SASTRA FACEBOOK, ALTERNATIF KREATIF?
Oleh: Dessy Wahyuni
(Peneliti Sastra, alumni Sastra Inggris Unand)
Sastra erat kaitannya dengan dunia imajinasi. Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan masalah manusia, kemanusiaan dan semesta melalui imajinasi tersebut. Sastra juga merupakan karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasaan estetika dan intelektual bagi pembaca. Siapa pun itu berhak mengekspresikan imajinasinya dan bebas menyampaikan pesan-pesan moral yang dibawanya melalui karya yang diciptakannya. Namun, sering karya sastra tidak mampu dinikmati oleh setiap orang karena berbagai keterbatasan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya wahana pemublikasian karya sastra tersebut, sehingga kerap karya yang telah dilahirkan akhirnya harus mengendap di laci sang penulis, terutama bagi penulis pemula.
Sebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan, maka akan menguap begitu saja tanpa makna. Untuk memublikasikan sebuah karya sastra itulah diperlukan wahana. Selama ini, wahana yang tersedia adalah media cetak, baik itu buku, koran, majalah, serta tabloid. Dengan berbagai keterbatasan, seperti jumlah halaman pada buku atau jumlah kata pada rubrik-rubrik sastra di koran, menyebabkan karya sastra yang dimuat harus melalui proses penyeleksian. Tentu saja kesempatan terbesar untuk dapat dimuat dalam media cetak tersebut ada pada para sastrawan yang telah memiliki nama besar. Bagi penulis pemula, apabila karyanya tidak spektakuler, atau belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan redaktur, harus mencoba dan mencoba lagi. Hal inilah yang kadang membuat banyak penulis pemula putus asa dan bahkan memutuskan untuk tidak akan mencoba menulis lagi, dan mencamkan dalam dirinya bahwa ternyata ia tidak berbakat.
Padahal untuk memunculkan kreativitas diperlukan proses, yakni proses kreatif. Dengan berputus asa seperti itu, berarti penulis pemula itu telah pula menghambat proses kreatif yang ada dalam dirinya. Ide-ide imajinatif yang masih bercokol dalam otak manusia itu, apabila diperlakukan dengan maksimal akan memunculkan sebuah proses kreatif. Menciptakan suasana yang dapat mengalirkan gagasan dengan bebas merupakan salah satu unsur proses kreatif itu sendiri. Berbagai kecenderungan yang dapat memengaruhi daya kreasi, pengembangan, dan pelaksanaan gagasan sudah selayaknya tak diberi peran, sehingga pemunculan kreativitas tak tersumbat.
Cybersastra, sebagai sebuah wahana, muncul menjawab kegelisahan para penulis atau sastrawan pemula. Wahana ini muncul sekitar awal tahun 2001 seiring dengan merebaknya internet di Indonesia. Cybersastra ini dapat menyalurkan segala bentuk inspirasi bagi penulis pemula yang menjadi tonggak baru kehadiran dunia sastra yang bersifat bebas. Dalam hal ini, karya sastra tidak mengenal ruang, waktu, bahasa, dan mendobrak sekat-sekat negara, karena dengan beberapa detik tulisan yang dimuat akan terekspos ke seluruh belahan negara. Setiap penulis yang memuat karyanya di wahana ini tidak perlu melewati serentetan aturan yang diciptakan para redaktur seperti pada media cetak. Harus diakui bahwa koran dan media cetak lainnya telah punya andil dalam membesarkan nama-nama sastrawan, tetapi terlalu naif apabila menganggap koran atau media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membuat seseorang menjadi sastrawan, terutama pada era keterbukaan dan era digital ini.
Kehadiran Cybersastra membawa suatu inovasi baru dalam menduniakan karya sastra. Theora Aghata dalam esainya “Sastra Cyber: Beberapa Catatan”, terangkum dalam Sastra Pembebasan Antologi Puisi-Cerpen-Esai (2004), mengungkapkan bahwa keberadaan Cybersastra telah menjadi wahana dan wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa depan. Peranan strategis Cybersastra merupakan wahana berkreasi yang mampu meng-update karya secara singkat sehingga menunjang produktivitas dan mendorong perkembangan sastra. Selain itu wahana ini juga mengembangkan wacana kritis dan mengasah kemampuan maupun pemikiran. Kegiatan-kegiatan sastra dalam beberapa tahun terakhir marak berkembang melalui internet, termasuk karya-karya sastra di situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter dan sebagainya.
