HANTU PENJUNJUNG ROH MENYERINGAI LALU KELUARKAN SUARA TAWA MELENGKING. "AKU TAK TAHU SIAPA KAU ADANYA. APA JABATANMU DI ISTANA KEBAHAGIAAN INI! DENGAR BAIK-BAIK. AKU DAN KAWAN-KAWANKU DATANG KE TEMPAT INI BUKAN UNTUK MELIHAT SAJIAN BIADAB INI! DAN KAU MAHLUK TIKUS KERDIL TIDAK LAYAK BICARA DENGANKU! SIAPA SUDI BERLUTUT DI HADAPANMU! MANA PENGUASA ISTANA KEBAHAGIAAN. AKU HANYA MAU BICARA DENGAN HANTU MUKA-DUA! PANGGIL DIA KESINI. MENGAPA MASIH BELUM MUNCUL! APA BELUM SELESAI BERSOLEK?!" SUASANA MENJADI TAMBAH GEMPAR BEGITU SEMUA ORANG MENDENGAR UCAPAN HANTU PENJUNJUNG ROH YANG KERAS LANTANG DAN BERANI KURANG AJAR ITU. DI TENGAH KEGEMPARAN ITU TIBA-TIBA HANTU SELAKSA ANGIN MEMANJAT NAIK KE ATAS KURSI PUTIH. DENGAN SUARA LANTANG DIA BERKATA. "KERABATKU HANTU PENJUNJUNG ROH, JIKA KAU TIDAK SUDI BERLUTUT BIAR AKU YANG MEWAKILKAN!" LALU ENAK SAJA NENEK INI MEMUTAR TUBUHNYA, PANTATNYA Dl SONGGENGKAN KE ARAH MIMBAR DAN BUTT PREETT! HANTU SELAKSA ANGIN PANCARKAN KENTUTNYA.
SATU
MAHLUK yang tubuhnya dikobari api itu berlari ke arah timur. Gerakannya tidak secepat seperti biasanya. Sesekali dia berhenti sambil memegangi dadanya yang remuk. Keadaannya luar biasa menggidikkan.
Tubuhnya sebelah kanan hanya berupa satu lobang besar hingga isi dada dan isi perutnya terlihat dengan jelas. Bahkan usus besarnya nyaris memberojol keluar kalau tidak terkait pada satu dari dua tulang iganya yang patah. Pada kening sebelah kiri ada satu lobang besar. Lelehan darah hitam mengering menutupi sebagian wajahnya yang angker. Lalu kaki kanannya yang sebelumnya dikobari api kini kelihatan bengkok hitam kebiruan. Mahluk ini adalah yang pernah menjadi Utusan atau Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam dan dikenal dengan sebutan Lamanyala.
Sebagaimana diceritakan dalam Episode sebelumnya ("Batu Pembalik Waktu") mahluk ini bertempur habis-habisan menghadapi musuh bebuyutannya yang pernah dimakan kutukannya yakni Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu. Kemudian ketika Hantu Selaksa Angin alias Luhpingitan muncul di tempat itu dia kena pula di hajar tendangan si nenek pada bagian dada hingga terpental dan menggeletak di tanah dalam keadaan hampir sekarat! Masih untung bagi Lamanyala, dalam keadaan babak belur begitu rupa dia mampu melarikan diri. Namun dia tidak mengetahui sama sekali kalau dibelakangnya ada seseorang mengikutinya secara diam-diam.
Orang yang menguntit Lamanyala bukan lain adalah Hantu Tangan Empat. Sebelumnya tokoh utama rimba persilatan Negeri Latanahsilam itu telah memberikan perintah pada Lamanyala untuk mengikuti cucunya sendiri yakni Peri Angsa Putih. Hantu Tangan Empat menaruh curiga bahwa Peri Angsa Putih telah memiliki Batu Pembalik Waktu yang pernah dicarinya sampai ke Tanah Jawa atas perintah Hantu Muka Dua. Ternyata Lamanyala tidak mampu mendapatkan batu sakti itu.
"Aneh," pikir Hantu Tangan Empat sambil terus mengikuti. "Kalau dia lari, seharusnya dia kembali ke tempat kediamanku. Memberi tahu bahwa dia gagal. Tapi mengapa Lamanyala malah lari ke jurusan lain? Aku harus menguntit terus. Aku harus tahu menuju kemana mahluk satu ini! Sebenarnya aku sudah lama bercuriga. Jangan-jangan dia sengaja memperhambakan diri padaku untuk satu maksud jahat!"
Ketika sang surya condong ke barat dan di depannya kelihatan gugusan batu-batu warna kelabu, Hantu Tangan Empat mulai menyadari kemana tujuan mahluk yang diikutinya. Dia kenal betul kawasan itu karena pernah mendatanginya sebelumnya.
"Di depan kawasan berbatu-batu sana ada sebuah bukit. Di bukit itu terletak Istana Kebahagiaan, sarang Hantu Muka Dua. Agaknya kesanalah tujuan Lama nyala! Aneh, mengapa mahluk ini menuju Istana Ke bahagiaan? Apa hubungannya dengan Hantu Muka Dua? Ah! Bukan mustahil…."
Di depan sana Lamanyala menyelinap di antara batu-batu besar warna kelabu. Tak lama kemudian kelihatan atap satu bangunan besar berwarna putih, menjulang di sebuah puncak bukit. Itulah Istana Ke bahagiaan.
"Tidak salah! Lamanyala memang menuju Istana Kebahagiaan! Dia punya hubungan dengan penguasa istana!"
Baru saja Hantu Tangan Empat berucap tiba-tiba di arah barat terdengar satu suitan keras. Dari timur satu suitan lain berkumandang menyahuti suitan dari barat. Tak lama kemudian hampir selusin orang berjubah hitam berkelebat dari barat dan timur kawasan batu lalu dengan cepat menyongsong ke arah mahluk api Lamanyala. Lamanyala segera hentikan larinya.
"Mahluk Api Lamanyala!" berseru orang paling depan. Agaknya dia yang menjadi pimpinan dari rombongan orang berjubah hitam itu. "Raja Diraja telah mengetahui kedatanganmu! Kami disuruh menjemput! Lekas kau menyelinap ke balik batu besar di sebelah kanan! Apa kau tidak tahu kalau dirimu ada yang menguntit?!"
Lamanyala terkesiap kaget. Dia menoleh ke belakang. Tapi tidak melihat seseorangpun. Dalam herannya dia ikuti juga ucapan orang berjubah hitam tadi. Dengan cepat dia menyelinap ke balik batu besar kelabu di samping kanannya. Di sebelah depan sana orang berjubah hitam yang jadi pimpinan memberi Isyarat pada teman-temannya. Dua belas orang melompat ke satu batu datar lalu sama-sama menghantamkan tangan ke arah batu besar dibalik mana Hantu Tangan Empat tadi bersembunyi.
"Wuutttt!"
Dua belas sinar hitam berkiblat menghantam batu.
"Byaarrr!"
Batu besar hancur berkeping-keping. Debu dan pecahan batu menjulang ke udara menutupi pemandangan. Begitu debu dan pecahan batu surut jatuh ke tanah dua belas orang berjubah pelototkan mata.
"Kurang ajar! Si penguntit berhasil melarikan diri!"
Lamanyala keluar dari balik tempat dia berlindung, memandang ke arah mana tadi dua belas pukulan mengandung kekuatan dahsyat menghancur leburkan batu besar. Seperti orang-orang berjubah, diapun tidak melihat siapa-siapa di seberang sana.
"Kalian tadi melihat orang menguntit! Apa kalian mengenali siapa dia!"bertanya Lamanyala.
"Rambutnya putih, pakaiannya kecoklatan! Terlalu jauh untuk dikenali!"
"Rambut putih, pakaian coklat," Lamanyala mengulang dalam hati.
"Kau sendiri apakah bisa menduga siapa penguntitmu?!" Pimpinan orang-orang berjubah hitam bertanya.
"Hantu Tangan Empat, pasti dia…" kata Lamanyala dalam hati. Tapi pada yang bertanya dia berikan jawaban lain. Mahluk ini gelengkan kepala dan berkata.
"Sulit kuduga. Di negeri ini banyak sekali orang berambut putih dan berpakaian warna coklat…."
Orang-orang berjubah hitam memandang ke arah tadi mereka melihat sosok berambut putih berpakaian coklat. Yang jadi pimpinan berkata.
"Kalau begitu sekarang ikuti kami! Kami akan antarkan kau menghadap Raja Di Raja Penguasa Istana Kebahagiaan!"
Dua belas orang berjubah hitam balikkan tubuh mereka. Enam di sebelah depan, enam di bagian belakang. Lamanyala diapit di tengah-tengah. Saat itulah tiba-tiba dari balik sebuah batu besar melesai selarik sinar putih. Di lain kejap terdengar jeritan dahsyat. Dua orang berjubah hitam yang berada di barisan belakang mencelat ke udara. Ketika jatuh di tanah sosok keduanya tak berkutik lagi. Menemui ajal dengan pakaian hangus dan tubuh melepuh! Di balik batu besar Hantu Tangan Empat teriak mengekeh. "Lamanyala! Siapapun majikan atau pimpinanmu, kau pasti akan mendapat sambutan istimewa darinya! Ha… ha… ha!"
***
HANTU Muka Dua, yang dijuluki Hantu Segala Keji Segala Tipu Segala Nafsu tegak bertolak pinggang. Kepalanya yang memiliki dua muka saat itu telah berubah menjadi muka-muka raksasa pertanda dia sedang marah besar.
"Wahai Junjungan, Raja Diraja semua Hantu di Negeri Latanahsilam ini. Mohon maafmu. Aku mengaku salah karena gagal menjalankan tugas…."
"Kau tidak usah bicara banyak! Dari keadaan dirimu saja aku sudah tahu kalau kau tidak becus menjalankan tugas rahasia! Kau telah memperhambakan diri pada Hantu Tangan Empat. Tapi kau tidak mampu mendapatkan rahasia ilmu bagaimana caranya menembus waktu, masuk ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang!"
"Maafkan aku Hantu Muka Dua. Puluhan hari aku tak tidur-tidur mengintai kelengahan Hantu Tangan Empat. Tapi setiap aku berusaha hendak melumpuhkannya dia seperti sudah tahu dan berjaga-jaga…."
"Kau juga tidak berhasil mencuri ilmu berubah ujud membentuk empat tangan!" Bentak Hantu Muka Dua.
"Aku mengaku salah dan siap menerima hukuman!"
"Bagus! Kau masih tahu diri! Dua anak buahku menemui ajal ketika hendak membawamu kemari!
Apakah kau bisa menebus nyawa mereka?!" Sepasang mata raksasa Hantu Muka Dua sebelah depan memandang berapi-api pada Lamanyala. Mahluk api itu kembali mengucapkan maaf dan ampun berulang kali.
"Lamanyala mahluk tolol! Kau tahu! Dosamu yang terbesar adalah berlaku tolol hingga Hantu Tangan Empat bisa menguntitmu sampai ke sini!"
Lamanyala terkejut. Dia tidak mengira kalau Hantu Muka Dua sudah tahu siapa orang yang tadi mengikutinya.
Hantu Muka Dua rangkapkan tangan di muka dada. Dia berpaling ke salah satu sudut ruangan besar itu dimana terletak sebuah guci tanah raksasa berbobot hampir dua ratus kati. Setelah diam sesaat Hantu Muka Dua ulurkan tangannya sebelah kanan. Telapak dibuka dan di arahkan pada guci raksasa. Begitu dia membentak dan tangan itu diangkat ke atas, guci besar dan luar biasa beratnya itu perlahan-lahan terangkat ke atas sampai tiga jengkal dari atas lantai.
"Merangkak ke bawah guci!" Hardik Hantu Muka Dua.
Walau ngeri akan hukuman apa yang bakal menimpanya Lamanyala jatuhkan diri juga ke lantai ruangan.
"Aku mohon ampunmu wahai Hantu Muka Dua. Izinkan aku kembali ke tempat kediaman Hantu Tangan Empat. Beri kesempatan sekali lagi. Aku berjanji sebelum bulan purnama muncul paling tidak salah satu dari ilmu kesaktiannya itu sudah dapat kurampas!"
"Tidak ada gunanya membual di hadapanku Lamanyala! Tak ada gunanya kau kembali ke tempat kediaman Hantu Tangan Empat. Kakek itu sudah tahu kalau kau adalah musuh dalam selimut. Pengabdi pengkhianat! Kau menghambakan diri padanya sambil menyembunyikan maksud culas!"
"Lalu apa yang harus aku lakukan wahai Hantu Muka Dua?" tanya Lamanyala. Dia melirik dengan perasaan ngeri pada guci raksasa yang sampai saat itu masih menggantung di sudut ruangan. Dua wajah raksasa Hantu Muka Dua depan belakang menyeringai. Taring-taring yang lancip panjang mencuat di balik bibirnya. "Aku tahu kau masih belum bosan hidup. Jadi hukumanmu agak aku peringan sedikit!"
"Sang Junjungan! Jangan…."
"Merangkak ke bawah guci itu!" Bentak Hantu Muka Dua.
"Hantu Muka Dua, aku…."
"Kau membuat aku tidak sabaran!" Hantu Muka Dua melangkah mendekati Lamanyala. Dengan kaki kirinya dia tendang pantat mahluk api itu. Lamanyala terpental dan jatuh tepat di bawah guci besar. Hantu Muka Dua gerakkan tangan kanannya. Guci seberat dua ratus kati itu turun ke bawah langsung menggencet punggung, leher dan kepala Lamanyala.
"Kraakkk!"
Ada bagian tubuh Lamanyala yang berdetak rengkah. Entah rahang entah tulang punggungnya.
Mahluk api ini berusaha meronta. Dua kakinya melejang. Dua tangannya coba menggapai. Tapi percuma saja. Dia tidak mampu melepaskan himpitan guci raksasa! Semakin dia bersikeras berusaha membebaskan diri, semakin menggencet berat guci yang menindihnya!
Hantu Muka Dua berkacak pinggang lalu tertawa bergelak.
"Kau akan tetap di situ sampai sepuluh hari sebelum hari lima belas bulan dua belas! Jika kelak aku berbelas hati, kau akan kubebaskan! Mungkin kau masih bisa kupergunakan untuk urusan-urusan tertentu!
Habis berkata begitu Hantu Muka Dua bertepuk tiga kali. Dinding batu sebelah kanan ruangan bergeser. Muncul tiga orang gadis cantik berpakaian serba minim. Ke tiga gadis ini langsung menjura.
"Siapkan Ranjang Bahagia! Hawa dalam tubuhku terasa panas membara! Aku butuh kesejukan! Aku ingin bersenang-senang dengan kalian! Lakukan mulai sekarang!"
Tiga gadis itu kembali menjura lalu goyangkan dada dan pinggul masing-masing. Pakaian minim yang membungkus tubuh ke tiganya terlepas tanggal dan jatuh ke lantai ruangan.
***
DUA
KITA kembali pada Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu dan Hantu Selaksa Angin alias Luhpingitan.
Seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya ("Batu Pembalik Waktu") sepasang suami istri yang saling terpisah selama puluhan tahun itu akhirnya bertemu. Keduanya berpeluk bertangisan penuh gembira tapi juga penuh haru di dalam sebuah danau kecil.
"Peluk tubuhku erat-erat Luhpingitan. Kalau tidak aku akan meluncur terbalik, kepala masuk ke dalam air, kaki mencuat di atas danau. Kau akan bingung memegangi tubuhku! Ha… ha… ha…."
"Lasedayu suamiku, derita sengsaramu akan berakhir hari ini!" kata Luhpingitan sambil memeluk erat Lasedayu dan membelai rambut putihnya yang basah kuyup. "Kau tahu, sendok sakti terbuat dari emas itu ada padaku…."
"Astaga! Apa katamu?!" Lasedayu terkejut seolah tak percaya akan pendengarannya.
"Sendok Pemasung Nasib ada padaku…." bisik Luhpingitan.
"Keterangan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu ternyata benar. Dia pernah mengatakan hal Itu padaku! Mana sendok itu? Perlihatkan padaku."
Luhpingitan menyingkapkan pakaiannya di bagian dada. Diantara beberapa kalung yang melingkar di lehernya, salah satu diantaranya adalah sebuah sendok terbuat dari emas. Pada bagian ceguk dari sendok melekat sebuah benda berwarna merah gelap.
"Pusarku! Yang melekat di sendok itu adalah pusarku yang dulu dicukil oleh Labahala alias Hantu Muka Dua! Lekas berikan sendok itu padaku. Pusarku harus kembali ke tempat asalnya…."
Luhpingitan cepat tanggalkan kalung sendok emas dari lehernya. Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir ulurkan tangannya untuk mengambil sendok sakti. Tangan kakek ini kelihatan gemetar. Pada saat itulah mendadak terjadi satu hal tak terduga. Sebelum Lasedayu sempat menyentuh sendok emas, di dalam danau ada suara meluncur deras. Sesaat kemudian tiba-tiba air danau muncrat ke atas dan satu sosok kehitaman, licin berkilat melesat ke udara, menyambar Sendok Pemasung Nasib!
"Luhpingitan! Awas!" teriak Lasedayu memberi ingat. Sambil berteriak kakek ini pukulkan tangan kirinya. Selarik cahaya kebiruan berkiblat. Tapi dia hanya memukul tempat kosong. Pelukan Luhpingitan terlepas dari tubuhnya. Akibatnya Lasedayu terdorong ke depan, menyungsap tenggelam masuk ke dalam air, kepala ke bawah kaki ke atas!
Luhpingitan yang tahu kalau bahaya mengancam yakni ada orang hendak merampas Sendok Pemasung Nasib dengan cepat hantamkan tangan kirinya, melepas pukulan maut bernama Tombak Kuning Pengantar Mayat. Namun satu kekuatan dahsyat mendorong tubuhnya hingga dia terjajar di dalam air. Selagi nenek ini berusaha mengimbangi diri, Sendok Pemasung Nasib yang ada di tangan kanannya ditarik lepas oleh sosok hitam licin tadi! Luhpingitan berteriak keras. Kembali dia memukul. Tapi si penyambar sendok sakti telah menyelinap menyelam dan lenyap di dalam air danau!
"Celaka! Sendok sakti dirampas orang!" teriak Luhpingitan lalu butt prett! Nenek ini pancarkan keri tutnya di dalam air hingga gelembung-gelembung udara mengapung naik dan mengambang di permukaan air danau.
Luhpingitan menggerung marah. Dia berusaha mengejar namun terpaksa membatalkan niatnya karena melihat keadaan Lasedayu yang tenggelam kepala ke bahwa kaki ke atas. Dia harus menolong suaminya itu lebih dulu.
"Nasib kita buruk! Sendok Pemasung Nasib dirampas orang!" menjelaskan Luhpingitan dengan suara tersendat menahan tangis. "Aku berlaku lengah! Tolol!" Si nenek pukul-pukul kepalanya sendiri.
"Nasibku rupanya akan tetap sengsara sampai mati!" kata Lasedayu pula. "Luhpingitan, bawa aku ke tepi danau…."
Sampai di tepi danau, sepasang suami istri itu sama-sama terdiam merenung nasib. Mereka tidak tahu berapa lama berada dalam keadaan seperti itu ketika tiba-tiba ada cairan merah membusai di udara.
Darah! Bersamaan dengan itu dari dalam danau melesat satu benda hitam. Setelah melayang melintir di udara, benda ini jatuh terbanting di tepi danau, sejarak sepuluh langkah dari tempat sepasang kakek nenek berada.
"Mahluk yang merampas sendok sakti!" teriak Luhpingitan lalu serta merta melompat. Lasedayu berkelebat pula mengikuti. Begitu sampai di hadapan sosok hitam itu kaki kanan si nenek langsung menendang. Sosok hitam terpental sampai tiga tombak. Di arah jatuhnya sosok hitam itu terdengar satu jeritan. Luhpingitan dan Lasedayu langsung mendatangi. Mereka menemui ada seseorang tertindih di bawah sosok hitam itu. Orang ini ternyata adalah Si Setan Ngompol. Terkencing-kencing Setan Ngompol bangkit berdiri. Muka dan pakaiannya penuh darah berasal dari sosok hitam yang tergeletak tak berkutik lagi.
"Kaki tangan Hantu Muka Dua! Aku kenal mahluk hitam ini! Dia kaki tangan Hantu Muka Dua! Dia dikenal dengan panggilan Hantu Lintah Hitam!" teriak Lasedayu sambil menuju pada sosok hitam yang menggeletak tak bernafas lagi. "Hai! Aneh! Aku tadi melihat jelas kau menendang dadanya! Mengapa kepalanya yang hancur?!" Si kakek berseru dan berpaling pada Luhpingitan. Si nenek delikkan matanya.
"Kau benar! Aku memang menendang dadanya. Dadanya amblas remuk. Tapi mengapa kepalanya ikut rengkah?!" Luhpingitan memandang pada Setan Ngompol. "Kau yang memukul kepalanya?" Si nenek bertanya.
Si Setan Ngompol gelengkan kepala. Dia memandang ke arah danau dengan mimik cemas. "Naga Kuning…. Bocah itu! Juga Betina Bercula! Ke duanya belum keluar dari dalam air. Aku khawatir…."
"Eh, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Hantu Langit Terjungkir.
Si Setan Ngompol lalu menerangkan. "Pada saat kau dan Luhpingitan berteriak, kami bertiga sampai di tempat ini. Kami tengah kebingungan. Wiro sahabat kami dilarikan oleh Peri Angsa Putih. Kami tak tahu mau mengejar kemana. Waktu sampai di sini Naga Kuning dan Betina Bercula berada di sebelah depan. Rupanya mereka melihat jelas apa yang terjadi. Keduanya lalu melesat masuk ke dalam danau, mengejar mahluk hitam yang merampas sendok emas itu…."
***
DI DALAM danau, Naga Kuning yang memang memiliki kepandaian luar biasa dalam hai berenang, bergerak cepat mengejar Hantu Lintah Hitam yang merampas Sendok Pemasung Nasib. Naga Kuning melihat jelas Hantu Lintah Hitam memegang sendok emas sakti di tangan kanannya. Bocah ini sampai beberapa kali berusaha merampas kembali benda itu. Namun gerakan Hantu Lintah Hitam selain gesit sekaligus licin. Padahal Naga Kuning juga telah mengeluarkan ilmu melicinkan tubuh yang disebut Ilmu IKan Paus Putih. Tetap saja anak ini tidak mampu mengambil Sendok Pemasung Nasib itu.
Setelah berenang meliuk-liuk aneh beberapa kali, Hantu Lintah Hitam melesat ke arah kiri berusaha melarikan diri. Sebelum dia berhasil mencapai tepian danau sebelah tenggara, Naga Kuning cepat mengejar dan sempat mencekal salah satu kakinya. Tak terduga mahlukyang sosoknya licin ini menarik kakinya sambil berbalik dan lancarkan tendangan dengan kakinya yang lain.
Membuat gerakan menendang di dalam air bukan satu hal yang mudah. Bukan saja karena dua kaki tidak menjejak tanah membentuk kuda-kuda yang kokoh, tapi selain itu daya gerak kaki tertahan oleh kekuatan tabir air. Adalah luar biasa kalau mahluk berbadan hitam itu mampu menendang sedahsyat seseorang berada di alam terbuka.
Naga Kuning merasa seolah dihantam batu besar ketika tendangan lawan mendarat di dadanya.
Tubuhnya mencelat tiga tombak. Darah menyembur dari mulutnya. Selagi dia mengapung menahan sakit dan megap-megap Hantu Lintah Hitam cepat pergunakan kesempatan untuk melarikan diri kembali. Namun lagilagi maksudnya terhalang karena di saat bersamaan Betina Bercula alias Si Binal Bercula sampai di tempat Itu, langsung menyerangnya. Betina Bercula memang berhasil mendaratkan dua pukulan telak ke tubuh Hantu Lintah Hitam. Akan tetapi mahluk yang tubuhnya berlapis kulit hitam licin ini di dalam air memiliki kekebalan tahan pukulan. Betina Bercula seperti me mukul bantalan kasur. Bukan lawannya yang cidera tapi malah dia yang terpental terhenyak di dalam air. Selain itu dia terpaksa harus menyembulkan kepala di permukaan air untuk menarik nafas. Ketika Betina Bercula menyelam kembali, samarsamar dia melihat Hantu Lintah Hitam memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Dia tidak sempat melihat benda apa itu adanya karena di saat bersamaan Naga Kuning berkelebat di dalam air menghalangi pemandangannya. Walau cidera akibat tendangan lawan namun Naga Kuning cepat memulihkan keadaan dirinya. Di dalam air bocah aneh ini memang memiliki kemampuan lebih hebat dibanding di daratan. (Mengenai kemampuan Naga Kuning di dalam air harap baca serial Wiro Sableng dalam rangkaian episode berjudul "Liang Lahat Gajah Mungkur").
Naga Kuning gerakkan dua kakinya. Dua tangan disibakkan ke samping. Tubuhnya langsung melesat ke arah Hantu Lintah Hitam. Anak ini rupanya sudah tahu kalau tubuh lawan yang licin itu memiliki kekebalan tertentu. Maka kali ini dia tidak menyerang dengan pukulan-pukulan melainkan mencekal leher Hantu Lintah Hitam dengan lengannya. Kalau sempat lengan itu digerakkan ke belakang, tak dapat tidak tulang leher lawan akan berderak remuk.
Mahluk bernama Hantu Lintah Hitam itu tidak bodoh. Sesuai dengan namanya, Hantu Lintah Hitam memiliki kelicinan tubuh luar biasa. Dengan membuat gerakan jungkir balik dalam air sambil dua sikutnya dihantamkan ke belakang untuk lolos dari cekalan maut Naga Kuning. Begitu lolos mahluk ini kembali berusaha melarikan diri. Namun sekali ini Naga Kuning tidak mau memberi kesempatan. Dari atas tubuhnya melesat ke bawah. Tangan kanannya menghantamkan pukulan sakti bernama Naga Murka Menjebol Bumi!
Praakk!
Batok kepala Hantu Lintah Hitam rengkah. Cairan otak dan darah langsung menyembur. Naga Kuning cepat menarik lepas Sendok Pemasung Nasib yang ada di tangan kanan Hantu Lintah Hitam lalu menendang mahluk ini hingga terlempar ke atas, melesat keluar dari dalam danau dengan darah bertebaran ke mana-mana!
"Kasihan anak itu. juga Betina Bercula! Kita harus menolong mereka! Jangan-jangan Hantu Lintah Hitam telah membunuh ke duanya!" Berkata Hantu Langit Terjungkir.
"Suamiku, yang lebih penting dimana kini beradanya Sendok Pemasung Nasib! Biar aku menggeledah mayat Hantu Lintah Hitam!" kata Luhpingitan pula.
Dari arah danau terdengar suara keras riakan air. Lalu menyembul kepala Naga Kuning dan Betina Bercula. Melihat kemunculan ke dua orang ini Hantu Langit Terjungkir, Hantu Selaksa Angin dan Setan Ngompol menjadi lega. Sambil naik ke darat Naga Kuning acungkan tangan kanannya dan berseru.
"Kek, benda ini pasti sangat berharga bagimu!"
Yang diacungkan Naga Kuning bukan lain adalah sebuah sendok emas. Sendok sakti yang sanggup mengembalikan semua kesaktian Hantu Langit Terjungkir yang sebelumnya dicungkil oleh Hantu Muka Dua.
"Anak hebat! Wahai! Aku sangat berterima kasih padamu!" kata Hantu Langit Terjungkir gembira dan cepat-cepat mengambil Sendok Pemasung Nasibyang diserahkan Naga Kuning. Ketika si kakek memper hatikan sendok emas itu tengkuknya menjadi dingin. Sosoknya yang kaki ke atas kepala ke bawah langsung membumbung naik ke udara. Ini satu pertanda dia berada satu kemarahan luar biasa. Jeritan keras keluar dari mulutnya saking tak kuasa menahan geram.
