Sastra = Pertunjukan kata-kata
Sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah sastra atau karya sastra : prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita akan memeroleh ”sesuatu” yang dapat memerkaya wawasan dan/atat meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Robert Frost menyebutkan, sastra ialah pertunjukan dalam kata. Ini berkaitan dengan seni. Jadi, dapat pula dikatakan bahwa sastra itu pada hakikatnya adalah pertunjukan dalam kata-kata.
Dengan pertunjukan ini, sastra memiliki kekuatan untuk menghibur. Dengan adanya kata-kata yang menjadi komponen pentingnya, sastra juga memiliki potensi untuk mengajar. Pengajaran tidak mungkin berlangsung tanpa kata-kata meskipun pendidikan lebih efektif disampaikan melalui tindakan. Hakikat sastra sebagai seni pertunjukan dalam kata dapat diterapkan kepada segala jenis sastra. Sastralah lagu rakyat yang dinyanyikan dan memberikan rasa senang kepada kita. Sastralah pada daun lontar yang ”mempertunjukkan” dan ”mengabadikan” buah pikiran dan renungan Mpu Kanwa tentang keagungan Raja Airlangga. Demikian pula sastralah yang mempertunjukkan seorang gadis Minang yang malang bernama Sitti Nurbaya. Sastralah yang menampilkan sosok seorang manusia yang terobsesi semangat mau hidup seribu tahun lagi dalam ”Aku” karangan Chairil Anwar. Sebagai seni pertunjukan, sastra paling praktis jika dibandingkan dengan seni pertunjukan lainnya. Teks sastra yang ditulis ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, dapat ”dipertunjukkan” kapan dan di mana pun. Seni-seni lain tidak sepraktis sastra. Untuk menikmati seni tari, misalnya, diperlukan ruang khusus, waktu khusus, dan orang-orang khusus pula. Untuk menghibur diri dengan seni musik, kita memerlukan persiapan berikut manusia yang memainkan peralatan musik tersebut dalam waktu dan tempat tertentu. Lalu, kenapa sastra harus menghibur? Menghibur bukan berarti membuat pembaca terpingkal-pingkal karena tak dapat menahan tawanya. Namun lebih kepada kepuasan batin ketika mengikuti alur cerita. Herman J. Waluyo (2006) memberikan istilah katarsis, yaitu pencerahan jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap keterbatasan individu yang sering kali melabrak posisi Tuhan. Memang, ada pengarang yang merepresentasikan karyanya sebagai hiburan dalam artian membuat pembaca hanyut dalam tawanya. Seperti cerita “Kambing Jantan” (2006) misalnya (maaf saya lupa nama pengarangnya) yang penuh dengan kekonyolan-kekonyolan. Namun entah kenapa karya-karya seperti ini sering dianaktirikan sebagai bukan karya sastra tetapi karya teenlit atau sastra prematur. Jelaslah, sastra itu seni yang paling praktis bagi kita. Namun, seni yang paling praktis itu sering terabaikan. Apresiasi sastra kita terhadap sastra demikian rendahnya. Mengapa? Inilah yang perlu dicari jalan keluarnya.
Nilai Sastra
Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik. Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain adalah sebagai berikut: (1) nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; (2) nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melaksanakan suatu pekerjaan; (3) nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan; (4) nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral, relligion value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama; (5) nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Fungsi Sastra
Abdul Wachid B.S. secara eksplisit mengemukakan dalam buku kumpulan esai sastranya berjudul “Sastra Pencerahan” (2005) bahwa sastra berfungsi sebagai media perlawanan terhadap slogan omong-kosong tentang sosial kemasyarakatan. Sapardi (1979) mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan yaitu: a) Sudut pandangan ekstrim kaum Romantik misalnya menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup juga pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak. b) Dari sudut lain dikatakan bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini, gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller. c) Semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik: sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Lantas apa fungsi sastra sebenarnya? Tidak terlalu susah namun dikatakan mudah pun juga tidak dalam menentukan fungsi sastra. Namun, pendapat Sapardi di atas adalah pendapat umum tentang fungsi sastra. Kenapa sastra berfungsi sebagai pembaharu? Seperti yang sudah disebutkan jauh di atas, sastra adalah ruang dinamis yang terus bergerak. Akan ada sesuatu yang baru dalam dunia kesastraan. Pendapat yang baru merupakan penyusunan kembali pendapat lama. Kadang-kadang menjadi inspirasi tiada tara. Keadaan yang dinamis ini tentunya tidak akan menciptakan kondisi yang adem ayem saja, tetapi karena sastra itu bergerak dan berpikir, maka polemik, kritik sana-kritik sini adalah hal yang lumrah. Dari uraian di atas, fungsi sastra dapat dibagi pada beberapa hal.