Facebook sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 ini, kerap dijadikan media pengekspresian imajinasi bagi banyak orang. Sebagai media sosial terbuka, Facebook telah mampu mendapat tempat bagi pelaku sastra. Siapa saja bebas menyiarkan karya-karyanya lewat media ini dan setiap orang pun bebas memberikan komentar atau sekadar mengacungkan jempol sebagai bentuk apresiasi terhadap karya tersebut. Melalui jejaring sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard kelahiran 14 Mei 1984 ini, siapa saja memiliki keleluasaan mengembangkan ide-ide dan gagasan secara bebas. Pemunculan ide kreatif yang terkait erat dengan kemampuan mentransformasikan serangkaian gagasan abstrak, dapat diubah menjadi sebuah realitas melalui wahana ini. Bahkan beberapa komunitas sastra yang bergerak di sini, seperti “Kopi Sastra”, “Rumah Sastra”, “Dunia Sastra”, dan banyak lagi membentuk kelompok sendiri. Dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Facebook, mereka saling berbagi karya, mengomentari satu sama lain, dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan sastra.
Media ini memiliki peranan penting dalam menghidupkan karya sastra. Bagi para penulis pemula, media ini bisa dijadikan sebagai sebuah bentuk pencarian jati diri di tengah masyarakat dalam memasarkan karya-karyanya. Bagi para sastrawan yang karya-karyanya telah dipublikasikan di media cetak, boleh saja ikut memasarkan karya-karya tersebut melalui media ini. Barangkali, melalui media cetak, karya yang dihasilkannya itu tidak bisa dinikmati oleh semua sasaran, tetapi melalui Facebook, karyanya akan dengan cepat dan mudah diketahui banyak orang. Selain itu, pemilik akun Facebook bisa saling berkomentar seputar dunia sastra dan karya-karya yang dipublikasikan, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak. Si pemilik karya pun bisa melihat sejauh mana apresiasi masyarakat terhadap karyanya.
Tidak adanya batasan kreativitas pada Facebook ini, seperti halnya media cetak, menyebabkan kebebasan berimajinasi penulis cenderung menciptakan hal-hal baru, yang terkadang bersifat sesuka hati. Akibatnya, karya-karya sastra yang lahir pun semakin liar dan kadang tak terkendali. Oleh sebab itu, kualitas sastra Facebook layak pula ditinjau lebih jauh. Meskipun persoalan mutu bersifat relatif, tetapi hendaknya karya-karya yang lahir melalui media ini tetap berbasis teori sastra secara lazim.
Jangan sampai kehadiran sastra Facebook mementahkan kreativitas, hanya mementingkan kuantitas karya-karya yang berdesakan ingin dipublikasikan tanpa memedulikan kualitas. Tanpa adanya seleksi seperti pada sastra koran dan sastra buku, tentu menjadi peluang sangat besar akan terjadinya hal semacam ini. Jika masalah ini berlarut-larut tanpa adanya kritik melalui penelitian sastra secara signifikan dan konsisten, maka justru akan menjadi titik degradasi sastra secara besar-besaran.*
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Riau Pos (Pekanbaru), 6 April 2013.
MENGOMENTARI SASTRA FACEBOOK
SARBI sebagai komunitas seni disetiap terbitannya selalu merangkul banyak pihak untuk terlibat. Sementara ini memang kerjasama itu masih terbatas di dunia maya. Entah sebuah kebetulan atau memang jalan yang hendak dibentangkan ketika kami mulai membuka diri untuk berkenalan dengan banyak pihak yang terlibat di kesenian secara riil di sekitar kami. Kami bertemu orang-orang menarik yang membuka kemungkinan untuk diajak berkolaborasi. Salah satunya adalah Teater Gedhek, sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa Teater di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang kami ajak untuk bekerja sama untuk memantik diskusi kecil untuk mengamati perkembangan Sastra Facebook.
Pada mulanya diskusi ini berasal dari bisikan kecil kawan kami. Sesepuh berkesenian di Sidoarjo, Ir. Soegeng Prajitno(Cak Ugeng) seorang pelukis. Beliau terpikir untuk membuat diskusi kecil secara berkala di tempatnya dan berkeinginan untuk menggandeng kami untuk mengisi soal sastra. Kami pun bersepakat untuk mengisi diksusi pertama, tapi di lain hal ada beberapa halangan yang tak memungkinkan itu digelar ditempatnya. Alternatif selanjutnya beliau menyarankan untuk dialihkan ke basecamp Teater Gedhek. Sambut bergayung pihak Teater Gedhek pun membuka dengan tangan terbuka.
Awal konsep diskusi ini memang masih ngambang, tak ada agenda terang apa yang hendak kami kupas. Beberapa bulan terakhir ini memang kegiatan bersastra sedang mati suri. Entah mitos bersastra hanya menunggu peristiwa-peristiwa besar nan kontroversial itu benar adanya. Ketika semua pelaku sastra tersentak dan ramai-ramai mempergunjingkan, atau diantaranya bersiap kuda-kuda hendak menyerang. Entah? Tapi kami percaya kesetiaan bakal lebih penting. Merawat segala yang hendak tumbuh. Memicu hal-hal baru.