"Palsu! Sendok ini palsu! Benda di cegukan sendok juga bukan daging pusarku!"
"Celaka! Gimana beradanya sendok yang asli?!" teriak Luhpingitan. Semua orang lantas ingat pada Hantu Lintah Hitam. Mereka berpaling ke arah tergeletaknya mayat orang itu. Astaga! Ternyata mayat Hantu Lintah Hitam tak ada lagi di tempatnya semula! Semua mulut keluarkan seruan tertahan!
"Mahluk jahanam itu tak mungkin hidup kembali lalu melarikan diri!" teriak Hantu Langit Terjungkir.
"Pasti ada yang melarikan mayatnya!" kata Luhpingitan lalu butt prett! Nenek ini pancarkan kentutnya.
"Kalau cuma mayat apa perlunya dilarikan segala?!" ujar Si Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya.
"Pasti ada sesuatu…. Pasti ada sesuatu!" kata Naga Kuning.
"Aku ingat satu hal!" kata Betina Bercula tiba-tiba.
"Waktu aku menyelam ke dalam air, aku sempat melihat mahluk itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Mungkin sekali…."
"Bukan mungkin,! Tapi pasti!" kata Hantu Langit Terjungkir memotong. "Pasti Sendok sakti itu ditelannya?!"
"Jahanam betul! Kemana kita harus mencarinya?!"
Luhpingitan marah sekali namun begitu memandang Lasedayu hatinya jadi sedih. Matanya berkaca-kaca. Dia dapat merasakan bagaimana kecewa dan terpukulnya sang suami menghadapi hilangnya sendok emas sakti itu.
Naga Kuning sendiri saat itu terduduk di tanah. Sambil mengusap-usap dadanya yang terasa sakit bekas tendangan Hantu Lintah Hitam, anak ini memandang berkeliling. " Kalau saja si sableng itu ada di sini, mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Dimana Wiro berada sekarang? Jangan-jangan keselamatannya juga terancam. Peri Angsa Putih, apa tujuanmu melarikan sahabatku itu?" Selagi merenungrenung seperti itu, selintas pikiran muncul di benak Naga Kuning. Dia bangkit berdiri, memandang pada Hantu Langit Terjungkir, lalu pada Luhpingitan.
"Naga Kuning, kau agaknya hendak mengatakan sesuatu!" ujar Luhpingitan.
"Benar, Nek," jawab si bocah. "Aku ingat ucapan kalian. Jika betul Hantu Lintah Hitam anak buah Hantu Muka Dua, maka menurutku besar kemungkinan yang melarikan mayatnya adalah Hantu Muka Dua sendiri atau orang-orang suruhannya. Sebabnya lain tidak karena Hantu Muka Dua ingin mendapatkan Sendok Pemasung Nasib yang telah ditelan mahluk itu!"
"Kalau dibelakang semua ini memang Hantu Muka Dua yang menjadi biang keladi, apa yang kau ucapkan Itu pasti benar adanya!" kata Luhpingitan pula. Lalu dia berpaling pada suaminya. "Lasedayu, kakiku sudah gatal untuk segera berangkat ke Istana Kebahagiaan. Tanganku sudah geram untuk menghancurkan sarang mahluk berjuluk Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu!"
"Hantu Muka Dua memang sudah saatnya di kirim ke alam roh! Tapi wahai istriku Luhpingitan, kita perlu mengatur siasat. Kalau hanya mengikuti hawa amarah dan nafsu pembalasan salah-salah kita bisa celaka. Kita sudah sama tahu kalau Hantu Muka Dua telah menyebar undangan pada semua tokoh rimba persilatan Latanahsilam untuk hadir pada satu pertemuan benar hari lima belas bulan dua belas mendatang. Bagaimana kalau saat pertemuan itu kita cari kesempatan…."
"Suamiku, sekali ini kita berbeda pendapat," jawab Luhpingitan pula. "Aku punya firasat, undangan itu adalah satu kedok jahat belaka. Hantu Muka Dua pasti mempunyai satu maksud busuk! Jadi bukankah lebih baik kita menghancurkannya mulai dari sekarang saja?"
"Kalau begitu keinginanmu, aku menurut saja,"
langsung akhirnya menyetujui maksud istrinya. Luhpingitan memandang pada Naga Kuning dan kawan-kawannya. "Bagaimana dengan kalian? Mau ikut bersama kami menuju Istana Kebahagiaan sekarang juga?"
Naga Kuning dan Betina Bercula tak segera menjawab. Setan Ngompol ditanya begitu langsung terkenang.
"Tak ada yang mau menjawab? Tak ada yang mau ikut?! Kalian orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang selama ini terkenal keberaniannya. Ternyata hari ini kalian telah berubah jadi pengecut semua!"
"Nek, kemanapun kau mengajak kami bersedia ikut. Tapi urusan dengan Istana Kebahagiaan bukan urusan main-main. Apa lagi keadaan kakek suamimu ini belum pulih. Bukankah lebih baik semua urusan ini kita pusatkan pada mencari Sendok Pemasung Nasib itu lebih dulu?! Selain itu kami tidak tahu Wiro berada dimana." Berkata Naga Kuning.
"Tadi otakmu cerdik pandai sekali! Sekarang mengapa jadi tolol dungu?! Sendok Pemasung Nasib itu sudah pasti dibawa lari ke Istana Kebahagiaan. Apakah kau mau mencarinya ke tempat lain?"
Luhpingitan pegang pergelangan kaki Hantu Langit Terjungkir. Sepasang kakek nenek ini lalu tinggalkan tempat itu.
Naga Kuning, Setan Ngompol Si Betina Bercula saling berpandangan. Si kakek akhirnya berkata. “Hari lima belas bulan dua belas hanya tinggal sepuluh hari dari sekarang. Tak ada salahnya kita mengikuti kakek nenek itu. Kalau mencari Wiro dimana kita akan mencarinya? Mungkin kita akan menemui kesulitan. Aku yakin dia akan muncul di Istana Kebahagiaan…."
Ketika kakek itu beranjak, Naga Kuning-dan Betina Bercula akhirnya mengikuti juga.
***
TIGA
EMPAT orang berpakaian hitam itu duduk mengelilingi perapian. Udara malam memang dingin sekali. Apalagi mereka berada di satu pedataran tinggi dan sore tadi hujan turun lebat.
"Terus terang aku tidak suka dengan apa yang kita lakukan sekarang ini. Kita telah menyalahi perintah Sang Junjungan, Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini!" Berucap orang berpakaian hitam yang duduk bersandar ke satu gundukan batu besar, agak jauh dari perapian. Namanya Latuding.
"Kerabatku, apa yang perlu kita cemaskan. Tugas telah kita jalankan dengan baik. Apa yang dicari sudah berada di tangan kita. Mengapa perlu cepat-cepat kembali ke Istana Kebahagiaan?" Menjawab salah satu dari tiga orang yang duduk di depan perapian. Dia bertindak selaku pimpinan dalam rombongan itu dan bernama Lajohor.
"Justru begitu perintah Sang Junjungan, begitu yang harus kita lakukan! Tak ada celah sedikitpun untuk dilanggar!" Orang pertama berkata dengan nada mulai keras.
"Kerabatku Latuding, aku yang jadi pimpinan dalam rombongan mencari sendok sakti itu. Semua anggota rombongan wajib mengikuti apa yang aku perintah dan inginkan, termasuk kau! Tapi kalau kau tidak suka kita beristirahat malam ini. Kau boleh segera kembali lebih dulu ke Istana Kebahagiaan. Kau boleh mengadu apa perbuatan kami pada Sang Junjungan."
Lajohor tampak mulai kesal melihat sikap dan bicara Latuding. Dia tahu betul kalau Latuding selama ini memang punya sifat menjilat. Tak perduli akan kesulitan kawan sendiri, yang penting asal dapat nama dari Hantu Muka Dua.
Orang ke tiga bernama Lawulus mengetengahi percakapan yang menjurus perselisihan itu.
"Wahai para kerabatku. Kurasa Sang Junjungan bisa memahami mengapa kita beristirahat di tempat ini. Belasan hari kita berkeliaran mencari sendok sakti itu. Bukan cuma menghabiskan waktu. Tapi juga menguras tenaga! Tidak ada salahnya kita berkemah malam ini di sini. Besok sebelum fajar menyingsing kita lanjutkan perjalanan. Istana Kebahagiaan hanya tinggal satu hari perjalanan dari sini. Kita kembali dengan hasil besar. Masakan Sang Junjungan tidak gembira?"
"Mana ada kegembiraan kalau Sang Junjungan Raja Diraja menerima kabar kalian berempat sudah jadi bangkai!"
Sekonyong-konyong satu suara menggema dari tempat gelap di arah kiri perapian. Lalu menyusul suara tawa mengekeh. Empat orang yang duduk di depan perapian tersentak kaget dan serentak melompat.
"Siapa yang barusan bicara?! Mengapa tidak unjukkan diri?!" Orang bernama Lajohor membentak.
Dia lalu saling membagi pandang dengan tiga temannya. Kembali menggema suara tawa mengekeh. Lalu dari kegelapan muncul sesuatu, mengapung di udara, bergerak ke arah ke empat orang itu. Begitu melihat Ulapa yang muncul terkejutlah orang-orang dari Istana Kebahagiaan ini.
"Hantu Langit Terjungkir!" Dua di antara mereka berseru. Yang dua lagi segera bersiap sedia, menggerakkan tangan ke pinggang masing-masing dimana terselip sebilah parang. Walau dalam kegelapan namun masih bisa terlihat bagaimana wajah ke empat orang ini jadi berubah begitu mengenali siapa adanya orang yang muncul.
"Suamiku tidak datang sendiri! aku menemaninya!"
Tiba-tiba satu suara lain terdengar. Suara perempuan, disusul tawa cekikikan dan ditutup suara butt prett!
Satu bayangan kuning berkelebat. Di samping Hantu Langit Terjungkir kini tegak berdiri si nenek tukang kentut Hantu Selaksa Angin.
"Jika kalian mengenali suamiku, pasti juga mengenali diriku! Hik… hik! Jadi kami tidak perlu menerangkan siapa diri kami atau memberi tahu apa maksud kemunculan kami! Kami sempat mendengar pembicaraan kalian. Enak didengarnya, apa kami boleh ikut bercakap-cakap bersama kalian?"
Empat orang berpakaian hitam tak ada yang menjawab. Mereka hanya saling lirik lalu kembali mengawasi Hantu Langit Terjungkir dan Hantu Selaksa Angin.
"Suamiku," kata Hantu Selaksa Angin alias Luhpingitan.
"Mereka rupanya tidak suka bicara dengan kita. Harap dimaklumi, mereka agaknya orang-orang berpangkat tinggi! Kita ini apa dibanding mereka? Hik… hik… hik!"
"Dua kakek nenek berotak miring! Kami adalah orang-orang Istana Kebahagiaan! Kami tidak suka melihat kehadiran kalian di sini. Siapapun kalian adanya lekas tinggalkan tempatini!" Membentak Latuding.
"Hik… hik! Kau dengar suamiku?! Seperti dugaan kita mereka ternyata memang orang-orang penting! Orang-orang Istana Kebahagiaan. Tapi sayang kita dikatakannya kakek nenek otak miring. Katanya lagi dia tidak suka pada kita. Lalu kita disuruh pergi. Hik..Hik! Menurutmu apa kita harus mengikuti ucapan nya?!"
"Kita memang harus mengikuti perintah orang itu. wahai istriku. Karena mereka orang-orang Istana Kebahagiaan. Kita pergi saja. Tapi jangan lupa meminta sesuatu pada mereka…."
"Kalian ini bicara apa? Lekas pergi sebelum kami menjadi marah!" Latuding kembali menghardik.
"Kami akan pergi, kami segera pergi. Jangan khawatir wahai kerabatku. Namamu Latuding, benar? Dengar Latuding, kami segera pergi tapi sebelum angkat kaki dari sini serahkan pada kami Sendok Pemasung Nasib…." berkata Hantu Langit Terjungkir.
"Jangan bicara tak karuan?! Kau menyebut benda yang tidak kami ketahui asal usulnya!" Membentak orang berpakaian hitam di sebelah kiri Hantu Langit Terjungkir. Dia adalah Lawulus.
"Siang kemarin kalian mencuri sesosok mayat di tepi sebuah danau. Di dalam perut mayat itu ada Sendok Pemasung Nasib! Kalian pasti telah mengambil sendok itu dari perut mayat. Atau kalau belum, tak ada salahnya menyerahkan mayat langsung pada kami! Biar kami yang mengorek isi perut mayat itu! Hik… hik… hik!"
"Benar-benar kakek nenek gila! Kawan-kawan, Iekas singkirkan dua tua bangka ini!" perintah Lajohor.
Dua orang membekal parang yakni Lawulus dan seorang kawannya bernama Lasendu menghunus senjatanya. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera menyerang Hantu Selaksa Angin dan Hantu Langit Terjungkir. Begitu yang dua ini menyerbu, dua lainnya yakni Latuding dan Lajohor segera membuat siasat. keduanya secepat kilat berkelebat, lari dan sengaja berpencar.
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir bergerak. Dua tangan Hantu Selaksa Angin tak tinggal diam.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Lawulus dan Lasendu yang menyerang dengan parang menjerit keras, terpental lalu terbanting ke tanah tak berkutik lagi. Yang satu tewas dengan dada remuk akibat dimakan jotosan Luhpingitan sedang kawannya menggeletak dengan leher hampir tanggal dijepit dua kaki Hantu Langit Terjungkir.
Dua orang yang melarikan diri dan sengaja berpencar tersentak kaget hentikan lari masing-masing ketika tiga orang mendadak muncul menghadang dari kegelapan. Ketiga orang ini bukan lain adalah Naga Kuning, Betina Bercula dan Setan Ngompol.
"Kalian tidak bisa meninggalkan tempat ini sebelum kawanku yang cantik ini menggeledah!" Naga Kuning berkata sambil rangkapkan tangan di depan dada. Bibirnya tersenyum dan dua matanya dikedip-kedipkan.
Semula dua orang berpakaian serba hitam yaitu Latuding dan Lajohor hendak membentak marah karena merasa direndahkan oleh sikap serta ucapan si bocah Naga Kuning. Tapi begitu melihat siapa yang hendak menggeledah, keduanya jadi senyum-senyum. Di Istana Kebahagiaan memang banyak gadis dan perempuan cantik. Namun semua hanya boleh melayani Hantu Muka Dua dan orang-orang tertentu saja. Kelompok pembantu seperti Lajohor dan teman-temannya jarang sekali mendapat kesenangan. Tidak heran karena saat itu darah keduanya jadi terangsang melihat si cantik genit di depan mereka.
Rupanya ke dua orang ini tidak tahu siapa adanya Betina Bercula. Selain itu kegelapan malam membuat mereka tidak bisa melihat jelas dan tidak mengetahui kalau orang berdandan menor dan berpakaian perempuan ini sebenarnya adalah seorang laki-laki!
"Ada gadis cantik hendak menggeledah, siapa berani menolak!" kata Latuding sambil senyum-senyum lalu kedipkan matanya pada Lajohor.
"Kalian orang-orang gagah dari Istana Kebahagia an. Aku bukan hanya akan menggeledah kalian berdua. Tapi setelah menggeledah kalian, kalian berdua juga boleh ganti menggeledah diriku. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki! Hik… hik… hik!"
Mendengar ucapan Si Binal Bercula itu Latuding dan Lajohor jadi semakin bernafsu.
"Malam sudah larut. Kita jangan sampai membuang waktu!" ujar Betina Bercula sambil tersenyum genit dan mematik-matik rambutnya yang keriting sebahu. Sekali tangannya kiri kanan bergerak, dua orang itu ditariknya ke tempat gelap di balik serumpunan semak belukar. Tak lama kemudian dari tempat gelap itu terdengar jeritan-jeritan kesakitan.
Lajohor dan Latuding menghambur lari dari balik semak belukar tanpa celana lagi. Ada darah meleleh di paha mereka. Keduanya berjingkrak-jingkrak sambil pegangi bagian bawah perut mereka yang bengkak merah, lecet luka dan sakit sekali setengah mati! Walau mereka sudah lenyap namun di kejauhan suara jeritan mereka masih terdengar.
Betina Bercula melangkah mendekati Naga Kuning dan sementara sambil senyum-senyum dan gosok-gosok telapak tangannya.
"Aku sudah menggeledah! Tapi Sendok Pematung Nasib itu tak ada pada mereka!" Betina Bercula memberi tahu.
"Lalu apa saja yang kau temukan?" tanya Naga Kuning.
"Apa saja yang kau lakukan?" menyambung Setan Ngompol.
"Yang kutemukan hanya dua pisang batu buruk rupa! Yang kulakukan cuma meremas. Masih untung tak kukupas kulitnya! Hik… hik… hik!" Betina Bercula tertawa cekikikan. Ketiga orang-orang itu lalu menemui Lasedayu dan Luhpingitan. Mereka semua merasa heran. Keempat orang dari Istana Kebahagiaan itu, dari pembicaraan mereka yang sempat didengar, sudah dapat dipastikan sebagai orang-orang Hantu Muka Dua yang disebar untuk mencari Sendok Pemasung Nasib. Tapi anehnya sendok emas sakti itu tidak ditemukan. Kalau masih berada di dalam perut Hantu Lintah Hitam, lalu dimana mayat mahluk itu mereka sembunyikan?
"Seharusnya kau menanyai dulu pada dua orang itu, dimana mayat Hantu Lintah Hitam berada. Bukan langsung main remas saja! Dasar kebiasaan!" kata Naga Kuning, "sekarang dua-duanya sudah kabur!"
Betina Bercula cuma tersipu-sipu.
"Kita tak perlu bertengkar. Istana Kebahagiaan hanya tinggal satu hari perjalanan dari sini. Kalau kita meneruskan perjalanan malam ini juga, paling lambat menjelang sore besok kita sudah sampai di sana," berucap Lasedayu.
Tak lama setelah rombongan dua kakek nenek meninggalkan tempat itu, diatas satu pohon besar berdaun lebat dan sangat gelap, seseorang yang sejak tadi mendekam di salah satu cabang pohon kini baru bisa merasa lega. Dia menarik satu sosok yang sudah jadi mayat dan sejak tadi digeletakannya melintang di cabang pohon di atasnya. Mayat ini bukan lain adalah mayat Hantu Lintah Hitam. Inilah satu akal yang telah diatur oleh orang-orang Istana Kebahagiaan. Setelah menunggu beberapa lamanya, bila dirasakannya aman, orang ini segera turun dari atas pohon. Mayat Hantu Lintah Hitam dipanggulnya di bahu kiri. Lalu dia lari ke arah timur, menjauhi jalan yang ditempuh rombongan Hantu Langit Terjungkir.
***
EMPAT
HANTU MUKA DUA memandang seputar ruangan besar berbentuk segi enam. Masing-masing dinding ruangan dicat dengan warna berlainan sementara atap ruangan yang menyerupai kubah diberi cat berwarna merah muda. Satu-satunya pintu masuk ke ruangan segi enam ini adalah sebuah pintu berbentuk gapura yang terletak di dinding yang berwarna merah. Empat buah hiasan berupa singa berkepala dua terbuat dari perunggu tergantung di langit-langit ruang segi enam yang terletak di lantai ke dua bangunan Istana Kebahagiaan itu. Hantu Muka Dua menamakan ruangan segi enam ini Ruang Seribu Kehormatan. Disinilah direncanakan semua tokoh undangan pertemuan besar pada hari lima belas bulan dua belas mendatang akan dipersilahkan duduk.
Wajah Hantu Muka Dua depan belakang tampak berseri-seri. Saat itu di sebelah kirinya berdiri Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Sementara di sisi kanan tegak gadis cantik bernama Luhkinki. Gadis ini adalah salah satu gadis kesayangan Hantu Muka Dua. Boleh dikatakan kemanapun Sang Raja Diraja itu berada Luhkinki selalu mendampingi sambil mengipasinya dengan sebuah kipas terbuat dari daun lebar yang selalu dibawanya kemana-mana.
"Kerabatku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, hari lima belas bulan dua belas masih tujuh hari dimuka. Aku gembira, kau berhasil melakukan persiapan begini baik…."
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersenyum lebar.
"Paling lambat dua hari lagi semuanya rampung secara keseluruhan…."
"Secara keseluruhan apakah juga termasuk peralatan rahasia itu?" tanya Hantu Muka Dua.
"Termasuk peralatan rahasia itu. Semua bahan sudah diolah. Dua hari lagi aku akan menemui Sang Junjungan untuk memberikan laporan terakhir…."
"Terus terang ada beberapa hal yang masih mengganjal hati dan jalan pikiranku!" kata Hantu Muka Dua pula.
"Wahai, harap Sang Junjungan sudi memberi tahu padaku. Aku siap membantu dan menjalankan apapun yang Sang Junjungan perintahkan."
"Mengenai Batu Pembalik Waktu. Sampai saat ini tidak diketahui dimana beradanya. Terakhir sekali seorang mata-mata Istana memberi tahu bahwa telah terjadi satu peristiwa aneh di satu pedataran rumput. Dua nenek sakti yakni Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah Laekatakhijau diketahui muncul di tempat itu. Lalu di situ ditemukan bangkai seekor katak besar. Aku menaruh duga, jangan-jangan salah seorang dari dua nenek itu mengetahui perihal Batu Pembalik Waktu. Bahkan wahai! Bukan tidak mungkin salah satu dari mereka sudah memilikinya. Barangkali si Hantu Lembah Laekatakhijau itu…."
"Sang Junjungan, aku akan melakukan penyelidikan. Mudah-mudahan sebelum hari besar pertemuan aku sudah dapat memberikan laporan padamu…."
"Hal lain yang menempel dalam benakku, perihal Sendok Pemasung Nasib. Hantu Berpipa Emas sudah kuperintahkan untuk menyelidik. Kabarnya sendok emas sakti itu berada di tangan Hantu Selaksa Angin. Tapi sampai saat ini Hantu Berpipa Emas masih belum kelihatan mata hidungnya!"
"Serahkan padaku wahai Sang Junjungan. Aku akan menyelidiki perihal yang satu ini…" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab pula. "Jika Sang Junjungan memberi izin, siang nanti aku akan segera berangkat. Sekalian aku akan menyelidiki perihal sahabatku Lawungu. Dia aku tinggalkan di satu tempat dalam keadaan sakit. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa yang buruk atas dirinya."
Hantu Muka Dua anggukkan kepala lalu berkata.
"Aku sudah memerintahkan Lajohor untuk menyelidiki raibnya Hantu Berpipa Emas, sekaligus mencari Sendok Pemasung Nasib itu. Sebelumnya aku juga telah memerintahkan Hantu Lintah Hitam untuk melakukan hal yang sama. Aku berharap sebelum hari lima belas bulan dua belas semua ganjalan itu bisa disingkirkan. Kita harus mendapatkan Batu Pembalik Waktu dan Sendok Pemasung Nasib!"
"Percayakan padaku wahai Sang Junjungan. Aku berpikir, ada baiknya aku berangkat sekarang saja. tidak perlu menunggu sampai siang nanti…."
Saat itu tiba-tiba terdengar suara genta yang entah dari mana asalnya. Semua orang yang ada di mangan itu sama memalingkan kepala ke arah pintu di dinding merah dari mana terdengar langkah-langkah mendatangi.
Tak lama kemudian muncullah seseorang memanggul sosok yang mengenakan pakaian hitam lekat licin seolah menempel ke tubuhnya. Masih dengan memanggul sosok hitam licin itu, orang yang datang menjura memberi hormat pada Hantu Muka Dua yang saat itu tegak tak bergerak. Hanya sepasang matanya membeliak besar dan dua wajahnya yang tadi berupa wajah lelaki gagah separuh baya, kini membayangkan berubah menjadi dua wajah tua seorang kakek pucat pasi, pertanda Sang Junjungan berada dalam kaget besar.
"Lasedana!" seru Hantu Muka Dua menyebut nama lelaki yang memanggul sosok licin hitam. "Kau adalah salah seorang anggota rombongan yang kuperintahkan mencari Hantu Berpipa Emas dan menyelidik Sendok Pemasung Nasib. Yang kau panggul itu adalah Hantu Lintah Hitam. Mana Lajohor, pimpinan rombongan. Mana Latuding dan dua kawanmu lainnya?! Apa yang terjadi dengan Hantu Lintah Hitam?!"
"Junjungan, izinkan saya meletakkan tubuh yang saya panggul ini di lantai ruangan," berucap Lasedana.
"Sudah dua hari dua malam tubuh Hantu Lintah Hitam tidak lepas dari panggulan saya…."
"Letakkan dia di lantai. Aku mau tahu apa yang terjadi! Lekas kau memberi keterangan!" kata Hantu’ Muka Dua pula.
Hati-hati sekali Lasedana membaringkan sosok Hantu Lintah Hitam di lantai ruangan segi enam. Dia sengaja membaringkan mayat itu menelentang. Sepasang mata Hantu Muka Dua membeliak besar. Dua wajahnya yang tadi berupa wajah dua kakek pucat kini langsung berubah menjadi dua wajah raksasa menyeramkan pertanda Sang Junjungan ini telah dilanda amarah besar. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kelihatan tampak tenang walau dua matanya mengerenyit menandakan rasa ngeri. Luhkinki yang sejak tadi mengipasi Hantu Muka Dua, terus saja mengipas walau kini kepalanya dipalingkan ke jurusan lain karena takut bergidiknya melihat sosok yang tergeletak kaku di lantai itu.
Di bacaan dada, mayat Hantu Lintah Hitam kelihatan satu cekungan dalam hampir menyerupai sebuah lobang besar. Dua tulang iganya yang patah mencuat keluar. Cidera ini adalah akibat tendangan Hantu Selaksa Angirs alias Luhpingitan. Di sebelah atas, kepala Hantu Lintah Hitam terbongkar rengkah. Darah yang telah mengering dan hitam menutupi kepalanya mulai dari ubun-ubun sampai seluruh wajahnya.
Hantu Muka Dua menggigil. "Lasedana! Cepat katakan apa yang terjadi!"
"Wahui Sang Junjungan, seperti yang kau perintahkan kami berusaha mencari jejak Hantu Berpipa Emas dan cari Sendok Pemasung Nasib. Mohon maafmu kami tidak berhasil mengetahui ataupun menyirap kabar dimana adanya Hantu Berpipa Emas. Tapi di tengah jalan kami berhasil menjajagi Hantu Lintah Hitam. Dia kami temui di sebuah danau, tengah menjalankan tugas dari Sang Junjungan.
Yaitu mencari Sendok Pemasung Nasib. Di dalam danau itu saya dan kawan-kawan melihat jelas dia berhasil merampas Sendok Pemasung Nasib dari tangan Hantu Selaksa Angin. Namun ketika dia menyelam dan melarikan sendok emas muncul beberapa orang aneh. Agaknya dua diantara mereka adalah mahluk-mahluk dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Yang satu lagi kami kenali sebagai Si Binal Bercula alias Betina Bercula. Salah seorang dari dua mahluk asing itu, yakni anak kecil berpakaian serba hitam mencebur masuk ke dalam danau. Betina Bercula ikut menyusul. Tak lama kemudian kami lihat sosok Hantu Lintah Hitam mencelat keluar dari dalam air, jatuh tergelimpang di tepi danau. Dada jebol kepala hancur! Kami belum berani bertindak. Tak lama kemudian dari dalam danau muncul anak kecil itu. Di tangannya dia memegang Sendok Pemasung Nasib lalu diserahkannya pada Hantu Langit Terjungkir. Kakek itu segera mengambil. Tapi ketika sendok diperiksa dia berteriak marah. Ternyata sendok itu bukan Sendok Pemasung Nasib yang asli. Hantu Langit Terjungkir membanting dan membuang sendok itu ke tanah. Selagi orang-orang itu berada dalam kebingungan, Lajohor memimpin gerakan mengambil mayat Hantu Lintah Hitam. Kami berhasil melarikan mayat kerabat Hantu Lintah Hitam!"
