tojin.
Semua orang berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak buah Perkumpulan Kuncir Emas tanpa diberi aba-aba sama-sama hentikan pertempuran dan memandang ke atas panggung. Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki tinggi tegap mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia memegang seuntai tasbih.
“Tamu asing itu! Dia menyelamatkan Jenderal Suma!” seseorang berseru. Suasana menjadi gempar sesaat namun segera sirap. Semua mata ditujukan ke atas panggung.
Sepasang mata Lo Sam Tojin yang selalu jelalatan tak bisa diam kini terpentang lebar, memandang tak berkesip pada orang berjubah putih di hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng Sri Agengn Musalamat. Lo Sam Tojin usap-usapkan tangan kirinya ke dagu. Pedang di tangan kanan tiba-tiba dihunjamkan ke bawah hingga menancap di lantai panggung.
“Dicari susah sekali! Dijemput tak mau datang! Tahu-tahu saat ini muncul di hadapanku! Jadi inilah orang asing dari tanah Jawa yang katanya memiliki kepandaian tinggi, datang membawa sebilah keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha... ha... ha!”
Karena tidak tahu apa yang dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng Musalamat hanya tersenyum dan membungkuk. Sang paderi makin keras tawanya. Tiba-tiba kakinya bergerak menendang ke arah badan pedang yang menancap di lantai panggung.
“Desss!”
“Wuuut!”
Pedang yang menancap melesat ke atas, berputar laksana baling-baling, menyambar ke arah Ageng Musalamat. Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang tasbih. Tasbih ini adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat dari Raja Tiongkok sebagai balasan keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang diberikannya pada Raja.
“Tring.. tring... tring!”
Terdengar suara berdentringan beberapa kali. Bunga api memijar enam kali berturut-turut. Ageng Musalamat terkejut dan cepat melompat ketika tangannya yang memegang tasbih terasa pedih seperti ditusuk puluhan jarum. Sebaliknya Ketua Perkumpulan Kuncir Emas tak kalah kagetnya. Hantaman tasbih di tangan Ageng Musalamat walau ditujukan pada pedang yang berputar namun ada hawa aneh yang membuatnya melangkah mundur terhuyung-huyung. Sementara itu pedang yang kena hantaman tasbih jatuh berdentrangan di bawah panggung.
“Orang asing, aku mengagumi kehebatanmu!” kata Lo Sam Tojin seraya membung-kuk. Ageng Musalamat balas menghormat.
“Aku tak punya waktu lama. Aku ingin kau ikut bersamaku ke lembah Pek-hun sekarang juga. Orang sepertimu aku perlukan untuk bantu membangun Partai Kuncir Emas...“ Lalu Lo Sam Tojin berikan tanda dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat mengikutinya. Ageng Musalamat gelengkan kepala dan goyangkan tangannya.
Melihat ajakannya ditolak marahlah Lo Sam Tojin. Ke dua tangannya didorongkan ke muka. Gerakannya perlahan saja. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Dari ujung dua lengan jubahnya melesat angin sederas topan. Panggung bergoncang. Tirai-tirai tebal bergoyang keras bahkan ada yang robek. Di atas panggung tubuh Kanjeng Agung Musalamat bergoncang hebat.
“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin seraya lipat gandakan tenaga dalamnya. Mukanya yang kuning kelihatan seperti mengkerut.
Goncangan di tubuh Ageng Musalamat semakin hebat. Jubah putihnya tampak robek di beberapa bagian. Dia bertahan sambil membungkuk dan mengepalkan tinju. Tasbih di tangan kanannya berputar-putar kian kemari.
“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin, sekali lagi.
Ageng Musalamat bertahan mati-matian agar tidak roboh. Lantai panggung yang dipijaknya tiba-tiba berubah panas laksana dia menginjak bara api!
“Kalau aku bertahan, cepat atau lambat aku akan jatuh! Orang tua bermuka kuning ini memiliki tenaga dalam luar biasa! Aku harus mencari jalan mengalahkannya tanpa menghinanya!”
Ageng Musalamat melirik pada pecahan jambangan porselen yang bertebaran di lantai panggung sebelah kiri. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki kanan. Tiba-tiba kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung. Laksana senjata rahasia, puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam Tojin. Selagi Ketua Perkumpulan Kuncir Emas ini berteriak kaget, puluhan pecahan porselen menancap di sekujur pakaian hitamnya. Pecahan porselen ini menancap demikian rupa laksana disisipkan dengan hati-hati dan rapi hingga tak ada bagian tubuh Lo Sam Tojin yang terluka ataupun tergores!
