Kesan yang muncul setelah membaca puisi sangatlah beragam. Dari kesan seadanya -bahkan bisa jadi tidak ada kesan sama sekali – hingga kesan yang dalam dan mendalam.
Keragaman kesan ini sangat dipengaruhi oleh “rasa bahasa” yang ada dan itu berbeda pada setiap orang. Tebal tipisnya rasa bahasa tentu saja dipengaruhi oleh kaya atau miskinnya seseorang tentang kosakata.
Kesan dalam dan mendalam –atau kita sebut saja kesan biasa dan kesan luar biasa- adalah dua hal yang berbeda. Jika hanya sampai kesan biasa reaksi yang muncul mungkin diam, empati ke dalam puisi, bisa termenung beberapa saat, mungkin sampai menangis.
Kesan luar biasa lebih dari itu. Setelah membaca ia akan mengejar lebih jauh, dengan pertanyaan sederhana, apakah kisah puisi itu nyata.
Kemana mengejar? Ya kepada penulisnya. Dan pada zaman canggih ini tidak susah untuk memuaskan hati untuk menyampaikan pertanyaan. Tidak sampai 10 klik seseorang bisa mencurahkan rasa penasarannya pada tombol-tombol mungil hape di tangannya.
Demikianlah seseorang penggemar Menghitung Rindu menyampaikan pertanyaan kepadaku tentang puisi di halaman 14 dan halaman 50 kepadaku.
Ada buku Menghitung Rindu (3) dan aku buka.
Di halaman 14 judulnya KETIKA sedangkan di halaman 50 judulnya RINTIK HUJAN DAN KENANGAN, Dua judul ini yang akan kucoba menggubahnya.
TENTANG RINTIK HUJAN DAN KENANGAN
Usia senja adalah usia “sudemat”. Bagaimanapun ceritanya usia senja beda dengan usia muda. Pada batas berapakah usia senja? Kita sepakati saja 63 tahun.
Tahun 2015 ketika puisi itu digubah usiaku 68 tahun. Sudah 3 tahun lewat dari kesepakatan usia senja. Satu hal yang sering dan menurut perasaan indah untuk dilakukan adalah termenung. Apa yang dilakukan pada saat termenung. Tentu saja beda dengan termenungnya anak baru gede.
Saat muncul kesadaran bahwa semuanya sudah berlalu dan tidak mungkin kembali lagi meski sedetik, saat itu kenangan menjadi pahit. Menusuk tajam, menghunjam dalam. Pada puncaknya air mata yang menjadi saksi penyesalan. Penyesalan atas segala hal yang menimbulkan rasa sedih.
Sebaliknya aku bisa menarik nafas panjang diiringi rasa gembira, senang, karena ternyata ada hal-hal yang pantas aku bangga.
Singkat cerita RINTIK HUJAN DAN KENANGAN adalah kisahku sendiri membaca jalan setapak kehidupan yang telah aku lalui.
TENTANG “KETIKA”
Salahsatu hal yang terjadi ketika sudah menyandang usia tua adalah dijadikan tempat curhat. Setelah curhat minta nasihat. Setelah minta nasihat kebanyakan tidak mau patuh. Bahkan ada yang lari bagai kilat. Hahaha. Lucu sekali ragam kelakuan manusia. Bisa jadi termasuk aku. Awalnya curhat itu di medsos. Lewat kotak pesan segala keluh ditumpahkan. Dari hal minum makan sampai hal yang sepatutnya dirahasiakan.
Ketika inbok terasa tidak puas mohon izin untuk bertemu. Tentu saja tidak kutolak karena aku punya banyak waktu. Kadang datang sendiri kadang datang berdua. Kadang datang berombongan seperti akan kondangan.
Aku senang mereka datang. Baik sendiri atau berbanyakan. Canda tawa menyelingi dongeng yang aku kisahkan. Suasana sangat akrab terasa. Aku tidak menasihati hanya bercerita masa lalu yang aku alami.
Ada yang datang sendiri, minta waktu khusus, Katanya ia punya kasus. Diawal perkenalan berjalan mulus berakhir kurang bagus.