"Lalu apa yang terjadi dengan empat kawanmu?!" tanya Hantu Muka Dua.
"Maafkan saya wahai Junjungan. Lawulus dan Lasendu menemui ajal di tangan Hantu Langit Terjungkir dan Hantu Selaksa Angin. Lajohor dan Latuding berhasil melarikan diri berpencar. Tapi saya tidak tahu dimana keduanya kini berada. Mudah-mudahan mereka segera muncul di tempat ini…."
Hantu Muka Dua pandangi Lasedana dengan mata melotot dan rahang menggembung hingga orang ini jadi mengkeret ketakutan. Tiba-tiba tawa bergelak meledak keluar dari mulut Hantu Muka Dua!
"Lasedana! Kau telah melakukan satu perbuatan hebat! Satu perbuatan besar! Kau akan kuberikan satu kedudukan tinggi di Istana Kebahagiaan!"
"Terima kasih wahai Sang Junjungan," kata Lasedana jadi lega dan gembira seraya menjura hormat Hantu Muka Dua melangkah mendekati mayat Hantu Lintah Hitam masih dengan tertawa-tawa. Dia mengusap mulut raksasanya di sebelah depan lalu berkata. "Sendok Pemasung Nasib yang asli pasti ada dalam perutnya! Hantu Lintah Hitam pasti telah menyelamatkan sendok emas sakti itu dengan jalan menelannya!"
Habis berkata begitu Hantu Muka Dua gerakkan tangan kanannya.
"Sreettt!" terdengar suara berkeresetan lima kali berbarengan. Bersamaan dengan itu lima jari tangan Hantu Muka Dua berubah menjadi sangat besar dan diujung kelima jari itu mencuat kuku-kuku berwarna hitam, berbenfuk pisau runcing dan tajam!
Sebelum semua orang yang ada di tempat itu bisa menduga apa yang hendak dilakukan Hantu Muka Dua, penguasa Istana Kebahagiaan ini tiba-tiba membungkuk. Tangan kanannya bergerak laksana kilat.
"Breettt!"
Semua orang yang ada di tempat itu melengak dingin tengkuk masing-masing. Luhkinki pejamkan mata. Perutnya mendadak menjadi mual dan dia berusaha keras untuk bertahan agar mulutnya tidak menyemburkan muntah!
Perut mayat Hantu Lintah Hitam robek besar. Isi perutnya terbongkar keluar. Enak saja Hantu Muka Dua memutus usus besar mahluk yang sudah jadi mayat itu. Dari dalam usus yang kemudian jatuh menjela-jela di tanah Hantu Muka Dua menemukan dan mengambil sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang bukan lain Sendok Pemasung Nasib adanya!
Tawa Hantu Muka Dua kembali meledak di Seantero ruangan segi enam. Sambil mengacungkan sendok emas itu ke atas dia berkata.
"Hantu Langit Terjungkir! Sendok Pemasung Nasib ada di tanganku! Seumur hidup ilmu kepandaian dan kesaktianmu tak akan dapat dikembalikan! Ha…ha… ha! Kutuk guruku Lamanyala tak akan bisa kau pupus walau seribu Dewa seribu Peri dan seribu Roh ‘ menolongmu! Ha… ha… ha!" (Mengenai hubungan mahluk api Lamanyala dengan Hantu Muka Dua harap baca Episode sebelumnya berjudul "Hantu Muka Dua").
Hantu Muka Dua berpaling pada Lasedana. "Kita perlu menghadirkan putera Hantu Lintah Hitam di tempat ini! Dia perlu mengetahui bahwa ayahnya telah berbuat satu jasa besar Harap kau segera memanggil orang itu!"
Lasedana menjura lalu tinggalkan ruangan segi enam dengan cepat Tak selang berapa lama dia kembali bersama seorang pemuda bertubuh tegap tinggi, berwajah gagah tapi berkulit sangat hitam, berkilat dan licin, menyerupai Hantu Lintah Hitam. Pemuda ini bernama Lakembangan dan adalah putera tunggal Hantu Lintah Hitam.
Sampai di hadapan Hantu Muka Dua Lakembangan segera hendak menjura. Namun pandangannya membentur sosok yang tergeletak di lantai ruangan. Pemuda ini tersurut ngeri. Tapi begitu menyadari bahwa orang itu adalah ayahnya, Lakembangan langsung menggerung dan jatuhkan diri.
"Apa yang terjadi dengan ayahku! Wahai! Siapa berbuat sekejam ini?!" Berurai air mata tapi tubuh menggeletar dan dua tangan terkepal Lakembangan bangkit berdiri. Dia memandang tak berkedip pada Lasedana, melirik pada Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Sesaat dia menatap ke arah Luhkinki gadis cantik kesayangan Hantu Muka Dua. Selama ini tak satu orangpun di dalam Istana Kebahagiaan mengetahui kalau antara Lakembangan dan Luhkinki telah terjalin satu hubungan cinta. Mereka tidak berani memperhatikan kasih sayang berterus terang dan selalu berhati-hati. Karena sekali Hantu Muka Dua tahu kalau gadis kesayangannya itu bercinta dengan lelaki lain, pasti melapetaka akan jatuh! Si gadis balas menatap dengan raut wajah menyatakan kesedihan. Lalu Lakembangan berpaling pada Hantu Muka Dua, jatuhkan diri berlutut di hadapan Sang Junjungan sambil terisak menahan tangis yang sulit dibendung.
Dengan tangan kirinya Hantu Muka Dua pegang bahu si pemuda lalu berkata. "Lakembangan, aku turut sedih atas kematian ayahmu. Tapi ketahuilah. Dia mati dalam melaksanakan satu tugas besar. Dia berhasil melaksanakan tugas itu. Berarti dia berjasa besar terhadap diriku dan Istana Kebahagiaan! Dia berhasil mendapatkan Sendok Pemasung Nasib yang sangat sakti ini walau untuk itu dia harus menebus dengan nyawanya sendiri. Betapa gagahnya perbuatan ayahmu! Aku Hantu Muka Dua, Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini tidak bisa membalas jasa dan budi besarnya. Untuk itu aku akan mengangkatmu pada satu jabatan tinggi sebagai pengganti ayahmu! Dan kau berhak menyandang julukannya yaitu Hantu Lintah Hitam!"
"Terima kasih Sang Junjungan. Terima kasih…" kata Lakembangan dengan kepala tertunduk dan air mata jatuh bercucuran.
Diantara suara isaknya, dia kemudian bertanya dengan parau. "Sang Junjungan, mohon kau memberi tahu. Siapa yang telah membunuh ayahku begini rupa"
"Yang punya perbuatan adalah seorang nenek berjuluk Hantu Selaksa Angin dan seorang anak dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang bernama Naga Kuning…."
"Aku pernah mendengar nama ke duanya. Aku bahkan tahu dimana harus mencari nenek keparat itu! Sang Junjungan, izinkan aku mencari ke dua orang itu untuk menuntut balas!"
Hantu Muka Dua menyeringai. "Kau anak baik! Yang tahu bagaimana membalas budi orang tua! Tapi kau tak usah bersusah diri menghabiskan waktu dan tenaga mencari kedua orang itu. Tenagamu diperlukan di sini untuk menghadapi hari lima belas bulan dua belas. Kedua orang itu kelak akan muncul memenuhi undanganku. Pada saat itulah kita akan menghajar dan mengirimnya ke alam roh! Aku akan memastikan kematian mereka lebih mengerikan dari nasib yang menimpa diri ayahmu!"
Mendengar ucapan Hantu Muka Dua itu Lakembangan tak bisa berbuat apa-apa walau niatnya membalas dendam saat itu seperti hendak membakar dirinya. Pemuda ini tundukkan kepala, kepalkan dua tinjunya lalu saking geramnya dia hantamkan tangan kanannya ke dada sendiri seraya berteriak keras seolah berusaha melepas bendungan amarah!
Hantu Muka Dua berpaling pada Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Jangan membuang waktu. Kau boleh pergi sekarang. Cari sahabatmu bernama Lawungu. Kita butuh tenaganya di Istana ini…."
"Atas perintahmu aku berangkat wahai Sang Junjungan!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Setelah menjura terlebih dulu dia segera tinggalkan tempat itu.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kemudian berkata pada Lakembangan. "Lakembangan, panggil beberapa pengawal untuk membawa mayat ayahmu. Tanam di tanah tinggi sebelah selatan Istana Kebahagiaan! Jangan lupa memerintahkan beberapa pelayan membersihkan tempat ini!"
Tak lama setelah Lakembangan pergi bersama pengawal membawa jenazah Hantu Lintah Hitam, Hantu Muka Dua berkata pada Luhkinki. "Antarkan aku ke Ruang Penyimpanan Senjata Pusaka. Sendok emas ini harus segera kusimpan!"
Gadis jelita bernama Luhkinki menjura. Dia membuka lipatan kipas besar. Lalu sambil melangkah mengikuti dia mulai mengipasi Sang Junjungan. Di bagian belakang Istana Kebahagiaan ada satu tangga batu pualam putih menuju ke sebuah lorong di tingkat ke tiga bangunan. Sepanjang lorong tegak berjajar selusin pengawal berpakaian serba hitam. Enam di sisi kiri, enam lagi di sisi kanan. Dua belas pengawal ini segera membungkuk hormat begitu Hantu Muka Dua muncul di ujung lorong. Di hadapan sebuah pintu batu jauh di ujung lorong Hantu Muka Dua berhenti. Dengan tangan kanannya dia menekan pintu batu. Terdengar suara berdesir halus. Pintu batu bergeser ke samping sampai setengahnya.
"Kau tunggu di sini!" kata Sang Junjungan pada Luhkinki. Lalu seorang diri dia masuk ke dalam.
Selama ini memang tidak pernah ada orang lain yang diperbolehkan masuk ke ruang rahasia yang terletak di balik pintu batu itu. Termasuk Luhkinki walau Hantu Muka Dua sangat menyayanginya. Konon dalam ruangan ini Hantu Muka Dua menyimpan berbagai macam senjata pusaka sakti mandraguna. Kebanyakan dari senjata itu adalah hasil rampasan atau curian. Begitu Hantu Muka Dua menginjakkan kakinya di lantai ruangan penyimpanan senjata, pintu batu kembali menutup dengan sendirinya. Luhkinki menoleh ke belakang. Dua belas pengawal di ujung lorong sebelah sana semua dilihatnya berdiri tegak, tak ada yang bicara atau bergerak, juga tak ada yang memandang ke arahnya. Begitu dirasakannya aman dengan cepat gadis ini lipat kipasnya. Lalu sebelum pintu batu menutup rapat, Luhkinki selipkan ujung kipas ke celah antara pintu dan dinding batu. Dari selah kecil itu dia masih mampu melihat ke dalam ruang penyimpanan benda-benda pusaka.
Luhkinki memperhatikan bagaimana Hantu Muka Dua melangkah ke arah dinding ruangan sebelah kanan. Dinding itu merupakan petak-petak segi empat berjumlah tujuh menyamping tujuh ke bawah. Berarti ada empat puluh sembilan petak. Masing-masing petak diberi angka mulai dari angka 1 sampai 49.
Hantu Muka Dua tekankan telapak tangan kirinya ke petak berangka 21. Secara aneh batu rata petak tersebut bergerak naik ke atas. Lalu terlihat sebuah ruangan empat persegi. Hantu Muka Dua masukkan Sendok Pemasung Nasib ke dalam ruangan itu. Batu petak yang tadi naik ke atas bergerak turun kembali. Di depan pintu ruangan Luhkinki melihat jelas semua apa yang dilakukan Hantu Muka Dua. Dia mengingat-ingat nomor petak dimana tadi Hantu Muka Dua memasukkan sendok emas sakti, lalu cepat-cepat menarik ujung kipas dari celah pintu. Tanpa suara pintu batu itu bergerak perlahan lalu menutup rapat. Di dalam ruangan Hantu Muka Dua menyeringai.
Dalam hati dia berkata. "Aku suka berbuat baik pada banyak orang. Tetapi mengapa orang selalu saja berniat dan berbuat jahat terhadapku?! Luhkinki, kau adalah gadis pembantu paling aku sayangi. Tapi kau berlaku khianat. Mengintai apa yang aku lakukan di ruangan ini. Aku memang belum tahu apa yang ada di hati culas dan di otak kotormu. Tapi jangan mengira aku tidak tega menjatuhkan tangan jahat padamu!"
***
LIMA
MALAM itu hujan turun cukup lebat. Di atas bukit batu, Istana Kebahagiaan baik di dalam maupun di sebelah luar terbungkus oleh hitamnya kegelapan. Sesekali jika kilat menyambar baru kelihatan istana itu dalam bentuknya yang putih angker. Udara dingin di luaran menembus masuk sampai ke dalam istana. Di satu sudut gelap halaman belakang Istana Kebahagiaan seseorang berpakaian hijau pekat berjalan cepat melewati sebuah gapura kecil. Dengan gerakan enteng dia melompati temboki setinggi dada lalu menyelinap ke balik sebuah patung batu berbentuk seekor singa berkepala dua.
Di balik patung singa ini rupanya telah menunggu seorang berpakaian hitam. Dari wajah serta lekuk tubuhnya jelas dia adalah seorang gadis. Di Negeri Latanahsilam gadis ini dikenal dengan nama Luhtinti. Dulunya dia merupakan seorang pembantu yang dijadikan mata-mata oleh Hantu Muka Dua. Dalam Episode berjudul "Peri Angsa Putih" diceritakan bagaimana Peri Angsa Putih mendapat perintah untuk membenam dengan lahar panas dari Gunung Latinggimeru tempat kediaman Hantu Muka Dua yang terletak di bawah Telaga Lasituhitam.
Luhtinti dan empat orang temannya berusaha melarikan diri dari malapetaka dahsyat yang dijatuhkan oleh Peri Angsa Putih itu. Dirinya dan kawankawannya kemudian ditemui dan diselamatkan oleh Lakasipo alias Hantu Kaki Batu. Luhtinti kemudian membantu Lakasipo menunjukkan jalan ke Goa Pualam Merah tempat kediaman Luhjelita. Ternyata Hantu Muka Dua datang pula ke tempat ini. Karena menganggap Luhtinti telah mengkhianati dirinya, Hantu Muka Dua menganiaya gadis itu dan mencabut seluruh rambut di kepalanya hingga Luhtinti menjadi botak. Dari peristiwa ini tidak mengherankan kalau Luhtinti membekal dendam kesumat besar terhadap Hantu Muka Dua. Namun karena ilmu kepandaian dan kesaktian Penguasa Istana Kebahagiaan itu bukan tandingannya maka tak mungkin baginya untuk melakukan balas dendam dengan kekuatannya sendiri.
Riwayat lain mengenai Luhtinti dapat pembaca ikuti dalam Episode "Hantu Santet Laknat" dimana gadis ini bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng di dalam rimba belantara Lasesatbuntu. Tak jauh dari tempat Luhtinti berdiri ada sebuah pohon besar. Di balik pohon ini kelihatan bayangan seorang berpakaian serba putih, tegak rangkapkan tangan di depan dada, sesekali memandang berkeliling penuh waspada.
"Lama sekali aku menunggu," Luhtinti keluarkan suara tapi perlahan hampir berbisik, begitu orang berpakaian hijau sampai di hadapannya. "Lihat, pakaianku sudah basah kuyup. Kau datang membawa berita baik?"
Orang yang datang mengangguk. Ternyata dia adalah Luhkinki, gadis cantik kesayangan Hantu Muka Dua.
"Aku harus berhati-hati. Kau tahu apa yang akan terjadi atas diriku kalau sampai ada yang mengetahui. Benda yang kau cari itu memang ada dalam Istana Kebahagiaan. Hantu Muka Dua mendapatkannya dua hari lewat, diambilnya dari dalam perut Hantu Lintah Hitam! Kini benda itu disimpannya di dalam ruang penyimpanan barang pusaka."
"Kau bisa mengambilnya?" tanya Luhtinti.
"Akan aku usahakan…."
"Kapan?!" Luhtinti mendesak.
"Malam ini juga. Secepatnya setelah seorang kerabat menyerahkan Bubuk Penjungkir Syaraf padaku."
Wajah Luhtinti langsung berubah mendengar Luhkinki menyebut Bubuk Penjungkir Syaraf. "Jadi Hantu Muka Dua dan orang-orangnya telah berhasil meramu racun maut itu?"
"Yang akan diberikan kerabat itu hanya dari jenis paling rendah. Tidak sampai membunuh, cukup membuat orang pingsan. Konon Hantu Muka Dua telah memberikan jenis paling rendah itu pada beberapa orang pembantunya untuk diuji coba. Aku menyirap kabar salah satu korbannya adalah seorang gadis bernama Luhcinta. Aku harus pergi sekarang. Aku khawatir kerabatku itu sudah berada di satu tempat pertemuan menungguku untuk menyerahkan bubuk itu…."
"Aku akan menunggu di sini. Apakah tempat ini amar.?"
"Cukup aman," jawab Luhkinki. Saat itulah sepasang mata gadis ini melihat bayangan orang yang tegak di balik pohon besar. "Celaka, ada orang mengintip kita. Dia sembunyi di balik pohon sana!"
"Jangan khawatir. Dia sahabat yang mengantar aku ke sini. Kami punya kepentingan sama. Menolong orang yang sama," menjelaskan Luhtinti.
Tapi Luhkinki kelihatan bimbang. "Aku jadi ragu. Jangan-jangan…. Wahai, siapa adanya sahabatmu di balik pohon itu?"
"Namanya Wiro Sableng. Dia pemuda asing yang datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu…."
"Wahai…! Nama hebat yang sudah kudengar sejak lama. Aku tidak ingat, apakah aku pernah melihat orangnya sebelumnya? Luhtinti, kabarnya pemuda itu tampan sekali. Apakah aku boleh melihat wajahnya?"
"Katamu kau harus cepat-cepat. Kerabat yang hendak menyerahkan bubuk itu…."
"Dia bisa menunggu. Aku ingin melihat wajah pemuda asing itu lebih dulu. Walau cuma sesaat!" bisik Luhkinki mendesak.
"Kau ini ada-ada saja!" Luhtinti jentikkan tangannya memberi tanda.
Dari balik pohon Pendekar 212 melangkah keluar.
"Ada apa?" tanya Wiro pada Luhtinti, lalu memandang ke arah Luhkinki.
"Tak ada apa-apa. Sudahlah, kau kembali saja ke balik pohon!" jawab Luhtinti.
Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala.
"Aneh kau ini. Tadi memberi isyarat agar aku datang.
Sekarang bilang tidak apa-apa…" Wiro memandang lagi pada Luhkinki lalu kedipkan mata kirinya. Sambil senyum-senyum dia kembali ke balik pohon besar.
"Kau sudah melihat wajahnya. Sekarang apa lagi?" berucap Luhtinti.
"Wahai, dia memang gagah. Lebih gagah dari yang aku bayangkan! Tapi agak genit!" jawab Luhkinki.
"Hati-hati, jangan kau sampai jatuh cinta padanya!"
Sambil menutup mulut menahan tawa Luhkinki tinggalkan tempat itu.
***
DI LORONG yang menuju pintu ruang penyimpanan barang-barang pusaka hanya ada dua obor yang menyala. Pertama dijalan masuk, ke dua di samping pintu ruangan, seperti biasanya dua belas pengawal tetap ada di sepanjang lorong berjaga-jaga. Para pengawal ini serta merta memutar kepala masing-masing ke arah jalan masuk ketika mereka mendengar ada suara langkah-langkah halus mendatangi disertai munculnya bayang-bayang seseorang di dinding lorong.
"Luhkinki!" pengawal di paling ujung yang merupakan pimpinan dari selusin pengawal yang ada di tempat itu menegur. "Ada apa kau datang ke sini. Kau muncul seorang diri. Apa kau lupa aturan bahwa ruangan ini hanya bisa dimasuki jika Sang Junjungan Hantu Muka Dua ikut hadir?! Apa kau lupa ini adalah kawasan terlarang bagi siapapun?!"
"Aku tahu aturan! Aku juga sadar ini adalah kawasan terlarang! Dengar, Hantu Muka Dua sedang tidak enak badan. Sang Junjungan sendiri yang memberi perintah padaku untuk mengambil sesuatu dari dalam Ruang Penyimpan Barang Pusaka!" jawab Luhtinti.
"Kami tidak bisa mempercayai. Kami tidak akan memberi izin!" kata kepala pengawal tegas.
"Aku membawa Tanda Pengenal dari Sang Junjungan sebagai bukti aku memang sudah mendapat izin untuk berada di tempat ini!"
"Perlihatkan kepada^kami!" kata kepala pengawal pula.
Luhkinki angkat tangan kanannya sampai sama rata dengan mulutnya. Jari-jari tangannya yang sejak tadi digenggamkan perlahan-lahan dibuka. Lalu dia melangkah mendekati barisan pengawal. Pada saat lima jari membuka, mulut sang gadis meniup dua kali.
"Fuhhhh…. Fuhhhh!"
Dua rangkum asap kemerah-merahan menggebu ke arah dua belas pengawal Ruang Penyimpanan Barang Pusaka Istana Kebahagiaan. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Mereka baru berteriak ketika merasa leher masing-masing seperti tercekik dan pemandangan menjadi gelap. Kedua belas pengawal itu langsung rubuh tumpang tindih satu sama lain, bergeletakan di lantai lorong.
Sambil tekap hidungnya Luhkinki lari ke arah pintu batu di ujung lorong. Begitu sampai di depan pintu, dengan tangan kanannya gadis itu menekan bagian pintu tepat di arah mana Hantu Muka Dua dilihatnya pernah melakukan. Muncul suara berdesir halus. Perlahan-lahan pintu batu bergeser membuka. Luhkinki cepat melompat ke dalam ruangan. Langsung bergerak ke arah dinding sebelah kanan dimana terdapat petak-petak batu bernomor 1 sampai 49. Dengan tangan kanannya si gadis menekan petak berangka 21.
Dia tak menunggu lama. Seperti yang sebelumnya pernah disaksikannya, petak batu itu bergerak naik ke atas. Satu cahaya kuning menyambar dari dalam petak.
Itulah sinar Sendok Pemasung Nasib. Luhkinki cepat ambil sendok emas itu dan keluar dari ruangan. Walau hatinya lega namun rasa takut tetap saja membuat tengkuknya dingin dan tubuhnya keringatan.
***
ENAM
HANTU Muka Dua terlonjak kaget dan marah ketika seorang pengawal menemuinya, memberi laporan apa yang terjadi di lorong Ruang Penyimpanan Barang Pusaka. Dua wajah di kepalanya langsung berubah menjadi wajah-wajah raksasa garang beringas. Diikuti beberapa pengawal dia berlari menuju lorong di bagian belakang istana itu.
Seperti yang dilaporkan Hantu Muka Dua menemukan dua belas pengawal bergeletakan di lantai lorong. Muka mereka kelihatan merah sedang bibir membiru. Menerima kabar dan melihat sendiri kejadian yang menimpa dua belas pengawal itu sudah merupakan kejutan besar bagi Sang Penguasa Istana Kebahagiaan. Rasa terkejutnya jadi berlipat ganda ketika dia melihat keadaan muka dan tubuh pengawal itu.
"Bubuk Penjungkir Syaraf! Pengawal-pengawal ini menemui ajal akibat bubuk maut itu! Kurang ajar! Bagaimana mungkin ada orang mempergunakan bubuk rahasia itu! Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan! Siapa berani melakukan perbuatan gila ini di depan mata hidungku! Membunuh para pengawal dengan bubuk maut yang aku buat sendiri!"
"Pengawal!" teriak Hantu Muka Dua. "Periksa keadaan semua pengawal lorong!"
Beberapa pengawal yang datang bersama Hantu Muka Dua segera memeriksa keadaan teman-teman mereka dua belas orang itu.
"Mohon ampun Sang Junjungan! Kerabat yang dua belas orang ini tewas semua. Tak satupun yang hidup…."
Rahang dua wajah raksasa Hantu Muka Dua menggembung. Gerahamnya bergemeletakan. Sepuluh jarijari tangannya dicengkeramkan hingga mengeluarkan suara berkereketan. Dua mata raksasanya depan belakang mendadak membeliak besar ketika memperhatikan pintu batu ruang penyimpanan barang pusaka setengah terbuka. Sekali lompat saja dia sudah berada di depan pintu itu lalu dengan cepat masuk ke dalam ruangan. Di tengah ruangan langkahnya terpaku ke lantai. Petak batu nomor 21 dilihatnya berada dalam keadaan terbuka. Bagian dalam petak batu itu kosong! "Sendok Pemasung Nasib!" teriak Hantu Muka Dua menggeledek. Terhuyung-huyung, tanpa mendekati lagi dinding petak batu dia memutar tubuh, keluar dari ruangan itu. Selagi melangkah lemas di lorong dua orang pengawal mendatanginya. Hantu Muka Dua langsung membentak. Hampir saja dia menendang salah seorang dari pengawal itu. Dua pengawal jatuhkan diri. Yang di sebelah kanan cepat berkata.
"Maafkan kami Sang Junjungan. Kami ingin memberi tahu. Ternyata salah seorang dari dua belas pengawal itu masih hidup! Kawan-kawan tengah menolongnya!"
"Apa?!" Hantu Muka Dua memandang ke arah jalan masuk lorong. Dilihatnya tiga orang pengawal tengah menolong mendudukan seorang temannya yang celaka. Hantu Muka Dua cepat mendatangi.
Pengawal yang duduk bersandar ke dinding lorong itu bibirnya masih tetap membiru namun wajahnya yang tadi merah kini pucat pasi, begitu juga dua tangan dan kakinya, seolah darah dalam tubuhnya telah terkuras habis! Dua matanya terpejam. Dalam amarahnya yang meluap Hantu Muka Dua mana perdulikan keadaan orang. Dia berjongkok lalu jambak rambut si pengawal.
"Jahanam! Buka matamu! Katakan siapa yang datang ke tempat ini! Siapa yang mencelakai kalian!" Bentakan dahsyat Hantu Muka Dua membuat pengawal yang cidera menggerakkan sedikit dua matanya. Tapi dia cuma bisa membuka mata sebentar lalu tertutup kembali.
"Siapa?!" teriak Hantu Muka Dua kembali. Tangannya yang menjambak bergerak, hampir saja hendak membenturkan kepala pengawal itu ke dinding batu. Mata si pengawal masih terpejam. Tapi mulutnya terbuka sedikit. "Luh… Luhkinki…."
Walau suara si pengawal perlahan sekali namun bagi Hantu Muka Dua terdengar seperti petir menyambar. Sekujur tubuhnya bergeletar. Badannya laksana diselimuti Bara.
"Jahanam! Sungguh tidak kuduga!" Hantu Muka Dua lepaskan jambakannya. Lalu melompat bangkit! "Pengawal! Cari gadis jahanam itu! Aku menunggu di Ruang Obor Tunggal!"
***
HUJAN mulai reda ketika Luhkinki kembali menemui Luntinti di sudut gelap halaman belakang Istana Kebahagiaan.
"Aku berhasil!" kata gadis berkulit hitam manis bertubuh kencang itu seraya menyodorkan Sendok Pemasung Nasib di tangan kanannya. Begitu sendok emas berpindah tangan, diterima oleh Luhtinti, dia berkata. "Lekas tinggalkan tempat ini!"
Saat itu Wiro sudah berada di samping Luhtinti dan bertanya. "Bagaimana dengan kau? Tidak ikut beserta kami sekarang juga?"
"Seperti yang sudah diatur, aku tetap di Istana Kebahagiaan sampai hari lima belas bulan dua belas mendatang."
"Terima kasih Luhkinki. Kami akan beri tahu Hantu Langit Terjungkir dan istrinya. Betapa besar jasamu!"