1. Sastra sebagai pembentuk Wawasan Baru
Dalam membaca sastra, baik puisi maupun prosa, kita sebenarnya membentuk wawasan baru yang selama ini tidak muncul di dalam jiwa kita. Bagaimana sikap ibu yang baik, umpamanya, dapat kita lihat dalam sastra. Pada suatu saat sosok seorang ibu yang bijaksana kita baca di dalam sebuah novel karena kebijaksanaannya itu menyentuh batin kita. Pada saat lain, kebijaksanaan yang menyentuh itu tidak dapat kita terima lantaran kita telah membaca sebuah novel dengan sosok ibu yang lain yang sebenarnya lebih menyentuh daripada sosok ibu yang pertama. Keberadaan sastra seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sarana pembentuk wawasan baru bagi kita. Bandingkan konsep ibu dalam sajak Surat dari Ibu (Asrul Sani) dengan cerita Malin Kundang (anonim), dan roman Salah Asuhan (Abdoel Moeis).
2. Sastra sebagai pembentuk Kepribadian Bangsa
Apa yang dapat ditarik dari sebuah karya sastra dalam hal pembentuk kepribadian bangsa? Banyak sekali yang dapat ditarik dan diambil. Tidak hanya pada sastra Indonesia Modern, pada sastra Indonesia lama pun kita mendapatkan nilai kepribadian kita itu. Nilai kesetiaan seorang istri kepada suami nyata dapat kita lihat pada banyak sastra kita. Nama Puti Subang Bagalang dalam sastra Minangkabau adalah nama tokoh mitos atau tokoh legenda yang dihubungkan dengan kesetiaan. Tunangan Puti Subang Bagalang yang bernama Magek Manandin dituduh mencuri sapi sehingga harus dibuang ke lurah dalam. Magek Manandin itu tidak pernah diharapkan untuk kembali oleh siapa pun. Akan tetapi, Puti Subang Bagalang tetap menanti kedatangannya itu walaupun dia sudah tahu bahwa Magek Manandin tidak akan pernah datang. Ni Nogati dalam Setahun di Bedahulu (Armijn Pane) tidak mau menjadi orang yang tidak berguna. Kalau dia sekali dapat mengalihkan cintanya, tentu dia dapat mengalihkan cintanya untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Hal sama dapat terlihat pada kesetiaan Widuri terhadap suaminya walaupun dia tidak mencintai suaminya dalam Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar). Bagaimana dengan kamu?
3. Sastra sebagai sarana Fatwa dan Nasihat
Sastra banyak memberikan fatwa kepada pembaca baik secara langsung maupun tidak langsung. Fatwa yang ada itu dapat dipetik oleh pembaca sebagai pengetahuan yang baru. Akan tetapi, fatwa tersebut dapat pula dipandang sebagai penggugah, peremaja, peningkat, atau penyistem pengetahuan pembacanya. Fatwa dapat diserap pembaca setelah selesai membaca novel yang isinya dapat disimpulkan oleh pembaca sendiri. Fatwa dapat pula disimak dari peristiwa yang disampaikan tokoh-tokohnya.
4. Sastra sebagai Kritik Sosial Masyarakat
Kritik sosial dalam sastra dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sastra itu memang mengungkapkan kebobrokan masyarakat dan ketidakpuasan masyarakat terhadap apa-apa yang sudah dimilikinya. Jika manusia mendapat satu macam, mereka inginnya dua macam. Jika sudah mendapat dua macam, mereka ingin tiga macam. Begitulah terus-menerus ketidakpuasan itu terjadi pada diri manusia.
