Hari Jumat. Bertepatan dengan Hari Raya Kurban. Usai shalat ied aku pulang. Kami bertiga di rumah.Aku, istriku, dan anakku yang keempat. Ketika itu ia belum menikah. Aku sedang duduk-duduk di ruang depan ketika seseorang beruluk salam. Aku menjawab salamnya. Ketika kulihat ke depan ada seorang lelaki, termasuk sudah tua, berpakaian serba hitam. Tutup kepala, baju dan celana termasuk kantong kresek yang dijinjingnya. Kaki telanjang. Lelaki itu duduk bersila di depan pintu masuk lalu melantunkan do’a selamat. Aku mengamini dari dalam, kami dipisahkan oleh pintu yang terbuka. Dalam pikiranku ia adalah seorang pengemis.
Selesai berdoa aku memberinya uang Rp 1.000,00 (seribu rupiah). Ia akan pergi tapi kutahan dulu karena dari dalam istriku berkata,
“Bang, do’anya bagus. Nih, tambah lagi uangnya”.
Aku menghampiri istriku, mengambil uang dari tangannya sambil berbisik agar membuatkan air minum, teh manis. Kuminta ia membuatnya dua gelas. Untuk lelaki itu dan untuk aku.
Kebetulan termosnya kosong. Jadi istriku harus menjerang air dulu. Aku kembali ke depan, memintanya untuk masuk, menunggu air minum.
Ia menurut, menunggu, tapi tak mau masuk. Aku memaksa dengan mempersilakan masuk sampai beberapa kali. Ia masih menolak namun akhirnya masuk juga, Hanya aneh kelakuannya. Ia tidak masuk penuh. Ia hanya masuk setengah. Ia bersila menyandar di salah satu tiang pintu, menghadap ke dalam rumah. Masih bersila tapi karena cara duduknya itu maka sila kirinya berada di luar dan sila kanannya ke dalam.
Sambil menunggu air minum aku membuka obrolan. Tak kusangka dia yang memulai obroln. Bahasanya Jawa pantura. Terjemahan bebasnya kira-kira sbb :
sudah dua rumah aku minta minum tapi tidak diberi disini aku ditawari
o begitu tunggu sebentar ya istriku sedang masak air dulu kita minum bersama teh hangat manis atau mau kopi
ah tidak sudah teh manis saja
ya baiklah kita tunggu mmmm dari mana
saya dari keliling keliling mbah
keliling keliling
ya mbah
ah jangan menyebut saya mbah mestinya saya yang menyebut situ mbah
tidak mbah dari sananya saya harus menyebut mbah kepada mbah
Untuk kata mbah yang terakhir itu ia menunjuk aku dengan menggenggamkan tangan dan ibu jari ditujukan kepadaku sambil kepalanya menunduk. Dari situ aku mulai memperhatikan bahwa ketika berbicara ia selalu menundukkan kepala. Tidak mau beradu pandang. Ah, biar sajalah. Mungkin ada yang tidak beres dengan pikirannya. Hening sebentar. Tiba-tiba ia bicara lagi.
bagaimana perjalanan ke cirebon apakah sudah selesai apa oleh-olehnya
Aku terkejut. Orang ini sama sekali tidak kukenal Baru kali ini bertemu denganku. Dalam pikiranku dia adalah seorang pengemis. Bagaimana dia bisa tahu bahwa aku pergi ke Cirebon. Taruhlah dia menebak, tapi tentang “oleh-oleh” dari Cirebon, hmm ….tidak sembarangan, karena jika bicara oleh-oleh dari Cirebon tentu saja bukan terasi atau kue atau barang sejenis itu. Oleh-oleh dari Cirebon aalah simbol untuk “sesuatu”. Aku tambah kaget ketika dia berkata lagi :
ya simpan sajalah kalau barangnya bagus
Wah, wah, wah. Siapa gerangan lelaki serba hitam ini.
Istriku membawa dua gelas air dalam baki kecil. Kuterima baki itu dari tangannya. Kuletakkan di lantai. Segelas kuletakkan dihadapannya, segelas lagi di depanku. Panas. Aku memegang bibir gelasnya saja karena panas.
Belum hilang rasa panas dijariku, kulihat tamuku mengangkat gelas dan mereguk isinya, gila, glek, glek, glek, terdengan tenggorokannya “berglek glek”. Dan air itu habis. Gelas itu diletkakkannya.
Aku melongo. Boro-boro minum. Bibir gelsnya saja panas sekali. Kusuruh istriku membuat segelas lagi. Apa yang terjadi. Begitu air diletakkan dihadapannya ia menyambarnya segera dan kembali seperti tadi, glek, glek, glek, mungkin 5 atau 6 tegukan, dan kering. Aku masih melongo. Kusuruh istriku membawa termos, teh celup, dan wadah gula serta sendok ke depan. Ketika sudah tersedia aku membuatkannya segelas lagi. Dan, “gile bener” aku belum setegukpun dia sudah amblas 3 gelas. Ia tetap menunduk.
sebenarnya sanpeyan ini siapa
saya yang berjuluk aki gembol mbah
sssst jangan sebut saya mbah
Aku diam. Memperhatikan tubuhnya yang kering. Coklat hitam kepanasan. Telapak kakinya tebal. Sudah jauh ia berjalan pikirku. Tiba-tiba ia bicara.
saya minta kain sarung
kain sarung
ya mbah
Aku menyuruh istriku mengambil kain, masih bagus, hanya sesekali dipakai untuk shalat, jika ada tamu. Kusodorkan kain itu kepadanya.
nih kainnya lumayanlah ya tidak baru tapi masih bagus
saya tidak mau yang ini mbah
apa
saya tidak mau yang ini
mau yang mana
yang biasa dipakai shalat oleh mbah
Aku diam sebentar. Tak habis pikir. Bagaimana bisa begini. Tapi akhirnya aku suruh istriku mengambil kain yang dimintanya.
ini sudah jelek bolong bekas kena seterika jadi sudah ditambal
ya yang ini saja
saya punya kain hitam segi empat seperti taplak meja bagaimana kalau kantong sampeyan itu diganti saja dengan kain hitam
memang itu milik saya yang harus saya ambil dari mbah
Kembali aku terdiam. Bukan sekali aku mati pikir seperti ini. Banyak kali. Sudahlah, aku tak mau berpikir lagi. Kuberikan kain hitam kepadanya sekalian dengan beberapa helai baju. Termasuk daging kiriman dari mesjid.
Setelah minum segelas lagi ia berdiri, permisi.
201207011915_Kotabaru_Karawang
Komentar
Tulis komentar baru