Tak lama kami pun memutuskan untuk mengambil tema: Mengomentari perkembangan sastra facebook. Kami pikir semua paham dan bersemangat dengan media sosial ini telah mempengaruhi perseorangan untuk ambil bagian. Karena begitu populernya semua umur ikut turut menggunakan dengan berbagai alasan.Tak terkecuali sastra, ditarik ke arah lebih luas ke persoalan tulis menulis. Karena alasan-alasan semacam itu penting kiranya untuk dicatat, disimak dan diperbincangkan.
Pengantar diskusi ini Dody Kristianto penyair asal Sidoarjo (bukunya yang hendak terbit Lagu Kelam Rembulan) dan Umar Fauzi Ballah penyair dari Sampang (Bukunya yang sudah terbit, Jalan Kepiting) Keduanya terlibat di Temu Sastrawan Indonesia 2011 di Ternate Maluku Utara tahun kemarin.
Diskusi berjalan menarik meski terkesan menjadi tanya jawab ke pengantar diskusi. Tapi beberapa hal penting untuk dicatat. Pertama, bahwa sastra facebook atau lebih tepatnya kegiatan bersastra di facebook telah memicu gagasan yang revolusioner. Facebook telah memancing orang kebanyakan untuk ambil bagian di sastra, tentu kita mengesampingkan persoalan kualitas kalau benar itu ada. Berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang beramai-ramai dengan berani menunjukkan karyanya. Itu tentu hal yang menarik kalau kita menengok ke belakang 10-20 tahun lalu.
Kedua, facebook yang telah memotong birokrasi pemuatan ke media. Kalau modus selama ini setiap karya bersedia antri dan terseleksi di meja redaktur koran atau majalah untuk dapat dinikmati pembaca. Sekarang facebook cukup tekan publish. Maka setiap karya siap untuk dinikmati setiap orang. Bahkan diantara penulis menggunakan facebook untuk medan eksperimental untuk mengundang banyak orang mengomentari karyanya yang sedikit nyeleneh di luar kebiasaanya.
Ketiga, facebook telah menjadi medan paling banal untuk menyerang berbagai kelompok dengan berbagai alasan di persoalan sekitar sastra. Bahkan diantaranya sampai menggunakan lebih dari satu akun dengan nama samaran yang berbeda-beda hanya untuk menyerang ke pihak lain. Meski banyak hal justru lepas dari esensi persoalan menjadi terlihat sangat personal. Ini memang konsekuensi, karya mudah di publish juga siap dengam mudah di kritik, bahkan tercaci maki. Bahkan diantaranya perdebatan itu pun bisa bergeser ke media massa.
Keempat, facebook ternyata juga cukup rawan di persoalan hak karya cipta. Diantara peserta diskusi mengungkapkan bahwa karyanya pernah diambil orang lain dengan sedikit dirubah entah di sudut pandangnya atau entah di beberapa bagian lain.
Kelima, facebook merupakan bagian dari dunia cyber. Apakah ada tautan dengan ramalan yang ramai diperbincangkan beberapa tahun lalu oleh sekelompok orang yang menamakan gerakannya dengan CyberSastra? Diakui atau tidak facebook telah mempengaruhi dan merubah cara pandang seseorang terhadap sastra. Membuka jalan alternatif untuk keluar dari dominasi kelompok tertentu. Kalau hal itu memang ada. Tapi bagi kami yang sangat penting adalah kegiatan bersastra dan berkesenian menjadi sangat beragam dan terbuka.
EKSISTENSI SASTRA FACEBOOK
Mark Zuckerberg, kelahiran 1984, pada usianya yang masih 20 tahun, sudah mampu mengubah dunia. Tahun 2004 dia menciptakan Facebook sebagai social-networking. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, pengguna aktif facebook telah mencapai 750 juta jiwa. Nyaris tidak ada orang yang tidak tahu facebook. Anak sekolah, mahasiswa, guru, seniman, pegawai kantor, tentara, polisi, politisi, pengusaha, pengangguran bahkan pengamen semua mengenalnya. Sangat fantastis.
Menjadi anggota facebook dan untuk memperoleh pertemanan sangat mudah. Fitur-fitur yang dimiliki facebook sangat efektif dan efisien sebagai media komunikasi pertemanan. Facebook juga tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, tapi setiap orang bisa membuat grup atas dasar kesukaan, minat, profesi, atau kebutuhan yang sama; seperti perkumpulan alumni, peminat buku, penggemar games dsb.
Dulu, untuk menambah keanggotaan grup cukup sulit. Seorang pengguna facebook yang membuat grup harus mengundang teman-temannya dan menunggu dikonfirmasi. Hal ini membuat perkembangan anggota menjadi lamban. Hal itu sekarang tidak lagi, seorang pengguna facebook yang membuat grup, sekarang tinggal menambahkan orang-orang yang telah menjadi teman di facebook pribadinya, dan secara otomatis orang-orang yang ditambahkan menjadi anggota dari grupnya. Sekarang dibalik jika orang yang ditambahkan merasa tidak cocok, boleh meninggalkan grup tersebut. Tetapi merreka yang sudah menjadi anggota biasanya tidak pernah keberatan. Uniknya, setiap orang yang menjadi anggota grup, dapat menambahkan temannya di facebook pribadinya masing-masing.
