BAHASA NOVEL (I)
Tak ada gunung terlalu tinggi
Buat kami daki di tengah hari
Tak ada jurang terlalu dalam
Buat kami turuni di malam kelam
Hutan rimba hutan rimba
Padang lalang padang lalang
Dusun sunyi jalan nan jauh
Panas terik hujan berangin
Maju terus jalan terus
Pantang patah pantang patah
Hati kami hati kami karena telitinya
Pasukan Penggalan jalanlah
Terhapus duka semua
Tahun 1978 saya ikut KMD II G (Kursus Mahir Dasar II Penggalang) di Bulak Kapal Bekasi. Pesertanya para Pembina pramuka utusan dari 4 kabupaten di Wilayah Purwasukasi (Purwakarta Subang Karawang Bekasi.
Pesertanya sekitar 40 orang. Pelatihnya dari Kwartir Nasional dan Kwartir Daerah. Dua nama pelatih yang lekat dalam ingatan saya adalah Kak Cucu Ismail dan Kak Ateng. Keduanya dari Sukabumi.
Dari dua nama itu yang paling melekat adalah Kak Ateng.Kalau Kak Cucu Ismail lekat dalam ingatan karena kepiawaiannya dalam penyampaian materi, Kak Ateng lain. Ia piawai dalam mengolah kata.
Sebenarnya materi yang disampaikan sama sekali tidak ada hubungan secara langsung dengan kesusastraan. Namun ketika mengajarkan lagu-lagu kepramukaan –liriknya- mau tidak mau menyentuh masalah susastra.
Lirik yang saya tulis di atas adalah salahsatu lagu yang diajarkannya. Judul lagi itu MARS PENGGALANG. Sepintas lirik lagi itu mulus. Gagah dinyanyikan nyaman didengar. Membakar semangat. Apalagi ketika dinyanyikan bersama dalam latihan pengembaraan.
Pada sebuah kesempatan saya sampaikan kepada Kak Ateng bahwa lagu itu sangat berjiwa tapi ada liriknya yang menyalahi kaidah penulisan.
Saya sampaikan bahwa penulisan “di tengah hari” dan “di malam kelam” itu salah. Untuk “tengah hari” dan “malam kelam” seharusnya memakai kata “pada”. Saya katakan bahwa kebenaran cara penulisan itu saya dapat dari Pak Yus Badudu, pengasuh acara Pembinaan Bahasa Indonesia di stasiun TVRI (ketika itu hanya ada TVRI saja).
Saya katakan bahwa “di” berhubungan dengan tempat (ruang) sedangkan untuk waktu/saat harus memakai “pada”. Jadi lirik lagu itu benarnya adalah “buat kami daki pada tengah hari” dan “buat kami turuni pada malam kelam”.
Jawaban Kak Ateng pas dengan dugaan saya, yaitu kata “pada” akan mengubah birama. Saya jawab lagi bahwa mengubahnya sangat mudah. Tinggal memberi garis di atas untuk mengubah ketukan.
Sebenarnya kami sepakat tapi kami tidak bisa mengubah lagu itu karena yang berhak mengubahnya hanya penggubah lagi itu, dan kami sama tidak tahunya. Siapa penggubahnya.
Diskusi kami diakhiri dengan sebuah kesimpulan “penggubah lagu itu mamakai bahasa novel.
Andaikata hal-hal itu bisa disebut salah maka kesalahan itu sampai sekarang masih sering terlihat.
Kita sering melihat kalimat-kalimat seperti itu, misalnya :
Di suatu senja di musim yang lalu
Kepergianmu di pagi itu menorehkan luka yang dalam
dll.
Seyogyanya sebagai penulis kita harus memberi contoh kepada para pembaca. Tapi tampaknya bahasa novel akan dipilih ketika tidak mau mencari jalan lain.
202010260821 Kotabaru Karawang
Tulis komentar baru