Resensi Buku Ayah, Karya Irfan Hamka
Oleh: Asep S. Azhar
Buku Ayah karya Irfan Hamka ini adalah buku yang menceritakan kisah-kisah hidup bersama ayahnya yang penuh akan sarat dan makna kehidupan; agama, keluarga, budaya, berbangsa dan bernegara, adalah petikan dari nada yang harmoni sebagai bekal hidup.
Terkhusus bagi kita sebagai generasi pelanjut, buku Ayah ini menjadi cermin dari lintasan sejarah seorang hamba Allah bernama Hamka, yang mempunyai nama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Tak kenal rasanya jika nama itu tidak dipadankan dengan nama “Buya”. Ya, Buya Hamka.
Buya Hamka adalah seorang anak Haji Malik Amrullah, sorang ulama dari Maninjau, Sumatra Barat. Dalam kisah hidupnya, Buya Hamka amat banyak berjumpa dengan rintangan yang penuh pilu. pernah ia berjuang dalam mempertahankan tanah Sumatra dan ikut bergeriliya ke hutan melawan agresi militer Belanda yang akan mengusut kembali kemerdekaan Indonesia.
Ia hijrah ke tanah jawa meninggalkan tanah Maninjau, Hamka pergi belajar. Ia memepelajari Islam dan sosialisme kepada H.O.S Tjokro Aminoto, yang kita kenal sekarang sebagai guru bangsa, belajar agama kepada Ki Bagus Hadi Kusumo dan Tuan A.R. Fakhruddin. Di Tanah Jawa, Hamka masuk ke organisasi Syarikat Islam (SI) dan ikut serta dalam mengembangkan dakwah Muhammadiyah.
Selesai hijrahnya ke tanah Jawa, Hamka pun kembali ke Sumatra dan ikut serta mengembangkan dakwah Muhammdiyah bersama ayahnya Abdul Karim Amrullah.
Pernah suatu ketika setelah Hamka memberikan cermahnya, ada orang-orang yang mengatakan bahwa Hamka tidak tahu ilmu nahwu dan shorof dalam bahasa Arab. Mengenal kelemahannya itu, ia bertolak ke Makkah untuk menimba ilmu dan mempelajari bahasa Arab, bahkan di sana ia banyak membaca kitab-kitab yang sulit. Hingga kembali ke Indonesia menjadi seorang ulama.
Ia pun menikah dengan seorang perempuan bernama Hajah Siti Raham Rasul dan dikaruniai 12 orang anak; Hisyam dan Husna meninggal saat balita, H. Zaki, H. Rusjdi, H. Fachri, Hj. Azizah, H. Irfan, Hj. Aliyah, Hj. Fathiyah, Hilmi, H. Afif, dan H. Shaqib.
Hamka adalah seorang kepala keluarga yang amat sangat perhatian kepada keluarganya, terutama perhatian pada anak-anaknya. Di tengah kesibukannya, Ia selalu menyempatkan sholat berjamaah bersama istri dan anaknya, bahkan sering memberikan ceramah-ceramah pula sebagai bekal dasar dalam keluarga.
Ia bertolak kembali berhijrah, ia membuat rumah di daerah Kebayoran Baru, Jakarta. karena ia diangkat sebagai pegawai Kementrian Agama. Seluruh keluarganya; anak dan istrinya dibawa pula. Hamka pun kembali beraktifitas sebagai seorang jurnalis; wartawan dan penulis. Ia banyak mengirimkan tulisannya di majalah Suara Muhammadiyah, Pembela Islam, Bintang Islam dan surat kabar lainnya. Tidak hanya menulis di surat kabar dan majalah saja, Hamka pun menulis karya sastra, salah satu karyanya yang terkenal nadalah Tenggelamnya kapal Van der Wijck.
Pernah suatu ketika sang penulis, Irfan Hamka memberikan kesaksiannya, ketika ada Jin penunggu rumahnya yang diajak berdialog oleh ayahnya itu, dan takluklah jin itu oleh Buya Hamka. Jin penunggu itu dinamakan oleh Irfan Hamka bernama Innyak Batungek.
Ada satu lagi yang dijadikannya sebagai sahabat setianya adalah seekor kucing bernama Si Kuning. Suatu ketika Buya Hamka mendengar tangisan kucing di luar rumahnya, tergeletaklah kucing kecil dengan sangat lusuh. Buya Hamka pun membawanya ke dapur dan memeberikannya susu. Hingga besarnya Si Kuning setia menemani Buya Hamka. Ketika sedang berada di rumah. Ketika Buya Hamka sedang membaca Al-Qur’an, membaca Dan menulis, Si Kuning setia berada didekatnya. Si Kuning sampai berusia 25 Tahun. Hingga pada suatu saat Buya Hamka banyak pergi ke luar kota dan memiliki kesibukan, Si Kuning Nampak kehilangan tuannya, bahkan ketika Buya Hamka pulang kepada kehariban Allah, Si Kuning termenung, ada orang yang melihat, lalu memberitahukan kepada Irfan Hamka, bahwa Si Kuning berada di atas kuburan Buya Hamka. Setelah mendengar kabar itu, Si Kuning sudah tidak terlihat oleh keluarga Buya Hamka.
Ummi Hajah Siti Raham Rasul adalah seorang istri yang setia menemani baik dalam keadaan susah dan bahagia, serta menjaga kehormatan keluarga. Kesetiaanya pada Hamka tergambar dalam mengurusi ke-12 anaknya dan juga suaminya. Pernah dalam suatu kejadian, Buya Hamka di penjara sebagai tahanan politik selama dua tahun empat bulan oleh rezim Sukarno. Di balik terpenjaranya Buya Hamka, Ummi Hajah Siti Raham Rasul sampai menggadaikan perhiasannya, karena untuk mngurusi dan melanjutkan hidup keluarga. Ketika Buya Hamka dalam penjara, maka otomatis biaya keluarga tidak mengalir, maka jalan yang di tempuh Ummi adalah jalan yang terbaik.
Dalam penjara selama dua tahun empat bulan itu, Buya Hamka berhasil menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Hingga Buya Hamka keluar dari penjara dan mendapatkan kebebasan.
Pada musim haji, Buya Hamka, Ummi dan Irfan Hamka mendapat hadiah berangkat ke tanah suci menjalankan ibadah haji. Kisah-kisah yang diceritkan oleh Irfan Hamka tentang kejadian di negeri timur tengah itu sangat membekas baginya, mengingat kejadian yang tidak mungkin dilupakan bersama ayah dan ibunya, ketika melihat jenazah calon haji yang meninggal dunia dan ditenggelamkan ke dasar laut, kejadian di pesawat yang hampir jatuh, kisah angin gurun yang hampir membuat mobil yang ditumpangi bersama ayah, ibu, sopir dan dirinya hampir terjungkal, serta kejadian air bah yang juga hampir menyeret mobilnya terbawa arus.
Selang beberapa tahun dari perjalanan haji itu, berpulanglah kehariban Allah, Hajah Siti Raham Rasul pada usia 57 Tahun, bertepatan pada tanggal 1 Januari 1971.
Sepeninggalnya Ummi, Buya Hamka sering menyenandungkan “Kaba” lalu membaca Al-Quran. Karena rindu padanya, dan jika ingatan pada Ummi semakin kuat, ia segera air wudhu dan melaksanakan sholat taubat, karena takut akan cintanya pada Ummi menggeser cintanya pada Allah.
Sepeninggal Ummi, setelah beberapa tahun menduda, Buya Hamka dijodohkan dan menikah dengan perempuan orang Cirebon, Hj. Siti Chadijah. Beliaulah yang menemani hari-hari tua bersama Buya Hamka.
Buya Hamka pun pernah di musuhi oleh tokoh dan Media- media yang berafiliasi ke PKI. Pernah suatu ketika, Buya Hamka diberitakan di Koran yang di pimpin oleh Pramoedya Ananta Toer yaitu Harian Rakyat dan Bintang Timur, memberitakan karyanya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah karya hasil plagiat atau jiplakan dari hasil karya pujangga Prancis bernama Alvonso care. Mendengar berita tersebut Buya Hamka Nampak tenang.
Suatu hari ketika terjadi kudeta yang dilakukan PKI gagal pada tanggal 30 September 1965, Pramoedya Ananta Toer dipenjara di pulau Buru. Setelah bebas, Pramoedya Ananta Toer menyuruh anak dan calon Mantunya untuk belajar agama kepada Hamka. hal itu merupakan simbol atas permintamaafan Pram kepada Hamka.
Sikap pemaaf yang ditampilkan Hamka, ditampakkan ketika Sukarno yang memusuhi pada masa ia menjabat sebagai Presiden Indonesia, sampai Hamka di penjara dan dijadikan tahanan politik olehnya, namun pada akhir hayatnya, berwasiat untuk meminta Hamka menjadi imam shalat jenazahnya.
Selain Sukarno yang pernah memusuhinya, Mr. Moh. Yamin adalah seorang politikus dari PNI, juga seorang lawan politik Buya Hamka, yang pada saat itu menjadi politikus Partai Masyumi. Dalam politik mereka berdua adalah rival bahkan sangat bersebrangan. Kebencian Mr. Moh. Yamin dalam hamka terjadi di dalam Konstituante bahkan dibawa sampai ke luar. Namun pada akhir menjelang hayatnya itu, Mr. Moh. Yamin meminta ingin ditemani Hamka dan jika ia meninggal dunia, ia ingin jenazahnya dimakamkan dan dihantarkan oleh Hamka ke Desa Talawi, Sumatra Barat. Permintaan itu dipenuhi Hamka hingga ia memegang tangan Mr. Moh. Yamin ketika menjelang wafat.
Setelah dipiliihnya kembali Buya Hamka menjadi Ketua Umum MUI pada tahun 1980-1985. Namun di tengah jalan Buya Hamka terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya, karena tidak sejalan dengan Pemerintah mengenai fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam mengikuti acara perayaan Natal bersama. Buya Hamka pun mundur.
Selang beberapa waktu, dari mundurnya Buya Hamka dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI, buya Hamka di bawa ke Rumah Sakit Pertamina karena sakit, ia mengidap penyakit diabetes dan pada akhirnya Allah lebih mencintai Hambanya. Buya Hamka Wafat pada hari Jum’at tanggal 24 Juli 1981. Banyak orang yang melayat dan menghantarkan jenazahnya. Hingga ada yang membuat lagu Minang “Selamat Jalan Buya”. Sang ulama pun pulang kembali kepada Yang Maha Kuasa.
Semoga beliau diterima amal ibadahnya di sisi Allah SWT.
Semoga menjadi cermin bagi generasi pelanjut.
Sekian.
***
Komentar
Tulis komentar baru