”Sampai kapanpun aku tidak mau menjilati nanah seorang laki-laki. Pernyataan itu kuanggap lebih bid’ah dari sekadar bid’ah hasanah. Pastilah kitab ini akan menghadirkan laki-laki yang jauh melebihi Yang Maha Perkasa sendiri. Jika ini yang terjadi, aku tidak mau mengaji kitab. Tetapi, jika semua kalimat itu benar dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, maka aku harus berpikir-pikir lagi, haruskah aku menjadi muslimah.(Perempuan Berkalung Sorban, hal. 77-78)
Dalam tradisi Islam (juga tradisi Yahudi dan Kristen), Riffat Hassan, menjelaskan, bahwa terdapat tiga asumsi Teologis, di mana suprastruktur superioritas laki-laki atas perempuan, yang mengimplikasikan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, ditegakkan; 1) bahwa ciptaan Tuhan yang pertama adalah laki-laki, bukan perempuan. Diyakini perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh karena itu, secara Ontologis bersifat derivatif dan sekunder; 2) bahwa perempuan bukan laki-laki, adalah penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai ”kejatuhan” atau pengusiran manusia dari surga; 3) bahwa perempuan diciptakan tidak hanya dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki.(1)
Dari ketiga persoalan di atas, Riffat Hassan menambahkan, permasalahan pertama yang menjadi isu penting dalam menyikapi persoalan kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahwa kesetaraan sosial laki-laki, dan perempuan dalam masyarakat muslim sangat terdominasi, dan terpusat pada laki-laki. Semua itu tergantung pada penerimaan, atau penolakan terhadap cerita tentang penciptaan tersebut.(2)
Kultur yang Dilukai
Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel. Laiknya sebuah karya sastra, apapun bentuknya, lahir, dan tercipta dari sebuah perenungan tentang pengalaman hidup, identitas, pandangan filsafat, maupun perasaan-perasaan pengarangnya. Konsep ini memosisikan hakikat penciptaan sastra sebagai ”ruang obsesi” untuk mengadakan pembongkaran (decoding) dan pemaknaan (signifying) tentang pengalaman-pengalaman hidup manusia. Artinya, karya sastra bukanlah fotokopi suatu objek (kenyataan, atau realitas objektif), tetapi lebih pada suatu tindakan menghadirkan kembali kenyataan dalam pergumulan konsepsi, imajinasi, realitas, dan kata untuk direfleksi dan diinterpretasi oleh siapa saja.(3)
Tumpuan eksplorasi dalam karya Abidah menyangkut pembelaan hak-hak reproduksi dan kepemilikan tubuh perempuan. Maka tak pelak, novel Perempuan Berkalung Sorban ini menjadi fenomenal karena sang pengarang, Abidah, berani vulgar menguak tabu, membongkar mitos perempuan untuk mencari sebuah makna kesetaraan. Fakta lain, novel ini telah difilmkan dengan judul yang sama, yang tentu saja mendongkrak nama penulis wanita santri itu ke ajang populeritas.
Novel ini lahir dari tangan seorang perempuan, yang memperjuangkan kesetaraan jender lewat sastra. Ungkapan-ungkapan yang peka, dalam, dan menyentuh menggugah perempuan untuk berusaha mengenali tubuhnya sendiri. Kepiawaian Abidah mengungkap fakta tentang bagaimana perempuan berhadapan dengan tubuhnya, libido, agama, dan masyarakatnya dikupas tuntas.
Latar cerita dalam Perempuan Berkalung Sorban khas Abidah, sangat kental dengan budaya pesantren. Potret tentang kehidupan itu terekam jelas dalam novel itu.
Kehidupan di pesantren identik dengan nilai-nilai religius. Secara semiotik mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan mempelajari agama, mengaji kitab yang menjadi pegangan santri.
Dalam Uqudullujain, Risalatul Mahidz, Akhluqun Nisa, Mar’atus Sholihat dan Aqhlaqul Banaat, tulis Abidah, berbicara tentang tetek bengek soal perempuan, seperti menstruasi, hubungan suami-istri, dan tanda-tanda perempuan shalehah. Bahwa perempuan itu memang manusia, tetapi kurang sempurna akal dan agamanya. Bahwa martabat laki-laki itu lebih tinggi daripada perempuan.