Saya Sebagai penggiat sastra merasa tertarik mengamati para sastrawan Indonesia dan grup-grup sastra di facebook. Eeuphoria facebook juga telah menarik selera para sastrawan untuk berbagi informasi tentang karya-karyanya. Sitok Srengenge, Joni Ariadinata, Putu Wijaya, Gunawan Mohammad dan beberapa teman dari Malaysia, Brunai Darussalam ikut meramaikan sastra facebook.Tak ketinggalan para penulis pemula yang ikutan nimbrung meramaikan sastra facebook. Bagi para penulis pemula ini, facebook solah-olah menjadi berkah tersendiri. Betapa sulitnya mereka untuk menerbitkan karya-karyanya di surat kabar dan majalah yang begitu ketat seleksinya. Dengan facebook, karya-karya mereka yang terdokumentasi di kamarnya mulai dibaca orang-orang melalui status-status di facebook. Para penulis pemula ini mulai membuat grup-grup sastra di antaranya Sastra Facebook, Komunitas Sastra Betawi, Badan Penyelamat Bahasa Indonesia dan beberapa kelompok sastra kampus. Perkembangan anggotanya juga luar biasa, semakin hari semakin bertambah, misalnya, Komunitas Sastra Betawi memiliki anggota di atas 20 juta pengguna.
Meskipun karya-karya sastra facebook seringkali diragukan eksistensinya, terutama dari segi mutu, namun para penulisnya secara intens belajar, dan hasilnya sangat memuaskan. Grup ‘Sastra Facebook’ misalnya, anggotanya masih 800 orang, tetapi karya-karyanya memiliki kualitas tersendiri. Di grup ini dibuka forum diskusi dengan para nara sumber yang memang berpengalaman di bidang sastra. Di grup Penulis Penggemar Pantun, Syair, Puisi, Tulisan Budaya se Asia, para penulisnya kebanyakan adalah orang-orang yang memang berprofesi sebagai sastrawan, di antara mereka banyak yang sudah menulis buku antologi puisi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah grup-grup sastra di facebook akan tetap eksis atau hanya sekedar gejala ephoris dari sebuah kekinian, yang suatu saat akan hilang karena hadirnya perangkat lain yang lebih canggih? Yang jelas sejak adanya grup-grup sastra seperti yang saya uraikan di atas, telah terjadi perubahan dalam menulis status. Status-status mulai lebih berbudaya, bahasa tidak hanya sekedar ngucap dan ngecap. Inilah positifnya.
MEMBENGKAKNYA SASTRA FACEBOOK
Oleh: Yesi Devisa Putri
Jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang
Media cetak memberi porsi untuk sastra dalam tempat terbatas. Itu yang membuat pegiat sastra menjadi gerah karena kurangnya lahan untuk memublikasikan karyanya. Hingga pada akhirnya mereka beralih media. Facebook menjadi salah satu alternatif media untuk menjadi ‘ruang pamer’ sekaligus tempat mendokumentasian hasil cipta, rasa, dan karsa mereka.
Sejak munculnya istilah sastra cyber, lahir pula ‘penulis-penulis cyber’ di dunia maya. Setelah menyulap website dan blog menjadi ruang pamer karya, kini ganti Facebook yang menjadi alternatif ‘ruang pajang karya’ selanjutnya. Fenomena ini lebih booming dengan istilah ‘sastra Facebook’. Dalam situs jejaring sosial ini, tidak hanya penulis cyber yang ikut nampang. Penulis-penulis senior yang sudah memegang predikat penulis best seller pun tidak sungkan untuk memamerkan karya mereka.
Sebagian orang menganggap fenomena sastra Facebook ini adalah masalah dalam dunia sastra. Keresahan ini muncul lantaran adanya kekhawatiran akan lahirnya karya sastra dengan kualitas kurang. Selain itu, ditakutkan pula adanya kapitalisme dalam dunia sastra.
Namun, bagai dua sisi mata uang, selain sisi negatif tentu sastra Facebook juga memiliki kelebihan. Secara tidak langsung, kehadiran penulis senior dalam Facebook akan memberikan ilmunya kepada penulis pemula. Lewat tulisan, komentar-komentar, serta komunikasi antardinding yang mereka lakukan akan memberikan manfaat. Bagi penulis pemula akan mendapatkan ilmu cara berkarya yang baik. Sedangkan untuk penulis senior, selain bisa promosi karya secara gratis, juga mendapat koreksi langsung melalui komentar, baik dari rekan-rekan penulis pengguna Facebook ataupun juga dari pembaca lainnya.
Buku-buku sastra yang lahir dari para Facebooker juga banyak. Ini bukti kredibilitas sastra Facebook. Satu poin lagi untuk sastra Facebook untuk turut andilnya meramaikan pangsa pasar buku sastra yang tengah sepi.