Luhkinki tersenyum. Gadis ini memutar tubuh lalu berlari cepat ke arah Istana Kebahagiaan. Pada saat dia hanya tinggal beberapa tombak saja dari pintu gerbang Istana tiba-tiba menggema suara genta. Bersamaan dengan itu bangunan besar istana yang tadi ‘diselimuti kegelapan kini kelihatan terang benderang. Obor di pasang menyala hampir di setiap sudut. Dari depan dan samping Istana terlihat puluhan pengawal berlarian. Ketika mereka melihat Luhkinki, semuanya berteriak dan segera lari ke arah gadis ini.
"Lihat apa yang terjadi!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng pada Luhtinti. Keduanya yang saat itu hendak meninggalkan tempat tersebut serta merta hentikan larinya.
"Puluhan pengawal menangkap Luhkinki. Gadis itu tidak melawan!"
"Aku harus menolongnya!" kata Wiro.
Tapi begitu dia hendak bergerak Luhtinti segera memegang tangannya. "Hantu Muka Dua rupanya sudah tahu Sendok Pemasung Nasib itu telah dicuri Luhkinki. Mahluk itu pasti marah besar! Tapi dia tidak akan membunuh Luhkinki karena dia punya pantangan membunuh perempuan…."
"Aku tahu hal itu. Walau tidak membunuh tapi penganiayaan yang akan dilakukannya terhadap gadis itu pasti tidak kepalang tanggung. Kau segera saja pergi menemui Lakasipo. Aku akan berusaha menyelamatkan gadis itu!"
"Dengar Wiro, apapun yang terjadi dengan Luhkinki gadis itu tidak akan mati. Hantu Muka Dua pasti akan memasukkannya ke dalam tempat yang disebut Ruang Obor Tunggal. Kita masih punya kesempatan menolongnya. Lagipula aku percaya Lakembangan pasti akan menolongnya!"
Wiro masih bimbang. Saat itu dari arah timur Istana Kebahagiaan tiba-tiba serombongan orang berpakaian biru lari kencang ke arah mereka.
"Pengawal Istana tingkat kedua! Mereka berkepandaian tinggi! Kehadiran kita sudah diketahui!" berucap Luhtinti. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Wiro. Kedua orang ini lari ke arah barat. Tapi baru berlari sepuluh tombak mendadak terdengar suara suitan berulang kali. Di lain saat dari balik tiga batu besar berlesatan orang-orang berpakaian serba hitam.
"Pengawal tingkat satu," ujar Luhtinti. "Wiro! Kalau kau tak sanggup memukul hancur tiga batu besar di sebelah sana alamat kita akan menemui kesulitan besar di tempat ini!"
"Mengapa menghancurkan batu? Aku bisa menghantam langsung pada rombongan kampret-kampret istana Kebahagiaan itu!" jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kampret? Apa pula itu?! tanya Luhtinti. Lalu dia sadar. "Ah, bukan saatnya aku bertanya segala macam hal! Lekas lakukan saja apa yang aku katakan! Orangorang itu semakin dekat!"
Wiro garuk-garuk kepala tapi melakukan juga apa yang dikatakan Luhtinti. Dia gerakkan tangan kanan melepas pukulan sakti bertenaga dalam tinggi bernama Benteng Topan Melanda Samudera tiga kali berturut-turut. Angin laksana topan menderu ke arah tiga batu besar.
Tiga dentuman dahsyat menggelegar dalam kegelapan malam. Tiga batu besar hancur berubah menjadi ribuan kerikil tajam, beterbangan di udara menutup pemandangan. Pecahan-pecahan kerikil ini melesat ke berbagai penjuru. Menembus daun dan batang pepohonan bahkan menembus batu-batu besar yang ada di sekitar tempat itu.
Jeritan menggidikkan terdengar dimana-mana. Ternyata pecahan batu yang berbahaya itu menghantam rombongan pengawai Istana Kebahagiaan. Yang tertembus perutnya melolong kesakitan. Yang pecah matanya memekik setinggi langit. Yang bocor kening atau batok kepalanya menjerit tak karuan lalu tergelimpang roboh bersimbah darah! Luhtinti menariktangan Wiro. Selagi pecahan batu kerikil yang ribuan banyaknya menghalangi pemandangan para pengawal Istana Kebahagiaan, kedua orang itu pergunakan kesempatan untuk melarikan diri.
"Luhtinti, aku tadi memang menghantam tiga batu besar itu dengan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi menurutku tiga batu itu tak mungkin bisa hancur demikian rupa. Pasti ada sesuatu…."
"Itu bukan batu biasa Wiro," menyahuti Luhtinti sambil berlari cepat. Hantu Muka Dua sengaja membuatnya. Bagian dalam di isi semacam alat rahasia yang bisa dikendalikan dari tempat tersembunyi. Jika batu itu meledak, apa atau siapa saja yang ada di sekitarnya akan kena ditembus.
Puluhan bahkan ratusan orang bisa menemui kematian. Kau menyaksikan sendiri tadi bagaimana para pengawal itu mati berkaparan ditembus kerikil pecahan batu…."
"Hantu Muka Dua benar-benar mahluk jahat luar biasa. Aku jadi ingat pada seorang berjuluk Raja Rencong. Dia tega mencabut nyawa menumpah darah puluhan tokoh silat golongan putih dan hitam hanya untuk melaksanakan niat, menjadi penguasa rimba persilatan…."
"Aku tidak tahu siapa Raja Rencong itu. Tapi aku yakin Hantu Muka Dua lebih kejam dan keji dari Raja Rencong!" (Mengenai Raja Rencong Dari Utara harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Raja Rencong Dari Utara")
"Luhtinti bagaimanapun aku tetap mengkhawatirkan keselamatan Luhkinki. Kau mengatakan Hantu Muka Dua tidak akan membunuhnya karena dia punya pantangan membunuh perempuan. Tetapi jika Hantu Muka Dua sampai menyiksa dan membuatnya cacat seumur hidup, rasanya kesengsaraan itu lebih dahsyat dari kematian. Aku harus kembali untuk menolong gadis itu…."
"Wiro! Jangan lakukan itu!" teriak Luhtinti.
Pendekar 212 gelengkan kepala. "Gadis itu telah melakukan sesuatu untuk menolong kita walau dia tahu bahaya besar menghadangnya. Kini dia justru telah ditimpa melapetaka. Kau lanjutkan perjalanan ke tempat Lakasipo menunggu. Sesuai petunjuk Luhrinjani, istri Lakasipo yang merupakan mahluk roh dari alam gaib itu, pergunakan Sendok Pemasung Nasib itu untuk memutus jala api biru yang masih menjerat dirinya. Nanti aku akan bergabung lagi dengan kalian dan teman-teman. Setelah itu kita sama-sama mencari Hantu Langit Terjungkir untuk menyerahkan sendok emas itu padanya!"
Luhtinti terdiam.
Perlu dijelaskan, seperti dikisahkan dalam Episode sebelumnya ("Batu Pembalik Waktu") setelah keluar dari Puri Kebahagiaan, Pendekar 212 Wiro Sableng berpisah dengan Hantu Raja Obat yang telah menolong Peri Bunda dari kehamilan aneh yang ternyata adalah akibat perbuatan guna-guna seseorang.
Sewaktu menuruni bukit Wiro bertemu dengan Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula Ketiga orang ini meninggalkan danau dimana mereka sebelumnya berada bersama Hantu Langit Terjungkir dan Hantu Selaksa Angin. Mereka tengah berusaha mencari Wiro yang sebelumnya dilarikan oleh Peri Angsa Putih dan dibawa ke Puri Kebahagiaan. Tanpa diketahui oleh Wiro dan kawan-kawan secara diam-diam perjalanan mereka terus diikuti oleh Peri Angsa Putih yang saat itu telah memiliki Batu Sakti Pembalik Waktu. Peri ini berada dalam kebimbangan besar apakah dia akan menyerahkan Batu Pembalik Waktu itu pada Wiro atau tetap merahasiakan dan menyimpannya agar Wiro tidak dapat kembali ke Tanah Jawa.
Satu hari perjalanan dari Puri Kebahagiaan secara tidak terduga Wiro dan rombongannya bertemu dengan Lakasipo yang masih terjerat dalam jala api biru. Saat itu Lakasipo alias Hantu Kaki Batu masih ditemani oleh istrinya yaitu Luhrinjani. Seperti diketahui Luhrinjani sebenarnya telah menemui ajal namun berkat pertolongan para Peri dan Dewa perempuan itu bisa muncul kembali dalam ujud tidak berbeda seperti manusia. Walau Luhrinjani memiliki kesaktian hebat, ternyata dia tidak mampu melepaskan Lakasipo dari jeratan jala api biru. Namun dia mengetahui bahwa salah satu benda sakti yang bisa melepaskan Lakasipo adalah sendok sakti terbuat dari emas yang dikenal dengan nama Sendok Pemasung Nasib dan selama Ini memang dicari-cari untuk menolong Hantu Langit Terjungkir.
Setelah mendapat keterangan dari Naga Kuning dan kawan-kawan bahwa Sendok Pemasung Nasib kemungkinan berada di Istana Kebahagiaan, dengan bantuan Luhtinti yang pernah tinggal di Istana Kebahagiaan, Wiro menghubungi Luhtinti. Gadis kesayangan Hantu Muka Dua ini berhasil mendapatkan sendok tersebut lalu diserahkannya pada Luhtinti. Seperti diceritakan perbuatan Luhtinti ini ternyata diketahui Oleh Hantu Muka Dua.
"Luhtinti, kau tunggu apa lagi. Pergilah sekarang juga. Hati-hati!"
Luhtinti mau membantah tapi murid Eyang Sinto Gendeng sudah memutar tubuh dan berkelebat ke arah Istana Kebahagiaan. Saat itu di seputar halaman istana yang diterangi oleh obor masih kelihatan puluhan pengawal berjaga-jaga. Luhkinki sendiri tidak tampak lagi di tempat itu.
"Gadis itu pasti sudah ditangkap. Dibawa ke Ruang Obor Tunggal. Pengawal masih banyak, cukup sulit bagiku untuk menerobos masuk tanpa ketahuan. Lagi pula aku tidak tahu dimana terletaknya ruang jahanam tempat penyiksaan orang-orang perempuan itu. Aku harus mencari akal!" Wiro terus memperhatikan sambil memutar otak dan garuk-garuk kepala.
***
TUJUH
LUHTINTI berlari sekencang yang bisa dilakukannya ke arah selatan dimana terdapat sebuah lembah teduh. Di lembah inilah Lakasipo dan Luhrinjani menunggu bersama Naga Kuning, Setan Ngompol dan Betina Bercula. Sebenarnya jarak yang hendak dicapai tidak terlalu jauh. Namun di tengah jalan Luhtinti diam-diam menyadari kalau dirinya ada yang menguntit. Karenanya gadis berotak tajam ini yang pernah menjadi mata-mata Hantu Muka Dua sengaja mengambil jalan berputar. Namun ternyata si penguntit masih tetap berada di belakangnya.
"Kalau dia bukan seorang berkepandaian tinggi pasti tidak mungkin dia selalu berada di belakangku. Lebih baik aku berhenti menghadapinya! Aku ingin tahu siapa orangnya?"
Di satu jalan mendaki Luhtinti akhirnya hentikan lari dan membalik sambil pasang kuda-kuda, siap Untuk menyerang. Suara orang bergelak tiba-tiba memenuhi tempat itu. Di lain kejap seorang berjubah Ungu muncul di hadapan si gadis.
"Lawungu!" membatin Luhtinti begitu dia mengenali siapa adanya orang di hadapannya. Seperti diketahui sebelumnya Lawungu telah ditinggalkan orang Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab di satu tempat dalam keadaan sakit. Ternyata orang berkepandaian tinggi Ini mampu menyembuhkan dirinya sendiri dengan makan obat-obatan terdiri dari berbagai macam daun dan akar tanaman.
"Gadis cantik, berlari secepat angin. Sekarang kau terkejut melihat diriku! Wahai, pertanda kau punya satu urusan penting. Bukankah begitu?"
"Apapun urusanku, apa perdulimu?!" bentak Luhtinti.
"Tentu saja aku sangat perduli. Karena bukankah kau membekal sebuah sendok emas bernama Sendok Pemasung Nasib?!"
Kejut Luhtinti bukan alang kepalang. "Bagaimana kakek ini tahu aku memiliki sendok emas sakti itu," pikir si gadis. Tak sengaja tangannya meraba ke pinggang. Astaga, dia dapatkan ternyata sendok emas yang diselipkannya di pinggang pakaian telah tersembul ujung gagangnya. Lawungu tertawa mengekeh. Sambil tudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah sendok yang terselip di pinggang dia berkata.
"Aku tahu siapa kau adanya gadis berambut aneh. Kau dulu adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. Kau mengkhianatinya hingga kau dihajar dan rambutmu dicabutnya. Untung rambutmu masih bisa tumbuh! Ha… ha… ha!"
"Kau tahu siapa aku, aku juga tahu siapa dirimu! Dulu kau dikenal sebagai tokoh baik di negeri ini.
Tapi kemudian berubah jahat. Malah bersama kerabatmu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab kau kabarnya telah bergabung dengan Hantu Muka Dua!"
"Ha… ha… ha! Kabar rupanya sangat cepat diterbangkan angin kemana-mana! Luhtinti, sendok emas di pinggangmu itu dulu aku yang miliki. Kuberikan pada Lakasipo untuk diserahkan pada Hantu Langit Terjungkir. Tapi jaman berubah dengan cepat. Orangorang yang tadinya ada di sisi yang sama kini saling bertentangan. Adalah wajar kalau kini aku meminta kembali sendok emas itu! Serahkan secara baik-baik dan kau boleh pergi dengan aman!"
Luhtinti mendengus. "Apapun yang terjadi sendok ini tidak kuserahkan pada siapapun! Apalagi padamu!"
Lawungu tertawa bergelak. "Katamu dulu aku orang baik. Sekarang berubah jahat! Sudah kepalang tanggung! Aku akan merampas sendok itu dari tanganmu. Setelah itu aku akan merampas kehormatanmu!"
"Mahluk keji kurang ajar!" teriak Luhtinti marah sekali. Gadis ini langsung menggebrak dengan satu serangan ganas. Tapi bagaimanapun Lawungu adalah salah seorang tokoh utama di Negeri Latanahsilam yang bukan tandingan Luhtinti. Setelah habis-habisan menggempur sampai tujuh jurus, Luhtinti mulai kelelahan. Gerakannya menjadi lamban. Kuda-kuda ke dua kakinya menjadi goyah, Di jurus ke sembilan satu tendangan Lawungu yang menghantam pinggulnya membuat gadis ini terpental jauh. Tulang pinggulnya retak, sakitnya bukan main dan membuat dia hanya bisa merangkak-rangkak tak sanggup berdiri lagi. Sambil tertawa bergelak Lawungu melangkah mendekati Luhtinti. Dia membungkuk hendak menyambar sendok emas yang terselip di pinggang si gadis. Namun pandangan matanya tergoda pada paha mulus yang tersingkap. Lawungu menyeringai. Basahi bibirnya dengan ujung lidah. Jari-jari tangannya diusapkan ke paha Luhtinti.
"Jahanam kurang ajar!" teriak Luhtinti. Kakinya ditendangkan ke arah selangkangan Lawungu tapi gerakannya lemah sekali hingga dengan mudah lawan menangkap. Begitu Lawungu menarik kakinya ke atas maka pakaian Luhtinti semakin lebar tersingkap.
"Ha… ha! Kulitmu ternyata mulus dan tubuhmu kencang! Mari layani dulu aku barang sebentar!"
Lawungu putar pergelangan kaki Luhtinti hingga gadis ini menjerit tak berdaya. Tubuhnya lalu diseret ke balik serumpunan semak belukar. Lalu terdengar suara pakaian dirobek berulang kali.
"Manusia jahanam! Dewa akan mengutukmu!"
teriak Luhtinti ketika dilihatnya Lawungu menanggalkan jubah ungunya hingga kini hanya mengenakan celana dalam. Sambil terus menyeringai dan basahi bibirnya Lawungu membungkuk. Sesaat lagi dia hendak menggagahi gadis itu tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dan bukk!
Satu tendangan menyambar rusuk Lawungu.
"Kraaakk!"
Tiga tulang iga Lawungu patah. Jeritan setinggi langit menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terpental, melingkar di tanah, mengerang dan menggeliat-geliat. Ketika dia berusaha mencari tahu siapa yang barusan menendangnya kagetlah Lawungu. Dari jubah hitamnya yang dilengkapi kerudung sampai di kepala jelas orang itu adalah Pengawal Tingkat Satu Istana Kebahagiaan.
"Pengawal Istana Kebahagiaan! Aku adalah sahabat Hantu Muka Dua! Kau akan menerima hukuman berat atas apa yang kau lakukan terhadapku!"
Luhtinti cepat rapikan pakaiannya dan bangkit berdiri, bersembunyi di balik rerumpunan semak belukar dan pegang sendok emas sakti erat-erat. Gadis ini juga heran mengapa Pengawal Istana Kebahagiaan menyelamatkan, dirinya dan menghajar Lawungu. Pengawal berjubah hitam tertawa bergelak. Dia buka jubah hitamnya dan singkapkan kerudung yang menutupi kepalanya.
"Wiro!" Luhtinti keluarkan seruan tertahan ketika melihat siapa adanya orang yang tadi mengenakan jubah Pengawal Istana Kebahagiaan itu. Lawungu sendiri tak kalah kejutnya. Dua matanya sampai mendelik besar. Tahu akan bahaya yang mengancam dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan pukulan Badai Lima Penjuru dengan tangan kanannya. Tapi Wiro yang sudah melihatgelagat kembali kirimkan satu tendangan.
"Kraaakkk!"
Pergelangan tangan Lawungu patah. Lima sinar ungu yang sempat melesat keluar dari ujung tangannya bertaburan ke udara. Kakek ini menjerit keras, kembali roboh dan terguling di tanah. Wiro ambil jubah hitam yang tadi dikenakannya lalu dilemparkannya pada Luhtinti. "Lekas pakai jubahitu!"
Luhtinti mengenakan jubah hitam dengan mata berkaca-kaca. Kalau Wiro tidak datang tepat pada waktunya pasti saat itu kehormatannya telah dirampas oleh Lawungu. Begitu selesai berpakaian Luhtinti dekati sosok kakek mesum itu lalu tendang rusuk sebelah kirinya. Akibatnya dua tulang rusuk Lawungu kembali berpatahan. Belum puas si gadis hendak tendang kepala orang itu tapi Wiro cepat mencegah.
"Wiro, terima kasih. Kau telah menyelamatkan diri dan kehormatanku!" kata Luhtinti dengan mata basah.
Lalu dia bertanya. "Dari mana kau dapat jubah ini?"
"Kugebuk seorang pengawal Istana Kebahagiaan. Hanya dengan menyamar pakai jubah ini aku bisa masuk ke dalam Istana. Aku berhasil mengeluarkan Luhkinki dari ruang penyiksaan yang disebut Ruang Obor Tunggal. Tapi kekasihnya bernama Lakembangan tak dapat kutemukan. Kemungkinan dia telah ditangkap oleh para pengamal Istana Kebahagiaan."
"Dimana Luhkinki sekarang?" tanya Luhtinti.
"Kubaringkan di balik batu besar sana. Terpaksa kulumpuhkan karena dia menolak pergi jika tidak bersama kekasihnya. Padahal saat itu puluhan pengawal Istana Kebahagiaan telah mengurung kami." Menjelaskan Wiro.
"Luhtinti, kita harus segera menuju ke tempat Lakasipo menunggu. Begitu Lakasipo bisa kita keluarkan dari jeratan jala api iblis biru, kita harus bersiap-siap menuju Istana Kebahagiaan…."
"Kau melupakan satu hal!" kata Luhtinti pula.
"Apa?"
"Tujuan utama kita mencari Sendok Pemasung Nasib adalah untuk menolong Hantu Langit Terjungkir."
"Astaga! Kau benar! Kalau begitu kau segeralah pergi ke tempat Lakasipo menunggu. Hati-hati, jangan sampai kau dihadang orang untuk kedua kalinya. Aku akan pergi ke danau tempat Hantu Langit Terjungkir dan Hantu Selaksa Angin berada. Aku khawatir sepasang kakek nenek itu dalam putus asa mereka pergi dan menghilang begitu saja. Sesudah kau menolong Lakasipo cepat susul aku ke danau!"
"Kita harus bergerak cepat Wiro. Matahari sudah condong ke barat. Besok adalah hari lima belas bulan dua belas!" kata Luhtinti pula.
Wiro mengangguk. "Sekali lagi hati-hati!" katanya.
Sementara itu di kejauhan terdengar kumandang suara genta.
Setelah Luhtinti menemui Lakasipo, Luhrinjani, Naga Kuning, Betina Bercula dan Si Setan Ngompol. Dengan mempergunakan sendok emas sakti jala api biru yang selama ini menyekap Lakasipo dapat diputuskan hingga Lakasipo berhasil dibebaskan. Sebaliknya perjalanan Wiro ke danau tempat Hantu Langit Terjungkir dan Hantu Selaksa Angin sebelumnya berada membawa kekecewaan. Sepasang kakek nenek itu ternyata tak ada lagi di tempat itu. Saat itu hari sudah malam. Luhtinti dan kawankawannya belum juga muncul. Wiro memutuskan untuk langsung saja menuju Istana Kebahagiaan.
***
DELAPAN
MAHLUK bersisik yang dikenal dengan nama Tringgiling Liang Batu berteriak menyuruh Hantu Jatilandak menghentikan larinya. Sampai-saat itu kakek dan cucu ini masih terus mengusung sosok Luhmundinglaya, nenek yang tengah sekarat dalam usaha mereka mencari Luhcinta, Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah Laekatakhijau. Saat itu mereka berada di lereng sebuah bukit batu.
"Kek! Kau kembali menyuruh aku berhenti. Kali ini ada apa lagi?!" tanya Hantu Jatilandak dengan suara menandakan kejengkelan.
"Kau jangan mengomel saja! Pergunakan otakmu untuk melihat kenyataan dan menghitung hari!" mendamprat Tringgiling Liang Batu.
"Apa maksudmu?" tanya sang cucu.
"Hari lima belas bulan dua belas hanya tinggal satu hari dari sekarang. Kita masih belum menemukan satupun dari tiga orang yang kita cari. Dan coba kau perhatikan keadaan nenek diatas usungan ini. Tubuhnya sudah sama renta dengan alas usungan. Aku tidak bisa memastikan lagi apa dia masih hidup atau sudah menemui ajal! Obat yang diberikan Hantu Raja Obat hanya sanggup menunda ajalnya sampai satu minggu. Kalau aku tidak salah menghitung ini adalah hari terakhir dia masih bisa bernafas! Celaka besar menghadang di hadapan kita!"
Hantu Jatilandak berikan isyarat. Kakek dan cucunya itu lalu turunkan usungan ke tanah. Jatilandak dekatkan telinga kirinya ke dada peremptnn tua di atas usungan.
"Aku masih mendengar detak suara jantungnya Kek!" berkata Hantu Jatilandak. "Kuharap kau tidak perlu bersusah hati. Kita sudah melakukan apa yang bisa kita lakukan. Kalau semua usaha tidak berhasil mengapa menyesali diri?"
Tiba-tiba dikejauhan terdengar suara berdengung aneh tak berkeputusan. Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah berada di titik tertingginya.
"Tepat tengah hari. Suara aneh dari arah timur.
Suara apa gerangan?" berucap Hantu Jatilandak.
"Suara genta," jawab Tringgiling Liang Batu. "Aku yakin suara itu datang dari Istana Kebahagiaan. Pertanda Penguasa Istana telah siap menerima para tetamu yang diundang dalam upacara pertemuan besar…."
"Luar biasa. Istana Kebahagiaan sekurang-kurangnya masih setengah hari perjalanan dari sini. Tapi suara genta itu mengumandang sampai ke sini…."
Habis berkata begitu Hantu Jatilandak menatap ke arah sosok perempuan tua yang terbujur di atas tandu kayu. "Tak ada jalan lain, jika satu dari tiga orang itu tidak kita temukan, nenek ini terpaksa kita bawa ke Istana Kebahagiaan. Orang-orang yang kita cari pasti berkumpul di sana memenuhi undangan. Mudah-mudahan nenek ini bisa bertahan sampai hari lima belas bulan dua belas."
Kedua orang itu segera mengusung nenek muka jerangkong Luhmundinglaya. mereka berlari secepat yang bisa dilakukan ke arah datangnya suara genta.
***
TAK LAMA setelah Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu meninggalkan tempat itu, kesunyian kawasan bebatuan itu dipecahkan oleh suara bentakan-bentakan.
Di satu tempat terbuka di lereng miring bukit batu dimana pada sisi kiri menguak sebuah jurang sedalam tiga puluh tombak, seorang gadis cantik berpakaian biru tengah menempur habis-habisan seorang lelaki separuh baya berpakaian hitam. Walau kelihatan beringas marah dan serangannya merupakan seranganserangan mematikan namun anehnya gadis ini berputar sambil menangis kucurkan air mata. Lalu sesekali dari mulutnya keluar suara membentak. Lelaki yang diserang sama sekali tidak mau melawan, yang dilakukannya adalah menghindar selamatkan diri. Kalau sangat terpaksa baru dia pergunakan tangan untuk menangkis. Namun lama-lama keadaannya jadi terdesak dan bahaya maut mungkin tak dapat dihindarkannya dalam dua atau tiga jurus dimuka jika dia tetap saja mengambil sikap mengalah dan bertahan. Untuk kesekian kalinya gadis baju biru yang bukan lain adalah Luhcinta menyerang sambil membentak.
"Sudah kukatakan aku tidak sudi berayahkan manusia macam kau! Mengapa masih keras kepala mengikuti diriku?!"
Di dekat dua orang yang sedang bertempur itu dua orang nenek tampak berdiri sambil berteriak-teriak kalang kabut. Nenek yang di atas kepalanya ada gulungan asap merah berbentuk kerucut terbalik berteriak berulang kali.
"Cucuku! Hentikan seranganmu! Apa telingamu tuli tidak mendengar aku mengatakan orang ini adalah ayah kandungmu?!" Si nenek bukan lain adalah Hantu Penjunjung Roh alias Luhniknik, nenek kandung Luhcinta.
Nenek satunya tak kalah keras teriakannya. "Luh cinta! Jangan hati dan otakmu kau jadikan batu! Dengar perintah kami! Hentikan perkelahian! Dosa besar bagimu berani menyerang ayahmu! Hentikan perkelahian! Mana kasih sayang yang selama ini kuajarkan padamu sebagai dasar semua ilmu kepandaianmu? Apa kau lupa?! Luhcinta kita perlu bicara!"
"Nenek! Aku menghormati kalian! Tapi sudah kukatakan! Percuma aku mempunyai ayah seperti dia! Kalau kalian menyebut kasih sayang maka ketahuilah kasih sayang itu telah tercemar oleh perbuatan keji manusia satu ini! Dan kalau kalian tetap memaksa lebih baik kalian saksikan aku mengakhiri hidup seperti ini!"
Habis berkata begitu Luhcinta lalu hamburkan dirinya ke jurang batu. Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Lembah Laekatakhijau berteriak kaget. Muka dua nenek ini serta merta menjadi pucat. Mereka berada di tempat agak jauh dari sisi jurang dan tidak punya kesempatan untuk menolong Luhcinta yang nekad itu.
"Luhcinta cucuku!" teriak Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh. "Jangan berlaku nekad!"
"Muridku Luhcinta! Mengapa kau berbuat tolol!"
Luhmasigi alias Hantu Lembah Laekatakhijau yang adalah guru Luhcinta ikut berseru. Ratusan katak yang bertempelan di kepala dan sekujur tubuhnya keluarkan jeritan keras.