Kalau saja mukanya tidak dilapisi cat kuning maka semua orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam Tojin telah berubah sepucat mayat! Kakek ini menyadari kalau mau Ageng Musalamat tadi pasti mampu membunuhnya dengan tusukan puluhan pecahan porselen itu.
“Orang asing...” kata Lo Sam Tojin dengan suara bergetar. “Aku menaruh kagum padamu! Aku juga menaruh hormat! Kalau aku tidak bias membawamu ke lembah Pek-hun untuk kujadikan guru besar Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran yang kau berikan saat ini cukup membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua itu...” Lo Sam Tojin membungkuk berulang kali.
Ageng Musalamat membalas penghormatan itu dengan cara yang sama yaitu membungkuk pula beberapa kali. Pada saat itulah tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak dan!
“Kanjeng guru! Awas!” Seseorang berteriak dari bawah panggung.
Ageng Musalamat cepat mengangkat kepalanya. Sebenarnya tadipun dia sudah mendengar ada suara menderu datang dari depan. Ketika melihat ke depan terkejutlah dia! Lima ekor ular aneh berwarna hitam dengan sirip di kepala dan di badan melesat ke arahnya.
“Ular iblis pencabut nyawa!” teriak beberapa orang di bawah panggung.
Ular terbang yang diberi julukan, “ular iblis pencabut nyawa” itu adalah senjata rahasia paling berbahaya yang jarang dikeluarkan Lo Sam Tojin. Di tempat penyimpanannya di dalam sebuah kantong di balik pakaiannya lima ular itu tak ubahnya seperti kayu kaku. Tapi begitu melesat di udara berubah seolah ular sungguhan. Melesat dengan membuka mulut lebar-lebar. Siap untuk mematuk sasaran!
Ageng Musalamat tanpa pikir panjang jatuhkan diri ke atas lantai panggung. Tasbih di tangan kanan diputar sebat. Tiga ular beracun lewat di atasnya, menancap pada tiang kayu panggung. Dua lainnya dihantam hancur dengan tasbih.
Lo Sam Tojin menggereng marah. Dia menerjang ke depan, menyerang dengan ganas dan tenaga dalam penuh. Lima jari tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak Ageng Musalamat melihat lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah menjadi cakar besi membara! Inilah ilmu hitam yang paling diandalkan oleh Lo Sam Tojin yang selama ini tidak satu musuhpun sanggup menghadapinya.
Orang banyak di bawah panggung, terutama para pejabat tinggi yang tahu betul akan keganasan ilmu yang dimiliki Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat. Mereka tidak bisa menduga lain. Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka terkoyak, perut jebol dan isi perut membusai.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semuanya secara tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir berbarengan. Di atas panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng Musalamat berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Selagi dia tertegun kecut lawan telah melompat ke hadapannya. Ageng Musalamat merasakan terjadi keanehan atas dirinya. Sepasang tangan dan ke dua kakinya bergerak diluar kendalinya. Tasbih dalam genggamannya menderu menabur sinar angker. Dia mendengar suara bergedebukan berulang kali. Lalu…
“Praaakkk!”
Rahang kiri Lo Sam Tojin remuk. Tubuhnya terpelanting namun sungguh hebat. Mukanya yang kuning babak belur. Sepasang matanya menggembung bengkak dan mengeluarkan darah. Hidungnya remuk sedang mulutnya pecah! Tapi hebatnya kakek ini masih mampu berdiri walau kini kepalanya kelihatan miring. Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng Musalamat hingga jubah putih orang ini penuh dengan noda merah.
Ageng Musalamat jadi mendidih amarahnya. Tapi sikapnya tetap tenang. Ketika lawan berusaha menyergapnya dengan satu serangan kilat, tangan Ageng Musalamat kiri kanan menderu ke depan, menghujani muka dan dada Lo Sam Tojin. Ketika paderi ini terhuyung-huyung, berusaha berdiri sambil memegang tirai panggung, kaki kanan Ageng Musalamat mendarat di dagunya.
Darah menyembur. Tubuh Lo Sam Tojin mencelat ke bawah panggung, jatuh di antara orang banyak. Tidak berkutik lagi, tidak bernapas lagi!
“Lo Sam Tojin mati! Lo Sam Tojin mati!” teriak beberapa orang.
Tempat itu menjadi gempar. Beberapa orang anggota Kuncir Emas yang tahu bahaya secepat kilat ambil langkah seribu menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang.
Di atas panggung Ageng Musalamat memandang ke bawah. Tadi sewaktu dia membungkuk dan tidak sempat melihat datangnya serangan lima ular iblis pencabut nyawa, seorang di bawah sana berteriak mengingatkannya. “Kanjeng guru! Awas!”
