Angin Sepoi Meninggalkan Sarang
untuk anak bangsa yang terlena
Kurasa sebaiknya celoteh-celoteh
itu berakhir di sini di tengah
sarat mimpi yang beku.
Tak sempurnakah waktu menjamu
mayapada hingga untuk kesekian kali tandamu
mencabut dentuman rindu dalam sulur-sulur ambisi?
Tika kita masih berdiri di atas
angin yang sama dan terseok di bawah
langit yang tak beda, lumbung peradaban
yang kita miliki adalah samudra dan
bendang. Darinya tumbuh warna-warni ikan
dan berakar-akar tumbuhan.
Engkau pun telah tahu, setapak
adalah raya kita. Ia melukis hutan
di perbukitan, menarik hijaunya dedaunan.
Engkau juga telah tahu, tetes
embun adalah hamparan kita. Ia memercikkan benih
di tawar dan asin, mengenyangkanmu tak memiskin.
Lalu, untuk apa lahir di sini
dan digdaya karena nasi, daun singkong, teri,
dan kopi jika hanya kau agungkan peradaban
di luar sana seraya kau picingkan
matamu dari ingus anak-anak negeri, dekilnya
pengais sampah, dan reot penjual gorengan
yang memanggul bakul di pagi yang belum genap?
Adakalanya kita memang merasa tak diharga. Tapi,
bukankah kau ada untuk menjadikan pertiwi
lebih berharga? Tak pantas angin sepoi
meninggalkan sarangnya
Kembalilah, jika kau telah mengerti apa itu negeri!
Karanganyar, 18 Maret 2017
Komentar
Tulis komentar baru