Satu-satunya orang yang punya kesempatan dan paling dekat dengan Luhcinta saat itu adalah Si Penolong Budiman. Namun keadaannya saat itu setengah lumpuh. Sosoknya jatuh berlutut di tanah akibat terkena hantaman telak yang dilepaskan Luhcinta pada bagian dadanya. Pemandangannya berkunang-kunang dan darah kental meleleh keluar dari mulutnya!
Pada saat tidak seorangpun lagi mampu dan berkesempatan menolong Luhcinta, tiba-tiba dari arah kanan melesat satu bayangan putih. Terlambat sekejapan mata saja orang ini tidak akan sanggup menyambar pinggang Luhcinta. Si gadis berteriak keras dan berusaha meronta lepaskan diri. Namun pinggangnya sudah dicekal erat. Sesaat kemudian tubuhnya diturunkan ke tanah, disandarkan ke sebuah batu besar. Satu dada menghimpit dadanya yang menggelora penuh amarah. Begitu erat himpitan itu hingga Luhcinta dapat merasa detakan jantung orang yang menekannya itu bersatu dengan debur darah yang menggelegar di dadanya.
***
SEMBILAN
KETIKA Luhcinta menengadah, sepasang matanya membentur satu wajah yang tak asing lagi. Satu wajah yang selama ini sangat dirindukannya karena sejak lama hati dan kasih sayangnya tertambat pada orang ini.
"Wiro…. Kau menyelamatkan diriku. Mengapa…?" suara Luhcinta perlahan sekali karena tertindih isak tangis yang tak bisa dilepaskan.
"Bukan aku yang menolongmu Luhcinta. Tapi Gusti Allah yang Maha Kuasa," jawab Pendekar 212 Ialu jauhkan dadanya nya dari dada gadis itu.
Luhcinta pejamkan matanya. Air mata jatuh mengambang di wajahnya yang halus kemerahan. Dia tak Sanggup untuk berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung dan Hampir jatuh kesamping kalau tidak lekas ditolong Oleh Wiro. Saat itu juga Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Laekatakhijau mendatangi, ikut membantu. Luh Cinta senggugukkan !a!u mulai keluarkan suara menangis.
“Pemuda asing mata keranjang! Jangan sentuh Cucuku” tiba-tiba satu bentakan menggeledek, membuat Pendekar Wiro Sableng berpaling. Yang membentak adalah Hantu Penjunjung Roh. Sepasang bola matanya yang berbentuk kerucut merah melesat keluar.
“Eh apa maumu nek? Aku memegang cucumu bukan dengan niat buruk. Tapi untuk menolongnya!" Wiro menjawab dengan suara tenang.
Hantu Penjunjung Roh palingkan kepalanya pada Luhcinta lalu mengomel. "Anak tolol! Kau hampir celaka akibat nekadmu sendiri! Sekarang apa yang kau tangiskan?!" Lalu kembali nenek ini memandang kearah Wiro dan berucap. "Sebagian dari kesengsaraan hidup cucuku ini adalah akibat perbuatanmu!
Walau kau telah menyelamatkan nyawanya jangan harap kami nenek dan gurunya akan melepaskan kau begitu saja! Menyingkir dari hadapanku! Jangan berani pergi sebelum aku menjatuhkan hukuman atas dirimu! pemuda asing tak tahu diri!"
Murid Eyang Sinto Gendeng sampai ternganga mendengar kata-kata Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh itu. Dia tak mau tinggal diam saja. Sambil garuk kepala dia menjawab.
"Nenek, tabunan asap batu di kepala mungkin membuat otakmu jadi cair hingga tak bisa berpikir wajar! Aku tidak mengharap imbalan apa-apa menolong cucumu ini! Tapi kalau kau sampai tega-teganya mendamprat diriku, sungguh aku tidak mengerti! Jika kalian tidak suka padaku memang lebih baik aku angkat kaki dari sini. Ujudmu aneh, tapi kelakuanmu ternyata jauh lebih aneh! Mungkin kau perlu mandi di tujuh telaga agar bisa waras kembali!"
Setelah berkata begitu Pendekar 212 segera putar tubuhnya hendak tinggalkan tempat itu tapi langkahnya langsung dihadang oleh Luhrnasigi aiias Hantu Lembah Laekatakhijau, guru Luhcinta.
"Kau mau kemana?! Apa kau tuli tidak mendengar peringatan nenek kerabatku ini agar tidak meninggalkan tempat ini?!" Luhmasagi membentak.
"Aku pergi kemana aku suka! Kalau kau mau ikut boleh-boleh saja. Tapi coba kau berkaca dulu di air telaga yang bening! Apa kau pantas berjalan denganku!" Habis berkata begitu Wiro tertawa gelakgelak. Luhmasigi menggereng marah. Matanya membeliak. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor. Ratusan katak yang melekat di kepala dan tubuhnya keluarkan suara bising.
"Pemuda asing kurang ajar! Berani kau menghina diriku!" Hantu Laekatakhijau kirimkan satu jotosan ke dada murid Sinto Gendeng. Wiro cepat angkat tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tiga perempat tenaga dalamnya.
"Bukkk!"
Dua lengan beradu keras. Wiro mengeluh kesakitan. Terhuyung-huyung sesaat lalu jatuh duduk di tanah. Tapi dengan cepat dia bangkit berdiri. Sebaliknya Hantu Lembah Laekatakhijau menjerit keras.
Tubuhnya terpental dua tombak. Dia coba mengimbangi diri tapi malah jatuh tunggang langgang tak karuan.
Melihat sahabatnya Hantu Lembah Laekatakhijau dibuat sedemikian rupa Hantu Penjunjung Roh jadi marah besar. Dua bola matanya yang berbentuk keru cut merah mencuat ke luar. Asap merah berbentuk kerucut terbalik di kepalanya naik ke atas. Sekali lagi dia membentak. Ketika dia hendak menghantam Wiro dengan dua larik cahaya aneh yang keluar dari matanya, Hantu Lembah Laekatakhijau telah bangkit berdiri dan berseru.
"Sobatku! Jangan memberi malu aku! Masakan terhadap pemuda tidak waras ini saja aku perlu dibantu! Biar aku merubah dirinya menjadi jerangkong tulang putih!" Lalu si nenek sambung seruannya dengan memberi perintah pada ratusan katak yang ada di kepala dan tubuhnya.
"Anak-anak! Lekas kalian kuliti pemuda tak tahu diri itu!"
Ratusan katak berubah beringas dan membuka mulut mereka, mengeluarkan suara bising seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Sesaat sebelum binatang-binatang itu melesat ke arah Wiro, Luhcinta melompat dan tegak membelakangi Wiro, menghadap ke arah gurunya.
"Guru harap maafkan diriku! Aku…."
"Muridku! Apa kau hendak ikut-ikutan jadi tidak waras seperti pemuda itu?! Kau hendak membela orang yang telah mempermainkan dirimu?!"
"Guru, jangan salah sangka. Aku…."
"Jangan banyak bicara Luhcinta!" memotong Hantu Penjunjung Roh. "Kalau kau mau mati berdua pemuda ini kami tidak akan menghalangi!"
"Nek, wahai! Biarkan aku bicara dulu. Apa salah pemuda ini sampai kalian hendak menjatuhkan tangan menghukumnya?!"
Dua nenek Luhrnasigi dan Luhniknik sama-sama saling pandang pelototkan mata lalu sama-sama tertawa panjang.
"Luhniknik!" kata Luhrnasigi pula. "Otak cucumu benar-benar sudah tidak waras akibat tergila-gila pada pemuda asing ini. Dia masih mau membela pemuda yang mempermainkan cintanya. Yang berpura-pura cinta lalu meninggalkannya. Kawin dengan gadis aneh bernama Luhrembulan yang entah dari mana asal usulnya! Hik… hik… hik! Wahai Luhcinta semoga para dewa membuatmu sadar dan mengampuni kesalahanmu!"
"Luhcinta," berkata Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh. "Kau bercinta dengan pemuda itu. Tapi kemudian kau ditinggalkannya. Dia kawin dengan gadis lain! Apa kau tidak sadar kalau kau telah dipermainkan, dijadikan pemuas nafsu…."
Paras Luhcinta menjadi semarah saga. Wiro sendiri terperangah. Dia berteriak keras.
"Kalian dua nenek sinting! Siapa yang bercinta dengan gadis ini! Memangnya perbuatan keji apa yang telah aku lakukan terhadapnya? Dan aku tidak pernah kawin dengan siapapun! Juga tidak dengan gadis bernama Luhrembulan itu! Kalian rupanya sudah lama tidak dijamah lelaki hingga punya pikiran dan hati kotor mengada-ada berkhayal tidak karuan! Menuduhku seenaknya!" Wiro lalu berpaling pada Luhcinta dan berkata.
"Luhcinta, katakan pada dua nenek ini! Apakah selama ini kita pernah bermesra berhubungan? Apakah aku pernah berbuat yang tidak baik terhadapmu?!"
"Tidak Wiro, kau tidak pernah berbuat sejahat itu terhadapku…" kata Luhcinta pula dengan air mata berlinang. "Katakan sendiri pada mereka…."
Murid Sinto Gendeng menggeleng. "Aku tidak punya waktu bicara urusan yang tak karuan dengan mereka!"
“Wiro tunggu! Jangan pergi dulu! Biar aku menjelaskan pada mereka di hadapanmu!” kata Luhcinta pula.
Tapi murid Sinto Gendeng telah berkelebat pergi sementara dua nenek jadi melongo saling pandang.
“Bagaimana ini?!” Luhniknik yang pertama kali membuka suara. “Kami menyirap kabar kalian menjalin cinta. Lalu pemuda itu meninggalkanmu dan melakukan perkawinan di Bukit Batu Kawin dipimpin oleh Lamahila. Tadi dia juga minta agar kau menerangkan hubunganmu selama ini dengan dirinya. Luhcinta, ada apa dibalik semua yang tidak kami duga ini? Apakah kau memang tidak mencintainya dan dia tidak mencintaimu…?”
Luhcinta tundukkan kepala. “Perihal dirinya apakah mencintai diriku atau tidak…. aku tidak mengetahui Nek….” jawab Luhcinta dengan suara perlahan.
“Lalu bagaimana dengan dirimu. Apakah kau mencintai dirinya?” bertanya Luhmasigi.
“Aku…. Aku memang menyukainya tapi dia tidak pernah tahu. Karena, tak mungkin bagiku memberi tahu padanya…."
"Kau cuma suka atau cinta?! Bicara yang betul!" kata Luhrnasigi setengah menghardik. Luhcinta tekap wajahnya dengan dua tangan.
Diantara isak tangisnya dia berkata. "Aku… aku memang mencintainya Nek. Dengan sepenuh hati…."
Untuk kesekian kalinya dua nenek di hadapan Luhcinta jadi ternganga dan saling pandang.
Sementara itu di sebelah sana, Si Penolong Budiman alias Latampi tegak bersandar ke sebuah batu, berusaha keras mengatur jalan darah dan pernafasannya. Sepasang matanya menatap ke arah orang-orang itu dengan pandangan sayu. Luhniknik segera mendekati Si Penolong Budiman. Mengusap dadanya dan bertanya.
"Anakku, kau tak apa-apa…?"
"Bunda, sakit kena pukulan tak ada aritnya bagiku. Dibanding dengan sakitnya hati ini menghadapi kenyataan. Puluhan tahun aku mencarimu dan anakku. Setelah bertemu mengapa semua urusan malah tambah berbelit…."
"Latampi, kau tak usah menyesali diri. Ini semua kemauan Yang Kuasa. Tapi aku akan membereskan semua urusan. Kau tetap di sini." Lalu nenek satu ini kembali mendekati Luhcinta dan berkata. "Cucuku, soal hubunganmu dengan pemuda asing itu aku tidak mau tahu! Kalian bercinta atau tidak aku tidak perduli. Kau merasa sakit hati ditinggal kawin aku tidak itu urusanmu sendiri! Tapi jika kau tidak mau mengakui lelaki berjubah hitam ini sebagai ayahmu, aku akan merajammu sampai daging di badanmu tanggal semua!"
Sepasang mata Luhcinta berkaca-kaca. "Nek, jangan kau terlalu memaksa. Siapapun adanya orang itu tahu sendiri bukankah dia kakak kandung dari ibuku? Dua orang yang lahir dari rahim yang sama? Rahimmu sendiri?!"
Luhniknik merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin dan bergetar keras. Dia gigit bibirnya sendiri keraskeras hingga berdarah. Perlahan-lahan meluncur ucapan dari mulutnya. "Kalau ada yang bersalah dalam persoalan ini, akulah orangnya. Sejak suamiku Lasegara meninggalkan diriku dan membawa Latampi tanpa tahu rimbanya, kemudian bertemu denganmu….Wahai! Memang seharusnya aku yang musti dirajam sampai tinggal tulang belulang…." Nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh itu menangis terisak-isak. (Untuk jelasnya mengenai riwayat Luhcinta harap baca Episode berjudul "Rahasia Bayi Tergantung").
"Sudah, tak ada gunanya kita berlarut-larut menyesali diri dan berlama-lama di tempat ini. Ada baiknya kita segera berangkat ke Istana Kebahagiaan.
Di sana banyak tokoh yang bisa kita jumpai. Mudahmudahan nenek bernama Luhmundinglaya yang kabarnya tengah mencari kita itu juga akan muncul di sana." Luhmasigi berpaling pada Si Penolong Budiman. "Latampi, tabahkan hatimu. Kuatkan jiwamu. Aku harap kau suka seperjalanan bersama kami ke Istana Kebahagiaan…."
"Nek, kalian pergilah dulu. Aku akan menyusul kemudian. Aku ingin bersunyi diri menenangkan hati terlebih dulu di tempat ini," jawab Si Penolong Budiman pula.
"Kalau itu keinginanmu, kami tidak memaksa," kata Luhmasigi lalu dia memberi isyarat pada Luhcinta dan Luhniknik. Ke tiga orang itu segera tinggalkan lereng bukit batu itu.
***
SEPULUH
KOKOK ayam memecah keheningan di penghujung malam. Di ufuk timur kelihatan langit mulai terang pertanda fajar telah menyingsing. Begitu sang surya tersembul maka inilah satu pertanda bahwa hari itu adalah hari lima belas di bulan dua belas. Empat jalan di kawasan bebatuan kelabu menuju ke puncak bukit dipenuhi oleh orang-orang yang hendak pergi ke Istana Kebahagiaan. Mereka adalah para tokoh di Negeri Latanahsilam yang ingin memenuhi undangan Sang Penguasa yakni Hantu Muka Dua yang bergelar Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu dan telah mengangkat dirinya sebagai raja diraja segala hantu di negeri Latanahsilam. Para tokoh yang sehaluan dengan Hantu Muka Dua. Apalagi yang jelasjelas merupakan sahabat Hantu Muka Dua dan menyambut pertemuan itu dengan segala kegembiraan. Sebaliknya semua tokoh yang tidak sehaluan, muncul di tempat undangan itu dengan rasa ingin tahu upacara apa sebenarnya yang hendak dilakukan di Istana Kebahagiaan itu. Selain itu masing-masing mereka yang sudah tahu keculasan Hantu Muka Dua senantiasa mengambil sikap waspada. Bukan mustahil hal-hal yang tidak terduga bisa terjadi secara mendadak. Dari dalam Istana Kebahagiaan tews saja terdengar dengung suara genta. Semakin tinggi sang surya, semakin banyak orang yang naik ke puncak bukit dimana bangunan istana besar itu terletak.
Ruang besar di lantai dua tempat diadakannya pertemuan itu berbentuk segi enam. Masing-masing dinding diberi cat berlainan. Yakni hitam, biru, hijau, merah, putih dan kuning. Di depan dinding warna hitam terdapat sebuah mimbar yang dikelilingi oleh lebih dari selusin kursi besar yang juga berwarna hitam. Pada dinding hitam tepat di belakang mimbar terpampang gambar besar seekor singa berkepala dua. Di atap ruangan yang berbentuk kubah segi enam tergantung empat hiasan berupa singa berkepala dua terbuat dari perunggu. Hantu Muka Dua memberi nama ruang pertemuan besar ini sebagai Ruang Seribu Kehormatan.
Ruang segi enam itu dipenuhi dengan ratusan kursikursi yang memiliki warna sesuai dengan warna dinding di belakangnya. Di sebelah depan setiap barisan kursi sudah terhidang berbagai makanan dan minuman yang lezat-lezat. Semua tamu memasuki ruangan pertemuan lewat pintu gerbang satu-satunya yang terletak di dinding warna merah. Puluhan gadis cantik menyambut kedatangan para tetamu dan mengantarkan mereka ke tempat duduk masing-masing. Agaknya sudah diatur demikian rupa di kursi warna apa setiap tamu dipersilahkan duduk. Di antara para tamu ada yang ingin memilih kursi sendiri, tetapi dengan ramah dan halus gadis-gadis cantik itu membawa mereka pada kursi yang telah ditentukan.
Berlainan dengan semua kemewahan yang ada di Ruangan Seribu Kehomatan itu, di sebuah ruangan di lantai dasar Istana Kebahagiaan beberapa orang pengawal berpakaian hitam tengah merajam seorang pemuda yang dibaringkan menelungkup di atas sebuah batu penuh darah. Suara empat buah cambuk yang mendera punggung pemuda itu menggetarkan empat dinding ruangan. Pemuda yang dirajam tidak kelihatan bergerak ataupun keluarkan suara. Entah pingsan atau mungkin sudah menemui ajal. Pemuda malang ini bukan lain adalah Lakembangan, kekasih Luhkinki. Pemuda ini sebelumnya telah diangkat menduduki jabatan tinggi oleh Hantu Muka Dua. Tapi ketika diketahui dia membantu Luhkinki dalam pencurian Sendok Pemasung Nasib yaitu mencuri Bubuk Penjungkir Syaraf dan menyerahkannyi pada Luhkinki untuk melumpuhkan pengawal Ruangan Penyimpanan Barang Pusaka, maka Hantu Muka Dua memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Lakembangan. Pemuda ini dibawa ke ruangan penyiksaan dan didera dengan cambuk sejak malam tadi. Sampai saat para tetamu mulai berdatangan ke istana Kebahagiaan siksaan itu masih terus berlangsung.
Sementara hampir semua kursi di Buang Seribu Kehormatan mulai terisi, di kawasan berbatu-batu yang menuju ke puncak bukit tempat berdirinya istana Kebahagiaan, satu sosok putih yang sejak pagi mendekam di balik sebuah batu besar mulai merasa gelisah. Dia memandang ke langit "Sang surya telah jauh tinggi. Tetapi mengapa dia belum juga muncu! Mungkin dia datang dengan cara menyamar hingga aku tidak mengenali? Kalau aku masuk ke dalam Istana sulit untuk keluar lagi tanpa menimbulkan keributan. Para pengawal Istana pasti mencurigai diriku…. Agaknya aku harus bersabar.
Tapi jika sampai tengah hari dia belum juga muncul, aku terpaksa mendahului masuk ke dalam Istana."
Tanpa setahu orang berpakaian putih tadi, di balik sebuah batu besar tak jauh dari tempat itu mendekam pula Peri Angsa Putih yang berpakaian putih. Sepasang matanya yang biru menatap tak berkedip ke arah batu di depan sana. Tak jauh dari tempatnya bersembunyi, bersimpuh angsa besar putih tunggangannya Tadi dia hanya sempat sekilas melihat bayangan orang berpakaian putih di balik batu sebelah sana. Hatinya tak habis-habis bertanya dan otaknya berpikir terus.
"Aku sempat melihat wajahnya. Walau cuma sekilas dan sebentar tapi aku yakin belum pernah melihat gadis ini sebelumnya. Parasnya cantik luar biasa. Siapa gerangan dia adanya. Siapa pula yang ditunggunya? Jangan-jangan aku dan dia menunggu orang yang sama…."
Tak lama setelah dia membatin seperti itu tiba-tiba dari arah timur kawasan berbatu-batu berkelebat satu bayangan putih. Orang itu tidak melewati jalan biasa yang ditempuh kebanyakan para undangan tapi dengan gesit dia melompat dari satu batu ke batu lainnya. Padahal pada bahu kirinya dia memanggul satu sosok berjubah ungu.
Peri Angsa Putih lepaskan nafas lega. "Akhirnya dia muncul juga," katanya dalam hati. Lalu segera keluar dari balik batu besar. Tapi gerakannya ternyata masih kalah cepat dengan gadis cantik yang ada di balik batu di sebelah sana. Gadis tak dikenal ini laksana anak panah melesat dari busurnya, berkelebat keluar dari balik batu. Tepat di atas satu batu besar, ketika orang berpakaian putih menginjakkan kakinya, si gadis cantik menjejakkan kakinya pula di batu yang sama. Keduanya saling berhadap-hadapan dan sama memandang.
"Luhrembulan…."
"Wiro…!"
"Aku tak menyangka kau ada di sini…." Wiro turunkan sosok yang dipanggulnya yang bukan lain adalah Lawungu.
Gadis berpakaian putih melirik sesaat pada sosok orang berjubah ungu yang segera dikenalinya sebagai Lawungu lalu dia menatap pemuda di hadapannya. Suaranya bergetar ketika dia berucap.
"Suamiku, aku sengaja menunggumu," kata si cantik yang ternyata adalah Luhrembulan. "Berbilang hari berbilang minggu aku mencarimu. Baru sekarang bisa menemuimu. Wahai Wiro, banyak yang akan aku bicarakan denganmu…."
Pendekar 212 merasakan telinganya berdesing dan dadanya berdebar ketika mendengar Luhrembulan memanggilnya dengan sebutan "suamiku". Di balik batu Peri Angsa Putih mendadak pucat wajahnya dan berdebar keras dadanya mendergar ucapan itu.
"Luhrembulan…. Wahai! Jadi dia rupanya!" Peri Angsa Putih merasakan dua lututnya mendadak goyah. Punggungnya disandarkan ke batu di belakangnya. Sepasang matanya yang biru dipejamkan. Tak dapat ditahan butir air mata bergulir jatuh ke pipinya yang halus kemerahan disengat sinar matahari. Dua tangannya ditekapkan ke dada. Jari-jarinya menyentuh sebuah benda yang selama ini disembunyikannya di balik pakaiannya.
"Batu Pembalik Waktu…" desis Peri Angsa Putih.
"Jika aku harus kehilangan pemuda yang kucintai itu, jika benar Wiro telah menjadi suami gadis bernama Luhrembulan itu, apa lagi artinya hidup ini bagiku? Lebih baik tidak satupun diantara kami yang mendapatkannya. Lebih baik Batu Pembalik Waktu ini aku serahkan pada Wiro. Kalau saja dia bersedia membawaku keluar dari Negeri ini, masuk ke alam seribu dua ratus tahun mendatang, aku akan terlepas dari semua derita cinta ini. Ya! Aku harus menyerahkan batu ini pada Wiro. Aku akan mencari kesempatan sebaik-baiknya. Makin cepat makin baik. Tapi aku tidak akan menyerahkan batu ini di depan gadis itu. Dia pasti akan menghalangi, merampas bahkan mungkin menghancurkan batu ini. Lebih baik aku mendahului masuk ke dalam Istana Kebahagiaan…."
Peri Angsa Putih dekati angsa tunggangannya dan berbisik. "Laeputih, tunggu aku di sini sampai aku kembali. Jika terjadi sesuatu di dalam istana Kebahagiaan kau lekas menyerbu menjemputku!"
Angsa Putih seolah faham akan ucapan tuannya, kedipkan sepasang mata lalu tundukkan kepala ke tanah. Peri Angsa Putih segera keluar dari balik batu besar dan berkelebat ke arah Istana Kebahagiaan. Kembali pada Wiro dan Luhrembulan.
"Luhrembulan, mengenai maksudmu untuk bicara, kurasa itu bisa kita lakukan nanti setelah menghadiri pertemuan di Istana Kebahagiaan…"
"Apa yang bisa dibicarakan dan dilakukan sekarang harus dibicarakan dan dilakukan sekarang. Aku menaruh firasat bahwa akan terjadi sesuatu di Istana itu…."
"Hemmmm…. Ucapanmu mengingatkan aku pada kata-kata nenek berjuluk Hantu Selaksa Angin. Katanya seseorang memberi petunjuk bahwa akan terjadi satu peristiwa besar di Negeri Latanahsilam ini."
"Jika orang pandai seperti Hantu Selaksa Angin bicara begitu pasti dia tidak main-main. Itu sebabnya aku berusaha mencarimu walau mungkin pertemuan ini kurang menyenangkan di hatimu. Wiro, kita tidak bisa lari dari kenyataan. Kau adalah suamiku dan aku adalah istrimu…."
"Luhrembulan, sebaiknya kita tidak membicarakan hal itu saat ini. Banyak hal yang perlu dipikirkan mengapa sampai terjadi peristiwa di Bukit Batu Kawin itu. Saat itu aku berada di alam luar sadar. Kemudian Lamahila menemui ajal dibunuh orang. Laduliu lenyap entah kemana…."
"Jika kau menginginkan kesaksian atas perkawinan kita, maka apakah aku bisa mengatakan bahwa Gusti Allahmu adalah saksi yang paling Maha Melihat dan Maha Mengetahui?"
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi terdiam mendengar kata-kata Luhrembulan itu. Sebaliknya si gadis tersenyum dan berkata. "Aku mengalah, karena sebagai istri aku harus mengabdi dan menurut setiap katamu. Kita tak akan membicarakan mengenai hubungan kita sebagai suami istri. Aku menunggumu di sini karena aku merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang mencelakai dirimu di Istana Kebahagiaan. Aku kenal betul siapa adanya Hantu Muka Dua! Aku menaruh duga, semua upacara undangan pertemuan ini hanya satu tipu daya belaka. Maksud tujuannya adalah untuk menjebak para tokoh rimba persilatan Negeri Latanahsilam yang tidak sehaluan dengan dia. Dan yang paling diincarnya adalah dirimu. Karena sejak dia mengutus Hantu Tangan Empat ke tanah Jawa untuk mencari Batu Pembalik Waktu, sebenarnya dia sudah punya niat untuk membunuhmu…."
"Kenapa dia sejahat itu terhadapku padahal saat itu dia belum mengenal diriku apa lagi mempunyai sengketa dan kami terpisah sejauh seribu dua ratus tahun," ujar Wiro.
"Hantu Muka Dua dan beberapa tokoh sudah punya firasat bahwa akan muncul seorang asing sakti mandraguna yang bisa merusak semua rencana mereka. Orang itu adalah dirimu. Kau dianggap sebagai satu-satunya musuh paling besar dan kuat yang bisa menggagalkan rencananya menjadi Raja Diraja Negeri Latanahsilam ini…. Kami, beberapa orang tokoh utama di Negeri Latanahsilam ini memang mempunyai kemampuan untuk melihat pada masa ratusan tahun mendatang."
"Aku tidak punya niat untuk melakukan sesuatu terhadap Hantu Muka Dua. Tanggung jawab semua kejahatan yang dilakukan Hantu Muka Dua berada di tangan semua tokoh asli Negeri ini…."
"Apa yang bisa kami harapkan dari mereka Wiro? Kau tahu sendiri, beberapa diantara mereka malah terperangkap masuk menjadi kaki tangan pembantu Hantu Muka Dua. Contohnya mahluk bernama Lamanyala, lalu Hantu Sejuta Tanya sejuta Jawab. Dan banyak yang lainnya lagi…. Aku bersyukur bisa membebaskan diri dari dia dan semua itu berkat pertolonganmu yang mau menikahi diriku. Wiro, sebelum kau memasuki Istana Kebahagiaan ada beberapa hal yang harus aku sampaikan padamu. Pertama, jangan kau meneguk minuman atau mencicipi makanan yang dihidangkan. Kecuali jika kau dipersilahkan duduk di barisan kursi berwarna hitam. Kemudian, saat ini juga aku harus memberikan satu ilmu kesaktian padamu. Jika terjadi apa-apa di Istana Kebahagiaan, kau bisa meloloskan diri dengan mengandalkan ilmu kesaktian itu…."