Dia kenal suara itu. Dia merasa telah ditolong dan diselamatkan. Pandangan Ageng Musalamat membentur sosok Cagak Guntoro, murid yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah yang berusaha mencuri keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit.
“Berarti... Jangan-jangan aku telah salah menjatuhkan hukuman,” kata Ageng Musalamat dalam hati.
***
TIGA BELAS
KEMATIAN Lo Sam Tojin Ketua Perkumpulan Kuncir Emas menggegerkan daratan Tiongkok kawasan timur. Di pegunungan Kun Lun orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta besar atas kematian orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu. Lima orang utusan khusus Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Mereka membawa hadiah-hadiah besar dan menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng Musalamat suka berkunjung ke markas mereka.
Dengan sangat hati-hati Ageng Musalamat menolak menerima hadiah itu. Dia hanya mau berjanji jika ada kesempatan akan menerima undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun. Namun utusan Ketua Partai Kun Lun memaksa agar Ageng Musalamat mau menerima hadiah itu. Setelah saling bersitegang akhirnya Ageng Musalamat mengalah. Namun semua hadiah kemudian disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti asuhan di Hsin Yang yang diurus oleh Pouw Goan Keng dimana Ki Hok Kui tinggal.
Ketika berita tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja meminta Ageng Musalamat datang. Kepadanya Raja menghadiahkan satu daerah subur tak jauh dari Hsin Yang. Di situ dibangun belasan rumah yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan rombongannya selama mereka suka. Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi Ageng Musalamat namun dengan halus kedudukan bagus itu ditolaknya.
Lama kelamaan tempat kediaman Ageng Musalamat semakin berkembang luas hingga menjadi satu kota kecil dimana hampir semua penduduknya adalah orang-orang Muslim. Dalam rimba persilatan di daratan Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi satu nama besar. Maklum saja karena selama ini tidak ada satu orang pandai bahkan pihak Kerajaan yang mampu mengalahkan atau menangkap Lo Sam Tojin. Ageng Musalamat disejajarkan ketinggian ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok pada masa itu. (kang-ouw = dunia persilatan)
Diam-diam beberapa Partai berusaha memperebutkan Ageng Musalamat dengan maksud agar orang sakti ini mengajarkan kepandaiannya pada mereka. Namun Ageng Musalamat lebih suka memilih diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya. Di sini dia membuka satu perguruan silat yang jumlah muridnya selalu bertambah. Ki Hok Kui termasuk salah seorang murid yang paling disukai dan dipercaya Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Anak yang cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya itu, tapi juga dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa.
Sampai dua tahun dimuka jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur yang ditinggal Jenderal Tjia masih tetap lowong. Untuk sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh Jenderal Suma Tiang Bun. Namun entah dari mana asalnya tersiar kabar bahwa Raja akan mengangkat Ageng Musalamat menduduki jabatan Kepala Balatentara Daerah Timur itu.
Tanpa melakukan penyelidikan benar tidaknya berita itu Jenderal Suma terlanjur merasa jadi tidak suka terhadap Kanjeng Sri Ageng Musalamat karena menganggap orang ini bisa merampas kedudukan rangkap yang sebenarnya sangat ingin dipertahankannya. Rasa tidak sukanya itu ditebar demikian rupa hingga satu demi satu dia berhasil mengumpulkan orang-orang penting bergabung dengan dia untuk tidak menyukai Ageng Musalamat yang bagaimanapun juga adalah orang asing. Tindakan Jenderal Suma tidak sampai disitu saja. Dia berkali-kali menghadap Raja untuk memberikan laporan yang memburukkan nama Ageng Musalamat.
Ageng Musalamat sendiri bukan tidak tahu kalau banyak orang-orang tertentu tidak suka padanya. Namun dia tidak ambil perduli. Sikapnya pada orang-orang yang membencinya itu biasa-biasa saja. Dia lebih memperhatikan pengembangan kota kecilnya yang melebar hingga berdampingan dengan Hsin Yang. Akhirnya keseluruhan kota dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang.