Keuntungan lainnya dari sastra Facebook adalah, secara tidak langsung akan lahir para kritikus sastra yang akan mengasah, menyeleksi secara terus menerus sastra Facebook agar kualitasnya mampu bersaing dengan karya sastra-karya sastra pilihan dalam media massa. Tentu ini tidak bisa lepas dari tangan-tangan dingin para sesepuh dunia sastra.
Jadi, berdebat masalah untung rugi, semua hal pasti akan mengandung dua medan tersebut. Begitu juga dengan Facebook. Facebook hanyalah salah satu bentuk kemajuan teknologi. Kurang bijak rasanya bila Facebook dihindari karena citra miring yang menghinggapinya belakangan ini. Bila disikapi dengan baik, Facebook bisa dimanfaatkan untuk dijadikan media pembelajaran dan pengembangan sastra.
JALUR AWAL SASTRA FACEBOOK
Oleh: Nurel Javissyarqi
Sebelum berbilang kata. Haturkan diri ini sekadar pengelana, serupa tamu kurang sopan dengan kesiapan mati konyol ke medan magnetik kesusastraan. Meski yang kutulis melewati keyakinan kuat, kadang keraguan ganjil segetaran menggejolaki tubuh melampaui masa.
Dapat dibilang kesusastraan facebook di Indonesia bermula tahun 2009, atas deru semarak hingga hantu-hantu sebelumnya terlelap berbangkit berupa ketampanan aneh. Ialah para sastrawan yang mati suri tak lagi berkarya, kini mendapati darah segar seharum perubahan yang dihembuskan para generasi muda, yang kemuncul memandangi hamparan luas padang rumput nan menghijau bersama kesegarannya.
Kelak mandek menstupa atau berpuing-puing atas pantulan kesungguhan ditimbang percepatan lesat alam halus bathiniah masing-masing. Sejarah ialah teks tercetak di lembaran kertas, demi kemudahan diteliti juga penjelmaan gairah abadi penciptaan itu wujud fisikal menjadi dokumentasi penting di kemudian hari.
Di sini aku tak sebut nama-nama pun komunitas yang berkisaran di facebook. Semua sampai terukur daya dinayanya sendiri-sendiri. Dan diriku lebih yakin kesemangatan murni bukan dari dorongan seorang pun golongan, tapi gairah dari dalam membumi. Ini kudu ditempa berkali-kali keraguan, penjegalan mematangkan jiwa bermandiri.
Jika mengguna istilah mengamati, pelaku sastra facebook yang baru sadar sejarah sastra Indonesia terhanyut setubuh menggumuli teks dunia maya, dan serasa abai kurang suntuk menyinahuni lebih di luarnya; buku-buku, koran, majalah pun jurnal sastra. Bagaimana sanggup mengganyang realitas seluruh, jika berpangku tangan menyimak hanya yang disuntuki, meski yakin menghantar ke mimbar perkenalan.
Kata abai terpantul minimnya perbendaharaan, tapi langsung nyempelung ke sumur yang diandaikan sampai terpesona tiada kemampuan bergerak lincah. Apalagi hanya mengedarkan pandangan ke alam susastra, namun kurang sudi menggali bencah di sekitarnya; sejarah, filsafat, agama, sosiologi pun lainnya yang memantabkan sendi-sendi bersastra.
Bagiku yang doyan merevisi karya, ladang maya sekadarlah wilayah pembelajaran, menjajal kemungkinan teks diedarkan demi kematangan kelak kala tercetak dalam buku, serta patut diuji ulang perbaikan lanjut jika mengharap kesegaran ruh jaman dinafaskan. Kalau menilik fitroh hayati berawal keraguan ataupun diragukan, namun tatkala makna pertahanan sama dengan perlawanan, kemungkinan menjelma tradisi dan mau tak mau ditelan meski pahit.
Sudah menjelma kutukan ialah sejarah terpegang bagi yang berkuasa dalam ruang-waktu kedirian menantang hasil-hasil luaran merangsek bentuk sebelumnya, lewat melahirkan peluang menebarkan jala kemungkinan pada yang jauh pula terdekat.
Ini berbenturan sampai ada yang pingsan juga lontang-lantung kurang manfaat. Maka hanya bermental baja dibalut beton ampuh sulit dihantam badai keisengan setengah lelah di tengah jalan juga yang lekas tergiur kemapanan.
Bergulat di dunia sastra dengan keuletan menggali nilai-nilai, ruh lengkingan suara yang dikumandangkan kalimah dengan pesona, maka kekurangseriusan tertebas di medan laga. Jika menegok para empu dunia sastra, ditimbang-timbang hampir 30% pelakunya mendekati mati keadaan gila. Ini dapat dimaklumi, tersebab karya sastra bersimpan keseimbangan jaman dirasai para pensiarnya.
Mereka sengaja bernafas di alam antara pertimbangan nalar angan mengambili bebatuan realitas, dipadu gagasan yang diharapkan abadi, terbaca setiap jaman setelahnya, seperti jiwa-jiwa menetralisir perubahan atas benturan budaya yang memayungi hayat di dalam hembusan peradaban.