"Luhrembulan, aku berterima kasih atas perhatianmu yang begitu besar padaku. Di Istana Kebahagiaan aku yakin ada banyak para kerabat yang sehaluan dengan kita. Jika Hantu Muka Dua berbuat culas dan keji, kami pasti bisa menumpasnya."
Luhrembulan tersenyum. Sambil memegang jari-jari tangan Pendekar 212 dia berkata. "Hantu Muka Dua manusia seribu culas seribu tipu. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi nanti. Di negerimu bukankah ada ujar-ujar yang mengatakan sedia payung sebelum hujan?"
Wiro tertawa lebar mendengar kata-kata Luhrembulan itu. Memandangi wajah si gadis dia menyadari betapa wajah Luhrembulan memang cantik luar biasa, melebihi kecantikan Peri Angsa Putih.
"Luhrembulan," kata Wiro dan membiarkan jari-jari tangannya berada dalam genggaman si gadis.
"Aku tidak ingin menyusahkan dirimu dengan memberikan segala ilmu kesaktian. Sebaiknya kita samasama menuju Istana Kebahagiaan sekarang juga…."
Kini Luhrembulan yang tersenyum. "Hatiku gembira mendengar ajakanmu itu. Tapi banyak hal membuat kita harus berhati-hati dan tidak bertindak ceroboh. Kita tidak boleh memasuki Istana Kebahagiaan itu secara bersamaan. Kau yang lebih dulu atau aku. Sekarang kembangkan kedua kakimu lebar-lebar…."
"Hai, kau mau menyuruh aku menari atau apa?" tanya Wiro masih bisa bercanda tapi entah mengapa dia lakukan juga apa yang dikatakan Luhrembulan. Kakinya kiri kanan dikembangkan di atas batu.
"Kerahkan seluruh tenaga dalammu. Bagi dua ke kaki kiri dan kaki kanan…" berucap Luhrembulan sementara sepasang matanya yang bagus seolah mengendalikan jalan pikiran Pendekar 212, membuat Wiro kembali melakukan apa yang dikatakan. Murid Eyang Sinto Gendeng ini kerahkan tenaga dalamnya yang berpusat di pusar lalu dia alirkan ke kaki kiri dan kaki kanan. Luhrembulan merasakan batu besar tempat mereka berdiri bergetar hebat dan bagian batu yang berada di bawah injakan kaki sang pemuda kelihatan bergerak ke bawah membentuk cekungan. Dalam kagumnyamelihat kehebatan tenaga dalam Wiro, Luhrembulan keluarkan satu teriakan keras. Dua tangannya dihantamkan ke arah ke dua kaki Pendekar 212. Dua larik sinar putih berkiblat. Secara aneh dua larik sinar putih itu bergulung-gulung seperti selendang, menggelung dua kaki Wiro, mulai dari lutut turun ke bawah dan menembus batu besar. Wiro merasa sekujur kakinya dingin luar biasa, ketika perlahan-lahan Luhrembulan menarik ke dua tangannya ke samping baru rasa dingin itu hilang.
Dengan wajah keringatan tapi mata bersinar dan senyum manis merekah di bibirnya yang indah Luhrembulan berkata. "Wiro. sekarang kau sudah memiliki ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Kau jangan sembarangan menghentakkan tumitmu ke tanah. Karena tanah akan terbelah selebar dua langkah. Siapa saja yang menjadi musuhmu akan tersedot amblas ke dalam.
Sebaliknya jika kau dalam keadaan bahaya besar, kau bisa pergunakan ilmu itu untuk menyelamatkan diri. Tak usah ragu-ragu, terjun saja ke dalam tanah yang terbelah. Di lain saat kau akan muncul di satu tempat lain dalam keadaan selamat. Jika sampai ada bencana tak terduga di Istana Kebahagiaan, pergunakan ilmu itu. Para dewa pasti akan menyelamatkanmu …. Hemm… Maksudku Gusti Allahmu pasti akan menyelamatkanmu!"
Pendekar 212 Wiro Sableng benar-benar dibuat terharu oleh ucapan Luhrembulan itu. Dipegangnya jari-jari tangan si gadis lalu ditarik dan diciumnya.
"Tidak pernah aku bertemu dengan gadis sebaik dan sepolosmu. Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana. Ilmu kesaktian yang kau berikan satu hal yang luar biasa…."
Luhrembulan menatap wajah pemuda itu dengan sepasang mata basah. "Wiro, pergilah lebih dulu ke Istana Kebahagiaan. Aku akan menyusul kemudian. Jika terjadi apa-apa, aku akan menunggumu di kaki Bukit Batu Kawin. Sekarang pergilah…."
"Sebelum pergi ada yang hendak kutanyakan. Kau pasti sudah berada lama di tempat ini dan melihat siapa-siapa para tamu yang datang. Apakah kau melihat tiga orang kawanku bersama Lakasipo mahluk berkaki batu itu? Apakah kau juga melihat kakek berjuluk Hantu Langit Terjungkir bersama istrinya Hantu Selaksa Angin?"
"Semua orang yang kau tanyakan itu sudah berada di dalam Istana Kebahagiaan…." menerangkan Luhrembulan.
"Terima kasih, juga terima kasih untuk semua kebaikanmu tadi," kata Pendekar 212 pula. Wiro termangu sesaat. Lalu sekali lagi diciumnya jari-jari tangan Luhrembulan. Setelah membelai pipi gadis itu dengan segala ketulusan, Wiro memanggul sosok Lawungu kembali baru tinggalkan tempat itu. Di atas batu Luhrembulan mengusap sendiri pipinya yang dibelai Wiro, mengecup berulang kali jari-jari tangannya yang tadi dicium pemuda itu. Bibirnya tersenyum namun air mata semakin banyak runtuh berguling melewati kelopak matanya yang ditumbuhi bulu-bulu mata hitam dan lentik.
***
SEBELAS
MENJELANG tengah hari hampir seluruh kursi di Ruang Seribu Kehormatan telah terisi. Pintu masuk utama pada dinding berwarna merah yang terbuat dari dinding batu bergeser menutup. Walau ruangan itu dihadiri ratusan orang namun udara di dalamnya terasa sejuk. Para tamu sebelumnya telah dipersilakan meneguk minuman pelepas dahaga dan mencicipi hidangan lezat. Namun tidak semuanya mau minum dan menyantap makanan yang dihidangkan. Seperti yang dipesankan Luhrembulan Wiropun tidak menyentuh minuman dan hidangan yang disuguhkan walau beberapa gadis cantik berulang kali mempersilakannya setengah memaksa. Luhrembulan sudah mengetahui bahwa semua makanan dan minuman yang disuguhkan itu mengandung zat tertentu yang bisa membuat seseorang menjadi lamban pikiran serta tindakannya.
Sewaktu Pendekar 212 masuk sambil mendukung sosok Lawungu di bahunya para pengawal tidak ada yang mencegah. Demikian juga ketika sebelumnya Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu muncul dengan memandu sosok Luhmundinglaya yang tengah sekarat! Agaknya Hantu Muka Dua telah memberi perintah pada semua anak buahnya agar mengizinkan masuk setiap tamu yang datang sekalipun mereka adalah orang-orang tidak sehaluan atau penantang kekuasaan Istana Kebahagiaan ataupun mereka yang muncul secara aneh. Dibalik semua ini tentu ada apa-apanya, pikir murid Sinto Gendeng.
Di kiri kanan mimbar, di hadapan dinding ruangan berwarna hitam kelihatan duduk para tokoh yang jelas diketahui adalah para pendukung atau kaki tangan Hantu Muka Dua. Di antara mereka tampak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Lalu Hantu Bara Kaliatus yang duduk berdampingan dengan Sepasang Gadis Bahagia yang merupakan dua cucu kembar Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Lalu sepasang kakek nenek yang dikenal dengan julukan Sepasang Hantu Bercinta yakni kakek bernama Lajahilio dan nenek bernama Luhjahilio. Sampai saat itu di keningnya masih melekat potongan tangan kanannya yang ditempelkan Hantu Selaksa Kentut. Tampang si nenek satu ini kelihatan bertambah angker karena mata kirinya hanya merupakan satu rongga besar. Mata yang cuma satu ini bergerak kian kemari mencari musuh besar yang telah membuat dirinya sengsara begitu rupa yakni Luhcinta dan Hantu Selaksa Angin.
Di dekat Sepasang Hantu Bercinta ini duduk Lamanyala. Tubuh sebelah kanan geroak besar, usus menjela dan kepalanya kelihatan gepeng rengkah akibat hukuman yang dijatuhkan Hantu Muka Dua yaitu kepalanya ditindih dengan guci seberat dua ratus kati.
Dari rengkahan kepala itu masih kelihatan meleleh darah kental. Kakek satu ini berulang kali memandang geram ke arah Hantu Langit Terjungkir yang duduk di barisan kursi putih. Karena Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayulah yang membuat dirinya rusak mengerikan seperti itu. Apa lagi kemudian ditambah dengan hantaman-hantaman yang pernah diterimanya dari Luhpingitan alias Hantu Selaksa Kentut. Pada deretan kursi hitam itu duduk pula seorang kakek berkepala botak. Kulit tubuhnya sampai ke kepala kelihatan gelap hangus sedang bibirnya membiru pertanda ada racun mengindap dalam aliran darahnya.
Kakek ini buntung tangan kanannya. Sikapnya tenang-tenang saja mengisap sebatang pipa terbuat dari emas. Tapi begitu sepasang matanya melihat tampang Pendekar 212 Wiro Sableng, tenggorokannya keluarkan suara menggembor. Kakek ini bukan lain adalah Hantu Berpipa Emas yang pernah diperintahkan Hantu Muka Dua untuk merampas Sendok Pemasung Nasib dari tangan Hantu Selaksa Angin. Tapi gagal, malah ketika Wiro Sableng menolong si nenek, Hantu Berpipa Emas mengalami malapetaka besar yakni terpaksa kehilangan tangan kanannya, amblas buntung dimakan Kapak Maut Naga Geni 212! Kini sebagian racun kapak itu masih mendekam di dalam dirinya. Kakek ini memang luar biasa, orang lain tubuhnya pasti sudah gosong bahkan menemui ajal didera racun kapak sakti itu.
Satu mahluk angker masih terdapat dalam kelompok para tamu yang duduk di barisan kursi hitam. Mahluk ini dikenal dengan sebuatan Sang Junjungan. Ujud asalnya adalah seekor kelelawar yang kemudian bisa berubah menjadi mahluk bermuka tengkorak berbadan jerangkong, memiliki sepasang mata yang bisa menyemburkan api. Sang Junjungan diketahui adalah guru dari Hantu Santet Laknat yakni nenek sakti jahat yang kemudian menjelma ke sosok aslinya seorang dara cantik bernama Luhrembulan berhati baik yaitu setelah melangsungkan pernikahan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu sudah sejak tadi matanya mencari-cari, namun tetap saja dia tidak melihat muridnya Hantu Santet Laknat yang selama ini dikenalnya punya ujud seorang nenek berwajah buruk seperti seekor gagak hitam! Tentu saja dia tidak bisa menemukan Hantu Santet Laknat di ruangan itu karena sang nenek telah berubah ujud menjadi Luhrembulan, seorang gadis cantik luar biasa.
Yang mengherankan adalah bahwa gadis jelita berpakaian ungu bernama Luhjelita ternyata ikut duduk di barisan kursi hitam. Sikapnya tenang-tenang saja malah sesekali menebar senyum genit pada orang-orang yang memperhatikannya. Beberapa orang yang sudah tahu riwayat gadis ini tidak merasa aneh karena sejak lama Luhjelita dikenal sebagai kekasih Hantu Muka Dua, pandai merayu dan menggoda kaum lelaki.
Satu-satunya kursi yang masih kosong di barisan kursi hitam di depan mimbar adalah kursi yang terletak di sebelah kiri mahluk api bernama Lamanyala. Pada deretan kursi warna merah yakni berhadaphadapan dengan deretan kursi hitam tampak duduk gadis cantik Luhrembulan, Pelawak Sinting asli dan kembarannya Pelawak Sinting palsu. Lalu tak terduga di situ duduk pula Peri Angsa Putih didampingi Peri Bunda dan Peri Sesepuh.
Karena berada di kelompok kursi yang sama Peri Angsa Putih lebih bisa melihat Luhrembulan dengan jelas. Diam-diam dia harus mengakui betapa halusnya kulit gadis itu dan betapa cantiknya wajahnya. Tidak heran kalau Pendekar 212 terpikat dan menikahinya.
Peri Bunda dan Peri Sesepuh yang memperhatikan Peri Angsa Putih sejak tadi memandang secara aneh pada Luhrembulan, salah seorang dari mereka ajukan pertanyaan. "Gadis cantik yang kau pandangi itu. Kau kenal siapa dirinya?"
"Dia yang bernama Luhrembulan. Istri pemuda asing Wiro Sableng!"
Peri Sesepuh dan Peri Bunda sama terkejut. "Dari mana kau tahu dia adalah istri Wiro?" tanya Peri Sesepuh.
"Dari mana aku tahu tak usah kau tanyakan!" jawab Peri Angsa Putih kesal.
"Kau kelihatan jengkel. Apa yang ada dalam benakmu. Apa yang akan kau lakukan? Kau telah kedahuluan. Tak mungkin lagi memiliki pemuda itu!"
"Memang tidak, tapi gadis itu juga tak akan memilikinya!"
jawab Peri Angsa Putih sambil meraba Batu Pembalik Waktu yang tersembunyi di balik pakaiannya.
"Memangnya apa yang hendak kau lakukan?" tanya Peri Sesepuh.
"Lihat saja nanti!"
"Wahai, jangan-jangan kau hendak membunuh pemuda itu!" ujar Peri Bunda.
"Sudahlah, jangan banyak bertanya lagi. Lihat saja nanti!" kata Peri Angsa Putih lalu palingkan kepalanya ke jurusan lain.
Berpindah ke barisan kursi biru yang berada di sisi kiri barisan kursi hitam, di sini duduk Latampi, beberapa orang tokoh tak dikenal, lalu Naga Kuning dan Betina Bercula. Terakhir sekali juga ada Luhrinjani, istri Lakasipo yang telah meninggal dan bisa muncul dalam ujud setengah manusia setengah roh. Latampi beberapa kali mencoba melirik ke arah Luhcinta. Gadis itu dilihatnya duduk memandang lurus-lurus kemuka. Sementara itu di barisan kursi kuning duduk Luhtinti dan Luhkinki yang menutupi kepalanya dengan kerudung lebar. Di sini juga tampak duduk Luhsantini bekas istri Hantu Bara Kaliatus. Lalu seorang dara cantikyang keningnya ditempeli bunga tanjung kuning dan bukan lain adalah Luhcinta, duduk pula di barisan kursi kuning ini.
Pada deretan kursi hijau terlihat Hantu Lembah Laekatakhijau dan Hantu Penjunjung Roh, Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu lalu tokoh beken Hantu Tangan Empat beserta belasan tamu lainnya.
Hantu Penjunjung Roh menyikut lengan Hantu Laekatakhijau lalu berbisik. "Lihat gambar singa kepala dua di dinding hitam. Perhatikan empat hiasan singa besar berkepala duj yang tergantung di langit-langit ruangan. Bukankah sama dengan gagang pisau yang menancap di dada nenek bernama Luhmundinglaya itu?"
Sepasang mata Hantu Laekatakhijau membesar lalu nenek ini anggukkan kepala. "Berarti Hantu Muka Dua yang punya pekerjaan. Dia yang inginkan kematian nenek di atas tandu itu! Mengapa?"
"Dugaanku, mungkin dia tidak mau si nenek mengungkapkan rahasia yang diketahuinya. Siapa tahu rahasia itu ada sangkut paut dengan dirinya pula!"
"Mungkin. Tapi mana benarnya kita akan segera tahu! Aku akan memberitahukan Luhmundinglaya bahwa tiga orang yang dicarinya berada di tempat ini!" kata Hantu Penjunjung Roh.
Terakhir sekali deretan kursi putih. Diantara tamu yang duduk di tempat ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, dan Lakasipo. Lalu di sebelah belakang tidurtidur ayam duduk si gemuk Hantu Raja Obat. Di sebelahnya duduk Si Setan Ngompol yang selalu pegangi bagian bawah perutnya menahan kencing. Ternyata Hantu Langit Terjungkir dan istrinya Hantu Selaksa Kentut juga duduk di deretan kursi putih, terpisah agak jauh dari Wiro. si kakek duduk dengan tangan di atas kursi sementara dua kaki menggantung di udara. Ini satu pertanda bahwa kakek ini belum mendapat kesembuhan.
"Semua tamu, lawan dan kawan dikumpulkan di ruangan tertutup begini rupa. Kemana mata memandang hanya tembok tebal yang menghadang. Wahai istriku, apakah kau tidak merasa curiga akan terjadi sesuatu di tempat ini?" berbisik Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu pada istrinya Hantu Selaksa Angin alias Luhpingitan.
"Aku memang sedang menduga-duga," balas berbisik Hantu Selaksa Angin. "Aku ingat akan ucapan guruku Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud. Katanya akan terjadi satu peristiwa besar di Negeri Latanahsilam ini. Selain itu aku harus mencari Tuhan atau Gusti Allah. Tapi yang jadi pokok pikiranku saat ini adalah Sendok Pemasung Nasib itu. Sebelumnya bukankah Luhtinti diurus untuk mendapatkan benda itu melalui gadis bernama Luhkinki di Istana Kebahagiaan. Kita menunggunya sampai sore kemarin, dia tidak muncul.
Kini aku tidak melihat dia di antara para tamu. Tapi aku curiga pada dua perempuan yang duduk berkerudung hitam di barisan kursi kuning di samping kiri kita. Salah satu dari mereka kurasa adalah Luhtinti."
"Kalau begitu biar aku melesat ke tempat perempuan itu," kata Hantu Langit Terjungkir.
Namun sebelum kakek ini bergerak tiba-tiba suara genta dalam Istana Kebahagiaan berhenti. Bersamaan dengan itu mengumandang suara tiupan terompet keras dan panjang. Lalu seorang berjubah hitam yang duduk di barisan kursi hitam sebelah depan ujung kanan bangkit berdiri. Dia melangkah ke mimbar. Setelah menyapu seluruh hadirin dengan sepasang matanya yang berwarna kelabu, orang ini membuka mulut. Suaranya keras lantang.
"Atas nama Raja Diraja Istana Kebahagiaan, Hantu Muka Dua yang merupakan Hantu Segala Hantu Negeri Latanahsilam. kami mengucapkan selamat datang pada semua yang hadir. Pintu merah ruangan Seribu Kehormatan sudah ditutup, berarti semua undangan telah berada di tempat ini. Namun kami merasa, kami melihat dan kami menyadari bahwa ada dua tamu penting yang belum hadir. Pertama, kerabat tokoh terkenal bernama Lawungu…."
Baru saja orang berjubah itu menyebut nama Lawungu tiba-tiba dari barisan kursi putih melayang sesosok tubuh berjubah ungu.
"Blukkk!"
Sosok ini jatuh dan terduduk tempat di kursi kosong di sebelah Lamanyala yang berada di barisan kursi warna hitam. Sosok berjubah ungu ini bukan lain adalah Lawungu, yang terduduk dalam keadaan kaku, mata mendelik dan mulut terbuka! Semua orang yang ada di Ruang Seribu Kehormatan menjadi gempar dan semua mata ditujukan pada Pendekar 212 yang barusan melemparkan tubuh Lawungu itu.
Di tempat duduknya Wiro sendiri tenang-tenang saja. Beberapa orang geleng-gelengkan kepala melihat kejadian itu. Diantaranya tiga orang Peri yang duduk saling berdampingan. Lalu banyak pula yang memperlihatkan tampang marah, antara lain Hantu Bara Kaliatus, Lamanyala dan Hantu Sejuta Tanya sejuta Jawab. Tapi ada juga yang tersenyum-senyum malah tertawa mengekeh melihat apa yang dilakukan pemuda asing itu. Mereka antaranya adalah Naga Kuning, Hantu Langit Terjungkir, Hantu Raja Obat dan Hantu Jatilandak. Di barisan kursi merah Si Pelawak Sinting asli kembangkan payungnya ke udara lalu goyangkan kerincingannya.
Di tempat duduknya Luhjelita melayangkan senyum ke arah Pendekar 212. Dia teringat peristiwa di gua batu pualam. Ketika dia gagal memindahkan ke telapak tangannya tiga buah tahi lalat yang ada di bawa pusar pemuda itu. Sementara itu banyak orang yang mengambil sikap berdiam diri tapi sebenarnya merasa tegang. Ketika melihat Peri Angsa Putih menggelenggelengkan kepalanya Wiro tersenyum malah enak saja dia lambaikan tangannya ke arah Peri itu. Membuat Peri Sesepuh dan Peri Bunda jadi terheran-heran dan memandang pada Peri Angsa Putih dengan air muka bertanya-tanya.
Orang di atas mimbar angkat tangan kirinya. Suara berisik segera sirap. Semula banyak para tamu mengira orang yang mewakili Hantu Muka Dua ini akan marah besar. Ternyata setelah memandang ke arah sosok Lawungu dan melirik pada Pendekar 212, orang ini berkata.
"Ternyata kerabat Lawungu telah berada di antara kita. Hanya sayang yang datang cuma tubuh kasar. Rohnya mungkin singgah di tempat lain. Istana Kebahagiaan dengan ini menyatakan duka cita. Dan kepada pemuda asing berpakaian putih di barisan kursi putih, atas nama Sang Junjungan Raja Diraja Hantu Muka Dua , Istana Kebahagiaan mengucapkan terima kasih karena telah bersusah payah membawa jenazah Lawungu ke tempat ini…."
"Butt prettt!"
Tiba-tiba terdengar suara kentut di barisan kursi putih. Naga Kuning dan Betina Bercula cepat tekap mulutnya menahan tawa. Setan Ngompol pegang bagian bawah perutnya yang langsung basah. Kembali Ruang Seribu Kehormatan menjadi berisik. Di atas mimbar orang berjubah kelihatan merah padam wajahnya. Setelah menunggu sesaat dia kembali membuka mulut.
"Rupanya ada tamu yang masuk angin! Dan agak kurang ajar!" Tak usah khawatir! Istana Kebahagiaan, menyediakan besi panas untuk menyumpal pantatnya!"
Hantu Selaksa Angin tertawa panjang mendengar kata-kata orang di atas mimbar itu. Sebaliknya Hantu Langit Terjungkir melesat satu tombak ke udara dan berseru lantang. "Siapa saja berani mengganggu istriku, kepalanya akan kujadikan ganjalan pantatku seumur-umur!"
Lamanyala dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab serta merta bangkit dari kursi mafeing-masing, siap hendak mendatangi Hantu Langit Terjungkir dan Hantu Selaksa Angin. Tapi orang di atas mimbar mencegah dengan isyarat tangan kiri. "Ingat petunjuk Sang Junjungan! Kita harus menghormati semua tamu apapun yang terjadi dan mereka lakukan!"
Dengan geram Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Lamanyala kembali ke tempat duduknya. Orang di atas mimbar lantas membuka mulutnya kembali.
"Tamu penting ke dua yang tidak kelihatan hadir di tempat ini adalah seorang nenek sakti, kerabat yang dikenal dengan panggilan Hantu Santet Laknat! Mungkin dia datang dengan jalan menyamar dan sebenarnya sudah hadir di ruangan ini. Jika benar diharapkan kesudiannya untuk bangkit memperlihatkan diri!"
Hampir semua orang kecuali Peri Angsa Putih melayangkan padangan ke seantero ruangan. Tak ada yang bangkit berdiri memperkenalkan diri sebagai Hantu Santet Laknat. Namun diam-diam Peri Angsa Putih memperhatikan bagaimana dua orang saat itu saling berpandangan dan sama menyeruakkan senyum di bibir masing-masing. Kedua orang itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan gadis cantik berpakaian putih bernama Luhrembulan. Peri Angsa Putih coba memeras otaknya berpikir-pikir apa arti senyuman sepasang suami istri itu.
Setelah ditunggu sekian lama tidak ada yang bangkit memperkenalkan diri sebagai Hantu Santet Laknat, orang di atas mimbar berkata.
"Sayang sekali, kerabat Hantu Santet Laknat rupanya memang tidak ada di tempat ini! Sekarang izinkan Istana Kebahagiaan memperlihatkan bahwa di sini hukum bisa berubah menjadi pengampunan. Tapi ada kalanya hukum bisa berubah menjadi kematian. Dan kematian di Istana Kebahagiaan semudah dan secepat membalikkan tangan!" Orang di atas mimbar bertepuk tiga kali.
***
DUABELAS
DARI sebuah pintu di belakang mimbar pada dinding hitam, muncul dua orang berpakaian hitam menggotong sesosok tubuh lelaki yang hanya mengenakan sehelai celana pendek. Punggungnya hancur bersimbah darah. Di belakang dua penggotong melangkah dua orang berpakaian hitam membawa cambuk besar. Sosok yang digotong dilemparkan ke lantai. Orang ini tidak bergerak tidak bersuara. Di balik kerudung wajah Luhkinki mendadak sontak berubah. Di sebelahnya Luhtinti cepat memegang lengan gadis ini.
"Lakembangan…. Itu Lakembangan…" bisik Luhkinki.
"Kuatkan hatimu Luhkinki. Kita sudah menduga hal ini akan terjadi…."
"Tapi aku tak menduga akan sekejam ini. Aku harus menolong Lakembangan. Aku tak perduli sekalipun ikut mati bersamanya!"
"Jangan tolol!" sentak Luhtinti sambil memegang lengan sahabatnya itu lebih erat.
Di atas mimbar orang berjubah hitam berucap lantang. "Seorang manusia tolol bernama Lakembangan telah berlaku keji! Berbuat khianat pada Sang Junjungan Raja Diraja Segala Hantu Negeri Latanahsilam. Untuk itu hukuman cambuk sampai mati sudah diputuskan atas dirinya! Tapi nyawanya masih bisa diselamatkan jika kekasihnya, seorang gadis bernama Luhkinki yang telah melarikan diri dari Ruang Obor Tunggal mau menyerahkan diri dan berlutut di tengah ruangan. Memohon ampun pada Sang Junjungan Hantu Muka Dua!"
Luhkinki merasakan tubuhnya bergetar. Dia hendak bangkit berdiri tapi lagi-lagi dicegah oleh Luhtinti.
Setelah menunggu sesaat orang berjubah hitam kembali berseru.
"Tak ada yang muncul! Tak ada yang minta ampun! Berarti kematian menjadi bagian Lakembangan! Kita semua akan menyaksikan! Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang berani berkhianat terhadap Sang Junjungan Hantu Muka Dua!"
Habis berkata begitu orang ini jentikkan jari-jari tangannya memberi isyarat. Dua orang yang memegang cambuk langsung angkat tangan masing-masing. Dua cambuk berkelebat menghantam ke arah punggung Lakembangan yang sudah tidak berkutik itu. Tiba-tiba dua larik cahaya merah menderu dari barisan kursi putih. Dua orang yang memegang cambuk menjerit dan terpental, terbanting di lantai, meng geliat-geliat. Tangan masing-masing kelihatan melepuh merah seperti bekas dipanggang!
Suasana di Ruang Seribu Kehormatan serta merta menjadi geger! Di kursinya Si Setan Ngompol langsung terpancar kencingnya!
Begitu kegegeran sirna suasana di Ruang Seribu Kehormatan itu berubah menjadi sesunyi di pekuburan. Di kelompok barisan kursi hitam, orang berjubah hitam berpaling ke arah deretan kursi hijau. Di sana dilihatnya seorang nenek yang kepalanya ada buntalan asap merah berbentuk kerucut terbalik, memandang ke arahnya dengan sepasang mata yang memiliki bola mata juga berbentuk kerucut merah dan bergerak mundur maju.