Setelah bertahun-tahun tinggal di Hsin Yang rasa betah perlahan-lahan mengikis rasa rindu terhadap tanah Jawa. Bahkan akhirnya Ageng Musalamat nikah dengan seorang penduduk asli seagama. Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak buahnya. Akibatnya Hsin Yang semakin berkembang dan tak dapat lagi dikatakan kota kecil. Sebagian penduduknya hidup dari bertani dan sebagian lainnya mencoba berdagang. Nama kota Hsin Yang menjadi harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Jumlah pengikut dan anak murid Ageng Musalamat bukan hanya ratusan tapi sampai ribu-ribuan. Cagak Guntoro yang telah dibebaskan dari hukuman sejak lima belas tahun lalu hidup berbahagia dengan seorang istri dan dua anak. Munding Sura menempuh jalan berbeda. Sampai saat itu dia tidak kawin dan sering mengelana sampai berbulan-bulan untuk mengembangkan ilmu silat pada penduduk setempat.
Ratusan keluarga besar Ageng Musalamat hidup rukun di Hsin Yang membentuk satu kekuatan besar yang lambat laun membuat para penjahat tinggi di Kotaraja merasa kurang enak. Ketidak enakan ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun.
***
TANPA terasa telah dua puluh tahun Ageng Musalamat bermukim di Tiongkok. Selama berumah tangga sayangnya dia tidak dikarunia anak. Karena itu rasa kasih sayangnya banyak tercurah pada murid terpandainya yakni Ki Hok Kui. Boleh dikatakan selama dua puluh tahun Ki Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan. Pada saat dia berusia tiga puluh hampir seluruh ilmu kepandaian Ageng Musalamat berhasil diserapnya. Bahasa Jawanyapun tak kalah medok dengan orang-orang yang datang dari tanah Jawa itu.
Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu kekuatan besar rupanya tidak lepas dari perhatian Raja. Suatu hari dia dipanggil ke istana. Ternyata satu pertemuan penting yang dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi termasuk Jenderal Suma telah diatur. Dalam pertemuan Raja mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng Musalamat diangkat menjadi Tikoan berkedudukan di Hsin Yang dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya. Sekali ini Ageng Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan Raja itu. (Tikoan = jabatan sederajat Bupati)
Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng Musalamat menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-orang yang tidak menyukainya. Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang pernah diselamatkan nyawanya oleh Ageng Musalamat maka disusunlah satu fitnah besar untuk menjatuhkan Tikoan baru itu.
“Heran,” kata Jenderal Suma pada kawan-kawannya. “Ilmu pemikat apa yang dipakai oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali memberi tahu Raja akan perbuatan-perbuatannya yang buruk dan berbahaya. Eh malah Raja mengangkatnya menjadi Tikoan....”
Seorang perempuan tinggi semampai berpakaian bagus dan berdandan mencolok memegang bahu Jenderal Suma. Dia adalah salah seorang tokoh silat istana yang berhasil ditarik Jenderal Suma Tiang Bun ke dalam kelompoknya. “Untuk menjatuhkan batu karang, ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa kita jatuhkan dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan. Bukankah bekas anak buah Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan banyaknya itu bersumpah untuk membalas dendam kematian Ketua mereka? Lagi pula aku ada satu rencana besar yang bisa kita jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat orang Jawa anak murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak keterangan tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng Musalamat?”
“Hemmm.... Apa rencana besar yang barusan kau katakan itu Louw Bin Nio?”
Perempuan separuh baya itu tersenyum dan kedipkan matanya dengan genit. “Jika kau ingin tahu bukan di sini tempatnya,” jawab Louw Bin Nio sambil memandang pada orang-orang yang ada di situ. Mendengar ucapan ini dan melihat pandangan Louw Bin Nio semua orang yang ada di situ menjadi maklum. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.
“Ikuti aku,” kata Louw Bin Nio sambil menggoyangkan pinggulnya yang besar. Perempuan ini adalah seorang tokoh silat istana yang sejak masih gadis secara diam-diam telah menjadi kekasih gelap Jenderal Suma.
Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke dalam sebuah kamar. Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma dengan penuh nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat.
“Sudah berapa lama kita tidak berkasih-kasihan Suma Tiang Bun...”
“Hampir dua minggu. Maafkan aku Bin Nio Urusanku banyak sekali akhir-akhir ini....”
“Sekarang lupakan semua urusan itu. Darahku sudah panas Suma. Cepat buka bajuku dan aku akan membuka bajumu!” Lalu jari-jari tangan Louw Bin Nio bergerak. Dia bukan membuka pakaian Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug nafsu.
Justru hal inilah yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa memuaskannya dengan hubungan badan yang aneh-aneh sementara istrinya yang gemuk di rumah hanya merupakan sosok dingin sedingin salju di puncak Thay San.
***
EMPAT BELAS
SALAH satu tantangan dalam hidup manusia ialah kemampuan untuk bertahan terhadap godaan. Sejak Adam tergoda oleh setan hingga memakan buah larangan lalu bersama Hawa diusir dari Taman Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi manusia, menggoda agar melakukan kesesatan. Hal ini yang terjadi dengan diri Kanjeng Sri Ageng Musalamat.
Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan terhadap hasutan setan yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa yang selalu dibawanya kemana-mana. Malam itu entah mengapa, sewaktu hasutan setan menghantuinya, dia tidak berdaya melawan. Semakin dilawan semakin keras dorongan untuk ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di halaman ke lima dan halaman berikut kitab sakti itu. Dalam keadaan bimbang akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas loteng rumah dimana terletak sebuah ruangan tempat dia biasa bersunyi diri.
Dari balik jubah putihnya dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat Dewa. Dadanya berdebar keras, tangannya gemetar. Tengkuknya mendadak merasa dingin. Kitab yang hendak dibukanya ditutupnya kembali. Pada saat itulah setan menghasut melalui suara hatinya.
“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apa yang kau khawatirkan? Kau tidak disuruh merenangi lautan api atau mendaki gunung batu membara. Apa susahnya membalik halaman kitab itu? Jangan mau dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau menjadi penguasa dunia persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi sekarang kau berada jauh dari tanah Jawa. Mana mungkin dia mengetahui. Sekali kau membuka halaman ke lima kitab sakti itu, dunia persilatan berada di tanganmu. Raja Tiongkok kelak akan memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu...”
Ageng Musalamat menggigit bibirnya sendiri. Berkali-kali dia menarik napas dalam. Akhirnya keputusannya bulat. Tangan kanannya walaupun masih gemetar bergerak membuka halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa!
Begitu halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka, terpentanglah sepasang mata Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Ternyata halaman itu kosong! Tak ada gambar tak ada tulisan. Dibaliknya halaman-halaman berikutnya. Sama! Kosong!
“Orang menipuku...“ kata Ageng Musalamat terperangah.
“Datuk Rao Basaluang Ameh mendustaiku. Halaman kelima dan halaman lainnya ternyata tidak ada apa-apanya!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling di kejauhan. Suaranya mengalun lembut berhiba-hiba lalu menderam suara auman binatang. Ageng Musalamat tercekat. Parasnya menjadi pucat pasi.
“Datuk Rao...” desisnya.
Baru saja dia menyebut nama itu di hadapannya muncul dua kepulan asap putih yang dengan cepat berubah membentuk sosok tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si harimau putih bernama Datuk Rao Bamato Hijau.
Datuk Rao menatap dengan pandangan rawan pada Ageng Musalamat. Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan Ageng Musalamat jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao. Tapi orang tua itu mundur dua langkah hingga dia menangkap angin.
“Sayang sekali... Sayang sekali Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Pada saat-saat terakhir imanmu runtuh! Padahal kau telah mengulang berpuluh kali membaca Sabda Dewa yang ke delapan. Imanmu tidak sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali membaca Sabda dewa ke tiga. Di dalam tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak berpikir mencari manfaat dari pada kualat?!”
“Maafkan diriku Datuk! Aku mengaku bersalah, mengaku berdosa. Aku akan melakukan apa saja yang bisa menebus dosa kesalahanku!” kata Ageng Musalamat setengah meratap.
“Mengapa kau tergoda melanggar pantangan, Ageng Musalamat?”
“Aku terhasut setan Datuk! Aku mohon maafmu. Lagi pula ketika halaman ke lima Kitab Wasiat Dewa kubuka, tidak ada apa-apanya. Halaman itu kosong!”
Datuk Rao tersenyum. “Matamu tidak seperti mata malaikat. Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan oleh Yang Maha Kuasa hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!”
Tenggorokan Ageng Musalamat turun naik. Matanya membeliak dan wajahnya seputih kain kafan.
“Aku mohon ampunmu Datuk. Tolong diriku...”
“Kesalahan telah dibuat. Larangan telah dilanggar. Penyesalan tak ada gunanya Ageng Musalamat. Aku tidak tahu nasib apa yang akan menimpamu. Aku hanya ada dua pesan terakhir. Pertama hati-hatilah. Kedua jangan lupa amanat agar kau menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada orang yang paling kau percaya!”
Datuk Rao angkat saluang emasnya lalu mulai meniup. Suara seruling itu seperti tadi mengalun lembut berhiba-hiba. Datuk Rao Bamato Hijau membuka mulut keluarkan suara auman. Bersamaan dengan sirnanya suara auman lenyap pulalah sosok asap ke dua makhluk itu.
