Aku kenal baik dengan dua orang bhiksu. Aku dikenalkan kepada mereka berdua oleh seseorang yang beragama Budha. Dia pernah menjadi muridku ketika masih di sekolah dasar. Awalnya aku hanya kenal seorang saja (alm) lalu beberapa bulan kemudian kenal dengan yang kedua.
Basa-basi perkenalan hanya pada pertemuan yang pertama saja. Setelah itu jika kami bertemu kami banyak bicara tentang meditasi. Karena aku yang butuh penjelasan tentang meditasi tentu saja aku yang banyak bertanya.
Sebelum bertanya kepada dua bhiksu ini aku sering bertanya kepada ‘alim ‘ulama. Jawaban dari mereka sudah bisa diduga bukan. Jangankan menjawab. Mendengar kata meditasi saja mereka langsung bergidig.
Jawaban yang agak nyaman adalah saran agar aku mengganti meditasi dengan “dzikir”. Aku tidak sependapat menukar meditasi dengan dzikir. Dzikir itu artinya “mengingat”. Dzikir kepada Allah artinya mengingat Allah. Bagaimana aku bisa mengingat yang belum aku “bertemu.” Begitu pikiranku.
Lagi pula praktek dzikir itu adalah dengan mengucapkan kalimat tertentu dengan berulang-ulang sebanyak yang bisa dilakukan.
Aku pikir sangatlah jauh bedanya antara “mengingat” dengan “mengucapkan.”
Nah, ketika aku bertemu dengan bhiksu, aku mendapat arahan cara bermeditasi. Maka akupun mempraktekkannya.
Aku memilih sikap duduk dengan teratai penuh. Tapi karena terasa tidak nyaman aku mengubah dan membisakan diri dengan sikap setengah teratai.
Mulai dengan beberapa menit kemudian sedikit demi sedikit waktunya ditambah –memakai pengatur waktu- hingga aku terbiasa dan bisa duduk bermeditasi dengan waktu yang cukup lama.
Tentang meditasi ini pendapatku hampir tidak ada bedanya dengan yang aku salin rekat dari Wikipedia Indonesia, yaitu :
Setiap orang dapat secara bebas memberikan nilai-nilai tersendiri tentang arti meditasi bagi kehidupannya.[6] Oleh karena hanya dengan mempraktikkan semadi dalam hidup, orang bisa merasakan manfaat suatu perjalanan semadi.[6] Ada banyak arti tentang semadi, di antaranya adalah:[7]
1. Jalan untuk masuk dalam kesadaran jiwa.
2. Jalan untuk introspeksi diri.
3. Jalan untuk berkomunikasi dengan sang pencipta.
4. Jalan untuk mengubah hidup.
5. Jalan untuk meraih ketenangan batin.
Namun aku ternyata tidak berbakat. Coba baca HONG NGALI NGALI HONG. Pada hampir titik puncaknya aku malah merasa takut mati. Jadi sekian kali aku mencoba sekian kali pula gagal. Seluruh badanku mati rasa. Ketika mati rasa itu sudah sampai ke dada atau leher maka pikiran berkecamuk dengan segala macam.
Lalu apakah HONG NGALI NGALI HONG itu? Itu adalah suara para bhiksu dalam film Legenda Ular Putih yang pernah aku tonton pada tahun 1960an.
HONG NGALI NGALI HONG
hong ngalingali hong mati telapak kaki telapak kaki hilang hong ngalingali hong mati betis betis hilang hong ngalingali hong mati paha paha hilang hong ngalingali hong mati pantat pantat hilang hong ngalingali hong mati perut perut hilang hong ngalingali hong mati dada dada hilang hong ngalingali hong mati tangan tangan hilang hong ngalingali hong mati leher leher hilang hong ngalingali hong kepala tidak mau hilang hong ngalingali hong perang takut mati takut mati perang hong ngalingali hong pasang bongkar bongkar pasang hong ngalingali hong telentang hong ngalingali hong tidak mau mengulang hong ngalingali hong menunggu siang
201611230853 Kotabaru Karawang
Para bhiksu berusaha mengusir siluman perempuan yang sempat menjadi istri seorang penduduk desa. Para bhkisu dalam filma itu mengucapkannya bersamaan dengan nada datar sambila mengetukkan tongkat kecil ke sebuah alat. Bunyi “tuk tuk tuk” dan mantra itu berhsil mengusir siluman kembali ke alamnya.
Dua bhiksu sahabatku sama sekali tidak pernah mengajarkan mantra HONG NGALI NGALI HONG.
202006292041 Kotabaru Karawang
Tulis komentar baru