5. Sastra sebagai Catatan Warisan Kultural
Sekolah dan universitas memberikan pelajaran dan pengetahuan orang tentang Indonesia. Karya sastra mempunyai fungsi untuk itu secara tidak langsung. Kalau kita membaca karya sastra yang terbit pada tahun-tahun terdahulu, kita akan mengetahui tentang corak budaya pada masa novel itu ditulis. Novel Sitti Nurbaya yang terbit pada 1922 menyuarakan suatu kebudayaan, yang kebudayaan ”kawin paksa”. Pada tahun 1922 kebudayaan kawin paksa masih berlangsung. Pada tahun 1922 kebudayaan ”seorang penghulu atau pemuka masyarakat mempunyai istri lebih dari satu orang” hadir di tengah masyarakat. Bagaimana pula dengan novel Salah Asuhan-nya Abdoel Moeis (1928), Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1945), Hulubalang Raja Nur Sutan Iskandar (Balai Pustaka), Saman Ayu Utami, Laskar Pelangi Andrea Hirata atau Ayat-ayat Cinta Habiburrahman El Sirazy (2000)?
6. Sastra sebagai Pengalaman Perwakilan
Sastra, walaupun suatu karya fiktif, dapat memberikan informasi kepada kita tentang tempat-tempat yang kita belum tahu. Karya sastra juga akan memberi informasi tentang apa yang ada di suatu tempat yang tempat itu tidak sempat dikunjungi oleh pembaca. Pengalaman sastrawan tentang suatu tempat atau keadaan itu ditularkan kepada pembaca dengan karyanya, baik berupa sajak maupun novel. Melalui informasi yang ada di dalam sebuah sajak atau novel, kita mengetahui tempat-tempat penting atau keadaan-keadaan penting, situasi penting, dan sebagainya. Melalui pembacaan sajak yang termuat dalam buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, kita mengetahui bahwa daerah Karet adalah tempat pemakaman umum di Jakarta. Upacara karya Korri Layun Rampan merupakan sebuah novel yang bercerita tentang adat istiadat bermasyarakat atau cara bermasyarakat di Kalimantan, yaitu suku Dayak.
7. Sastra sebagai Manivestasi Kompleks Tertekan
Tidak sedikit karya sastra lahir dari suatu luapan perasaan yang paling dalam. Karya sastra menjadi suatu sublimasi dari ketertekanan sehingga bahasa, imaji, serta teknik penceritaannya menjadi meluap-luap. Oleh sebab itu, karya sastra jenis ini perlu dipahami karena di dalamnya terdapat ide atau gagasan yang ide dan gagasan itu tidak dapat muncul di alam sadar. Sajak ”Kembalikan Indonesiaku Padaku” karya Taufik Ismail merupakan salah satu sajak yang bersifat melampiaskan apa yang tidak dapat dikatakan melalui dunia biasa, alam sadar, atau alam normal. Hal sama dialami Iwan Simatupang. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Indonesia sudah kehilangan pribadi. Kecemasan dan kegelisahannya diungkapkannya dalam novel Kooong (1975). Dalam novel ini, Iwan mengkhawatirkan Indonesia yang penuh dengan kehidupan glamour ala Barat, padahal Indonesia mempunyai kehidupan tenang, dengan kokok ayam yang menyamankan hati, nyanyian burung yang merdu pada setiap tempat.
8. Sastra sebagai Manivestasi Keindahan
Sastra sebenarnya tulisan yang indah. Oleh sebab itu, sastra dapat memunculkan kenangan bagi pembacanya. Kesenangan itu disebabkan oleh kehadiran pengalaman baru bagi pembaca. Pembaca dapat mengembangkan imajinasinya untuk mengenal daerah atau tempat yang asing, yang belum dikunjunginya, atau yang tak mungkin dapat diungkapkan lewat sastra. Bentuk-bentuk baru yang dimunculkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan sajaknya yang aneh, membuat kita merasa senang karena kita menemukan yang baru, membaca hal baru, dapat memberikan nuansa indah baik tentang makna maupun bentuknya. Cara penceritaan Supernova (2001) karya Dewi Lestari juga memiliki kebaruan, yakni seperti silang antara gelang cerita dan inti cerita. Pada gelang cerita hadir Ruben dan Dhimas. Pada inti cerita hadir Ferre, Rara, dan Diva. Akan tetapi, pada suatu saat Diva dapat muncul pada gelang cerita. ***
Komentar
Tulis komentar baru