Sepanjang malam Kanjeng Sri Ageng Musalamat tak bisa memicingkan mata. Menjelang pagi ketika sepasang matanya sempat hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda, menyusul suara pintu digedor. Beberapa orang yang bertugas sebagai pengawal di gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan.
“Tikoan! Tikoan Kan-jieng Musalamat! Bangun! Buka pintu!”
Ageng Musalamat terduduk di atas ranjang. Telinganya dipasang kembali khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi.
“Tikoan Musalamat! Buka pintu! Cepat!”
“Eh, itu suara Ki Hok Kui. Ada apa dia pagi-pagi buta begini menggedor pintu. Setahuku dia berada di timur...”
Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang itu cepat-cepat turun ke bawah. Begitu pintu dibuka masuklah muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa orang pengawal.
”Ada apa Hok Kui? Mukamu pucat dan napasmu sesak?”
Ageng Musalamat berpaling pada Cagak Guntoro. Muridnya yang satu ini juga sama keadaannya dengan Ki Hok Kui.
“Lekas tinggalkan kota ini Tikoan. Seluruh penduduk harus diberitahu agar segera mengungsi!” kata Ki Hok Kui yang kini telah menjadi seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun dan telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan kesaktian Ageng Musalamat, kecuali ilmu Harimau Dewa.
“Tinggalkan kota?! Mengungsi?! Eh kalian ini tidak habis minum-minum dan mabok?!” ujar Ageng Musalamat.
“Demi Tuhan, Kan-jieng....”
“Katakan ada apa?!” Ageng Musalamat membentak.
“Pasukan Kerajaan. Ribuan jumlahnya. Mereka hendak menyerbu ke sini! Mereka hendak membunuh kita semua! Hsin Yang hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!”
Paras Ageng Musalamat jadi berubah.
“Bicara yang benar Hok Kui, jangan terburu-buru...”
Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu menuturkan, “Raja menerima laporan dari Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng berserikat dengan orang-orang Mongol untuk meruntuhkan takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat Jenderal Suma membawa sepucuk surat rampasan yang katanya adalah dari Raja Mongol ditujukan pada Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan serta siasat penyerbuannya ke Kotaraja....”
“Fitnah!” teriak Ageng Musalamat dengan kedua tangan dikepal.
“Kan-jieng tahu Jenderal Suma sudah sejak lama tidak menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah. Celakanya Raja begitu saja mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara Kerajaan terdiri dari enam gelombang masing-masing berjumlah dua ribu orang akan sampai di sini. Selagi ada waktu harap Kanjieng mencari jalan selamat...”
Ageng Musalamat gelengkan kepala. “Bahaya sebesar apapun yang akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak Guntoro lekas beritahu penduduk dan ungsikan mereka. Aku tetap di sini. Aku akan menghadapi Jenderal culas itu!”
”Tapi Kan-jieng Jenderal Suma tidak sendirian. Dia membawa enam tokoh silat istana, dua orang tokoh silat golongan hitam dan kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang dikenal dengan julukan Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada yang melihat Munding Sura bersama Jenderal Suma!”
Terkejutlah Ageng Musalamat. Dia sudah lama mendengar hubungan gelap Jenderal Suma dengan Louw Bin Nio. Perempuan satu ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana! Lain dari itu dia tidak menduga kalau Munding Sura murid yang dulu begitu dipercayanya ternyata adalah seorang pengkhianat.
“Seribu Jenderal Suma boleh datang. Seribu tokoh silat istana boleh muncul di hadapanku dan seribu Louw Bin Nio boleh unjukkan diri di sini. Tapi aku tidak akan melarikan diri. Aku tidak akan meninggalkan Hsin Yang!”
Dari balik pakaiannya Ageng Musalamat keluarkan Kitab Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki Hok Kui. Ternyata muridnya inilah orang yang paling dipercayanya.
“Hok Kui, selamatkan kitab ini dan segera tinggalkan tempat ini!”
“Kan-jieng!” seru Ki Hok Kui. “Saya tidak akan pergi! Saya siap bertempur bersama Kan-jieng!”
“Jangan berani membangkang Hok Kui!”
“Saya ingin mati bersama Kan-jieng!” teriak Ki Hok Kui.
“Plaaaakkkk!”
Satu tamparan melayang di pipi Ki Hok Kui. Tamparan yang dilancarkan penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang rahang manusia. Tapi jangankan cidera, bergeming sedikitpun tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui hingga dia dijuluki Tiat Tow Hou atau Harimau Kepala Besi.