"Hantu Penjunjung Roh! Jadi kau orangnya yang barusan menghalangi pelaksanaan hukuman! Sungguh kau seorang tamu tak tahu aturan, tidak tahu menerima budi tuan rumah! Berlututlah minta ampun!"
Hantu Penjunjung Roh menyeringai lalu keluarkan suara tawa melengking. "Aku tak tahu siapa kau adanya. Apa jabatanmu di Istana Kebahagiaan ini! Dengar baik-baik! Aku dan kawan-kawan datang ke tempat ini bukan untuk melihat sajian biadab ini! Dan kau mahluk tikus kerdil tidak layak bicara denganku! Siapa sudi berlutut di hadapanmu! Mana penguasa Istana Kebahagiaan. Aku hanya mau bicara dengan Hantu Muka Dua! Panggil dia kesini Mengapa masih belum muncul! Apa belum selesai bersolek?!"
Suasana menjadi tambah gempar begitu semua orang mendengar ucapan Hantu Penjunjung Roh yang keras lantang dan berani kurang ajar itu! Di tengah kegemparan itu tiba-tiba Hantu Selaksa Angin memanjat naik ke atas kursi putih. Dengan suara lantang dia berkata. "Kerabatku Hantu Penjunjung Roh, jika kau tidak sudi berlutut biar aku yang mewakilkan!" Lalu enak saja nenek ini memutar tubuhnya, pantatnya disonggengkan ke arah mimbar dan butt preett Hantu Selaksa Angin pancarkan kentutnya. Kembali kegemparan melanda Ruang Seribu Kehormatan sementara Hantu Penjunjung Roh, Hantu
Selaksa Angin dan Hantu Lembah Laekatakhijau tertawa cekikikan. Hantu Langit Terjungkir terkekeh-kekeh sedang Setan Ngompol kuyup terkencing-kencing di kursinya!
Semua orang yang duduk di barisan kursi hitam kelihatan menggeram marah dan merah padam muka masing-masing. Namun mereka masih bisa mengendalikan diri. Tak ada yang bergerak. Mereka sudah bisa mengukur siapa adanya tiga nenek yang ada di tempat itu. Apalagi ada pesan dari Hantu Muka Dua agar tidak melakukan sesuatu terhadap apapun yang diperbuat para tamu. Akan tetapi lain halnya dengan orang di atas mimbar. Amarah yang meledak membuat dia lupa diri dan bertindak menurut kemauannya sendiri. "Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Selaksa Angin!!
Sebagai tamu kekurang ajaran kalian sudah lewat batas! Terpaksa aku mengusir roh kalian keluar dari tempat ini. Tubuh kasar kalian untuk sementara boleh tetap di sini!" Tangan kiri kanan orang di atas mimbar bergerak laksana kilat, dua larik sinar hitam menderu ke arah Hantu Penjunjung Roh dan Hantu Selaksa Angin!
Hantu Penjunjung Roh umbar tawa panjang. Dua matanya dikedipkan. Dua larik sinar hitam menderu dahsyat dari rongga mata si nenek. Orang di atas mimbar menjerit keras. Tubuhnya mencelat mental, terbanting ke dinding hitam lalu menggeletak di lantai dengan kepala hancur dan dada bolong!
Di atas kursi Hantu Selaksa Angin tertawa kecewa.
Sambil usap-usap tangannya dia berkata. "Kerabatku Hantu Penjunjung Roh, kau tidak memberi kesempatan padaku untuk menghajar tikus kerdil itu! Hik…hik… hik!"
Selagi semua orang terkesiap menyaksikan apa yang terjadi, Luhkinki membuat lompatan kilat menyambar tubuh kekasihnya yang tergeletak di lantai. Dua orang yang tadi menggotong Lakembangan coba menghalangi tapi entah dari mana datangnya dua gelombang angin menghantam ke dua orang itu hingga terpental dan muntahkan darah segar.
***
SEMENTARA itu di balik dinding hitam, tepat pada salah satu mata gambar singa berkepala dua yang ternyata adalah sebuah lobang yang tak terlihat dari depan, Hantu Muka Dua turunkan kaca aneh yang ditempelkannya di mata gambar kepala singa. Sejak tadi kaca itu diarahkannya pada Peri Angsa Putih.
Hantu Muka Dua menyeringai. "Jelas sudah! Apa yang dikatakan Lamanyala tidak dusta! Aku lihat sendiri melalui kaca yang punya daya tembus hebat ini! Batu Sakti Pembalik Waktu memang ada pada Peri Angsa Putih. Disembunyikan di balik dada pakaiannya,.
"Hemmm…. Rasanya aku tak perlu beriama-iama menjamu para tamu. Batu sakti itu harus segera aku dapatkan. Setelah itu…." Hantu Muka Dua menyeringai.
Tangan kirinya dipakai mengusap dagu wajahnya sebelah depan. Saat itu pintu ruangan rahasia di belakang dinding hitam diketuk orang dari luar. Hantu Muka Dua segera membukanya. Seorang pengawal tingkat dua berseragam biru menjura lalu melaporkan semua apa yang terjadi di Ruang Seribu Kehormatan.
"Kembali ke tempatmu! Semua yang terjadi tak perlu dirisaukan! Singkirkan semua korban dari Ruangan Seribu Kehormatan. Aku akan segera muncul! Siapkan tanda-tanda kemunculanku di Ruang Seribu Kehormatan!"
Sesaat setelah pengawal berjubah biru keiuar meninggalkan ruangan, Hantu Muka Dua menekan dinding di sebelah kirinya. Dinding itu bergerak, berputar membalik. Kelihatanlah satu ruangan aneh dipenuhi berbagai alat rahasia, di dalam ruangan itu ada empat orang berseragam merah darah.
Keempatnya langsung menjura begitu melihat Hantu Muka Dua.
"Aku akan segera keluar menyambut para tetamu di Ruang Seribu Kehormatan. Pada saatnya aku akan menginjak alat rahasia di kaki mimbar. Begitu kalian melihat pelampung kayu di sudut sana bergerak naik, itu saatnya kalian harus menarik turun empat tongkat besi pengunci alat penyembur Bubuk Penjungkir Syaraf. Bersamaan dengan itu kalian harus cepat menginjak empat alat rahasia di lantai di bawah empat tongkat besi. Seluruh lantai dan dinding berwarna hitam akan bergerak turun hingga semua yang ada di tempat itu termasuk kalian yang ada di sini akan selamat dari racun maut Bubuk Penjungkir Syaraf!"
"Semua perintah Sang Junjungan sudah kami ingat dan akan kami kerjakan begitu menerima isyarat!"
Empat orang berjubah merah dalam ruangan alat rahasia itu berucap berbarengan. Hantu Muka Dua menyeringai. Setelah memegang bahu salah seorang petugas itu, dia mengambil sebuah jubah merah yang bagian dadanya ada gambar singa berkepala dua. Sambil mengenakan jubah itu dia masuk ke dalam sebuah ruangan dari mana dia mengambil sebuah benda terbuat dari emas yang demikian tipisnya hingga bisa digulung. Benda ini dimasukkannya ke balik jubahnya lalu dia melangkah menuju Ruang Seribu Kehormatan.
***
KETIKA Luhkinki melompat menyambar tubuh Lakembangan, Luhtinti tak bisa berbuat lain dan cepat membantu. Kesempatan ini dipergunakan pula oleh Pendekar 212. Dia bergerak mendekati Luhtinti dan berbisik menanyakan Sendok Pemasung Nasib.
"Jangan khawatir, ada padaku. Segera akan kuberikan padamu! Sebelumnya aku pergi ke danau. Tapi Kakek Hantu Langit Terjungkir tak ada di sana! Rupanya dia sudah duluan ke sini bersama istrinya," kata Luhtinti pula.
"Berikan sendok itu padaku sekarang juga! Kita tidak punya waktu lama! Aku punya firasat akan terjadi apa-apa di tempat ini!"
Dari balik pakaiannya Luhtinti mengambil sebuah sendok emas lalu dengan cepat diberikannya pada Wiro. Wiro kembali ke deretan kursi putih tempatnya duduk, langsung menemui Hantu Langit Terjungkir.
"Kek, Sendok Pemasung Nasib ada padaku!" kata Wiro begitu sampai di hadapan Hantu Langit Terjungkir.
Sosok Hantu Langit Terjungkir mengapung setinggi satu tombak ke udara saking kagetnya tapi sekaligus girang luar biasa! Hantu Selaksa Angin pancarkan kentutnya butt preett! Begitu melayang turun Hantu Langit Terjungkir yang sudah melihat sendok emas sakti dalam genggaman Wiro langsung menyambar. Tapi setelah sendok ada dalam genggamannya dia jadi bingung sendiri.
"Celaka! Bagaimana aku harus mempergunakan sendok sakti ini untuk menyembuhkan diri dan mengembalikan kesaktian ku?!"
"Aku juga tidak tahu!" Hantu Selaksa Angin berucap setengah menangis. Sementara itu tiba-tiba genta menggema di Ruang Seribu Kehormatan. Seseorang berseru memberitahu bahwa Hantu Muka Dua Penguasa Istana Kebahagiaan akan segera muncul di Ruang Seribu Kehormatan. Jika genta bergema sampai tiga kali di susul dengan tiupan terompet sebanyak tiga kali pula itulah satu pertanda bahwa Sang Junjungan Raja Diraja Negeri Latanahsilam Hantu Muka Dua akan segera memasuki ruangan.
"Wiro! Tanyakan pada Gusti Allahmu bagaimana suamiku harus mempergunakan sendok ini untuk mengembalikan semua kesaktiannya!"
Wiro garuk kepala. Dia jadi ikutan bingung. Sendok itu diambilnya dari tangan si kakek. Hendak ditusukkannya ke pusar Hantu Langit Terjungkir dia takut kesalahan. Syukur kalau si kakek sembuh, kalau pusarnya malah jebol bisa celaka!
"Wiro, lakukan sesuatu!" seru Hantu Langit Terjungkir, dia hendak mengambil sendok itu kembali dari tangan Wiro.
"Kek, aku tak tahu bagaimana caranya. Tapi…. Kau, kau bisa menelan sendok ini?! Mungkin…."
"Jangankan sendok, pohonpun akan kutelan asal aku bisa sembuh!" kata Hantu Langit Terjungkir pula. Lalu dia sambar sendok emas dari tangan Wiro. Saat itu genta berbunyi untuk ke dua kalinya. Hantu Langit Terjungkir tanpa ragu-ragu langsung saja menelan sendok emas. Tapi karena kepalanya ke bawah kaki ke atas sulit baginya untuk menelan sendok sakti itu. Terpaksa Wiro dan Hantu Selaksa Angin membalikkan tubuh si kakek.
"Telan Kek, cepat!" kata Wiro.
Hantu Langit Terjungkir menelan tapi hekk! Dia tercekik. Sendok meyangsrang di ujung tenggorokannya. Pada saat yang sama dua bayangan berkelebat. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Hantu Berpipa Emas tahu-tahu sudah berada di tempat itu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang otaknya berada di atas kepala rupanya telah melihat benda apa yang barusan dimasukkan Hantu Langit Terjungkir ke dalam mulutnya. Dia membentak.
"Keluarkan sendok, emas itu! Muntahkan cepat! Serahkan padaku atau kalian semua di sini bakal menemui kematian kejap ini juga!"
"Jika kau dan kawanmu si buntung ini memang mau mencari mati berbarengan dengan kami, memang tak ada salahnya. Hik… hik!" Satu suara berucap di belakang Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Ketika kakek ini berpaling dia lihat beberapa orang bergerak cepat dan tahu-tahu dia bersama Hantu Berpipa Emas sudah berada dalam kurungan beberapa orang, yang pertama adalah Hantu Penjunjung Roh, lalu Hantu Kaki Batu alias Lakasipo, Tringgiling Liang Batu dan Latampi.
"Kalian memilih mati bersama memang tak ada salahnya!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menjawab tantangan. Sambil menyeringai dia angkat tangannya memberi isyarat ke arah barisan kursi hitam. Dari tempat ini beberapa orang segera berkelebat, membuat kurungan di sebelah luar. Mereka adalah Hantu Bara Kaliatus, Sepasang Hantu Bercinta dan Lamanyala. Keempat orang ini sama-sama angkat tangan, siap untuk digebukkan pada orang-orang yang |mengurung Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan Hantu Berpipa Emas.
"Wahai! Tidak ada kematian senikmat mati bersama! Karena itu biar aku menyertai kalian para sahabat!" Satu suara bergema di tempat itu. Lalu satu bayangan berkelebat dan mengapung di udara. Ternyata orangnya adalah Hantu Tangan Empat. Saat itu sosoknya telah berubah menjadi mahluk berambut merah. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah.
Dua matanya menjorok keluar rongga. Hidungnya berubah panjang dan bengkok. Empat tangannya menggantung di udara siap menghantam ke arah para pengurung di sebelah belakang. Perlahan-lahan Latampi, Lakasipo, Hantu Penjunjung Roh dan Tringgiling Liang Batu sama-sama angkat tangan kanan siap pula lancarkan serangan maut!
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab memandang berkeliling, mengukur-ukur membanding kekuatan. Saat itulah pandangannya membentur sosok dara jelita berpakaian serba putih yang entah kapan bergerak tapi tahu-tahu telah berada di depan Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajah cantik satu pemandangan bagus untuk dilihat. Tapi entah mengapa hati Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab jadi bergetar ketika beradu pandang dengan gadis cantik Luhrembulan itu. Dia mengangkat tangan dan berseru pada kawan-kawannya.
"Semua kembali ke tempat! Ingat perintah Sang Junjungan Hantu Muka Dua!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berseru lalu mendahului kembali ke kursinya.
Hantu Langit Terjungkir masih tercekik-cekik berusaha menelan sendok dalam mulutnya. Wiro jadi tak sabaran dan juga kasihan meihat kakek itu mendelikdelik tak karuan. Dia tusukkan dua jari tangan kanannya, menotok urat besar di pangkal leher si kakek.
"Hekkk!"
Hantu Langit Terjungkir tercekik keras. Tapi sendok emas lolos masuk ke dalam tenggorokannya terus meluncur ke dalam perut! Saat itu juga dari kepala si kakek kelihatan mengepul asap kuning.
Perutnya yang kempes menggembung. Dari pusarnya yang bolong keluar suara letupan-letupan aneh. Lalu ada sinar kuning menutupi pusarnya. Tubuh si kakek mendadak melesat ke udara. Jungkir balik beberapa kali. Ketika turun ke kursi ternyata dia kini mampu berdiri secara wajar, kaki ke bawah kepala ke atas.
"Aku sembuh! Aku sembuh!" teriak Hantu Langit Terjungkir. "Tubuhku ringan sekali! Aku merasa ada hawa sakti dalam diriku! Wahai betapa indahnya dunia ini dilihat kalau tidak berbalik! Hik… hik… hik!
"Tapi sendok itu masih ada dalam perutmu!" ujar istrinya, Hantu Selaksa Angin.
"Celaka!" Wajah si kakek jadi berubah.
"Jangan pikirkan sendok dalam perut. Kalau kau berak pasti keluar dan bisa kau ambil!" kata Wiro pula.
Lalu dia berbisik. "Kek, kau harus buktikan kau benarbenar sembuh. Kau benar-benar sudah memiliki kesaktianmu seperti semula…."
"Eh, apa maksudmu?" tanya Hantu Langit Terjungkir.
"Kau lihat mimbar itu?"
"Dari tadi aku sudah melihati Memangnya aku buta?" tukas si kakek.
"Kalau nanti aku beri tanda, apa kau sanggup menghancurkan mimbar itu?" tanya Wiro.
"Jangankan satu mimbar. Sepuluh mimbar kau susun akan aku buat ludas!" jawab Hantu Langit Terjungkir.
Wiro tertawa. "Kalau begitu duduklah kembali. Jangan macam orang tolol berdiri terus di atas kursi. Tunggu tanda dariku!"
Di tempatnya duduk Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berbisik geram ke telinga Hantu Berpipa Emas.
"Kurang ajar! Lasedayu menelan sendok sakti! Dia pasti sudah mendapatkan dan menguasai semua ilmu kepadaiannya kembali! Aku harus memberi tahu Sang Junjungan!"
***
TIGABELAS
SAAT itu menggema suara genta untuk ke tiga kalinya. Hantu Penjunjung Roh dekati kerabatnya Hantu Laekatakhijau.
"Tiga orang yang dicari Luhmundinglaya ada di sini! Kita harus segera memberi tahukan nenek itu! Apa yang hendak dikatakannya. Aku punya firasat keadaan tambah gawat!"
"Aku akan memanggil Luhcinta dan Latampi, kau harap segera memberi tahu Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak untuk mengusung nenek itu ke sudut dinding putih dan merah kata Hantu Laekatakhijau pula. Semua orang bergerak cepat. Sebelum terompet pertama berbunyi semua sudah berkumpul di sudut yang ditentukan sementara semua orang yang ada di tempat itu memperhatikan orang yang ada di tempat itu memperhatikan dengan perasaan heran tapi tak ada yang berani mengusik termasuk kelompok tuan rumah di barisan kursi hitam.
"Luhmundinglaya!" kata Hantu Penjunjung Roh sambil letakkan tangan kanannya ke dada Luhmundinglaya untuk mengalirkan tenaga dalamnya memberi kekuatan pada si nenek yang sekarat. "Aku tak tahu kau pingsan atau sekarat! Aku minta kau jangan mati dulu! Orang yang kau cari semua ada di sini! Luhcinta! Aku Hantu Penjunjung Roh dan kerabatku Hantu Laekatakhijau! Juga Latampi alias Si Penolong Budiman!"
Entah suara ucapan Hantu Penjunjung Roh, entah kekuatan tenaga dalam yang dialirkan ke tubuhnya, tiba-tiba nenek muka tengkorak di atas tandu bergerak duduk! Matanya yang selama ini terpejam terbuka nyalang mengerikan, memandang seputar orangorang yang mengelilinginya.
"Wahai, dimana aku ini. Masih di dunia atau sudah di alam roh…" si nenek buka mulutnya, bicara seperti orang setengah mengigau. "Maha Besar Yang Kuasa…."
Suara si nenek berubah perlahan lalu mulutnya terkancing dan kepalanya manggut-manggut.
"Luhmundinglaya! Kita tak punya waktu banyak!
Lekas katakan rahasia apa yang kau ketahui tentang diri kami semua yang ada di sini!" Hantu Laekatakhijau bicara keras-keras ke telinga si nenek di atas tandu. Terompet pertama tiba-tiba menggema keras di seantero Ruang Seribu Kehormatan.
"Nek, lekas katakan apa yang mau kau sampaikan!"
Latampi untuk pertama kalinya ikut bicara sementara Luhcinta pegang bahu si nenek dan dengan lembut berkata. "Nenek Luhmundinglaya, harapan kami padamu sangat besar. Tolong kami semua yang ada di sini. Jika kau memang tahu rahasia kehidupan kami harap segera mengatakan. Kami telah terlalu lama sengsara dalam ketidak pastian yang meracuni perjalanan hidup kami. Yang Kuasa akan memberi kekuatan dan berkah padamu…." Sepasang mata Luhcinta mulai berkaca-kaca. Si nenek di atas tandu juga kucurkan air mata. Suaranya terbata-bata.
"Semua… semua kesalahanku! Ibu… ibu bayi yang tergantung di hutan itu… Dia… dia bukan Luhpiranti sebenarnya" Si nenek di atas tandu memandang ke arah Luhniknik lalu berkata. "Sahabatku Hantu Penjunjung Roh, perempuan malang itu bukan anak kandungmu, bukan Luhpiranti. Tapi…"
Hantu Penjunjung Roh kerenyitkan kening. Asap merah berbentuk kerucut di atas kepalanya mengepul ke atas. Yang lain-lain sama menatap pada Luhmundinglaya. Mereka semua seperti barusan mendengar sambaran petir.
"Tua bangka keparat! Kau ini bicara apa?!" bentak Hantu Penjunjung Roh. Tangannya hendak menjambak rambut si nenek di atas tandu, tapi segera dicegah oleh Hantu Lembah Laekatakhijau. "Semua orang tahu Luhpiranti adalah anak kandungku walau kemudian aku sesali seumur-umur karena kawin dengan Latampi kakaknya sendiri! Gi!a! Kau jangan berani bicara tak karuan!"
Luhcinta pejamkan matanya yang basah mendengar ucapan neneknya itu. Hatinya seperti disayat-sayat, Sebaliknya Luhmundinglaya kucurkan air mata. Lalu gelengkan kepala.
"Nek, kalau perempuan itu bukan Luhpiranti, bukan ibuku lalu…."
Luhmundinglaya angkat tangannya memberi isyarat memotong kata-kaia Luhcinta sambil geleng-gelengkan kepala. Saat itu kumandang terompet yang kedua memenuhi Ruang Seribu Kehormatan. Si nenek di atas tandu masih saja geleng-gelengkan kepala.
"Nek, bicaralah! Waktu kita tak ada lagi!" desak Luhcinta setengah meratap. Sementara Wiro telah berada pula di tempat itu bergabung dengan yang lain-lainnya.
"Perempuan itu memang ibumu wahai Luhcinta. Dia ibu kandungmu, tetapi dia bukan Luhpiranti. Bukan anak Luhniknik nenekmu ini. Bukan adik Latampi…."
"Gila! Aku mau gila mendengar kata-katamu!" sentak Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh. "Kalau perempuan gantung diri di hutan itu bukan anakku, bukan Luhpiranti lalu siapa dia?!"
"Maafkan aku Luhniknik. Aku mohon padamu dan pada semua yang ada di sini," Luhmundinglaya susut air matanya, lalu meneruskan ucapannya.""Waktu Luh piranti masih bayi dirinya kuculik, kutukar dengan bayi orang lain…."
"Jahanam! Mengapa kau lakukan itu!" teriak Luhniknik marah. Luhmasigi guru Luhcinta juga ikutikutan marah.
"Memang salahku, memang dosaku…" kata Luhmundinglaya dengan air mata semakin deras.
"Kulakukan karena aku kasihan pada bayimu. Kau sendiri tahu, waktu itu hidupmu morat marit tak karuan dengan Lasegara suamimu. Niatku tidak jahat, aku hanya ingin menyelamatkan Luhpiranti yang masih bayi. Lagi pula, entah mengapa aku sekali melihat begitu suka padanya. Daripada hidupnya tersia-sia lebih baik aku pelihara, Kaiau kuminta padamu pasti kau tidak mau menyerahkan. Lalu kucari bayi lain yang juga masih merah, kutukar…."
‘Bagaimana mungkin aku tidak tahu bayiku ditukar orang!" kata Luhniknik lalu pukul keningnya sendiri.
Tubuhnya iaiu terhuyung, hampir terhenyak dilantai kalau tidak segera dipegang oleh Luhmasigi dan Luhcinta.
"Maafkan aku Luhniknik. Aku juga mohon maaf pada semua orang yang ada di sini…"
"Kemarahan Luhniknik yang sudah sampai pada puncaknya tapi tidak terlepaskan membuat nenek satu ini merasa lemas sekujur tubuhnya Iaiu mulai kucurkan air mata. "Luhmundinglaya perempuan gila…. Kau tahu apa akibat perbuatanmu? Perempuan yang jadi ibu Luhcinta itu sampai bunuh diri karena menyangka dia benar anakku, benar-benar adik Latampi!"
"Dosaku terlalu besar. Itu sebabnya aku mencarimu, mencari Luhmasigi, Luhcinta dan Latampi. Untuk menceritakan semua kejadian itu, untuk minta maaf dan minta ampun…."
"Tidak ada yarig bisa memaafkan dan mengampunimu nenek setan!" ujar Luhniknik. Dua bola matanya yang berbentuk kerucut merah bergerak-gerak seperti menyala, "Saat ini ingin sekali aku memecahkan kepalamu..."
"Nek, kalau semua ceritamu ini benar adanya…" kata Luhcinta . "Lalu apa yang terjadi dengan Luhpiranti…."
"Ya! Kau kemanakan anakku itu?!"
"Aku lagi-lagi harus minta maaf dan minta ampunmu, Luhniknik…."
"Tua bangka kurang ajar! Hanya itu saja bisamu! minta maaf minta ampun! Lekas kau jawab pertanyaan Luhcinta! Jika benar anakku Luhpiranti kau tukar dengan bayi perempuan yang kemudian jadi ibu Luhcinta, sekarang dimana adanya Luhpiranti! Apa yang terjadi dengan dirinya!"
"Mohon ampunmu Luhniknik. Bayi anakmu itu aku pelihara dengan baik. Tapi nasibnya buruk. Ketika usianya tujuh tahun, dia meninggal dunia akibat serangan demam panas. Anak itu aku makamkan di satu tempat jauh di selatan Bukit Batu Kawin."
"Kau membunuh dua insan tidak berdosa! Anakku dan perempuan yang gantung diri itu!" teriak Luhniknik. Lalu nenek ini menangis sesenggukan.
"Aku mohon ampun, dosaku memang setinggi gunung sedalam lautan. Aku…." Suara Luhmundinglaya terputus. Di tenggorokannya terdengar suara seperti tercekik. Tubuhnya bergetar keras lalu jatuh tertelentang di atas tandu.
Luhcinta menekap mulutnya menahan ratap tangis yang seperti hendak meledakkan dadanya. Ketika akhirnya dia mengangkat kepalanya pandangannya bertemu dengan pandangan Latampi. Di lubuk hatinya saat itu muncul perasaan betapa besar dosanya selama ini karena tidak pernah mengakui lelaki itu sebagai ayahnya. Rahasia besar yang disingkapkan Luhmundinglaya memberi kenyataan bahwa Latampi bukanlah kakak kandung ibunya. Dan dia terlahir secara wajar dari hasil hubungan sepasang suami istri yang bukan merupakan kakak adik. Apa yang selama ini menghantui jalan hidup dan pikiran serta hati Luhcinta kini hilang lenyap tak berbekas.
"Ayah…" ucapan itu meluncur dari mulut Luhcinta.
"Maafkan kesalahanku selama ini…" Luhcinta tak sanggup meneruskan kata-katanya. Gadis ini menghambur masuk ke dalam pelukan Latampi.
"Anakku Luhcinta…" Latampi memeluk Luhcinta erat-erat dan menciumi keningnya berulang kali.
***
DI ATAS kursi birunya, Naga Kuning berbisik pada Betina Bercula yang kebetulan duduk duduk di sebelahnya.
"Apa yang terjadi di sebelah sana. Aku lihat Luhcinta dan Latampi saling menangis dan berpelukan. Orang-orang itu, mereka tengah bermain sandiwara atau apa!"
"Tak dapat kuduga. Saat ini aku tengah memikirkan sesuatu. Apa kau tidak merasa kita ini seperti sengaja dipindahkan duduk di tempat ini. Pasti ada yang tidak beres."
"Aku sudah merasa sejak tadi," jawab Naga Kuning pula. "Coba kau lihat kesebelah kanan. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab hanya terpisah beberapa kursi dari kita di deretan kursi hitam. Sejak dia kalah gertak tadi sebentar-sebentar dia melirik pada kita. Agaknya dia hendak melampiaskan kemarahannya pada kita. Agaknya ada suatu rencana jahat hendak dilakukannya pada kita!”
“Kita harus waspada.”
“Aku sejak tadi sudah berjaga-jaga. Kalau dia berani mencelakai kita ditempat ini dia bakal tahu rasa….”
“Memangnya kau berani melakukan apa di sarang harimau ini?” tanya Betina Bercula.
“Lihat saja nanti! Dia celakai kita. Dia akan menyesal seumur hidup!” kata Naga Kuning pula.
***
KETIKA tadi hampir terjadi bentrokan hebat dan akhirnya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan kawankawan kembali ke kursi barisan hitam, Luhrembulan tidak kembali ke kursinya di barisan merah, melainkan melangkah ke deretan kursi hitam dan berhenti di hadapan Sepasang Gadis Bahagia.