Jika dicermati, hampir 60% karya sastra facebook merupakan cipta rasa dadakan, setidaknya terimbasi percepatan dunia maya yang tampak kurang endapan kukuh. Apa yang diandalkan? Kalau ini melaju tanpa kendali kritik diri, pihak lain dengan tajam, tapi cuman pujian. Lebih parah sanjungan dimasukkan hati tidak menggali ulang pencarian jati diri demi mempuni karyanya.
Sungguh malang nasibnya ditumbuhi jamur-jamur oleh hujan dadakan, tentu dapat dipastikan terlibas kekuatan sastra di negara tetangga Asia; Cina, Jepang yang kian memantabkan diri menggali kekayaan tradisi bathiniahnya.
Dengan tidak kesampingkan peran serta dedengkot pesastra Indonesia sebelumnya yang masih segar bugar berkarya. Tampak benar politik sastra lebih kental daripada pengujian karya secara terbuka, kekuatannya berpamorkan faham tertentu dan abai corak sastra yang tak semadzab dengannya.
Padahal jikalau ditengok pertumbuhan kesusastraan di bumi Nusantara, merupakan benturan berbagai aliran yang pernah tumbuh di Timur serta Barat. Maka keteguhan suntuk memegang kedaulatan jiwa-jiwa berkarya akan teruji perubahan masa-masa.
Bagiku karya sastra yang mengendap di facebook itu tantangan harus dihadapi, apalagi bagi yang telah merasa aman sudah dipertuan sejarah. Seyogyanya tidak memicingkan mata sebelah pada dunia yang bergerak mengukuhkan tapal batas pendapatan, kalau tak ingin terkena serangan jantung keyakinan nan serempak.
Aku tidak menjawab apakah catatan yang bercokol di facebook kelak bertahan di dunia luar, atas pergolakan budaya global melampaui jamannya. Semua kembali oleh citraan ruh penciptaan nasib teremban yang menggelinding padanya. Sebab facebook sekadar sarana perkenalan, mengukuhkan bathin penulisnya. Ini cuaca rindu musim berdamainya diri, kala negara dipimpin manusia bermental serakah.
Kelak bermuara ke batas kesungguhan masing-masing. Ini bisa disiasati bagi yang mampu mengatur nafas pengolah perasaan, tidak hanya hadir lewat, atau hujaman jantung sekali sudah. Maka bobot ruang-waktu pengendalian laju timbunan kenang pengalaman, patut diolah baik guna tak sia-sia pengetahuan yang selama ini dibaca.
Dapat dimaknai kesusastraan facebook baru gejala terciptanya karya lebih paripurna nantinya, semisal kawah candradimuka bagi yang tak menelan mentah pujian dalam proses kreatif berlangsung. Sebab sekurang-kurangnya kritik dan anggapan kurang tepat, sanggup membelokkan niatan unggul tercebur dalam pandangan sempit, jika tidak berbaca perluasan sejarah kesusastraan dunia juga yang tengah menggejolak.
Akan menjadi bahan sia-sia atau sampah abad 21 dari negeri dunia ketiga, sungguh ini tak kita harapkan. Padahal berkarya sastra merupakan benih unggul perkenalkan pandangan nalar perasaan, dari watak geografis menapaki tubuh bangsanya menuju derajat sejajar bangsa lainnya.
Bagiku, minimal tebaran gemintang kesastraan yang memancar di facebook seperti jembatan awal mengenali watak pesastra indonesia yang terperangkap pun sekadar ngincipi dunia maya. Di samping melihat gelagat kesusastraan dunia pada umumnya dalam jarak terdekat juga lebih mudah menjiwai karya dan pelakunya, sebab keluar-masuknya bathin menyuntuki teks tercetak serta yang betebaran di jendela beranda.
Pun sarana memahami karakter keindonesiaan dari karya sastra, nun tergantung penyikapan ruang-waktu manusianya. Kala kesempatan usia sempit atas padatnya pergolakan pribadi mematangkan diri melalui karangan, menuju pertemuan nyata pada gerak bertukar singgung keilmuan dalam memperluas jiwa mantab menapaki.
Dan gelagat bayang-bayang jaman menjadi nyata kesadaran sendiri, untuk pelaku berpandangan luas ke dapan, hingga mampu menarik benang kesimpulan. Darinya diharapkan terciptanya karya-karya mempuni, yang sanggup menjawab tantangan jaman, demi mencerahkan abad-abad mendatang di atas bumi kemanusiaan damai.
FACEBOOK DAN SASTRA KITA
Sastra Indonesia mutakhir diwarnai beragam defenisi dan polemik yang menyertai perjalanannya. Pernah menghangat perdebatan tentang sastra kontekstual versus sastra universal di era 80-an, lalu belakangan menyusul sejumlah polemik tentang sastra buku, sastra majalah, sastra koran, sastra saiber, sastra komunitas dan terakhir sastra facebook.