“Hok Kui! Ini perintah! Kalau kau tidak melaksanakan kubunuh kau saat ini juga!” teriak Ageng Musalamat. Ki Hok Kui mundur dua langkah. Ageng Musalamat maju mendatangi dan dengan cepat memasukkan Kitab Wasiat Dewa ke dalam baju muridnya itu. “Kitab itu lebih berharga dari nyawaku! Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!”
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara menderu seperti air bah mendatangi. Menyusul suara tiupan terompet. Paras Ki Hok Kui berubah. “Astaga! Saya tidak menyangka balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat.... “
“Lekas pergi dari sini Kui Hok!” bentak Ageng Musalamat. Dia berpaling pada Cagak Guntoro dan berkata. “Bangunkan istri dan para nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh mungkin dari Hsin Yang.” Ketika Ageng Musalamat melihat Hok Kui masih berdiri di tempat itu diapun berteriak marah. “Kau tunggu apa lagi?!”
Dengan muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya air mata Ki Hok Kui melangkah mundur ke pintu. Sebelum berkelebat dia berkata. “Kan jieng guruku tercinta, saya berdoa untuk keselamatanmu!”
***
LIMA BELAS
PERAHU kecil itu terapung-apung dipermainkan ombak. Di dalamnya terbujur satu sosok tubuh hanya tinggal kulit pembalut tulang, mengenakan pakaian yang nyaris hancur. Kulitnya yang tadi putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat sinar matahari. Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha mengangkat tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan hanya menunggu hancur. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid terpandai dan paling dipercaya Ageng Musalamat.
Setelah mengetahui bahwa balatentara Kerajaan secara ganas benar-benar menghancurkan Hsin Yang dan membantai setiap orang yang mereka temui di kota itu termasuk gurunya, Ki Hok Kui lalu menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat amanat sang guru dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini dia mendapat beban berat untuk menyelamatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Dia sudah selamat tapi kitab itu hendak diapakannya? Kalau dibawa akan dibawa kemana, kalau diserahkan akan diserahkan pada siapa?
Seperti mendapatkan satu kekuatan gaib Ki Hok Kui walau berada dalam keadaan sangat lemah duduk di lantai perahu. Dua matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap.
“Pulau..” desisnya. Digosoknya dua matanya dengan rasa tidak percaya. Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu adalah sebuah pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah?
Tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti berdesir di belakangnya. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan. Pucatlah paras cekung Ki Hok Kui.
“Astaga! Bagaimana mungkin mereka bisa mengejar sampai di sini!”
Ratusan tombak di belakang perahu kecil Hok Kui kelihatan sebuah kapal layar besar. Dari bendera yang berkibar di tiang utama jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok. Apa sebenarnya yang telah terjadi?
Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan Hsin Yang dan membantai semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui terpaksa melarikan diri dan dia memilih arah timur yang lebih banyak diketahui seluk beluknya. Sewaktu Ki Hok Kui sampai di Nanchang, Jenderal Suma mengetahui dari Munding Sura bahwa Ki Hok Kui diduga masih hidup. Selain itu sewaktu tempat kediaman dan mayat
Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa tidak ditemukan. Munding Sura yakin kitab itu teiah diserahkan oleh Ageng Musalamat kepada Hok Kui untuk diselamatkan.
Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat itu dikabarkan melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow. Tujuan sang Jenderal bukan saja untuk mengikis habis semua anak murid Ageng Musalamat tapi juga untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Maka pengejaranpun diteruskan sampai di Seochow. Di sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah perahu kecil dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya. Namun Munding Sura
mempunyai dugaan dan hal ini diberitahukannya pada Jenderal Suma Tiang Bun. Menurut pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui melarikan diri menuju tanah Jawa. Pemburuan di lautpun dilakukan. Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak begitu memahami kawasan laut selatan, satu bulan kemudian baru mereka berhasil mengejar perahu Kui Hok.
Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan. Di kawasan inilah Jenderal Suma berhasil mengejarnya. Dari atas kapal layar lima buah perahu diturunkan.
Masingmasing perahu berisi tiga penumpang. Perahu terdepan ditumpangi Jenderal Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat istana. Perahu kedua yang meluncur di samping perahu sang Jenderal ditumpangi oleh Louw Bin Nio alias Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang Pencabut Nyawa) didampingi dua orang tokoh silat golongan hitam. Tiga perahu lainnya masing-masing berisi seorang perwira tinggi Kerajaan dan dua tokoh silat.
Dalam waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera terkejar. Lima perahu besar mengurungnya. Lima belas orangberkepandaian tinggi langsung menyerang. Ada dengan tangan kosong dan ada pula dengan senjata. Malah beberapa orangsengaja melepaskan senjata rahasia secara licik. Iblis Terbang Pencabut Nyawa sesuai dengan gelarnya dan memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lihay melancarkan serangan laksana terbang. Berkelebat kian kemari sambil kiblatkan sebilah golok panjang.
Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki Harimau Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang hebat tidak mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri.
Apalagi keadaannya saat itu sangat lemah pula. Jenderal Suma berulang kali berteriak agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang sudah sempat terlihat tersembul dari balik dada bajunya. Tapi Hok Kui pantang menyerah.
“Louw Bin Nio!” teriak Jenderal Suma yang sudah tidak sabaran. “Bunuh bangsat itu. Rampas kitab putih di dadanya!”
“Dengan senang hati kekasihku!” jawab Iblis Terbang Pencabut nyawa. “Tapi biar kupesiangi dulu tubuhnya!” Habis berkata begitu perempuan ini melesat ke atas perahu Hok Kui. Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut.
“Crass! Craass! Crass! Craass!”
Jeritan-setinggi langit menggelegar keluar dari mulut Hok Kui. Golok Louw Bin Nio ternyata telah membabat buntung dua tangan di bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal paha! Darah membanjiri lantai perahu.
Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa panjang. Ketika dia hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok Kui, murid Ageng Musalamat ini perlaku nekad. Dengan sisa tenaga yang ada tanpa tangan dan kaki dia gulingkan tubuh, mencebur masuk ke dalam laut!
“Munding Sural Lekas terjun! Kejar dan ambil kitab di balik bajunya!” teriak Jenderal Suma. Tidak pikir panjang lagi si pengkhianat ini segera melompat masuk ke dalam laut. Justrupada saat itulah seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi. Di atas lima perahu, empat belas penumpangnya hanya bisa tercekat ketika melihat air laut mendadak berwarna merah.
Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak keras. Tiga belas orang lainnya sama tersentak kaget. Ternyata di sekitar perahu mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran.
“Kembali ke kapal!” teriak Jenderal Suma Tiang Bun. Empat perahu cepat dikayuh kembali ke kapal. Malang bagi perahu yang ditumpangi Jenderal Suma. Dua ekor ikan hiu besar menabrak perahunya hingga terbalik. Tubuhnya dan tubuh tokoh silat yang terbalik dari atas perahu segera disambar belasan ikan hiu!
Louw Bin Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan setan. Kalau tidak dipegangi dia pasti akan melompat ke dalam laut menyusul Suma Tiang Bun.
Di atas batu miring sosok tubuh Pendekar 212 tidak bergerak. Sekujur badannya dibungkus hawa aneh sedingin es. Sepasang matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat apa-apa. Tiba-tiba “Wusss!” Sekujur tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu mengeluarkan cahaya terang benderang. Lalu sekali lagi terdengar suara, “Wusss!”
Dari kepala Pendekar 212 melesat keluar sebuah benda bersinar terang. Benda ini melayang ke udara dalam kecepatan luar biasa dan akhirnya lenyap seolah ditelan langit malam.
Bersamaan dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak menggeliat lalu bergerak duduk. Dia memandang celingak-celinguk terheran-heran. Kepalanya dipegang berulang kali. Akhirnya murid Sinto Gendeng ini garuk-garuk kepalanya.
“Aneh, barusan ini aku bermimpi atau bagaimana? Aku melihat seorang bernama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Aku melihat KitabPutih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang Jenderal Cina melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor bergelar Tjui-bihun... Tjui... Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya dalam bahasa Cina!” Wiro kembali garuk-garuk kepala.
“Ki Hok Kui... Lelaki Cina yang dibuntungi tangan dan kakinya itu. Dia yang terakhir sekali memiliki kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi dia kecebur masuk ke dalam laut!” Wiro garuk-garuk kepala lagi dan kembali memandang berkeliling. Lalu dia ingat pada Delapan Sabda Dewa. Dan bicara seorang diri.
“Delapan Sabda Dewa... Tanah, Air, Api, Udara, Bulan, Kayu... Batu! Astaga mengapa aku bisa mengingatnya?!” Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang bernyanyi.
Laut Selatan tak pernah tenang
Gelombang selalu datang menantang
Ribuan pagi ribuan petang
Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan
Yang menunggu tua renta malang
Yang ditunggu budak malang
Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun menjelang
Mungkinkah ini akhir penantian dan permulaan dari satu harapan
Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh Harapan
Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh jalan abadi menghadap Sang Pencipta.
“Tempat aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti aneh!,” kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala dia turun dari batu miring itu dan melangkah ke arah datangnya suara nyanyian tadi.
T A M A T
Tulis komentar baru