"Ada apa kau berdiri di hadapan kami?!" menghardik Luhkenanga, gadis termuda dari sepasang gadis kembar ini.
Luhkemboja sang kakak memegang tangan adiknya sambil tersenyum dia berkata lembut. "Gadis cantik, aku tidak pernah melihat dirimu sebelumnya. Kecantikanmu sungguh luar biasa, membuat kami kagum. Sehabis pertemuan ini apakah kita bisa berjumpa? Jika kau sudi kami berdua akan mengundangmu ke tempat kediaman kami."
"Aku tahu apa yang ada di dalam benakmu, wahai gadis bernama Luhkemboja!"
"Hai! Kau tahu namaku!"
"Lebih dari itu aku tahu kelainan yang ada dalam dirimu dan adikmu! Kelainan yang selama ini menebar kekejian tiada tara…."
"Kakakku, agaknya si cantik ini hendak mengadili kita. Atau hanya sekedar memberi wejangan! Hik..hik… hik!" Luhkenanga tertawa cekikikan.
"Aku tidak menyalahkan diri kalian kakak dan adik. Semua kekejian dan perbuatan mesum yang kalian lakukan terhadap sesama jenis adalah akibat perbuatan jahat orang lain yang telah mengguna-gunai kalian!"
Sepasang Gadis Bahagia terbelalak. Saat itu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab telah bangkit dari kursinya dan mendatangi. "Gadis berpakaian putih! Kau siapa! Apa yang kau bicarakan dengan dua cucuku!"
Luhrembulan tidak perdulikan teguran Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Sambil terus memandang ke arah dua gadis kembar dia berkata. "Sehabis pertemuan carilah Hantu Raja Obat. Minta obat penyembuhan padanya. Jika Dewa memberi kesembuhan pada kalian, jangan lagi berani menebar fitnah bahwa pemuda asing bernama Wiro Sableng itu telah merampas kehormatan kalian dan gadis-gadis di Negeri ini!" Habis berkata begitu Luhrembulan memutar tubuhnya dan kembali ke barisan kursi warna merah.
"Hai! Tunggu! Jika kelainan dalam diri kami memang akibat guna-guna perbuatan jahat orang harap kau memberi tahu siapa orang yang telah berbuat begitu keji terhadap kami?"
Dari tempatnya duduk di deretan kursi merah Luhrembulan hanya gelengkan kepala lalu melirik pada Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang membuat tokoh satu ini kembali merasa bergetar.
"Aneh, mengapa aku merasa begitu jerih pada gadis satu ini. Padahal wajahnya cantik luar biasa…" membatin Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tiba-tiba tokoh utama Negeri Latanahsilam ini ingat. Wajahnya langsung berubah. "Astaga Aku ingat sekarang! kejadian di tepi telaga tempo hari! Aku seperti berada di alam mimpi. Bukankah gadis ini yang tiba-tiba muncul memberi tahu bahwa dua cucuku Sepasang Gadis Bahagia mempunyai kelainan, hanya bergairah terhadap sesama jenis sebagai akibat diguna-gunai oleh seseorang. Gadis ini juga mengatakan bahwa dua cucunyalah yang telah mencuri Tongkat Bahagia Biru! Berarti, saat itu aku tidak bermimpi! Gadis ini juga yang memberi tahu kalau Hantu Muka Dua yang telah memperkosa dua cucuku! Waktu itu dia sempat menghantamku. Aku sanggup dirobohkannya dengan satu gebrakan saja…" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab merasa tengkuknya mendadak menjadi dingin. Nyalinya seperti leleh, dia tidak berani memandang ke jurusan Luhrembulan.
Sementara itu Luhjelita yang juga berada di barisan kursi hitam bersama-sama Sepasang Gadis Bahagia, sudah sejak tadi mencari kesempatan untuk mendatangi dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu. Dia marah besar terhadap keduanya karena merekalah yang menebar fitnah bahwa Wiro telah merampas kehormatan dirinya di dalam sebuah goa!
***
EMPATBELAS
SUARA terompet menggema untuk ke tiga kalinya di Ruang Seribu Kehormatan. Sesaat kemudian Hantu Muka Dua muncul dari balik sebuah pintu di dinding hitam, langsung melangkah dan naik ke mimbar. Semua orang yang ada di barisan kursi hitam bangkit berdiri dan membungkuk hormat lalu mengelu-elu sang Raja Diraja dengan tepuk tangan menggemuruh. Para tamu lainnya ada yang ikut bertepuk tangan sekedar memberi penghormatan.
Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya tinggitinggi. Setelah suara tepukan sirap dan para pengikutnya di barisan kursi hitam duduk kembali di tempat masing-masing penguasa Istana Kebahagiaan ini membuka mulut. Suaranya keras menggetarkan enam dinding ruangan pertanda dia memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
"Terima kasih…. Terima kasih untuk segala kehadiran dan penghormatan. Wahai! Semua penghormatan itu aku kembalikan pada semua tamu yang ada di sini tanpa kecuali. Aku mengucapkan selamat datang. Sebelum aku memberi tahukan maksud undangan pertemuan besar ini, izinkan aku terlebih dulu memberikan kehormatan tertinggi berupa penghargaan sebuah piagam emas pada seseorang yang selama ini telah memberikan jasa begitu besar terhadap keakraban hubungan di Negeri Latanahsilam ini. Orang yang kumaksudkan bukan lain adalah Peri Angsa Putih dari Negeri Atas Langit!"
Keadaan di Ruang Seribu Penghormatan hening sesaat lalu suara tepuk tangan menggemuruh, di tempat duduknya di barisan kursi merah Peri Angsa Putih diam-diam merasa heran. Selama ini hubungannya dengan Hantu Muka Dua penuh silang sengketa. Bahkan beberapa waktu lalu dia memusnahkan tempat kediaman Hantu Muka Dua yang terletak di bawah sebuah telaga. Mengapa kini mahluk itu memuji dan malah memberi penghormatan dan penghargaan pada dirinya?
Di atas mimbar, dari balik jubah kebesarannya Hantu Muka Dua keluarkan sebuah benda, sebuah piagam yang terbuat dari lembaran emas tipis. Dengan wajah berseri-seri depan belakang Hantu Muka Dua memandang pada Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih, dengan segala kehormatan aku selaku tuan rumah penguasa tungga! Istana Kebahagiaan meminta kesudianmu untuk menerima piagam emas ini!"
Peri Angsa Putih masih tetap duduk di tempatnya. Kemudian agak bimbang dia bergerak bangkit, hantu Muka Dua memberi tanda. Dua orang gadis cantik muncul, melangkah menuju ke mimbar. Kali ini sang Peri tak mungkin lagi menolak.
Selagi melangkah ke arah mimbar Peri Angsa Putih tiba-tiba mendengar suara mengiang di telinganya. Dia melirik ke kanan. Dilihatnya Hantu Tangan Empat bangkit berdiri dari kursinya di barisan kursi warna hijau. Dia segera tahu yang tengah menyampaikan ucapan jarak jauh itu adalah kakeknya itu.
"Cucuku, berhati-hatilah. Selama ini Hantu Muka Dua tidak pernah bersikap ramah terhadapmu, aku yakin dia mengincar sesuatu pada dirimu. Mungkin nyawamu! Buka matamu, pasang telingamu!"
Di saat yang bersamaan Pendekar 212 Wiro Sableng juga mendengar suara mengiang di telinga kirinya. "Wiro, aku tahu Peri Angsa Putih mencintaimu. Aku menaruh firasat Hantu Muka Dua tengah melakukan jebakan jahat terhadap dirinya. Bersiaplah. Lindungi dirinya sebelum terlambat…."
Pendekar 212 bangkit berdiri. Dia memandang berkeliling, mencari-cari siapa gerangan yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu. ketika pandangannya membentur Luhrembulan dilihatnya gadis itu tersenyum padanya dan anggukkan kepalanya. Agaknya perlu diingatkan, sebagai penjelmaan Hantu Santet Laknat, Luhrembulan tetap memiliki semua ilmu kesaktian yang dimiliki si nenek. Satu diantaranya adalah ilmu yang disebut "Menyadap Suara Batin". Yakni ilmu kesaktian yang dapat menyampaikan suara dari jauh lewat angin.
Sesaat murid Sinto Gendeng tatap lekat-lekat wajah cantik jelita Luhrembulan. Hatinya terenyuh haru. Walau dia tahu dia tak bisa balas menyampaikan ucapan ke telinga si gadis namun dalam hati Pendekar 212 berkata.
"Luhrembulan, sungguh tulus hatimu. Selama ini kau menganggap diriku sebagai suamimu. Dan aku ini hanya milikmu seorang. Selama ini aku merasa seolah kau tidak akan melepaskan diriku untuk selamalamanya, apalagi kalau sampai ada gadis lain merasa memiliki diri dan kasih sayangku. Namun ternyata kau masih mau membagi perhatian untuk melindungi orang yang katamu mencintai diriku. Tuhan akan memberkahi dan mengasihimu, Luhrembulan…."
Diapit dua gadis cantik Peri Angsa Putih sampai di depan mimbar. Dua gadis segera berbisik pergi. Hantu Muka Dua memberi isyarat agar Peri Angsa Putih lebih mendekat. Peri itu melangkah maju. Jarak mereka kini hanya terpisah satu langkah. Hantu Muka Dua masih tetap di atas mimbar sedang sang Peri tegak di lantai agak lebih rendah dari sang penguasa Istana Kebahagiaan itu.
Sambil tersenyum Hantu Muka Dua membuka gulungan piagam emas. Piagam itu kemudian disodorkannya pada Peri Angsa Putih sambil berucap.
"Peri Angsa Putih, terimalah piagam emas ini dengan hati tulus karena Istana Kebahagiaan memberikannya padamu juga dengan hati tulus…."
Mendengar ucapan Hantu Muka Dua itu Peri Angsa Putih ulurkan tangan, siap menerima piagam emas dengan tersenyum pula. Tapi tiba-tiba lembaran piagam emas melayang jatuh kelantai. Secepat kilat dua tangan Hantu Muka Dua membuat gerakan aneh. saat itu juga Peri Angsa Putih merasakan sekujur tubuhnya lumpuh tak bisa bergerak lagi barang sedikitpun!
"Ilmu Membuhul Urat Mengikat Otot!" seseorang yang mengetahui apa yang terjadi berteriak dari barisan kursi hijau. Dia bukan lain adalah Hantu Penjunjung Roh.
"Hantu Muka Dua berbuat keji! Dia melumpuhkan Peri Angsa Putih dengan ilmu Membuhul Urat Mengikat Otot!" Hantu Selaksa Angin yang juga mengetahui kejadian itu ikut berteriak. Dalam kegemparan yang serta merta meledak di Ruang Seribu Penghormatan tangan kanan Hantu Muka Dua laksana kilat berkelebat ke dada Peri Angsa Putih.
"Breeettt!"
Pakaian sang Peri robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sebuah benda empat persegi panjang memiliki tujuh warna aneh tersembul di antara celah dadanya.
"Batu Pembalik Waktu!" beberapa orang berteriak hampir berbarengan. Mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, Setan Ngompol, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, Lamanyala, Luhrembulan dan Hantu Tangan Empat.
Di tempat duduknya Naga Kuning tersentak. "Batu Pembalik Waktu? Mana…? Mana batunya?!" teriak anak ini sambil memukul-mukul tangan Setan Ngompol yang saat itu duduk terkangkang terkencing-kencing.
"Bocah geblek! Apa kau sudah buta?! Lihat dada Peri Angsa Putih! Batu itu terselip di dadanya!"
"Astaga! Aku tidak memperhatikan! Pandanganku hanya tertuju pada dadanya yang putih bagus dan kencang!" jawab naga Kuning lalu buka dua matanya lebih lebar, memandang ke arah dada Peri Angsa Putih yang tersingkap lebar.
"Bocah edan!" maki Setan Ngompol.
Dengan gerakan kilat Hantu Muka Dua menyambar Batu Pembalik Waktu yang tersembul di antara celah dada Peri Angsa Putih. Bersamaan dengan itu dia injakkan kaki kanannya ke lantai mimbar dimana terdapat sebuah alat rahasia yang jika diinjak akan menaikkan pelambung isyarat di dalam sebuah ruangan di balik dinding hitam yang dijaga oleh empat orang pembantu kepercayaan Hantu Muka Dua.
Pada saat Hantu Muka Dua merampas Batu Pembalik Waktu dari dada Peri Angsa Putih beberapa orang serta merta berkelebat ke arah penguasa Istana Kebahagiaan itu. Masing-masing mereka sama hantamkan tangan kanan, berusaha mencegah agar batu sakti tidak sampai jatuh ke tangan Hantu Muka Dua. Sadar kalau dirinya segera akan dilanda gempuran serangan mematikan sambil berusaha menginjak alat rahasia di kaki mimbar Hantu Muka Dua membentengi dirinya dengan ilmu "Tangan Hantu Tanpa Suara" Ilmu ini adalah ilmu yang dirampas Hantu Muka Dua dari tangan Hantu Tangan Empat Tubuhnya berputar seperti gasing, membentuk kerucut terbalik dan mengepulkan asap merah. Siapa saja lawan atau benda apa saja yang sempat tersedot gerakan berputar, sosok tubuhnya niscaya akan terpental bahkan bisa hancur luluh!
Orang pertama yang berkelebat dan menghantam ke arah Hantu Muka Dua adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinar putih panas berkiblat dari tangannya, mengeluarkan suara gelegar dahsyat dan menyilaukan seantero ruangan. Itulah pukulan sakti "Sinar Matahari"!
Pukulan ke dua yang melabrak penguasa Istana Kebahagiaan itu adalah selarik sinar kuning menebar santarnya bau setanggi. Berbarengan dengan itu ada udara sangat dingin menggetarkan tengkuk semua orang yang ada di sekitar situ.
"Pukulan Salju Putih Latinggimeru!" seseorang berteriak ketika mengenali pukulan sakti yang dilepaskan Hantu Selaksa Angin ke arah Hantu Muka Dua itu.
Dari barisan kursi hitam Lamanyala melesat ke depan, coba melindungi Hantu Muka Dua dengan hantaman kobaran api dahsyat. Tapi ketika pukulan Salju Putih Latinggimeru menyerempetnya, kakek satu ini segera terpental. Tubuhnya yang sudah cidera dan geroak besar semakin ringsak!
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sudah sejak tadi melompat dari kursi. Namun nyalinya leleh untuk turun tangan membantu Hantu Muka Dua karena saat itu dilihatnya Hantu Tangan Empat bergerak mendekati dengan empat tangan terpentang ke atas. Lalu dari samping lain gadis cantik Luhrembulan sudah bangkit pula dari kursinya dan memandang mengawasinya. Sesaat Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab hanya tegak terdiam. Namun ketika sudut matanya melirik Naga Kuning yang tegak di kursi kuning bersama Betina Bercula, dendam lama kembali berkobar. Bocah ini dipilihnya sebagai pelampiasan amarahnya. Sekali berkelebat dia sudah ada di hadapan Naga Kuning. Apa yang dilakukan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini justru satu kesalahan besar karena sebelumnya Naga Kuning dan Betina Bercula memang sudah bersiap waspada mengatur rencana kalau sampai si kakek melakukan sesuatu terhadapnya.
Ketika Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab siap melepaskan pukulan Menara Mayat Meminta Nyawa ke arah Naga Kuning, dengan cepat Betina Bercula berkelebat lalu merangkul sekaligus menarik pinggang Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dari belakang. Tak ampun lagi kakek ini jatuh terhenyak di atas deretan kursi kuning. Jubahnya tersibak lebar. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Naga Kuning. Tubuhnya yang kecil dan disertai aji pelicin badan Ilmu Ikan Paus, menyusup ke bagian bawah jubah si kakek. Tangan kanannya mencengkeram. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab merasakan ada hawa dingin menyambar selangkangannya. Ketika dia coba memeriksa kagetlah kakek satu ini. Jeritan keras menggelegar dari mulutnya. Saat itu dia dapatkan anggota rahasia di bawah perutnya tak ada lagi!
Lenyap tak berbekas! Naga Kuning telah "mengambii" aurat terlarang sang kakek dengan mempergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang dicurinya dari Hantu Selaksa Angin sewaktu si nenek mengajarkan ilmu itu tempo hari pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menjerit-jerit kalang kabut Dia berkelebat seperti orang kalap kian kemari. Tapi dalam kegaduhan besar itu dia tak lagi meiihat dimana beradanya Naga Kuning dan Si Betina Bercula!
Di luar Istana Kebahagiaan, angsa putih raksasa Peri Angsa Putih yang menangkap suara-suara aneh dari bangunan dinding Istana berkali-kali. Namun siasia belaka. Angsa setia tunggangan Peri Angsa Putih ini akhirnya tergeletak dengan kepala hancur di sisi timur Istana Kebahagiaan.
Mahluk bernama Sang Junjungan yang adalah guru Hantu Santet Laknat yang telah berusaha membantu Hantu Muka Dua tersentak kaget ketika dia melihat bagaimana gadis cantik bernama Luhrembulan ikut menyerang Hantu Muka Dua dengan pukulan Lintah Penyedot Jantung.
"Pukulan Lintah Penyedot Jantung! Itu adalah ilmu pukulan yang dimiliki muridku si Hantu Santet Laknat! Siapa sebenarnya gadis cantik ini?!" Sang Junjungan berusaha mendekati tapi arus orang yang saling menggebrak membuat dirinya terpental tak karuan. Ketika kekacauan besar mulai pecah di Ruang Seribu Kehormatan, Luhkinki dan Luhtinti yang memangku Lakembangan keluarkan seruan tertahan. Karena tiba-tiba pemuda yang tengah sekarat ini berdiri bangkit sambil berucap.
"Kaki mimbar… alat rahasia di kaki mimbar…" Lalu seperti ada satu kekuatan gaib yang masuk ke dalam tubuhnya pemuda ini melompat berdiri, melangkah cepat menuju mimbar di tempat mana tengah terjadi perkelahian dahsyat antara Hantu Muka Dua dan para pembantunya melawan Pendekar 212 yang dibantu oleh para tokoh pembenci Hantu Muka Dua.
"Lakembangan! Kau mau kemana?!" teriak Luhkinki.
"Lakembangan! Kembali ke sini!" berseru Luhtinti.
Tapi Lakembangan terus melangkah cepat ke arah mimbar. Luhkinki dan Luhtinti segera mengejar. Begitu sampai di depan mimbar, Lakembangan menyusup di antara orang-orang yang bertempur lalu jatuhkan diri di kaki mimbar. Dua tangannya berusaha menggapai alat rahasia yang saat itu siap hendak diinjak Hantu Muka Dua.
"Jahanam! Apa yang kau lakukan!" teriak Hantu Muka Dua marah. Kaki kanannya bergerak.
"Praaakkk!"
Kepala Lakembangan pecah. Tubuhnya terpental. Usahanya untuk mencegah Hantu Muka Dua menginjak alat rahasia sia-sia belaka. Nyawanya putus saat itu juga. Sementara kaki kanan Hantu Muka Dua berhasil menginjak alat rahasia di lantai mimbar Luhkinki dan Luhtinti sama-sama terpekik. Dua gadis ini berusaha menghalangi. Dalam marahnya Hantu Muka Dua lupa kalau dirinya mempunyai pantangan membunuh perempuan. Dia gerakkan tangan kiri dua kali berturut-turut. Melepas pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Dua jeritan mengenaskan terdengar di antara hiruk pikuk kegaduhan. Sosok Luhkinki dan Luhtinti terkapar di lantai ruangan, hanya tinggal berupa tulang belulang mengerikan!
Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah. Tangan kanannya menyelinap ke pinggang mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Luhcinta berteriak keras. Latampi keluarkan bentakan dahsyat. Hantu Tangan Empat gerakkan empat tangannya, menyambar cucunya Peri Angsa Putih dan membawanya ke tempat aman.
Setelah membebaskan cucunya ini dari kelumpuhan akibat ilmu "Membuhul Urat Mengikat Otot" Hantu Tangan Empat cepat-cepat kembali ke tengah ruangan ikut bergabung menghantam Hantu Muka Dua. Peri Bunda dan Peri Sesepuh tidak tinggal diam. Hantu Langit Terjungkir menggerung keras. Lakasipo telah lebih dulu melesat sambil hantamkan kaki batunya. Semua serangan yang dilancarkan para tokoh di tempat itu diarahkan ke satu sasaran. Hantu Muka Dua! Penguasa Istana Kebahagiaan membentak garang. Putaran tubuhnya dalam gerak ilmu "Tangan Hantu Tanpa Suara" semakin kencang. Tangan kirinya melepaskan pukulan "asap hijau" yang bisa membuat lawan menjadi buta. Lalu dalam pada itu kaki kanannya yang kini bebas masih sempat menginjak alat rahasia di kaki mimbar, bersamaan dengan itu Wiro memberi isyarat pada Hantu Langit Terjungkir agar segera menghantam mimbar. Tidak tunggu lebih lama kakek ini segera lepaskan Pukulan Dewa Warna Kuning dan Pukulan Dewa Warna Biru ke arah mimbar. Ruang Seribu Kehormatan itu laksana kiamat ketika sekian banyak pukulan saling bentrokan dahsyat. Mimbar hancur berantakan. Pada saat itu juga sosok Hantu Muka Dua kelihatan melesat ke atas. Empat hiasan singa kepala dua yang tergantung di langit-langit ruangan keluar suara mendesis keras. Lalu dari lobang mata, hidung, telinga serta mulut hiasan itu mengepul keluar asap merah.
"Bubuk Maut Penjungkir Syaraf!" seseorang berteriak.
Beberapa orang yang tak sengaja menghisap asap merah itu langsung roboh dan terjengkang di lantai dengan mata mencelet mulut berbusa merah!
Kegemparan tambah menggelegar di Ruang Seribu Kehormatan. Banyak orang coba menerobos mencari jalan keluar untuk selamatkan diri. Tapi enam dinding laksana benteng baja yang tak mungkin ditembus.
Ditengah kegaduhan itu Hantu Langit Terjungkir berteriak keras.
"Lakasipo! Hantu Bara Kaliatus! Hantu Raja Obat! Kalian semua anak-anakku! Lekas mendekat kemari!"
Hantu Muka Dua sempat tercekat mendengar teriakan itu. Namun saat itu dia lebih memusatkan perhatian pada usaha menyelamatkan diri. Apa lagi sesuai rencana dilihatnya lantai di depan dinding hitam mulai bergerak turun. Dia cepat melayang ke bawah.
Hantu Muka Dua memang hebat luar biasa. Begitu banyak pukulan sakti mematikan yang menghantam dirinya namun dia masih bisa bertahan menyelamatkan diri dengan ilmu andalannya "Tangan Hantu Tanpa Suara". Sinar merah berputar dahsyat melindungi dirinya yang tergoncang hebat kian kemari ketika Latampi memghantamkanya dengan pukulan "Menebar Budi Hari ke Lima", dan Pendekar 212 susul dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh, walau dia masih bisa bertahan namun Batu Pembalik Waktu yang ada dalam pegangan tangan kanannya terlepas mental, mencelat ke langit-langit ruangan di mana asap beracun dari Bubuk Penjungkir Syaraf menggebugebu siap menebar maut ditengah pekik jerit dan kegaduhan tiada tara!
Hantu Muka Dua berseru kaget. Cepat dia lompat ke atas untuk menggapai Batu Pembalik Waktu, di saat yang sama Peri Angsa Putih juga telah melesat pula guna dapatkan batu itu Beberapa orang lainnya yang mengetahui benda apa adanya Batu Pembalik Waktu itu tak tinggal diam. Mereka berserabutan melesat ke atas berusaha mendapatkan. Orang-orang ini diantaranya adalah Luhcinta, Hantu Berpipa Emas, Hantu Tangan Empat, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Luhrembulan. Yang paling gesit dan cepat gerakannya adalah mahluk setengah manusia setengah Roh Luhrinjani istri Lakasipo. Namun sesaat lagi dia hampir berhasil menggapai Batu Pembalik Waktu dari samping Hantu Muka Dua menyikut rusuknya hingga Luhrinjani terpental ke kiri.
Selagi sekian banyak orang berusaha mendapatkan Batu Pembalik waktu, beberapa lainnya berusaha mencegah atau menyadari tak mungkin bisa mendapatkan batu itu malah kini lepaskan pukulan-pukulan sakti menghantam batu tujuh warna itu. Kebanyakan dari mereka adalah yang duduk di barisan kursi hitam yang menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua, kecuali Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang saat itu masih kalang kabut kelabakan akibat kehilangan barang berharga di bawah perutnya!
Sebelas pukulan sakti yang dilepaskan para tokoh berkepandaian tinggi menghantam Batu Pembalik Waktu. Ruang Seribu Kehormatan laksana digoncang seribu gempa! Istana Kebahagiaan menggeletar dan keluarkan suara berderak. Batu Pembalik Waktu patah dua. Dua gelombang cahaya yang memancarkan tujuh warna pelangi keluar dari dua potongan batu lalu mencuat ke udara, melabrak hancur atap Istana Kebahagiaan. Kemudian dengan mengeluarkan suara mendesis keras dua gelombang cahaya tujuh warna pelangi itu membalik dan berputar kebawah saling bersambungan satu dengan lainnya membentuk satu tong raksasa. Semua orang yang ada di dalam Ruang Saribu Kehormatan tersedot dan tenggelam ke dalam putaran tong raksasa tujuh cahaya.
Jerit pekik terdengar dimana-mana. Ketika putaran cahaya mulai melesat ke atas, menggulung dan membawa semua orang yang ada dalam istana Kebahagiaan, Luhrembulan berusaha mendekati Pendekar 212. Tapi keduanya terpisah cukup jauh. Gadis ini hanya bisa berteriak.
"Wiro! Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah! Lekas hujamkan tumitmu ke lantai! Selamatkan dirimu!" Luhrembulan berusaha melompat. Dia berhasil mendekati Wiro dan cepat ulurkan tangannya.
"Wiro! Pegang tanganku! Cepat!" teriak Luhrembulan.
Hanya terpisah seujung kuku jari-jari Luhrembulan dan tangan Pendekar 212 akan saling bersentuhan tibatiba satu ledakan maha dahsyat menggelegar. Semua orang yang ada di ruang Seribu Kehormatan bermentalan tetapi masih tetap berada dalam gulungan putaran cahaya tujuh pelangi yang membentuk tong berputar itu. Jerit pekik tidak terkendalikan lagi. ketika tubuhnya mental, terpisah dari Luhrembulan, secara tak sengaja Pendekar 212 Wiro Sableng terpelanting di hadapan Hantu Muka Dua. Semula dia hendak teruskan niatnya mencabut Kapak Maut Naga Geni 212, tapi maksud itu dibatalkan. Dengan satu gerakan kilat Wiro hantamkan telapak tangan kanannya ke kening musuh besarnya itu.
"Plaaakkk!"
Hantu Muka Dua terpental dua tombak. Matanya mendelik. Mulutnya keluarkan jeritan setinggi langit. Di keningnya yang hangus mengepulkan asap Kini tertera tiga deretan angka: 212!
Sewaktu ledakan maha dahsyat menghancurkan Istana Kebahagiaan hingga berkeping-keping, gelombang tujuh warna berbentuk tong raksasa menderu dahsyat, mengiblatkan sinar menyilaukan lalu melesat ke udara seolah menembus langit. Kemudian lenyap tak berbekas seperti ditelan jagat raya. Perlahan-lahan debu, tanah dan kerikil hancuran bangunan Istana Kebahagiaan luruh ke bawah. Puncak bukit batu di mana Istana itu berdiri sebelumnya kini kelihatan hanya tinggal berupa satu kawasan rata dan sunyi. Kemanapun mata memandang tak ada pepohonan atau satu mahluk hiduppun yang tampak.
***
TAMAT
Tulis komentar baru