Mirip buku jawa kuno; Kitab Centini, yang berisi katuranggan perempuan. Buku itu memuat ciri-ciri pisik perempuan sebagai lambang sifat dan watak. Istilah katuranggan terasa sangat melecehkan. Katuranggan dapat diasosiasikan sebagai kendaraan. Asal kata turangga yang menyimpan arti kuda. Abidah tentu saja berhak menggugat, sebab kenyataannya tak dijumpai adanya kitab katuranggan laki-laki.
Masih tentang martabat laki-laki. Mengapa kaum laki-laki selalu saja mendapat julukan goodfather, sementara perempuan senantiasa berada di bawah bayang-bayang mereka?
Arogansi laki-laki merupakan bingkisan dari budaya patrilinelistik. Laki-laki ditempatkan di lingkup garis yang jelas, dan hak-hak istimewa senantiasa terberi padanya. Dalam dunia pendidikan pun, disadari atau tidak, diskriminasi itu tampak dalam konteks pembelajaran bahasa. Abidah menulis dengan ejaan, dan sedikit ejekan; ”A-yah per-gi ke kan-tor, I-bu me-ma-sak di da-pur, Bu-di ber-ma-in di ha-la-man, A-ni men-cu-ci pi-ring.” (hal. 10).
Dari studi itu, tampaknya, bibit diskriminasi telah ditanamkan sejak dini. Karena bukankah pelajaran seperti itu seyogyanya ada di SD kelas satu?
Cerita tentang hak-hak perempuan masa lampau terwakili oleh karya besar Wiyasa, meskipun mungkin tidak disadari oleh sang pujangga itu sendiri bahwa kaum laki-laki mendominasi semua sektor kehidupan. Kaum laki-laki berhak membuat tata rencana dunia tanpa perempuan dilibataktifkan.
Lebih lanjut Abidah menggugat,”...Sepertinya sopan santun memang tidak berlaku untuk kalangan laki-laki. Hukum apapun tak mampu menjamah kemerdekaan mereka, sebab mereka adalah manusia. Fitrahnya adalah merdeka. Berbeda dengan perempuan, tubuhnya saja mirip manusia, tapi nafsunya mirip binatang. Dipenuhi anak setan. Untuk itulah sopan santun harus diperkenalkan padanya...” (hal. 45).
Kesan monopoli yang dilakukan laki-laki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terselubung rapi, dan terbungkus tradisi. Perempuan terkurung oleh budaya patriarki yang tidak mendukung terjaminnya keadilan bagi perempuan.
Kondisi riel dalam masyarakat, dijumpai tradisi ”pinjam jago” untuk keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Ironisnya, tak dijumpai istilah ”pinjam babon” untuk keluarga yang tak memiliki anak perempuan. Peran mamak dalam sistem kekerabatan Minangkabau yang matrilinealistik, tetap menempatkan saudara laki-laki ibu sebagai pemegang kendali.
Membaca novel Perempuan Berkalung Sorban, memberi ruang untuk merenung, mengungkap fakta tentang kultur yang dilukai; perempuan sekaligus hak-haknya yang terampas.
MENJURUS ARUS
Persoalan perempuan yang selama ini hidup dalam budaya patriarki, yang dianggap lebih rendah dari kaum laki-laki telah memicu munculnya gerakan feminisme.(4)
Islam sebagai salah satu agama yang membicarakan hak-hak perempuan secara rinci, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, tidak luput dari kritikan para feminis, yang menganggap, bahwa sikap negatif terhadap perempuan yang ada dalam masyarakat muslim, umumnya, berakar pada teologis, yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat misoginis.(5)
Abidah melihat perempuan dalam banyak hal identik dengan pihak yang selalu bermasalah. Lewat novel Perempuan Berkalung Sorban ia mengeritik budaya patriarki dengan berang. Menentang kultus yang bersembunyi di balik martabat laki-laki itu.
Di mata Abidah, sepotong martabat adalah ironi. Bahkan kadang tragedi. Tak ada yang lebih rumit dalam hal ukur-mengukur, melebihi soal menimbang kadar sepotong martabat,sebab selalu ada bias di sana. Selalu ada subyektivitas yang dominan di sana. Sebab martabat, seringkali adalah apa yang dirasakan, apa yang dipersepsikan, dan apa yang diukur dalam diri pribadi. Bukan tentang karya dan kebajikan yang dilakukan, sehingga bermartabat.
Lewat tokoh sentral Annisa, yang dinikahkan pada dini usia dengan Samsudin yang mursal¸ Abidah bermetamorfosa, menjadi Srikandi emansipasi.
Dari sudut pandang emnasipasi, Ibu Kartini lah pencetusnya di Indonesia. Data dan fakta historis mengungkapkan, bahwa pemberontakan/perlawanan mendasar yang diperlihatkan Ibu Kartini adalah ketika menolak untuk dihiasi sebagai pengantin wanita pada upacara perkawinannya yang resmi.(6) Sangat dramatik. Sikap yang diperlihatkan adalah penjungkirbalikan segala tata nilai kehidupan. Suatu keberanian yang sungguh luar biasa, yang tidak pernah terbayangkan terjadi waktu itu.
Ibu Kartini bukan hanya menjurus arus akan tetapi membalikkan arus. Ibu Kartini menghapus semua tata adat istiadat, tata krama, atau pun hukum-hukum lisan yang berlaku sebelumnya. Ibu Kartini mengatasi semua ini; meloncati tradisi lewat pendidikan membaca dan menulis bagi kaum perempuan. Ibu Kartini tahu penderitaan kaum perempuan justru ketika ia menjadi seorang istri. Ibu Kartini memakai tubuhnya, mengorbankan jiwa dan raganya untuk mengukuhi sikap yang diyakini penuh; kaum perempuan harus bermartabat.
Untuk sepotong martabat, Abidah memosisikan tokoh sentral Anissa berjuang meraihnya dengan gigih. Dalam suratnya kepada Khudhori, cinta pertama dan sekaligus pamannya, yang mengambil S2 di Berlin, Jerman, Annisa tidak hanya menumpahkan perasaan rindu dan cintanya, tetapi juga kejengkelan akan pernikahannya yang problematis, kemarahannya, dan ketidakpahamannya akan arti sebuah kemerdekaan bagi perempuan.
Khudhori tampil sebagai problem solver, pemberi solusi pada Annisa; ”...,satu-satunya cara agar aku bisa tetap bangkit adalah terus-belajar dan belajar. Melanjutkan sekolah sampai sarjana. Dan nasehat itulah yang pada saat ini harus kuperjuangkan. Dunia boleh menderaku, Samsudin boleh memperkosaku setiap malam, selagi aku bodoh dan kurang pendidikan. Tetapi pada saatnya, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban dan semuanya pula telah tersedia balasan. Tunggulah sampai lidahku fasih menjawab semua persoalan dunia. Ketika otakku menjadi panah dan hatiku bagai baja. Aku pasti datang,...” (hal. 112-113).
Bumbu seks dalam novel Perempuan Berkalung Sorban sangat vulgar. Diotaki oleh tokoh Samsudin, yang berperan antagonis, dengan Kalsum, istri keduanya, Abidah menggambarkan perilaku seks abnormal itu sebagai sebuah teror. ”...,wajah Samsudin tampak puas. Menyeringai-ringai sambil mempertontonkan atraksi hewani seperti dua pegulat yang memburu kemenangan. Saling menjepit dan berganti-ganti dari segala sisi, segala posisi yang aneh-aneh, dan menjijikkan. Perutku terasa mual melihatnya...” (hal. 118-119).
Pemenuhan variasi seks yang dilakukan Samsudin, dan Kalsum di depan Annisa menimbulkan ”gangguan susila” pada perasaan Annisa sendiri, dan menjadi teror yang berkepanjangan.
Mengutip Carole J. Sheffiel, bahwa terorisme seksual yang dilakukan kaum laki-laki tak lebih sebagai usaha untuk mempertahankan superioritasnya, sehingga dengan terorisme seksual itu kaum laki-laki dapat mengontrol perempuan layaknya mengendalikan benang layang-layang.
Gejala stress pasca trauma pernikahan problematis itu, Annisa selalu dikuntit oleh mimpi buruk mengenai peristiwa ”perkosaan” Samsudin atas dirinya. Teror itu sangat menyesakkan di awal pernikahannya dengan Khudhori. Menimbulkan hesteria. ”...Tetapi semakin aku berusaha melupakannya, gambaran itu kian jelas menari-nari di pelupuk mata. Setiap mas Khudhori mulai menyibakkan rambutku, dan mencium leherku, tubuhku mengejang, dan keringat dingin mengalir pelan.” (hal.218).
Bila melihat fenomena di atas, novel Perempuan Berkalung Sorban tidak hanya bercerita, tapi juga berfilsafat tentang sebuah kehidupan, termasuk aspek keperempuanan, yang selama ratusan generasi hanya berkutat dari kasur, dapur dan sumur.
Abidah sedari awal hingga akhir, memeras seluruh kepiawaiannya dalam mengeksplorasi relasi batin seorang gadis kecil, Annisa, yang terampas masa depannya dan menjadi korban kawin paksa, yang sedikit lebih baik nasibnya dari Siti Nurbaya.
Ditulis dengan ungkapan-ungkapan yang dalam, dan sarat makna. Abidah dapat mengukuhkan Annisa pada pribadi seorang pendobrak, menjurus arus, dan menjadi Srikandi emansipasi.
Tugas Srikandi emansipasi tidaklah semudah meracik secangkir kopi. Istilah perang yang pernah dilontarkan oleh Muchtar Lubis adalah riskan. Apa dan siapa yang diperangi dalam emansipasi? Perang emansipasi akan membentur halimun budaya yang menempatkan perempuan di bawah koloni laki-laki.
Ironisnya, Luce Irigaray, seorang feminis terkenal asal Prancis, berujar; bahwa mendengung-dengungkan isu jender justru akan menyuburkan diskriminasi terhadap perempuan. Sementara, feminis yang lain berpendapat sebaliknya.(7)
Terlepas dari rancunya isu jender dalam tradisi Islam, Abidah menempatkan tokoh Khudhori dalam novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai seorang moderat yang cerdas. Khudhori mendukung kelompok-kelompok terpelajar perempuan untuk berkiprah secara kodrati tidaks untuk menyaingi peran laki-laki, tetapi untuk memberi keseimbangan. Riffat Hassan menggarisbawahi, bahwa Jika laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah, yang dipercaya sebagai sumber penentu nilai tertinggi, maka tidak mungkin kedua jenis itu menjadi tidak sejajar secara esensial, dengan berjalannya waktu. Dengan demikian ketidaksejajaran mereka dalam dunia patriarki merupakan pelanggaran terhadap rencana Tuhan.
Ending cerita dalam novel tersebut mengingatkan, bahwa ”...Sebab itu aku sadar, peristiwa demi peristiwa yang kulewati dalam hidup adalah halaman demi halaman ilmu yang tengah kubaca dan kucoba mengerti...” (hal 307).
Sebuah fenomena yang terinspirasi dari emansipasi Kartini. Novel Perempuan Berkalung Sorban ditulis dengan lugas, dan menyentuh. Abidah ingin menyatakan dirinya, mengomunikasikan pengalaman hidupnya dalam sosok Annisa, yang memperlihatkan, bahwa dalam situasi yang paling kelam pun orang dapat membumikan harapan. Dua buah kata berbeda, yang membentuk sebuah pengertian yang indah. Akan tetapi, sejauh mana seorang perempuan dapat membumikan harapannya kepada sesuatu yang sangat teringini, ”...,untuk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih dianggap lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman...”(hal. 316), acapkali dipandang mengancam social trust dan dianggap tabu.
Komentar
Tulis komentar baru