Ah, macam-macam.
Ketika curhat hingga menangis tersedu-sedu aku hanyut merasa sendu. Aku ikut merasa pilu dengan kisah yang penuh haru.
KETIKA adalah sebuah kisah seorang gadis –ia mengaku masih gadis tapi ciri-ciri tubuhnya ia sudah tidak gadis lagi- baru ketemu langsung menangis. Namanya kusamarkan menjadi Ninis. Datang padaku sore hari Kamis. Cuaca sedang hujan gerimis tipis.
Ia dari sebuah kampung, di batas timur Purwakarta paling ujung. Berhenti menangis wajahnya murung. Dia diam, aku diam, kami sama-sama bingung, dia termenung, aku tercenung.
Habis tangis berkurang sedih, dia berkisah, sungguh tragis.
Detil sekali cerita yang disampaikan. Tentang dia kenal seorang pemuda tampan. Aku samarkan namanya Danan. Pertemuan pertama di Taman Sri Baduga. Menonton pertunjukan air mancur saat pertama dibuka.
Menurut si gadis jalan kenalnya begitu unik. Danan menyapa dengan sebutan “cantik”. Katanya, sikap Danan baik. Si Gadis beberapa kali melirik. Baru kenal langsung tertarik.
Minggu berikutnya bertemu lagi. Di tempat yang sama sama berjanji. Ninis diminta membawa nasi. Lauk pauknya Danan yang beli.
Hari ke sepuluh Danan datang bertandang. Hati Ninis sangatlah senang. Keluarga menyambut dengan riang. Secara halus Danan meminang.
Ninis terbang ke langit tujuh. Jiwa raganya rubuh dan runtuh. Serasa datang seorang pangeran. Membebaskan diri dari kungkungan.
Ninis diajak ke kampung Danan. Kepada orang tua diperkenalkan. Danan berkata Ninislah yang jadi pilihan. Untuk mengakhiri masa lajang berkepanjangan.
Dari kampung Danan pulang berdua bermotor boncengan. Mereka singgah di sebuah warung karena hujan turun.
Di warung itu Danan akan membeli rokok tapi tidak ada. Setelah permisi kepada Ninis dan minta agar Ninis menunggu, Danan berlari-lari kecil ke warung seberang jalan untuk membeli rokok.
Ninis kembali menangis. Lama sekali. Lalu dengan terisak-isak Ninis bercerita. Ia melihat Danan akan kembali ke warung tempat Ninis ditinggalkan. Namu apa yang terjadi.
Sebuah mobil tronton menabrak warung tersebut.
Dan di bawah ini 2 puisi yang dia ingin tahu kisahnya.
RINTIK HUJAN DAN KENANGAN
kenangan yang datang bersama titik-titik hujan
menyelinap saat sepiku dalam kesendirian
kupagut kupatut-patut
kadang aku senyum sendiri kadang aku cemberut
kulit tua di dahiku mengkerut
kenangan terkadang membuat aku terikat
pada tonggak di dinding hitam pekat
lupa bahwa saatku sudah dekat
kenangan pahit kenangan manis
kadang muncul bersama tangis
untuk kenangan air mataku tak akan habis
kenangan terkadang membuat aku berharap
bertemu denganmu dalam sekejap
jasadku terkubur dalam senyap
dan aku lenyap
201511222107 Kotabaru Karawang
KETIKA
ketika kisah luka datang lagi bersama titik hujan
menyelinap lalu membeberkan layar kenangan
ada engkau berpayung berjalan perlahan
ketika itulah kita berkenalan
hujan telah menyiram bibit kasih sayang
tumbuh subur mengukir banyak kenangan
aku dan kau seperti tubuh dan bayang-bayang
berjanji melayari biduk kehidupan
tapi semua terhapus dalam sekejap
kau tidak lagi bisa kudekap
hilang segala cahaya berganti gelap
kepadaNya engkau kembali menghadap
sore itu hujan turun menghadirkan duka
duka dan lara pedih yang membuat teriris jiwa
membasahi nisanmu sepi sendiri di sana
201212231944 Kotabaru Karawang
Tulis komentar baru