Maka bicara tentang sastra Indonesia mutakhir, sungguh tak lagi mudah. Kita telah menemukan sejumlah karya sastra multimedia, yang lahir dari hati dan pikiran para blogger dan kini merebak liar fenomena facebook. Sejak munculnya situs sastra www.cybersastra.net beberapa tahun lalu, aliran dan gerak kreativitas kesusasteraan di jejaring maya ini terus menderas. Dan secara objektif, para blogger dan facebooker itupun sudah banyak lahir jadi penulis di koran-koran. Inilah sastra kontemporer kita paling objektif. Banyak karya yang bertaburan di ranah maya itu terkadang justru mengalahkan kualitas karya-karya yang muncul di koran.
Terlepas dari polemik tentang kualitas, fenomena facebook dalam perjalanan sastra Indonesia kontemporer menjadi penting diperbincangkan. Paling tidak, kehadiran facebook terbukti telah mampu memicu gairah dan tradisi menulis di kalangan pengguna. Bahkan telah banyak dari mereka mulai tampil dan berkompetisi di berbagai media massa baik lokal maupun nasional. Dan menariknya, facebook juga mampu merangsang gairah penerbitan buku-buku sastra meskipun masih terbatas dilakukan sejumlah komunitas.
Salah satu buku karya para facebooker yang saat ini ramai dibicarakan di jejaring maya dalah Merah yang Meremah. Buku ini merupakan kumpulan puisi 10 Penyair Perempuan di Facebook yaitu Dewi Maharani, Faradina Izdhihary, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K dan Weni Suryandari. Perlu diketahui, 10 perempuan ini berasal dari berbagai tempat di tanah air, bahkan ada yang berasal dari Taiwan.
Mengejutkan, buku ini mendapat tanggapan serius dari sejumlah sastrawan Indonesia. Leonowens SP, misalnya, menyebutkan bahwa puisi-puisi dalam buku itu menyentuh, imajinatif, sarat makna, dan cerdas.
Medy Loekito, penyair Indonesia yang kerap menulis haiku, mengatakan bahwa hadirnya buku itu mengejutkan. “Sungguh mengejutkan membaca perkembangan puisi penyair wanita Indonesia yang ditampilkan lewat media cyber. Tampak dengan jelas betapa kebebasan yang disediakan oleh media cyber ini terutama FB betul-betul tidak tersia-siakan. Dan kemampuan penyair wanita Indonesia “menjinakkan” media cyber ini jelas berperan penting bagi perkembangan sastra Indonesia,” katanya.
Selain penerbitan buku, berbagai komunitas sastra juga bermunculan di facebook. Komunitas Anak Sastra, misalnya, hadir di facebook sebagai penggiat sastra dan linguistik. “Kami menyadari peranan bahasa dan sastra begitu besar dalam menunjang Indonesia yang mampu melawan budaya Globalisasi. Majulah Bahasaku Jayalah Sastraku,” begitu pengelola menuliskan tagline-nya. Hingga Jumat (8/1), di akun ini tercatat 621 member Lalu ada Sastra Indonesia, gubahan anak-anak UI. Jejaring ini menampilkan tagline bernuansa solidaritas: Kami banyak. Kami satu. Kami Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2008!
Akun lain adalah bernama Komunitas Mata Aksara, sebagaimana tercantum di bilik infornya, hadir untuk mengambil peran sebagai wadah telaah sastra, penerbitan dan workshop penulisan. Lebih jauh, komunitas ini juga memfokuskan komitmennya terhadap telisik sastra dan penulisan populer, kajian budaya (culural studies), kajian spiritual, kajian sosial, dan kajian pendidikan.
Di jejaring ini, tercatat sebagai dewan redaksi Handoko F Zainsam, Khrisna Pabichara, Salahudin Gz, Yayan R. Triyansyah. Beberapa nama ini sudah mulai muncul dalam intensitas terbatas di sejumlah media.
Bagaimana dengan Medan? Sejauh ini belum kelihatan adanya kelompok kreatif memanfaatkan jejaring populer ini membangun sastra di daerah ini. Generasi terbaru pencinta sastra dan para sastrawan yang ‘udah di menara gading’, agaknya lebih suka main FB sendiri tanpa berusaha membangun semangat kreatif generasi baru lewat kompensasi saiber ini.
Untunglah ada facebook milik Fakultas Sastra UISU, selain sastramedan.com. Tapi di kedua media ini, belum kelihatan adanya energi baru tentang upaya membangun sastra di Medan atau di Sumut. Facebook memiliki keunggulan tertentu karena di sana berbagai kelompok bisa berinteraksi lebih komunikatif, massal, dan bebas.
Tapi bagaimanapun, perkembangan sastra Indonesia bukan soal Sumut, Sumbar, Jawa, Bali, Kalimantan dll, tapi soal bagaimana para pekerja sastra menyumbangkan pikiran untuk Indonesia dan dunia di tempat dan kebudayaannya masing-masing dan menggunakan segala wadah secara kreatif.
Simak perkataan penyair Heru Emka, “Cukup wajar bila FB menjelma menjadi media baru yang cukup ekspresif untuk mencurahkan berbagai ungkapan perasaan, termasuk puisi yang sebelumnya menjadi wilayah angker bagi orang awam seperti kata Chairil Anwar: “Yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Bukankah penyair itu bukan darah turunan dan siapa saja boleh menulis puisi? (Panda MT Siallagan/berbagai sumber)
SOSIOLOG : FACEBOOK BANGKITKAN GAIRAH SASTRAWAN BERKARYA
Medan (ANTARA News) - Kehadiran serta pemanfaatan teknologi informasi dewasa ini memang tidak dapat lagi terelakkan khususnya situs jejaring sosial "facebook" yang kini telah membangkitkan gairah sastra bagi para sastrawan.
"Kemunculan facebook untuk menuliskan karya-karya sastra telah menjadi sesuatu yang konvensional, namun mendapat sambutan besar dari para penggunanya sehingga menimbulkan semangat bagi para seniman," ujar sosiolog, MJA Nashir di Medan, Selasa.
Ia menjelaskan, pada kenyataannya telah banyak para sastrawan yang menuangkan ide ke dalam karya-karya mereka seperti puisi melalui facebook dan mendapat respon positif dari para pembaca.
Selain itu, puisi-puisi para sastrawan serta seniman yang terpublikasi di facebook, justru memiliki kualitas yang bagus bahkan sering mengalahkan karya-karya yang dipublikasikan media cetak seperti koran dan majalah.
Bahkan, fenomena itu juga dapat membuat heboh berbagai media cetak yang juga sering mempublikasikan karya-karya puisi para sastrawan.
Menurut dia, media cetak berpeluang untuk ditinggalkan para sastrawan dan pembaca, karena kehadiran facebook yang bisa mempublikasikan puisi yang justru lebih bagus dibandingkan bebarapa puisi yang dipublikasikan media cetak.
"Kalau sebelumnya banyak penulis yang berlomba-lomba mengirimkan tulisan agar puisinya dimuat koran dan majalah, sekarang hal itu tidak perlu lagi, cukup menulis di facebook dan langsung mendapat respon pembaca serta tepat pada sasaran,"ujar pengamat sosiologi sastra itu.
Selain itu, semangat kebebasan dan independensi para sastrawan pun lebih berbeda ketika menuliskan karya-karya itu di facebook.
Ia menuturkan, para penulis kini bebas menuliskan karya puisi tanpa harus terikat serta terjebak dengan "kepentingan" dari media cetak yang memuat karya itu.
Bahkan, kemunculan facebook juga dapat menumbuhkan komunitas-komunitas sastra yang bisa tertarik untuk membuat puisi tanpa harus melalui tangan-tangan editor dan pengoreksi,ujarnya.
Lebih dari itu, dengan media facebook menempatkan sastrawan sebagai suatu sebutan yang tidak sakral lagi, karena setiap orang bisa menulis puisi yang menurutnya bagi untuk dimuat di facebook.
Salah satu sastrawan yang menuliskan puisi di situs jejaring facebook, Zulkarnain Siregar mengatakan, menulis puisi di facebook justru lebih menarik, karena setiap puisi yang dimuat di jejaring sosial itu langsung mendapat respon serta komentar dari para pembaca.
Dekatnya jarak komunikasi antara penulis dan pembaca di facebook juga memungkinkan untuk menjalin diskusi-diskusi secara intens sehingga membangkitkan semangat penulis untuk terus menulis puisi yang lebih baik untuk dimuat,ujarnya.
Selain itu, komunikasi antara penulis dan pembaca secara online itu, bisa mempengaruhi seluruh teman di jejaring sosial melalui pesan yang dibaca pada tiap rangkaian kata-kata puisi itu.
"Saya sudah dua tahun menulis puisi di facebook dan seterusnya saya pasti akan menulis karya lainnya di facebook,"ujarnya.
Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Prof Dr Ikhwanuddin Nasution MSi menuturkan, transformasi karya sastra puisi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi seperti facebook, tentu memberikan nuansa positif bagi perkembangan sastra.
Ia menjelaskan, penulisan karya puisi di akun jejaring sosial itu, tentunya akan semakin mendekatkan penulis dengan para pembaca serta semakin besar akses untuk membaca dan memahami karya itu.
Terlebih, para sastrawan bebas menulis sastra puisinya tanpa lagi harus memikirkan kebersediaan media cetak yang akan menerima puisi-puisi yang telah dibuat itu.
Menurut dia, meski saat ini malalui akun facebook itu para sastrawan bahkan juga masyarakat luas bebas mempublikasikan karya sastranya. Tapi mereka juga harus senantiasa menjaga nilai estetika. (ANT/K004)
Komentar
Tulis komentar baru