Skip to Content

Apa Kabar Al-Hijrah?

Foto Asep Saeful Azhar


Apa Kabar Al-Hijrah?
Oleh: Asep Saeful Azhar

Dalam pembendaharan gelap dalam sunyi remang cahaya rembulan, aku pulang ke tempat lahir melewati jalan berbatu di pinggir sungai  baru, sungai Cimande. Konon sungai baru ini dibuat sebagai pemecah masalah rutinitas banjir tahunan ketika musim penghujan tiba.

Setibanya kendara di gang perkampungan, aku teringat masa lalu, masa kanak-kanak, masa di mana semua terasa gembira dan bebas. Kegembiraan dan kebebasan itu tercipta ketika kutemui wujud masjid yang sudah terenovasi serta lebih lebar. Masih tersirat dalam benakku, dulu masjid ini adalah masjid kecil, di mana para jamaahnya lintas genarasi; tua, muda, dan kanak-kanak saling berdempetan ketika tiba waktu shalat berjamaah, bahkan di bulan ramadhan seprrti ini, jamaah shalat tarawih sampai meluber ke luar bangunan masjid. Yang lebih unik adalah ketika waktu mengaji alif, ba ta dalam sorot lampu kuning  5 watt sehingga maghrib begitu riuh, silih bersahut anak-anak kecil mengeja aksara dalam bimbingan Akang dan Tétéh remaja.

Jauh dari itu, ketika listrik padam dan kondsi masjid gelap, Kakek Moen membawa lilin putih 17 Centimeter dan menyalakaannya dari batang korek Cap Tiga Durian, lalu kami para anak kecil itu pun sesegera berdesakkan mendekati lilin berapi dan melanjutkan hanca­ bacaan alif ba ta. Ya,  seperti silalatu yang terbang berjamaah  mengerubungi sinar sorot cahaya.  

Ingatanku berhenti sejenak, kutepikan kendara di dekat pagar masjid berbahan baja ringan. Beberapa detik aku berdiri di depan masjid menatap dua pintu berwarna putih yang sebentar lagi akan ku buka juga. Allahumma inni as’aluka min fadlika, pintu satu masjid terbuka, “Cetrék!” lampu menyala. Apa Kabar, Al-Hijrah?

         Aku disambut gemercik air dan detak-detik jarum  jam dingding yang menunjukkan pukul 12.15 WIB tengah malam. Kulihat sebelah kiri belakang tempat di mana biasa dulu aku bersandar; untuk duduk atau sekedar ngopi sambil baca-baca. Ini tanggal berapa Ramadhan? Kulihat layar smartphone mencari tanggal, ini tanggal 20 Ramadhan, tepatnya di hari kesepuluh terakhir dan inilah waktu yang tepat.

            Kusimpan tas dipundak disamping  jendela berkaca, sambil mecari tempat duduk, sejadah kuamparkan di sudut kiri belakang. Sejenak kunikmati waktu melihat jarum jam. Secara tiba-tiba teringatlah pada suatu fragmen kisah cerita dalam cerpen karya A.A Navis “Robohnya Surau Kami” yang terbit tahun 1955, di mana tokoh Kakek sebagai seorang garin yang mendedikasikan hidup dan baktinya untuk tuhan sebagai penjaga surau, namun diakhir hidupnya tokoh Kakek ini mati bunuh diri, karena mendengar cerita seorang pembual bernama Ajo Sidi. Ia becerita tentang percakapan Haji Saleh dengan tuhan yang mempertanyakan dirinya itu dikirimkan ke neraka, ia tidak bisa menerima atas keputusan tuhan padanya, padahal  Haji Saleh adalah seorang yang rajin beribadah.  Namun dari kisah yang diceritakan oleh Ajo Sidi itu bahwa Haji Saleh masuk ke neraka disebabkan oleh ia beribadah hanya untuk kepentinganya sendiri. Cerita Ajo Sidi itu seakan merobohkan keyakinan tokoh Kakek.

Memang sastra itu “berbahaya!” Kataku.

Kembali kulihat jarum jam yang terus berputar mengelilingi angka-angka. Sejenak aku terdiam, apa yang selanjutnya kami lakukan?

Bersambung…

Rancaekek, 12 April 2023

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler